Extra Adventure: Star Childs




Extra Adventure: Star Childs


“Titania~!”
Seorang anak perempuan berambut hitam dan bermata cerah langsung menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dia melihat seorang anak laki-laki berlari-lari kecil sambil menghampiri dirinya yang sedang sibuk melakukan pengecekan sistem kapsul hibernasi.
“Apaan sih, Eugene? Enggak usah teriak-teriak gitu dong. Kan cuma ada aku di sini,” gerutunya sambil menekan sebuah tombol di panel kendali komputernya. “Ada masalah?”
Anak laki-laki itu menggeleng.
“Enggak, aku bosan karena dari tadi aku cuma sendirian memeriksa ruang mesin,” jawabnya enteng. Dia lalu menyunggingkan senyuman lebar. “Jadinya aku kepingin gangguin orang lain.”
Titania mendengus kesal. Ini rotasi kelima baginya sejak pertama kali dia dan ribuan anak lainnya menaiki wahana Starchild ini. Rasanya sulit dipercaya sudah lebih dari 500 tahun mereka berkelana menjelajahi kedalaman luar angkasa untuk mencari planet tempat tinggal baru.
Meskipun enam belas wahana dalam armada Starchild ini dapat beroperasi secara mandiri, tetap saja ada sistem yang secara bergilir memaksa lima orang anak untuk bangun dari kapsul hibernasi, kemudian bekerja sebagai awak kapal selama satu tahun. Dan walaupun ada ribuan anak yang tertidur dalam kapal raksasa ini, Titania dan Eugene sudah lima kali kena giliran jaga.
“Kapal ini kayaknya suka sekali denganku,” gerutu Titania sambil menutup layar-layar holografisnya, namun menyisakan satu layar yang menunjukkan gambar tiga dimensi planet asal kelahirannya, bumi.
Planet yang terlihat dalam layar holografis itu terlihat indah dengan campuran warna biru, putih, hijau, dan kecoklatan. Sama sekali berbeda dengan warna planet cokelat kemerahan yang terakhir kali dilihat Titania saat pesawat yang ditumpanginya ini meninggalkan bumi lebih dari 500 tahun yang lalu.
“Sudah lama sekali ya ... rasanya enggak bisa dipercaya.” Eugene berkomentar ketika melihat planet kelahirannya itu di layar. Tanpa sadar air mata menggenang di kedua matanya yang berwarna cokelat tua. Dia lalu bicara dengan suara bergetar “Aku rindu ayah dan ibu ...”
Ucapan Eugene membuat dada Titania terasa sesak. Gadis itu tanpa sadar meraih sebuah boneka yang diletakkan di sisi panel komputernya, dan memeluk erat boneka itu. Sama seperti Eugene dan ribuan anak lainnya di pesawat ini, Titania juga terpaksa harus meninggalkan kedua orang tuanya dan pergi mencari planet baru, sebagai bagian dari Project Starchild, usaha terakhir manusia untuk menyelamatkan rasnya dari kepunahan.
“Kamu enggak usah nangis, Eugene,” ujar Titania sambil mengelus bahu temannya itu. “Papa mama bilang kita harus tegar, soalnya kita loh yang jadi anak-anak bintang pertama. Katanya juga kita yang bakalan menyelamatkan ras manusia. Jadi kita enggak boleh sering-sering nangis.”
Eugene mengusap air matanya dan mengangguk.
“Titania benar,” ujarnya sambil menghela nafas. “Ngomong-ngomong, aku pergi lihat adikku dulu di ruang hibernasi 110. Nanti aku balik lagi, ya!”
“Hei! Bentar lagi kita masuk ke fold-cycle loh, jangan jauh-jauh dari kursi anti-gravitasi!” seru Titania pada temannya itu.
“Iyaa~!” sahut Eugene.
Sambil berlari-lari kecil, Eugene pergi meninggalkan Titania yang duduk sendirian, dengan ditemani sebuah boneka putih yang dia bawa dari bumi. Selama beberapa saat, anak perempuan itu memandangi boneka yang berwujud sosok robot bermata satu dan bertubuh kekar. Sosok itu dulu begitu dikaguminya dan ingatan akan sosok itulah yang membuatnya selalu tegar menjalani hari-harinya sekarang. Sosok itu adalah sebuah Guardia, mesin perang yang diciptakan untuk melindungi umat manusia dari serangan musuh. Dulu Titania benar-benar mengagumi dan mengidolakan satu Guardia, yang dia beri nama robot putih, meskipun nama asli mesin itu adalah Ryouta. Sosok sang Guardia yang selalu berdiri tegak menjaga kompleks Project Starchild, telah membuat Titania sampai sekarang bertekad untuk juga menjadi seorang pelindung.  
Titania menarik nafas panjang dan memeluk erat boneka yang merupakan satu-satunya peninggalan dari kedua orang tuanya itu.
“Papa, mama, robot putih, di sini Titania. Aku tahu kalian sudah lama tiada, jadinya aku mau lapor dari sini ke surga saja,” ujarnya sambil menatap ke arah bintang-bintang gemerlap di luar jendela ruang tempatnya bekerja. “Di sini kami sehat-sehat saja, walaupun aku mulai khawatir sama Eugene yang lama-lama bikin makin ngeselin. Teman-teman yang lain juga sehat-sehat saja, walau aku cuma ketemu 3 orang lagi sih tiap giliran jaga tiba. Yang pasti aku enggak kesepian di sini.”
Sejenak Titania berhenti bicara dan menutup kedua matanya. Dia lalu tersenyum ketika membayangkan kedua orang tua, dan sosok yang dikaguminya muncul dalam benaknya. Mereka tampak bangga dengan apa yang telah dilakukan oleh Titania sampai saat ini.
Ketika dia membuka matanya lagi, Titania mengusap sedikit air mata yang sempat menetes di pipinya, kemudian menekan sebuah tombol di panel kendali komputernya.
“Eugene! Kasih tahu yang lainnya, kita masuk fold-cycle sejam lagi!” seru Titania pada salah satu layar holografis di dekatnya.
Sambil mulai melakukan pekerjaan rutin mempersiapkan wahana untuk terbang melebihi kecepatan cahaya, Titania menatap bintang-bintang di kejauhan.
Di sini Titania, si pengembara bintang, gumamnya dalam hati. Wahai Tuhan, lindungilah kami selama perjalanan ini.
****
-Fin?-

Comments