Story 01: Roof and Herbs

 

“Waduh … ini bakalan makan waktu berhari-hari kalau kondisinya kayak begitu ...”

Ayman Kathanovy berdiri berkacak pinggang sembari mengamati kondisi atap rumahnya yang porak-poranda akibat diterjang oleh taifun semalam. Rumah sederhana yang sebagian besar terbuat dari kayu itu memang masih kokoh berdiri, tapi sebagian dari atap rumah milik Petualang veteran itu sudah hilang entah ke mana.

Angin ribut yang semalam bertiup kencang dari laut lepas itu telah menerbangkan atap rumahnya, merusak sebagian kebunnya, dan merobohkan beberapa pepohonan yang ada di hutan yang berada di belakang rumah Ayman. Hutan kuno yang membentang sejauh mata memandang itu terlihat mengalami kerusakan cukup berat akibat taifun dahsyat yang menerjangnya tadi malam. Tampak sekilas ada beberapa bukaan hutan baru di antara kerimbunan berbagai jenis tumbuhan yang tumbuh lebat di dalam sana.

Singkat kata, semuanya berantakan.

Pandangan mata Ayman lalu beralih ke arah bangunan kecil yang terletak tidak jauh dari rumah tempat tinggalnya. Bangunan yang sepenuhnya terbuat dari campuran batu dan beton itu tampak masih berdiri kokoh. Ketika melihat bangunan itu tampak tidak mengalami kerusakan apa pun, Ayman pun menghela nafas lega. Namun di saat yang sama dia juga dia menyadari kalau dia punya banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan selama beberapa hari ke depan.

Untuk saat ini, yang penting adalah dia harus memperbaiki atap yang rusak. Setidaknya dia harus menutup bagian yang hilang dengan sesuatu, sehingga paling tidak nanti malam dia bakal punya ‘atap’ untuk menaungi diri dan seisi rumahnya.

“Uff~! Tidak ada waktu untuk banyak berpikir. Saatnya kerja!”

Ayman memutar bahunya dan berusaha mengusir rasa pegal dan nyeri yang sesekali masih menyengat dari bekas luka panjang yang melintang di punggungnya. Meskipun luka aslinya sudah lama sembuh, tapi luka parah yang didapatnya dari pertarungan sengit melawan Raja Iblis ke-12 beberapa tahun lalu itu seperti menolak untuk sepenuhnya pulih. Menurut Bhiku, sang Pandit[1] Biawak[2] yang merupakan rekan seperjuangannya waktu itu, luka-luka yang didapat dalam pertarungan melawan sang Raja Iblis tidak bisa pulih akibat Kutukan Paska-Kematian yang dilancarkan ketika sang Raja Iblis itu terbunuh. Serupa dengan Ayman, yang kini memiliki luka di punggung dan kehilangan sebagian daya lihat di mata kirinya, Bhiku, yang juga bertempur melawan sang Raja Iblis, kehilangan banyak sekali gigi-gigi tajam yang dulu sering dia banggakan. Sebagian besar gigi Bhiku rontok ketika dia terhempas kuat oleh salah satu serangan sang Raja Iblis waktu itu.

“Heh, anggap saja ini pengingat kalau kita ini bukan Tak-Terkalahkan atau Yang Terhebat, meskipun sudah menyelesaikan misi bunuh diri ini. Nikmati saja! Kita masih hidup~!”

Ayman tersenyum ketika mengingat ucapan Bhiku waktu mereka mengetahui kalau semua anggota tim mereka mendapat ‘hadiah’ luka-luka yang tidak bisa sepenuhnya disembuhkan, bahkan oleh mantra Penyembuh yang dilontarkan oleh Pandit Agung atau Uskup sekalipun. Tapi seperti kata Bhiku, setidaknya mereka semua masih hidup.

Sembari mengingat masa lalunya, Ayman terus bekerja mengeluarkan buntalan kanvas dan kulit hewan dan monster yang dia simpan di dalam gudang di belakang rumahnya. Kemudian dia pun mengambil peralatan pertukangan, dan juga peralatan jahit dari dalam gudang tua itu. Dengan cepat dan cekatan, Ayman pun mulai merapikan kanvas dan kulit yang kini dia bentangkan di atas tanah, kemudian memotong dan menjahit keduanya hingga membentuk lembaran persegi panjang yang cukup lebar untuk menutupi lubang yang masih menganga di atas rumahnya itu. Tidak lama kemudian, atap sementara untuk rumahnya pun sudah siap untuk digunakan.

Kini Ayman harus naik ke atas atap rumahnya, membentangkan atap kanvas berlapis kulit yang dibuatnya, kemudian memaku sisi-sisinya agar tidak mudah terbang ketika ditiup oleh angin kencang.

Dia baru saja mengambil ancang-ancang untuk melompat tinggi ke atap rumahnya ketika ada yang tiba-tiba saja menyapanya.

“Heyyo Ayman~! Butuh bantuan?”

Ayman pun berbalik dan berhadapan dengan sesosok Wangsa Sura[3] muda yang sedang nyengir lebar ke arahnya. Sosok ‘manusia bawah laut’ yang kulitnya dilapisi sisik berkilau kebiruan itu tampak sedang memanggul seekor Musang Raksasa di pundaknya. Monster berbulu lebat yang ukurannya hampir sebesar rusa itu tampak menakutkan, dan fakta bahwa makhluk buas itu kini tidak bernyawa menunjukkan kalau sang Wangsa Sura yang memanggulnya itu bukan Wangsa Sura sembarangan.

“Memangnya kau mau membantuku, Bysseus?” balas Ayman pada Wangsa Sura yang berdiri di hadapannya itu.

Sosok Wangsa Sura berparas cantik yang bernama lengkap Bysseus Pumanath itu lalu tertawa lepas. Suaranya tawanya itu terdengar nyaring dan jernih, bagaikan suara gemericik air hujan, sehingga membuat siapa pun yang mendengarkan akan tertarik mendengarnya. Sosoknya yang menawan juga menarik perhatian cukup banyak orang, dan tidak jarang membuatnya sering digoda. Walau tidak ada yang benar-benar berani macam-macam, kecuali sedang mabuk, karena Bysseus juga dikenal sebagai satu dari sedikit Pemburu ulung di kota    

“Tentu saja tidak~!” Bysseus menyahut sembari mengibaskan rambut panjang ikalnya. “Aku kan ke sini cuma mau pamer!”

Ayman menggerutu sambil mempersiapkan alat-alat pertukangan yang harus dia bawa ke atas rumahnya. Dia lalu menoleh sekilas ke arah Musang Raksasa yang masih bertengger di pundak Bysseus.

“Itu buruan yang bagus,” ujar Ayman sambil merapikan alat-alat pertukangannya ke sabuk khusus yang kini sudah dia ikatkan ke pinggangnya.

“Oh, terima kasih. Ini baru saja kubunuh beberapa jam yang lalu di hutan sana. Masih fresh~!” balas Bysseus sambil melayangkan senyuman penuh kebanggaan. Dia lalu menunjuk ke arah kanvas berlapis kulit milik Ayman. “Nambal atap pakai itu?”

Ayman mengangguk.

“Yep,” jawabnya singkat. “Setidaknya untuk satu-dua hari ini aja sih. Besok aku turun ke kota dan minta orang untuk bawakan kayu dan atap baru untuk rumahku.”

Bysseuss berjalan mengitari atap sementara yang masih dibentangkan di atas tanah. Dia lalu menoleh ke arah Ayman, yang kini sudah melompat naik ke atap rumahnya sembari memegangi salah satu ujung atap kanvas-kulit yang dibuatnya itu.

“Hei, kalau mau, nanti aku bisa mampir ke tukang kayu atau tukang lainnya di kota. Biar mereka bisa datang ke sini bawa bahan-bahan atau tambahan tenaga yang kamu butuhkan,” ujar Bysseus sambil mendongak ke arah Ayman. “Gimana?”

Ayman mengangkat sebelah alisnya.

“Tentu saja mau,” sahutnya. “Tapi tawaranmu itu pasti ada ‘tapinya’ ...”

Bysseus menjentikkan jarinya.

“Oh~! Tentu!” ujarnya riang. “Traktir aku minum di Aula Perserikatan ya!”

Ayman pun tersenyum lebar sambil mengacungkan palunya ke arah Wangsa Sura Pemburu itu.

Deal!

“Sip! Aku tunggu traktiranmu ya!”

Segera setelah mengucapkan itu, Bysseus pun berbalik dan mulai berjalan riang menuruni bukit tempat rumah Ayman berdiri. Sosok Wangsa Sura muda itu pun dengan segera hilang dari pandangan dan meninggalkan Ayman seorang diri, yang masih sibuk mencoba memperbaiki atapnya.

Setelah menarik nafas panjang, Ayman pun memulai pekerjaannya dengan menancapkan paku pasak pertamanya.

Pekerjaan memperbaiki atap dengan menghamparkan lembaran kanvas-kulit itu sebenarnya tidak berat bagi Ayman. Hanya butuh ketelitian dan kehati-hatian, terutama ketika harus memaku lembaran tebal itu ke fondasi atap yang masih tersisa. Biar begitu, tetap butuh waktu beberapa jam hingga Pensiunan Pahlawan itu akhirnya selesai melapisi atapnya yang rusak dengan hasil kreasi hamparan kanvas berbalut kulitnya itu.

Setelah puas mengamati hasil kerjanya, Ayman lalu meregangkan tubuhnya yang terasa agak pegal. Meskipun bukan pekerjaan berat, tapi ternyata memperbaiki atap rumahnya itu cukup memakan waktu dan kini matahari sudah tinggi di langit dan bayang-bayang juga sudah pendek. Itu artinya sudah saatnya makan siang, dan kebetulan Ayman masih menyimpan daging rusa asap hasil buruannya beberapa minggu yang lalu. Rasanya pasti enak sekali jika dipanggang bersama sepotong keju dan ditambah roti serta sisa sup krim yang dia masak semalam.

Ketika membayangkan nikmatnya masakan itu, perut Ayman pun tidak lupa untuk protes minta diisi dengan segera.

Sambil tertawa dan menepuk perutnya sendiri, Ayman pun merapikan peralatan pertukangannya dan masuk ke rumah untuk mempersiapkan makan siangnya.

****

Sore hari dihabiskan Ayman dengan membereskan kebunnya yang juga porak-poranda diterjang angin ribut semalam. Hampir seluruh hasil jerih payahnya selama musim semi kemarin kini hilang sudah. Hanya beberapa tanaman umbi-umbian dan obat-obatan yang masih selamat ... walaupun dedaunan dan tangkai tanaman-tanaman itu juga rusak akibat amukan angin dan hujan lebat semalam.

“Heh ... kalian ini masih hidup aja ...” ujar Ayman pada tanaman obat-obatannya. “Tidak peduli ada badai menghantam, tapi kalian tetap berjuang untuk hidup. Hebat sekali ...”

Selama beberapa saat, Ayman pun teringat pada teman-teman seperjuangannya.

Sama seperti dirinya, beberapa dari mereka juga memutuskan untuk pensiun dari pekerjaan mereka sebagai Petualang, terutama karena mereka juga luka-luka kutukan yang tidak bisa sembuh. Tapi ada juga yang masih cukup keras kepala dan tetap bertahan menjadi Petualang, atau bekerja di dunia para Petualang, entah sebagai Instruktur, Penasihat, atau Anggota Perserikatan Petualang.

“Yah ... semua punya pilihan masing-masing,” ujar Ayman lagi.

Dengan hati-hati pensiunan Pahlawan Legendaris itu lalu memindahkan tanaman-tanaman yang tersisa ke dalam pot-pot tanah liat dan kayu yang sudah berisi tanah bercampur pupuk. Begitu selesai dengan tanaman obat, Ayman pun lanjut merapikan tanaman umbi-umbiannya dengan memotong dahan serta daun yang rusak atau patah.

Sembari mengerjakan pekerjaan berkebunnya, Ayman bersenandung pelan dalam bahasa kuno yang umumnya hanya dimengerti oleh para Peri.

Karena dirinya adalah Manusia-Setengah-Peri Hutan, Ayman punya ketertarikan khusus dengan kegiatan yang berkaitan dengan alam. Salah satunya berkebun dan mengamati bintang-bintang di langit. Dan pekerjaan berkebun semacam ini selalu membuatnya merasa lebih tenang. Bagi Ayman, pekerjaan kotor dan kasar itu lebih mirip kegiatan meditasi dan selalu bisa membuatnya melupakan semua masalah dan tekanan batin yang dia rasakan.

Saking seriusnya Ayman dengan pekerjaannya, dia sampai tidak menyadari kalau sedari tadi ada tamu lain yang datang berkunjung.

Kali ini yang datang adalah sesosok Gajah-Wong[4] tua yang mengenakan jubah khas Tabib dan membawa tongkat kayu yang dihiasi ukiran Kalimat Kuno yang memiliki kekuatan sihir penyembuh. Sosok yang wujudnya mirip gajah yang berdiri dengan dua kaki itu terlihat menunggu dengan sabar sampai Ayman menyadari kehadiran dirinya.

“Oh! Drol! Maaf aku gak sadar kau sudah datang,” sapa Ayman sambil membersihkan tangannya yang masih berlumuran tanah, lumpur, dan pupuk. “Sudah dari tadi?”

Gajah-Wong yang bernama lengkap Droldromozh itu menggelengkan kepalanya dan membuat kedua telinganya yang lebar bergoyang-goyang.

“Tidak. Saya baru saja datang beberapa saat yang lalu,” ujar Droldromozh dengan suara beratnya yang khas. Dial lalu mengamati kondisi sekitar rumah Ayman, lalu ke arah atap rumah yang kini sudah ditutupi kain kanvas dan kulit. “Rumah Anda juga rusak?”

Ayman mengangguk.

“Ya. Seperti yang bisa kau lihat,” jawabnya sambil merapikan peralatan berkebunnya. “Tapi apa kau mau masuk dan kubuatkan minuman hangat? Aku masih punya stok beberapa teh herbal loh.”

Droldromozh mengangkat sebelah tangannya.

“Tidak perlu,” tolaknya dengan tegas. “Saya tahu Anda sedang sibuk. Langsung saja ke urusan kita.”

Ayman mengangkat bahu dan tersenyum. Seperti biasanya, Droldromozh tidak suka basa-basi dan sikapnya itu sering membuat orang lain merasa tidak nyaman. Meski begitu, dari sedikit Gajah-Wong yang dia kenal, Droldromozh ini termasuk yang cukup ramah ... walaupun Ayman sering tidak nyaman pekerjaan Droldromozh sebagai Tabib, yang dia ketahui menjalankan praktik pengobatan ilegal dan bisa dibilang ... berbahaya.

“Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar ya. Aku akan segera kembali,” ucap Ayman sambil pergi meninggalkan Droldromozh, yang masih berdiri dengan sabar di tengah kebun milik Ayman, yang masih berantakan.

Tabib Gajah-Wong itu tampak mengamati kondisi lahan perkebunan kecil milik Ayman yang masih berantakan. Dia pun berjongkok sejenak, kemudian menepukkan tangannya yang gempal dan penuh keriput ke atas tanah, kemudian mengatupkan jari-jemarinya.

“Tanah bagus. Tanah baik,” gumam Droldromozh sambil kembali berdiri dan membersihkan sisa tanah yang menempel di sela-sela jarinya.

Tidak lama kemudian, Ayman pun kembali sambil membawa sebuah kantong kulit seukuran genggaman tangan.

“Maaf agak lama,” ujarnya.

Dia lalu menyodorkan kantong kulit yang dibawanya kepada Droldromozh. Gajah-Wong itu segera mengambil benda yang diberikan Ayman, kemudian lanjut membuka dan mencium isinya dengan belalainya yang panjang dan kekar. Entah apa yang ada di dalam kantung kecil yang baru saja diberikan Ayman, tapi Gajah-Wong tua itu tampak puas dengan isinya. Kedua telinganya yang besar dan lebar sempat berkibar-kibar beberapa saat ketika dia memeriksa isi kantung misterius pemberian Ayman itu.

“Seperti biasa. Anda memang bisa diandalkan. Ini barang bagus,” puji Droldromozh sambil memasukkan kantung pemberian Ayman itu ke dalam tas selempangnya. Dia lalu balik menyodorkan empat keping koin emas dengan belalainya. “Sesuai perjanjian. Ini imbalannya.”

Ayman mengambil koin-koin berkilau itu dari belalai Droldromozh sambil tersenyum getir.

“Kalau urusan kita sudah selesai, saya pamit dulu,” ujar Droldromozh sambil membungkuk singkat, kemudian membalikkan badan dan mulai berjalan pergi meninggalkan Ayman.

Tapi sebelum sosok mirip manusia-campur-gajah itu pergi meninggalkan kediamannya, Ayman kembali bicara.

“Hei, Drol. Aku gak tahu itu mau kau pakai untuk apa ...” sejenak dia terdiam sebelum akhirnya menghela nafas dan melanjutkan perkataannya. “... tapi jangan sampai kau dapat masalah dengan ... yah ... yang berwajib ...”

Mendengar itu, Droldromozh pun berhenti berjalan. kemudian dia menoleh ke arah Ayman dan menyeringai ke arah Manusia-Setengah-Peri Hutan kenalannya itu. Kalau orang lain yang melihatnya, pastilah orang itu akan berkerut ketakutan, karena seringai Gajah-Wong cukup menakutkan.

“Anda tidak perlu khawatir soal itu,” ujar Droldromozh, masih sembari menyeringai ke arah Ayman. “Yang perlu Anda khawatirkan adalah bagaimana Anda bisa memenuhi kebutuhanku untuk musim berikutnya. Bagaimana saya menggunakan ini, dan untuk siapa, bukan urusan Anda.”

Meskipun misterius dan orang sering salah paham pada Droldromozh, tapi Gajah-Wong itu sebenarnya baik dan mau menolong orang ... walaupun kriteria orang yang pantas ditolongnya itu terkadang cukup membuat Ayman resah.

Tapi seperti kata Droldromozh tadi, itu bukan urusannya ...

... setidaknya bukan untuk saat ini ...

Ketika menyadari hal tersebut, Ayman pun lalu mengangkat kedua tangannya.

Melihat isyarat itu, Droldromozh pun membungkuk singkat, kemudian lanjut berjalan meninggalkan kediaman Ayman sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya selagi berjalan. Tanda bahwa dia sedang senang dan tidak ingin diganggu.

Begitu tamunya sudah pergi, Ayman kembali menghela nafas panjang. Dia pun lalu menyadari kalau matahari sudah condong ke barat, bayangan pun sudah sangat panjang, dan satu dari tiga bulan pun sudah terlihat menggantung di langit. Dia tidak menyangka kalau pekerjaannya hari ini cukup memakan waktu.

Sambil meluruskan punggungnya yang terasa agak pegal, Ayman menoleh ke arah kebunnya, yang masih berantakan. Dia pun memutuskan untuk berhenti bekerja hari ini dan melanjutkan beres-beres rumahnya keesokan harinya. Sambil melepas kaus yang sudah kotor dan berlepotan tanah, lumpur, dan pupuk yang bercampur keringat, pensiunan Pahlawan itu pun berjalan santai memasuki rumahnya.

“Yah ... masih ada esok hari ...”

Ayman bergumam sembari menutup pintu kediaman sederhananya.

****

End of Story 01



[1]Mereka yang ahli dalam ilmu agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Umumnya memiliki kemampuan untuk melontarkan sihir penyembuhan dan sihir suci lainnya.

[2]Spesies kadal berakal yang berdiri dengan dua kaki seperti manusia, atau disebut juga Lizardfolk

[3]Spesies amfibi yang berwujud mirip manusia. Bedanya pada kulitnya yang dilapisi sisik mengkilat, dan telapak tangan, serta kaki yang dilengkapi selaput untuk berenang. Wangsa Sura bisa bernafas dengan insang dan paru-paru semu. Dikenal juga dengan nama Triton

[4]Spesies mirip seekor gajah yang berdiri dengan dua kaki. Lebih dikenal dengan nama Loxodon di tempat asal mereka.

--------------------------------------------- 

Roll: 2 cards

Cards:

- 5 of clubs (repair the roof); roll: 3 (an unexpected encounter)

- 6 of diamond (Potted plant whose health reflects yours); roll: 5 (planned encounter)

Comments