Everday Adventure III
Everyday Adventure III: For
The Future
“Baron! Ambilkan bor listrik dan kunci pas nomor
8, cepat!”
Seruan Airi terdengar nyaring, mengalahkan suara
riuh rendah yang sejak pagi terdengar di sekitarnya.
Baron yang sedang sibuk merakit sebuah kaki,
segera berdiri dan mengambilkan alat-alat yang diminta oleh Airi. Android itu
lalu mengamati sosok mungil Airi yang sedang berjuang menyelamatkan nyawa
seorang android. Tubuh android itu tampak rusak parah di beberapa bagian dan
sepertinya nyaris mustahil dipulihkan. Kedua mata robot berteknologi
cyber-brain itu terlihat tidak fokus ketika dia memandang ke sekelilingnya.
Sesekali cahaya di mata elektroniknya itu berkedip, menandakan kalau kerusakan
yang dialaminya sudah sangat parah.
“Bagaimana? Bisa diselamatkan?”
Baron bertanya sambil sesekali membantu Airi
mengambilkan peralatan atau suku cadang yang mereka buat dari barang rongsokan.
“Pasti bisa!” sahut Airi tanpa menoleh. Kedua
mata wanita asia itu terfokus pada pekerjaannya, sementara tangan terampilnya
tidak berhenti bergerak.
Baron menghela nafas dan memandang ke
sekelilingnya. Saat ini dirinya sedang berada di sebuah gudang setengah runtuh,
yang dipenuhi oleh puluhan robot dengan berbagai bentuk dan model. Mereka semua
tampak menyedihkan karena masing-masing terlihat penuh goresan dan kusam,
beberapa diantara mereka malah terlihat mengalami kerusakan. Meskipun begitu,
mata mereka tampak masih bersinar penuh harap, terutama ketika melihat sosok
Airi yang sedang berjuang menyelamatkan sebuah android.
Wajar saja robot-robot itu berkumpul di sini.
Sejak tiga tahun yang lalu, tempat ini disulap menjadi rumah sakit bagi robot
yang tinggal di reruntuhan kota Bravaga. Sejak Baron secara tidak sengaja
menemukan Airi di dalam sebuah bunker cold-sleep capsule, kehidupan android
serba guna itu benar-benar berubah. Dulu dia hanya menghabiskan waktu dengan
menjelajahi reruntuhan kota bersama robot lipan raksasa bernama Tesla. Mereka
melakukan itu untuk mencari sisa-sisa teknologi yang bisa digunakan untuk
memperbaiki diri dan robot lainnya. Namun sejak Airi memutuskan untuk membangun
rumah sakit bagi warga Bravaga, kini mereka jadi sibuk melayani para robot yang
mengalami kerusakan.
“Baron!!”
Seruan Airi membuat Baron terkejut dan bergegas
menghampiri wanita itu. Dia terkejut melihat android yang sedang diperbaiki
oleh Airi tampak terkulai lemas. Dia tahu kondisi ini jelas sangat tidak baik.
“Aku butuh kick starter! Siapkan generatormu!”
perintah Airi. Dia lalu mengulurkan dua buah kabel yang terhubung ke tubuh
pasiennya. “Cepat!”
Tanpa pikir panjang dan banyak tanya, Baron
meraih kabel itu dan membuka bajunya. Dengan cepat android itu menancapkan
kabel itu ke dua buah soket yang ada di sisi kiri dan kanan pinggangnya.
“Siap!”
Baron berseru ketika dia siap memberikan sebuah
kick starter pada tubuh pasien Airi.
“Clear!”
sahut Airi sambil memukul sebuah tombol di mesin yang terhubung dengan tubuh
Baron, dan tubuh sang pasien.
Suara denging nyaring terdengar sekejap ketika
generator tubuh Baron berusaha menyalakan generator di tubuh sang pasien yang
berhenti bekerja. Namun tidak ada yang terjadi. Android malang itu tetap tidak
bergeming dan tidak ada tanda aktivitas elektronik di tubuhnya.
“Sekali lagi!” seru Airi. “Naikkan tenaganya!”
Baron ingin sekali protes. Dia tahu kapasitor
pada generator sang pasien tidak akan sanggup menahan sentakan tenaga dari
generator miliknya. Tapi Baron tidak punya pilihan lain dan segera menaikkan
tenaga yang akan dikeluarkan dari generator tubuhnya.
“Siap!” seru Baron.
Airi kembali memukul tombol starter di
sampingnya, sambil berseru nyaring. “Clear!”
Suara denging nyaring kembali terdengar, tapi
sang pasien masih juga diam. Generator tubuhnya tidak mau menyala.
“Baron! Sekali lagi!”
“Sudahlah. Dia sudah tidak bisa diselamatkan.
Hentikan saja. Ini sia-sia. Kalau dipaksakan, nanti generator tubuhnya bisa
meledak.”
Baron menyentuh lembut pundak Airi. Android itu
tahu kalau pasien yang sedang mereka tangani sudah tidak bisa diselamatkan
lagi. Generator tubuhnya sudah mati dan tidak akan menyala kalau tidak
diperbaiki total, atau diganti.
“Tidak! Kita bisa memindahkan cyber-brain-nya ke
tubuh lain! Masih ada harapan!” bantah Airi.
“Sudahlah. Relakan saja. Kita tidak punya
teknologi untuk itu dan kita juga tidak punya tubuh cadangan untuknya. Kau
sudah berusaha.”
Baron menarik tubuh Airi mendekat dan
memeluknya. Awalnya Airi berontak, tapi wanita itu kemudian diam dan meneteskan
air mata. Dia marah dan sedih karena dia tidak mampu menyelamatkan android
malang itu. Meskipun dirinya adalah seorang ahli robotik jenius dari jaman
sebelum Catastrophy, tapi dia tidak bisa berbuat banyak tanpa dukungan
teknologi dan peralatan yang memadai.
Sejak Catastrophy melanda seluruh dunia sekitar
200 tahun lalu, segalanya berubah. Peradaban manusia yang telah bertahan dan
berkembang selama ribuan tahun, runtuh begitu saja dalam waktu singkat. Yang
tersisa dari kejayaan manusia sekarang hanya reruntuhan bangunan dan masyarakat
robot yang berhasil bertahan. Namun bersamaan dengan runtuhnya peradaban
manusia, banyak teknologi penunjang hidup para robot yang hilang. Akibatnya
robot berteknologi tinggi, seperti Baron dan Tesla, tidak lagi bisa memperbaiki
diri ketika ada bagian tubuh yang rusak. Umumnya para robot hanya bisa menunggu
ajal mereka tiba, tapi Baron dan Tesla tidak seperti itu. Mereka terus mencari
cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat mesin, khususnya di
Bravaga. Pencarian itulah yang membawa Baron dan Tesla ke sebuah bunker bawah
tanah, tempat Airi tertidur selama ratusan tahun.
Baron dan Tesla sangat beruntung karena manusia
yang mereka bangunkan itu ternyata seorang ahli robotik. Sayangnya meskipun
Airi bisa memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil, dia tidak bisa berbuat apa-apa
kalau ada bagian penting yang rusak, seperti generator tubuh atau cyber-brain
misalnya. Itulah yang dialami android yang baru saja mati di depan mata Airi
dan Baron.
“Sial! Seharusnya android itu tidak perlu mati!”
Airi melepaskan diri dari pelukan Baron dan
duduk lemas di kursi terdekat. Tatapan mata wanita itu terpaku pada deretan
pasien lain yang menunggu dengan sabar. Beberapa dari mereka terlihat sedih
melihat salah satu dari mereka baru saja kehilangan nyawanya.
“Jangan menyalahkan dirimu. Kemampuanmu terbatas
... kemampuan kita terbatas,” hibur Baron. Dia lalu memandang ke arah robot dan
droid lain yang ada di dalam ruangan. “Airi. Kau harus tegar. Kita masih punya
banyak tugas.”
Airi mengusap matanya, berusaha menghapus air
mata yang menggenang disana. Wanita itu lalu menepuk pipinya cukup keras dan
berdiri sambil memandang ke deretan pasiennya.
“Selanjutnya!” serunya lantang.
Baron tersenyum tipis sambil mengangkat tubuh
sang android yang sudah tidak berfungsi lagi. Ketika mengangkat android itu,
tiba-tiba Baron bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Kapan dia akan bernasib sama seperti android
malang ini?
****
Kesibukan di rumah sakit milik Baron dan Airi
terus berlanjut hingga menjelang sore. Ketika pasien terakhir pergi
meninggalkan ruangan, Airi langsung melemparkan tubuhnya ke atas dipan.
Dia kelelahan. Demi membantu para robot, Airi
sering sekali mengabaikan waktu istirahatnya. Padahal tidak seperti mesin yang
bisa bekerja terus-menerus, dia seharusnya banyak beristirahat. Hidup diantara
robot yang bisa berekspresi seperti manusia, membuat Airi sering lupa kalau
dirinya berbeda dengan mereka. Dia sering lupa kalau dirinya hanyalah manusia
biasa.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Baron sambil
menyerahkan secangkir air hangat pada Airi. “Ini, minumlah.”
“Hanya sedikit lelah,” sahut Airi sambil meneguk
isi cangkirnya. Ekspresi wajah wanita itu tampak kembali muram. Sepertinya dia
masih saja menyalahkan diri atas kegagalannya menyelamatkan sebuah android tadi
pagi.
“Tidak perlu dipikirkan. Kami sudah tahu suatu
saat kami akan rusak dan mati,” ujar Baron. “Sama seperti manusia kan? Mesin
juga tidak abadi. Suatu saat waktu kami untuk berhenti bekerja juga akan tiba,
jadi jangan terlalu kau pikirkan kejadian tadi pagi.”
Airi mendongak dan memandangi Baron.
“Aku tahu. Tapi seharusnya aku bisa melakukan
lebih banyak hal untuk membantu android malang itu,” balas Airi dengan muram.
“Yah. Mau bagaimana lagi. Kau sudah ...”
“Ya~Ho~!”
Ucapan Baron terpotong oleh suara seruan nyaring
dari pintu masuk gudang. Airi dan Baron menoleh ke arah datangnya suara dan
melihat Tesla merayap masuk ke dalam ruangan. Wujud robot penyelamat itu memang
menakutkan, sehingga waktu pertama kali Airi beremu dengannya, dia sempat
menjerit histeris. Tapi setelah terbiasa, Airi sudah tidak takut lagi pada
Tesla yang berwujud seperti seekor lipan logam raksasa.
“Ada apa? Kau terlihat muram, Airi,” sapa Tesla
sambil bergerak mendekati wanita itu. “Ada yang terjadi saat aku pergi?”
Airi dan Baron saling pandang sejenak, kemudian
menggelengkan kepala mereka.
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya lelah,”
jawab Airi. Dia lalu menyadari kalau Tesla tampak membawa sebuah kotak logam
tua yang sudah berkarat. “Apa itu?”
Pertanyaan Airi membuat keempat mata Tesla
berbinar-binar.
“Aku senang kau bertanya,” balas Tesla.
Dengan cepat dia membuka kotak logam yang dia
bawa dan menunjukkan isinya. Isi kotak logam itu ternyata adalah tumpukan
beberapa buah kristal memori kuno. Benda itu merupakan alat kristal khusus yang
digunakan untuk menyimpan data digital. Ukurannya memang kecil, hanya sebesar
jari telunjuk pria dewasa, tapi benda itu bisa menyimpan beberapa terrabyte
data.
“Kristal memori? Apa isinya?” tanya Airi heran.
“Dimana kau temukan ini?”
“Aku tidak tahu apa isinya, tapi kurasa itu
penting. Aku menemukannya di sebuah fasilitas militer kuno yang ada di sisi
timur sana,” jawab Tesla sambil memainkan sekeping kristal memori di tangannya. “Sayangnya aku tidak bisa
baca benda itu, karena tubuhku tidak punya slot-nya. Kalau tidak salah Baron
bisa baca kan, benar tidak?”
Baron mengangguk membenarkan. Dia lalu mengambil
sekeping kristal memori dan menancapkan benda itu di sebuah lubang kecil yang
kini terbuka di tengkuknya. Selama beberapa saat, cyber-brain miliknya sibuk
menganalisa data yang terkandung dalam benda canggih itu. Tapi karena beberapa
bagian dari kristal memori itu sudah rusak, ada beberapa bagian yang sulit
diterjemahkan oleh Baron. Setelah mencoba beberapa kali, dia akhirnya bisa
memperbaiki bagian yang rusak itu sebisanya.
Ketika analisisnya itu selesai, Baron terkejut
bukan main.
“Astaga!” serunya.
“Apa? Apa?” tanya Tesla penuh semangat.
“Apa isinya?” timpal Airi penasaran.
Baron terdiam lagi selama beberapa detik,
sebelum akhirnya berbicara dengan nada kagum.
“Isi benda ini adalah cetak biru dari sebuah mesin
yang menakjubkan! Kalau dilihat sepintas dari keterangan yang ada dalam memory
ini, mesin ini mampu membuat suku cadang tubuh robot dari barang-barang bekas!”
seru Baron. “Kalau digunakan dengan baik ... sepertinya mesin ini bahkan bisa
menciptakan robot baru!”
Baik Airi maupun Tesla terkejut bukan main
mendengar penuturan Baron.
“Jangan bercanda!” celetuk Airi dengan nada
tidak percaya.
“Airi benar! Jangan bercanda deh,” timpal Tesla.
Baron memandangi kedua temannya itu dan
tersenyum lebar.
“Aku tidak bercanda! Aku bisa buktikan!” balas
Baron.
Android itu dengan segera menyalakan sistem
nirkabel tubuhnya, kemudian menghubungkannya ke mesin cetak yang teronggok di
seberang ruangan. Dalam waktu singkat, mesin cetak itu mulai bekerja dan
mencetak diagram mesin yang dilihat Baron dalam kepalanya.
Airi segera menghampiri mesin cetak itu. Awalnya
dia masih bingung karena hasil cetakan mesin cetak tua itu hanya berupa
diagram-diagram rumit. Tapi setelah mengamati lebih lanjut, Airi segera
menyadari kalau Baron memang benar. Isi kristal memori yang ditemukan Tesla itu
adalah rancang bangun sebuah mesin yang bernama clone replicator. Menyadari hal
itu, kedua mata Airi langsung terbelalak lebar.
“I....ini! INI LUAR BIASA!!” jerit Airi
kegirangan. Wanita itu lalu berlari menghampiri Tesla dan Baron, lalu memeluk
keduanya dengan erat. “Ini bisa menyelamatkan kalian semua! Mesin ini adalah
harapan bagi masyarakat mesin di Bravaga!! Kita harus membuatnya!”
Baron dan Tesla saling pandang selama beberapa
saat.
“Tunggu sebentar,” ujar Baron sambil mencabut
kristal memori dari tengkuknya. “Mesin ini sangat rumit dan ukurannya juga
tidak kecil. Kita tidak punya bahan dan tenaga yang cukup untuk membuat mesin
ini. Ditambah lagi kita tidak dilengkapi dengan peralatan pabrik yang canggih.”
Airi menggoyangkan telunjuknya di depan wajah.
“Bicara apa kau, Baron? Kalau soal bahan baku,
kita punya sebuah reruntuhan kota seluas lebih dari lima ribu kilometer persegi
yang bisa digunakan!” ujar Airi dengan tegas. “Selain itu, kita punya lebih
dari sepuluh ribu robot dengan berbagai wujud dan fungsi. Apa itu tidak cukup?”
“Entahlah....” ujar Baron. Dia lalu melirik ke
arah Tesla yang juga sedang berpikir. “Bagaimana menurutmu, Tesla?”
Tesla mengangkat tangan-tangan rampingnya yang sedang
memegang lembaran-lembaran cetak biru dari clone replicator.
“Aku pikir ... mesin ini mustahil kita wujudkan.
Selain butuh tenaga pembantu yang banyak, butuh waktu sampai puluhan tahun
untuk membangun mesin ini. Apalagi dengan teknologi yang tersisa saat ini ...”
jawab Tesla. “Jadi ... ya ... lebih baik tidak usah saja.”
Airi tidak menyangka kalau Tesla akan menolak
idenya membangun mesin itu. Tadinya dia berharap kalaupun Baron menolak
membantu, Tesla setidaknya akan membantunya. Ternyata tidak.
“Ayolah! Kalian ini bagaimana sih? Ini adalah
kesempatan kita untuk mengubah kondisi hidup yang buruk ini. Apa kalian mau
hidup dengan penuh ketakutan, terutama karena kalian tidak tahu kapan tubuh
kalian berhenti bekerja?” ujar Airi, dengan harapan bisa membujuk Tesla dan
Baron.
“Bukannya itu sama saja denganmu?” celetuk
Tesla. “Kau juga tidak tahu kapan tubuhmu akan berhenti bekerja kan?”
Airi langsung melotot ke arah robot lipan itu,
membuat Tesla merangkak mundur dan agak bergulung sedikit. Dia lalu menatap
tajam ke arah Baron.
“Pikirkan!” ujar Airi lagi. “Dengan mesin ini,
kita bisa menyelamatkan robot-robot yang mengalami kerusakan tubuh! Dengan
mesin ini, kau dan Tesla tidak perlu khawatir berlebihan kalau mengalami
kerusakan. Semua suku cadang tubuh kalian berdua bisa disediakan oleh mesin
clone replicator ini.”
Baron dan Tesla terdiam sejenak. Ucapan Airi
memang masuk akal, tapi ada satu hal yang membuat Baron enggan membuat mesin
‘ajaib’ itu.
“Bagaimana denganmu?” tanya Baron. “Bagaimana
dengan kehidupanmu, Airi? Kau satu-satunya manusia di kota ini. Kau sadar kan
kalau kami para mesin tidak bisa menyediakan suku cadang tubuh untukmu, atau memperbaiki mu kalau kau rusak. Kenapa kau
tidak memikirkan dirimu sendiri?”
“Lupakan soal kehidupanku!” sahut Airi tanpa
pikir panjang. “Era manusia sudah berakhir, setidaknya di kota ini. Ini adalah
era bagi kalian, para robot. Kalian adalah generasi penerus peradaban umat
manusia. Kalau kalian musnah juga, maka jejak peradaban manusia akan sepenuhnya
hilang dari muka bumi.”
Baron dan Tesla saling pandang. Setelah hidup
bersama Airi selama tiga tahun, keduanya tahu sekali wanita itu memutuskan
sesuatu, keputusannya tidak akan berubah. Airi memang seorang wanita yang keras
kepala dan pantang menyerah, tapi itu juga merupakan kelebihannya.
“Baiklah. Aku dan Tesla akan membantu,” ujar
Baron pada akhirnya. Tapi dia segera menambahkan. “Tapi kau tidak boleh bekerja
terlalu berat. Serahkan semua urusan pekerjaan berat pada kami, para mesin. Kau
cukup awasi pekerjaan kami dan pastikan kami tidak melakukan kesalahan saat
membuat clone replicator ini.”
Airi mengangkat sebelah tangannya.
“Aku janji,” ujar Airi, tapi dia lalu
mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum nakal. “Aku janji akan jadi mandor
yang baik dan tegas pada kalian semua.”
Baron dan Tesla langsung balas tersenyum lebar
dengan caranya masing-masing.
****
Seperti yang sudah diperingatkan oleh Baron dan
Tesla, pekerjaan membangun mesin clone replicator sangat tidak mudah. Pertama-tama
mereka membutuhkan sebuah tempat baru untuk membangun menara yang akan
digunakan untuk meletakkan mesin itu. Airi kemudian mengusulkan untuk membangun
mesin itu di puncak sebuah bukit di padang rumput, yang berada di sisi utara
reruntuhan kota. Menara itu juga nantinya akan digunakan sebagai pabrik suku
cadang, tempat pembuatan droid atau robot baru, serta rumah sakit bagi
masyarakat mesin di reruntuhan Bravaga.
Setelah memutuskan lokasinya, kini tibalah Airi,
Baron dan Tesla di bagian yang tersulit, yaitu membangun menara dan clone
replicator itu sendiri.
Tentu saja Airi, Baron dan Tesla tidak
melakukannya sendirian. Dengan gigih ketiganya berusaha membujuk warga
reruntuhan kota Bravaga untuk membantu. Meyakinkan para robot yang sudah hampir
kehilangan harapan dan semangat hidup memang tidak mudah. Namun Airi tidak
pernah mau menyerah dan terus membujuk warga untuk membantunya. Awalnya tidak
banyak yang mau membantu mereka, tapi lama kelamaan jumlah robot yang bergabung
dalam proyek itu semakin bertambah. Sehingga meskipun pekerjaan membangun
menara dan clone replicator sangat sulit, tapi proyek itu mulai berjalan secara
bertahap dan perlahan-lahan.
Seperti yang diyakini Airi, mereka tidak akan
kekurangan bahan bangunan ataupun bahan baku mesin. Semuanya bisa didapatkan di
reruntuhan kota Bravaga. Yang perlu mereka lakukan adalah mengolah rongsokan
dan logam-logam tua yang berserakan di sekitar kota menjadi bahan baku menara
dan clone replicator. Memang tidak mudah, tapi bisa dikerjakan bila warga kota
mau bekerja sama.
Tahun demi tahun berlalu dengan cepat selagi
Airi, Baron, Tesla dan warga reruntuhan kota Bravaga membangun mesin impian
mereka. Tanpa terasa sudah hampir 10 tahun berlalu sejak menara dan clone
replicator mulai dibangun. Sayangnya proses pembangunannya tidak selamanya
lancar. Ada banyak halangan yang muncul, terutama akibat kurangnya dukungan
teknologi dalam pembangunan menara itu.
“Gagal lagi!”
Airi menggerutu sambil melangkah mundur dan
mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Saat ini dirinya sedang berada di ruang
bawah tanah yang dibangun untuk menampung pusat kendali dari clone replicator.
Mesin yang bisa melahirkan mesin itu sudah nyaris selesai dibangun, hanya saja
ada bagian yang masih saja gagal dibuat oleh Airi dan kawan-kawannya.
Bagian itu adalah modul kendali. Bagian utama
yang akan mengendalikan kerja seluruh mesin yang menjadi bagian dari clone
replicator.
“Kenapa? Kenapa masih tidak bisa juga?” tanya
Airi pada dirinya sendiri.
“Sudahlah. Sebaiknya kau istirahat dulu, baru
dilanjutkan lagi nanti.” Tesla yang sedang bekerja mengelas sebuah pipa
langsung berkomentar. Robot lipan raksasa itu lalu menyodorkan sebuah botol
minuman kepada Airi. “Nih.”
“Terima kasih,” sahut Airi sambil duduk di
lantai.
“Aku tidak mengerti” komentar Tesla. “Sudah
setahun ini kau berusaha mengaktifkan modul kendali ini. Tapi masih saja gagal.
Padahal semuanya sudah sempurna. Apa kau tahu penyebabnya?”
Dia lalu menoleh ke arah Baron yang sedang
memasang pelat baja ke sebuah panel kendali di sisi lain ruangan. “Hei, Baron!
Apa kau tahu sesuatu soal ini?” tanyanya lagi.
Baron mengangkat bahunya.
“Tidak! Kalau aku tahu, sudah dari dulu modul
kendali ini berfungsi!” balas Baron.
“Begitulah,” ujar Tesla pada Airi. “Tapi apa
memang tidak ada yang salah dengan sistem kendalinya? Maksudku ... pada otak
mesin ini?”
Airi memandangi Tesla dengan tatapan heran.
“Kurasa tidak. Aku sudah memastikan itu,” balas
Airi. “Memangnya kenapa?”
“Apa tidak mungkin otak mesin yang kau gunakan
ini tidak cukup canggih untuk mengatur seluruh bagian dari clone replicator
ini?” tanya Tesla lagi.
Airi terdiam. Dia tidak mau menjawab pertanyaan
itu. Airi tahu kalau otak elektronik yang saat ini digunakan sebagai pusat
pengendali clone replicator,
sebenarnya tidak memiliki kemampuan yang memadai. Hanya ada satu solusi yang
sejak dulu terpikir oleh Airi untuk mengatasi masalahnya ini, yaitu menggunakan
cyber-brain sebagai pusat kendali. Tapi tidak bisa sembarang cyber-brain, dia
membutuhkan otak elektronik yang memiliki kecepatan proses jauh lebih tinggi
dari yang biasanya. Selain itu, kondisi cyber-brain itu juga harus sangat
terjaga, tidak boleh ada kerusakan sedikit pun, sehingga cyber-brain milik
robot yang sudah mati tidak dapat digunakan.
“Airi? Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu dari
kami.”
Baron yang sejak tadi mengamati sikap wanita itu
langsung berkomentar. Karena sudah tinggal bersama Airi cukup lama, dia jadi
mengerti bagaimana sikap wanita itu kalau sedang menyembunyikan sebuah rahasia.
“Tidak. Aku tidak menyembunyikan apapun!”
Airi langsung membantah, tapi dia jadi tidak
berani menatap ke arah mata Baron.
“Ayolah! Katakan saja pada kami. Kau bisa
percayakan rahasia apapun pada kami berdua. Kau kan tahu itu,” desak Tesla.
“Jadi ... apa kau sebenarnya tahu masalah apa yang dihadapi modul kendali mesin
ini?”
Airi mengangguk perlahan, tapi dia tidak
mengatakan apapun.
“Nah! Kalau kau sudah tahu, kenapa tidak diatasi
saja?” ujar Baron.
Airi masih terdiam, tapi wajahnya tampak sedih.
Tentu saja ini membuat Baron dan Tesla semakin penasaran.
“Ayolah. Jangan menyimpan rahasia seperti ini,”
desak Tesla lagi. “Jadi apa sebenarnya masalah yang membuat modul kendali clone
replicator ini tidak juga berfungsi?”
Meskipun enggan, Airi akhirnya bicara juga.
“Ucapan Tesla tadi memang benar. Otak elektronik
yang kugunakan untuk mengatur clone replicator, dan seluruh fasilitas di menara
ini, tidak cukup canggih,” ujar Airi muram.
“Kalau itu masalahnya, solusinya mudah. Cari
saja otak elektronik yang lebih canggih lagi,” balas Baron. Tapi dia lalu
menyadari sesuatu. Kalau hanya itu saja masalahnya, Airi pasti sudah mengatasi
itu sejak lama. “Tunggu dulu. Jangan-jangan yang kau maksudkan itu ... kau butuh
sebuah cyber-brain sebagai pusat kendali?”
Airi
mengangguk.
“Benar,” sahutnya singkat.
“Kalau begitu kenapa tidak bilang dari dulu?
Kita kan bisa berkeliling kota untuk mencari cyber-brain yang bisa kita
gunakan,” balas Tesla.
Airi menggelengkan kepalanya.
“Tidak bisa sembarang cyber-brain. Butuh
cyber-brain dengan kecepatan proses lebih tinggi dari normal, serta memiliki
kondisi yang sangat terjaga. Cyber-brain dari robot yang sudah mati tidak bisa
dipakai karena alasan itu,” ucap Airi dengan nada muram. Dia lalu menambahkan
dengan suara semakin lirih sambil memandang ke arah Baron. “Dan ... dari semua
robot yang kukenal di Bravaga ini...satu-satunya kandidat yang memiliki
cyber-brain paling cocok untuk clone replicator ini adalah Baron.”
Baron dan Tesla terkejut mendengar penuturan
Airi. Rupanya itu sebabnya Airi terus berkutat untuk menggunakan otak
elektronik biasa untuk clone replicator-nya.
“Kalau memang harus begitu, kenapa tidak kau
katakan padaku? Aku akan dengan senang hati memberikan cyber-brain milikku
ini,” sahut Baron tanpa pikir panjang. “Kau tidak perlu khawatir. Bagiku ini
sama saja dengan mengganti seluruh tubuhku. Tidak masalah.”
Airi kembali terdiam. Inilah alasan sebenarnya
kenapa dia tidak mau menjelaskan kalau dia butuh cyber-brain untuk
menyelesaikan clone replicator-nya. Dia tahu bagaimana sifat Baron. Android itu
pastinya tidak akan ragu untuk membongkar tubuhnya sendiri dan menyerahkan
otaknya kepada Airi untuk dia gunakan.
“Tidak bisa! Kalau cyber-brain mu kugunakan
sebagai pusat kendali clone replicator, aku harus menghapus semua isinya! Kalau
itu kulakukan, kepribadian buatan dan ingatanmu akan hilang! Itu artinya Baron
akan hilang! Kau akan mati!” seru Airi sambil menggelengkan kepalanya
kuat-kuat.
Baron terdiam sejenak. Selama hidupnya yang
panjang, Baron sudah lama bertanya-tanya bagaimana hidupnya akan berakhir.
Sebelum bertemu dengan Airi, android itu selalu berpikir dirinya akan berakhir
sebagai tumpukan logam tidak berguna di sudut reruntuhan kota Bravaga. Tapi
sejak bertemu Airi pertama kalinya dan melihat kemampuannya, Baron tahu
nyawanya akan berakhir di tangan wanita itu. Hanya saja Baron yakin nyawanya
tidak akan berakhir dengan sia-sia. Dan keyakinannya itu benar-benar terbukti
sekarang.
“Tidak masalah bagiku. Aku siap,” balas Baron
dengan tegas. “Kalau nyawaku dibutuhkan untuk menyelamatkan masa depan
masyarakat mesin di Bravaga, aku siap memberikannya.”
Airi menggelengkan kepalanya lagi. Air mata
mulai menggenang di kedua matanya.
“Aku tidak mau itu terjadi!” seru Airi dengan
penuh kesedihan.
“Kalau begitu pakai saja cyber-brain punyaku,”
sela Tesla sambil mengetuk kepalanya. “Mungkin tidak sebagus punya Baron, tapi
aku yakin otakku akan berguna.”
“Kalian tidak mengerti!” jerit Airi pilu. “Aku
tidak ingin kehilangan satu pun dari kalian! Kalian adalah keluargaku! Mana
mungkin aku mengorbankan kalian untuk membangun mesin ini!”
Baron langsung memeluk Airi dan membelai
kepalanya dengan lembut. Dia bisa memahami perasaan wanita itu. Biar
bagaimanapun, dirinya juga sudah kehilangan terlalu banyak robot yang
dianggapnya sebagai saudara. Dia tidak mau hal yang sama terjadi pada robot
lain di Bravaga. Oleh karena itu, dia tidak berpikir panjang ketika Airi
mengatakan akan menggunakan cyber-brain-nya.
“Aku senang kau menganggap kami berdua sebagai
keluarga,” ujar Baron pada Airi. “Sejak bertemu denganmu, hari-hariku dan Tesla
tidak pernah sama lagi. Kami menemukan harapan untuk hidup. Kami menemukan
harapan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Mungkin sebenarnya kami
sangat egois. Kau adalah satu-satunya manusia yang tersisa di Bravaga, dan
mungkin juga di seluruh daratan ini, tapi kami tidak pernah memikirkan masa
depanmu.”
“Tapi ... !”
Ucapan Airi terhenti ketika Baron menempelkan telunjuknya
ke bibir wanita itu.
“Tidak usah ragu lagi. Lakukan saja. Aku tahu
kalau pengorbananku tidak akan sia-sia,” ucap Baron dengan lembut. “Kalau
nyawaku diperlukan demi masa depan masyarakat mesin di Bravaga, aku rela
memberikannya.”
Airi masih memandangi Baron cukup lama. Tapi
akhirnya dia mengusap air matanya dan melepaskan diri dari pelukan android itu.
“Baiklah. Kalau itu keputusanmu ...” gumam Airi
sedih. “Aku akan melakukannya. Jangan khawatir, kau tidak akan merasakan
apapun.”
Baron tersenyum sambil menutup matanya.
“Terima kasih.”
Bersamaan dengan ucapannya itu, Baron mematikan
seluruh sistem di tubuhnya. Android itu bisa merasakan satu persatu komponen
tubuhnya berhenti bekerja. Tidak lama kemudian, Baron tidak bisa merasakan
apapun lagi. Tapi di saat yang sama, dia merasakan sebuah kedamaian yang sudah
lama dia cari.
Kutitipkan masa depan
kami ditanganmu, Airi.
****
“Jadi begitulah ceritanya. Berkat pengorbanan
Baron dan kerja keras Airi selama bertahun-tahun, maka kehidupan masyarakat
mesin di kota Bravaga sekarang jadi nyaman seperti ini. Berkat clone replicator
yang dibuat oleh Airi, kita tidak perlu lagi takut tidak bisa pulih kalau
mengalami kerusakan. Berkat itu juga jumlah robot di kota ini jadi bertambah
banyak dan berkat itu kami berhasil membangun kembali kota Bravaga hingga jadi
seperti ini. Dengan kata lain, mereka berdua telah memberikan masa depan bagi kita
semua.”
Tesla mengakhiri ceritanya dengan beberapa kali
tepukan tangan. Saat ini dia tengah bergulung di lapangan berumput, tepat di
depan sebuah menara tinggi menjulang di puncak sebuah bukit, yang letaknya
persis di tengah kota Bravaga. Di hadapan robot lipan raksasa itu, duduk sebuah
gynoid berambut hitam panjang dan sebuah android besar bermata satu. Keduanya
sedari tadi tampak mendengarkan cerita Tesla dengan seksama. Kedua mata sang
gynoid bahkan terlihat berkilat penuh rasa kagum ketika mendengarkan cerita
Tesla. Sikap mesin berbentuk gadis remaja itu mengundang reaksi dari sang
android bermata satu.
“Oi Maria. Cerita ini kan sudah kau dengar entah
berapa ribu kali. Kenapa kau masih saja terlihat kagum dan bersemangat
mendengarnya?” tanya sang android bermata satu.
“Memangnya kau tidak merasa kagum, Ryouta?”
balas Maria, sang gynoid. “Ini kan cerita tentang asal usul Mother ... maksudku
... clone replicator di Bravaga! Bayangkan saja, kalau tidak ada mesin itu,
kita berdua tidak akan lahir!”
“Ralat! Kau yang tidak akan lahir. Aku sudah ada
sejak jaman Catastrophy,” balas Ryouta dengan nada mengejek.
“Tapi kalau tidak ada Mother, kau tidak akan
hidup lagi,” Maria balas mengejek temannya itu. “Kan tubuhmu itu hampir
setengahnya diciptakan kembali oleh Mother.”
Ryouta mendengus jengkel setiap kali Maria
berhasil membuatnya kesal. Dia lalu menoleh ke arah Tesla yang masih dengan
sabar menunggu. Sekilas Ryouta bisa melihat kilatan kesedihan di keempat mata
Tesla.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Ryouta khawatir.
Tesla menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku
hanya merasa sedikit sedih mengingat semua itu.”
Ryouta dan Maria saling pandang. Mereka jadi
merasa bersalah karena sudah memaksa Tesla mengingat semua semua kejadian yang
terjadi selama pembangunan Central Tower dan
clone replicator.
Tesla masih ingat bagaimana wajah pedih Airi
ketika wanita itu membongkar kepala Baron untuk mengambil cyber-brain-nya. Dia
juga tidak akan pernah bisa melupakan wajah bahagia Airi menjelang akhir
hayatnya, ketika wanita itu duduk di depan Central Tower sambil melihat kota
Bravaga baru yang dibangun di sekitar menara ciptaannya itu. Tesla tahu Airi
begitu bahagia melihat hasil kerja kerasnya, serta pengorbanan Baron, sama
sekali tidak sia-sia.
“Kakek Tesla, maafkan kami karena telah
membuatmu sedih,” ujar Maria.
Tesla menggelengkan kepalanya lagi.
“Kau tidak perlu minta maaf. Justru aku senang
sekali kalau diminta menceritakan sejarah Central Tower dan Mother kepada
generasi baru seperti kalian. Sebab dengan begitu, Airi dan Baron tidak akan
pernah mati, mereka akan tetap hidup dalam ingatan kalian,” ujar Tesla dengan
lembut. “Mereka akan tetap hidup dan diingat sebagai dua sosok yang berjasa
besar memberikan masa depan bagi masyarakat mesin di Bravaga ini.”
Maria dan Ryouta kembali saling pandang,
kemudian Maria tersenyum lebar.
“Kau benar, kakek! Selama masih ada yang
mengingat mereka, Airi dan Baron akan tetap hidup!” seru Maria girang.
“Nah. Ceritanya sudah selesai. Kurasa sekarang
sudah saatnya kalian kembali ke rumah masing-masing. Aku masih ada pekerjaan
lain di dalam Central Tower,” ujar Tesla sambil bangkit dan mulai merayap
kembali ke dalam menara. “Sampai jumpa lagi.”
“Sampai jumpa lagi, kakek!” sahut Maria dengan
riang.
“Sampai ketemu lagi,” ujar Ryouta.
Setelah Tesla masuk ke dalam Central Tower,
Ryouta dan Maria memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Keduanya
memandang sejenak ke arah menara yang menjadi pusat kota baru Bravaga, kemudian
pandangan mereka beralih ke arah jalanan utama yang membentang hingga ke
reruntuhan kota tua di selatan. Pemandangan kota yang disirami cahaya keemasan
dari matahari terbenam tampak begitu indah dan mengagumkan. Sebuah pemandangan
yang sebelumnya tidak pernah dilihat oleh robot dan droid yang dulu tinggal di
reruntuhan kota Bravaga. Memang kalau tidak karena jasa Airi, Baron dan Tesla,
pemandangan seperti ini tidak akan pernah ada.
“Ryouta.” Akhirnya Maria berbicara setelah
terdiam cukup lama.
“Ada apa?” balas Ryouta singkat.
“Manusia yang bernama Airi dan android bernama
Baron itu benar-benar hebat. Mereka tidak ragu mengorbankan kepentingan diri
mereka sendiri demi masa depan yang lainnya,” ujar Maria dengan nada serius.
“Ya. Mereka memang orang-orang hebat.” Ryouta
mengangguk mengiyakan. “Apa yang mereka lakukan benar-benar mengubah
segalanya.”
“Ryouta? Apa kita bisa seperti mereka?” tanya
Maria sambil mendongak ke arah temannya itu.
“Maksudku ... apa mungkin droid biasa seperti kita menjadi seperti Airi
dan Baron? Apa kita bisa menjadi sosok yang membukakan jalan masa depan bagi
generasi selanjutnya?”
Ryouta terdiam sambil menatap lembut ke arah
Maria. Kalau saja wajahnya didesain untuk bisa tersenyum, Ryouta pasti sudah
tersenyum lebar. Android itu lalu menepuk kepala Maria dengan lembut.
“Tentu saja bisa, Maria. Tentu kita bisa seperti
Airi dan Baron.”
Kali ini Maria tidak menjawab. Dia hanya
menyunggingkan sebuah senyuman manis kepada Ryouta.
Tentu saja bisa ...
karena masa depan generasi selanjutnya ada di tangan kita.
****
-FIN?-
By: red_rackham 2012
Comments