Extra Adventure IV: Senandung


Raymond Thorn mengira dirinya sudah gila ketika mendengar sayup-sayup suara senandung merdu yang bergema di dalam helm powersuit yang dia kenakan. Prajurit dari Union itu awalnya mengabaikan suara misterius itu karena dia dan batalionnya sedang berada di tengah baku tembak dengan lawan-lawannya. Baru setelah pertempurannya reda, dia baru bisa memikirkan soal suara misterius itu, yang lagi-lagi kembali terdengar melalui saluran komunikasi terbuka.
“Zacharia, kamu dengar suara itu?”
Raymond bertanya pada rekannya sambil mengetuk helm penuh baret dan penyok yang dia kenakan.
“Suara apaan?” balas temannya itu bingung. Pria kelahiran Timur Tengah itu kemudian diam sejenak untuk mencoba mencari tahu suara apa yang dimaksud oleh Raymond. Tapi dia tidak mendengar suara apa pun. “Aku tidak dengar apa-apa tuh. Emangnya kayak apa suaranya?”
“Suara senandung,” sahut Raymond. “Sayup-sayup. Tapi aku yakin ini suara nyanyian. Dan ini disiarkan melalui saluran komunikasi terbuka, tanpa enkripsi.”
Meskipun terhalang kaca helm powersuit, tapi Raymond yakin seratus persen kalau teman satu tim tempurnya itu sedang memandangnya dengan tatapan heran ... atau menganggap kalau dia sudah mulai kena gangguan mental akibat berada di medan pertempuran yang tidak kunjung usai ini.
“Apa kamu perlu evakuasi medis?” tanya Zacharia sambil menepuk bahu Raymond. “Aku paham kita sudah berhari-hari terjebak di kota terkutuk ini, dan sudah banyak pertempuran yang kita lalui, jadi ...”
Raymond mendengus kesal dan menepis tangan temannya itu dari bahunya.
“Aku tidak gila!” gerutu pria itu sambil berdiri dan meregangkan tubuhnya, sementara Zacharia terkekeh puas karena sudah membuat temannya itu jengkel.
Sembari mendengus kesal, Raymond pun melompat turun dari reruntuhan rumah tempatnya berjaga saat ini. Begitu mendarat di jalanan, tatapan matanya pun menyapu ke reruntuhan kota tempatnya beristirahat saat ini. Di sekitarnya tampak banyak sekali tentara lain yang juga mengenakan powersuit, serta beberapa robot dan mesin perang seperti Tank Laba-Laba dan kendaraan tempur lainnya. Sama seperti dirinya, semua tentara dan perlengkapan perang itu adalah milik Union, yang saat ini sedang berperang dengan United Asian Nation, atau Persekutuan Negara-Negara Asia, atau yang sering disingkat dengan nama UAN. Persekutuan negara yang dulu menjadi pusat ekonomi di Bumi dan Mars pasca Perang Bulan itu kini berbalik menjadi kekaisaran, atau imperium militer yang melakukan ekspansi besar-besaran hingga mencaplok koloni-koloni baru di orbit Jupiter. Tentu saja itu membuat Union, yang merupakan kumpulan negara super-power tua, menjadi ‘panas’. Meski begitu, Union menahan diri karena tidak ingin mengulang kekacauan yang timbul akibat wabah penyakit mematikan ketika Perang Bulan berkecamuk.
Namun ... persis seperti yang terjadi di masa lalu ... perang baru pun pecah setelah aksi terorisme yang melibatkan beberapa asteroid yang diluncurkan dari Sabuk Asteroid ke arah koloni di Mars dan dua kota di Bumi. Beruntung sistem pertahanan dan pasukan gabungan antara Union dan Mars League of Nation, atau biasa disingkat MLN yang bersiaga di dua planet itu berhasil menggagalkan aksi mengerikan yang nyaris merenggut ratusan ribut, atau bahkan jutaan nyawa itu. Sialnya kemudian beredar kabar bahwa imperium UAN adalah dalang utama di balik peristiwa yang nyaris berpotensi menyebabkan kepunahan massal ketujuh itu.
Dan ... inilah salah satu akibatnya, gumam Raymond dalam hati, selagi dia berjalan menyusuri jalanan kota yang sudah porak-poranda akibat diterjang peluru, laser, dan bom berdaya ledak tinggi. Beberapa kali dia berhenti untuk memberi hormat kepada tentara lain yang berpangkat lebih tinggi, atau sekedar menghindari langkah robot perang yang berpatroli di sekitar kota.
“Suaranya semakin jelas ...”
Raymond bicara pada dirinya sendiri sembari terus mendengarkan suara sayup yang terdengar di helm jubah tempur canggihnya itu. Awalnya, seperti yang disinggung Zacharia tadi, Raymond mengira dirinya mulai kena gangguan jiwa, tapi kini dia semakin yakin kalau suara senandung yang sedang dicarinya ini bukan sebuah khayalan belaka, terlebih karena sekarang suaranya semakin jelas.
Meskipun penasaran, tapi di saat yang sama, Raymond juga mau tidak mau mulai merasa curiga dan takut.
Bisa saja ini perangkap!
Soalnya siapa orang gila yang mau menyanyi di tengah kota yang hancur akibat perang seperti ini?
Itu sebabnya, meskipun sedang berada di zona yang saat ini bisa dibilang aman, Raymond tetap berjalan sambil menenteng senapan serbunya dalam kondisi safety: off, alias siap digunakan kapan pun diperlukan.
“Baiklah, ini dia ... semoga ini bukan hal konyol terakhir yang kulakukan dalam perang ini ...”
Raymond bergumam sendiri sambil bersandar ke tembok reruntuhan rumah di belakangnya. Kalau sumber suara senandung misterius itu memang nyata, maka pemilik suara itu kini sedang berada tidak jauh dari tempat Raymond berada saat ini. Sebab ... kini dia bisa mendengar suara senandung itu dengan jelas, tidak lagi melalui saluran komunikasi terbuka yang ada di helmnya.
Sambil menarik nafas panjang, Raymond lalu berhitung dalam hati.
Oke ... satu ... dua ...
Pada hitungan ketiga, Raymond melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan menodongkan senjata ke arah pemilik suara senandung misterius itu, dan apa yang dilihat prajurit muda itu langsung membuatnya terdiam seketika.
Ternyata pemilik suara senandung lembut yang tertangkap oleh helm canggih Raymond itu berasal dari seorang gadis berambut pirang yang sedang duduk di pinggiran balkon rumah yang sudah setengah hancur. Gadis itu tampaknya belum menyadari kehadiran Raymond dan terus bersenandung sembari menutup matanya. Suara senandung gadis itu terdengar begitu merdu dan jernih. Seolah-olah suaranya itu terbuat dari kaca yang bening dan tanpa noda. Sosoknya yang ramping dan mengenakan pakaian kasual sungguh merupakan pemandangan yang sangat ganjil, terutama mengingat karena gadis itu berada di tengah-tengah reruntuhan sebuah rumah, yang berada di antara reruntuhan kota yang hancur karena pertempuran.
Raymond tertegun beberapa lama dan tanpa sadar dia pun menurunkan moncong senapan elektromagnetiknya, kemudian memberanikan diri untuk menyapa gadis misterius itu.
“Halo~? Siapa kamu? Sedang apa kamu di sini?”
Raymond bertanya sambil mengangkat sebelah tangannya, sementara tangan yang satunya lagi masih bersiaga di pelatuk senapannya, siap untuk menembakkan senjata itu ke arah gadis misterius yang ada di hadapannya itu.
Gadis pirang yang tadi sedang asyik bersenandung itu langsung tersentak kaget dan menghentikan nyanyiannya. Namun alih-alih berlari menjauh atau sembunyi, dia justru memandangi Raymond, yang saat ini sedang dibalut oleh powersuit dan menenteng sepucuk senapan canggih.
“Halo? Siapa kamu?” balas si gadis misterius sambil tersenyum tipis. “Sedang apa kamu di sini?”
Raymond memicingkan matanya. Gadis itu baru saja mengulangi pertanyaan yang tadi dia lontarkan padanya. Awalnya dia ingin kembali bertanya pada gadis misterius itu, tapi Raymond akhirnya memutuskan kalau dia lebih baik memperkenalkan dirinya.
“Namaku Raymond Thorn, Sersan dari Batalion gabungan Union nomor 107,” ujar Raymond, masih sambil mengangkat sebelah tangan dan membiarkan senapan di sebelah tangannya dalam kondisi siap digunakan. “Aku sedang berpatroli ke daerah ini karena mendengar ada suara janggal dari saluran komunikasi terbuka yang kutangkap dengan helmku. Tugasku adalah memastikan kalau sumber suara itu ... tidak berbahaya ...”
Raymond agak ragu ketika mengucapkan dua kata terakhirnya itu. Pasalnya, seorang gadis yang seorang diri duduk di tengah reruntuhan sambil bernyanyi, dan terlihat tidak bersenjata seperti yang ada di hadapannya sekarang ini jelas bukan gadis biasa.
“Ah! Jadi kamu bisa dengar suaraku?” tanya gadis pirang itu terkejut. “Wah! Aku pasti secara tidak sadar menyiarkan nyanyianku melalui saluran komunikasi terbuka ya ... tapi kebetulan sekali ... padahal kukira aku bernyanyi pada frekuensi sempit yang spesifik. Sungguh ini sebuah kebetulan yang menyenangkan~!”
“Maaf ... apa?!”
Secara spontan Raymond langsung bertanya ketika mendengar ucapan si gadis yang terdengar tidak masuk akal itu.
“Hup!”
Tanpa peringatan, gadis pirang yang tadi ada di balkon reruntuhan rumah di lantai dua itu, mendadak melompat dan mendarat dengan anggun di hadapan Raymond. Tiga pasang sayap transparan yang terlihat seperti terbuat dari sutra tampak mengembang dan melayang di balik punggung gadis misterius itu.
Tentu saja sebagai seorang prajurit yang terlatih dan sudah melalui beberapa kali pertempuran mematikan, Raymond secara refleks langsung mengangkat senjatanya dan membidik dengan sistem targetting canggih yang tertanam di helm powersuit-nya. Jantungnya langsung berdetak kencang dan dia pun merasakan tubuhnya memproduksi adrenalin terlalu banyak.
“BERHENTI! JANGAN MENDEKAT LAGI ATAU AKU TERPAKSA UNTUK ...”
Ucapan Raymond berhenti di tengah-tengah karena dia baru saja merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Sekujur tubuh prajurit itu terasa kaku dan tidak bisa digerakkan, seolah-olah dia baru saja dibuat jadi patung. Pada saat yang sama, layar holografis di helm powersuit-nya langsung menampilkan berbagai pesan error dan kerusakan sistem kendali.
Apa-apaan ini?! Raymond menjerit panik dalam hati sembari berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi karena sekujur tubuhnya itu sedang dibalut oleh powersuit, yang melindungi setiap jengkal bagian tubuhnya, dia kini bahkan tidak bisa menggerakkan seujung jari pun.
“Ah! Jangan panik! Aku tidak akan melukaimu. Aku hanya meretas sistem kendali powersuit-mu itu dan mematikan semua aktuator-nya, jadi kamu sekarang tidak bisa bergerak,” ujar gadis pirang misterius itu sambil berjalan santai mengitari Raymond yang kini berdiri mematung dan tidak berdaya. “Tapi tidak permanen kok. Kira-kira lima menit lagi aku akan melepaskan kendaliku, tapi sebelum itu, tolong jangan bilang-bilang ke para Jendral kalau kamu bertemu denganku di sini. Oke?”
Raymond yang hanya bisa mematung, karena leher dan kepalanya juga tidak bisa digerakkan, hanya bisa menatap ngeri tanpa daya ketika gadis pirang misterius itu melenggang pergi sambil bersiul santai.
Dan setelah lima menit, yang terasa bagaikan lima jam bagi Raymond, tubuh prajurit yang berbalut zirah super-canggih itu pun kembali bisa digerakkan. Tanpa basa-basi, dia langsung mengaktifkan pemindai biologis yang ada di powersuit-nya itu untuk mencari di mana keberadaan gadis sekarang. Tapi usahanya sia-sia. Gadis pirang itu kini sudah menghilang secara misterius.
Sambil mematikan pemindainya, Raymond menatap telapak tangannya yang berbalut zirah berbahan super-alloy itu, kemudian menggerak-gerakkan jari-jarinya, seolah ingin memastikan kalau apa pun yang tadi menyebabkan powersuit-nya itu berhenti bekerja dan diam mematung, kini benar-benar sudah tidak ada lagi.
“Yang tadi itu apa?” gumamnya kebingungan.
****
“APA KATAMU?! KAMU ... UHUK! UHUK! HACK!”
Zacharia, yang tengah menyantap makan malamnya mendadak berteriak dan langsung tersedak ketika Raymond menceritakan pengalaman ganjilnya itu. Prajurit Union yang juga sama-sama berpangkat Sersan itu kini buru-buru menenggak bir yang baru saja disodorkan oleh Raymond.
“Jangan keras-keras! Aku tidak mau ini bikin heboh,” ujar Raymond sambil memperhatikan temannya itu menenangkan diri. “Jadi, bagaimana menurutmu?”
Setelah berhasil menelan makanannya, Zacharia langsung merangkul pundak temannya itu dan memaksanya untuk bergeser makin dekat.
“Kamu gila ya?! Kamu beneran tidak tahu yang kamu baru hadapi itu apa?” tanyanya. Raymond pun menggeleng dan sikapnya itu langsung membuat Zacharia mendesah panjang. “Kamu beruntung masih hidup dan bisa cerita begini setelah ketemu dengan sebuah Machina.”
“Oh ... APA?!”
Kali ini giliran Raymond yang berseru kaget, yang langsung dikeplak oleh Zacharia. Untungnya saat ini tidak banyak prajurit yang sedang menyantap makan malam di ruang makan tempatnya dan Zacharia berada, kalau tidak, keduanya pasti sudah dirubungi oleh para prajurit bawahan dan mungkin juga, para atasan yang penasaran dengan cerita Raymond.
“Machina?! Jangan bercanda!” desis Raymond.
“Aku tidak bercanda!” sahut Zacharia sambil memainkan ransum tentaranya. “Yang kamu temui itu namanya Yellow Canary. Konon katanya mereka punya nama asli, tapi itu tidak penting. Pokoknya kode namanya itu. Dan Machina yang satu itu khusus dibuat sebagai cyber warfare, alias mesin perang siber!”   
“Kita bawa Machina ke sini?!” tanya Raymond kaget. “Kok aku tidak pernah tahu!”
Zacharia mengangkat bahunya. “Tidak semua orang diberi tahu soal itu. Toh, Machina kita itu kan termasuk peralatan perang top secret ... dan kebetulan saja aku tahu karena pernah tidak sengaja melihatnya bersama para Jendral dan Mayor Jendral dari pangkalan beberapa waktu lalu.”
Raymond terdiam dan berpikir sejenak. Pasalnya, kalau Union sampai menurunkan Machina ke tempat ini, artinya perang, atau paling tidak, pertempuran yang sedang dihadapi oleh Raymond dan batalionnya sudah memasuki tahapan berikutnya ... yang tentu saja lebih brutal dan berbahaya ...
Bayangan akan pertempuran yang lebih dahsyat dari yang pernah dia lalui sejauh ini langsung membuat Raymond kehilangan selera makan. Dia pun berhenti makan, kemudian berdiri dan berjalan keluar ruang makan, setelah sebelumnya mengembalikan baki makan logamnya ke tempat semula.
Setelah mengenakan powersuit dan mengambil senapannya, Raymond pun berjalan menyusuri kota lagi, dan tentu saja tujuannya hanya satu, yaitu ke tempat di mana dia bertemu dengan sang Machina, Yellow Canary. Sama seperti kemarin, kota yang sudah ditinggalkan warganya itu terkesan suram dan menakutkan, terlebih karena sesekali Raymond melihat sosok-sosok hewan liar yang entah mengapa, segera memasuki reruntuhan kota ini.
Sebenarnya dia sadar kalau tindakannya ini berbahaya dan tidak ada jaminan kalau Machina itu akan kembali ke tempat yang sama, tapi biar begitu, Raymond tetap ingin bertemu lagi dengan senjata mematikan itu. Ada sesuatu di diri Yellow Canary itu yang membuat Raymond penasaran.
Di luar dugaannya, ketika Raymond berbelok ke arah reruntuhan rumah yang kemarin, sosok Yellow Canary ternyata sudah menunggunya. Senjata maut berwujud seorang gadis remaja itu terlihat duduk bersila sambil nyengir lebar di balkon tempatnya kemarin.
“Nyalimu besar juga ya,” ujar Yellow Canary sambil nyengir lebar ke arah Raymond. “Atau mungkin kamu sudah gila?”
“Mungkin dua-duanya,” balas Raymond sambil tersenyum di balik helm powersuit-nya. “Apa kamu keberatan aku ke sini lagi?”
Yellow Canary menggelengkan kepalanya, lalu menepuk lantai kosong di sampingnya.
“Sini. Naik ke sini,” perintahnya. “Tangga rumahnya sudah hancur, jadi kamu harus lompat ke atas sini. Kurasa dengan powersuit-mu, itu tidak masalah kan?”
Tanpa menjawab, Raymond melompat tinggi ke udara, tanpa ancang-ancang sama sekali, kemudian mendarat di depan sang Machina.
“Ooh~~!” seru Yellow Canary kagum. “Itu powersuit Union seri terbaru ya? Kemarin tidak sempat lihat dengan jelas karena aku buru-buru kabur sebelum kamu mengadu ke atasanmu. Tapi ternyata kamu tidak bilang apa-apa ke para Jendral ya?”
Raymond mengangkat bahunya.
“Begitulah. Aku mengikuti ucapanmu,” ujarnya. “Lagi pula, aku bisa kena masalah kalau atasanku tahu aku bertemu dengan senjata top secret seperti mu.”
“Yep! Katanya sih aku ini senjata rahasia,” sahut Yellow Canary sambil meluruskan kakinya dan menatap ke arah langit yang cerah dan bertabur bintang. “Malam yang cerah. Sama sekali tidak terasa kalau ini di tengah medan perang.”
Walau masih ragu, Raymond akhirnya memberanikan diri untuk duduk di samping sang Machina. Dia pun ikut menatap ke langit dan mengakui kalau langit malam ini memang indah. Nyaris tidak ada awan di langit, dan karena ini masih bulan baru, tidak ada cahaya bulan yang menenggelamkan cahaya bintang-bintang.
“Indah sekali,” gumam Raymond.
Yellow Canary mengangguk mengiyakan, kemudian dia pun mulai bersenandung lagi.
Berbeda dengan senandungnya kemarin, kali ini sepertinya sang Machina tidak bernyanyi via saluran komunikasi, melainkan dengan suaranya sendiri. Sama seperti yang didengar Raymond kemarin, suara Machina itu terdengar merdu dan jernih, tapi karena kali ini dia tidak menggunakan frekuensi komunikasi nirkabel, Raymond nyaris mengira kalau udara di sekitarnya ikut bergetar.
Awalnya Raymond tidak mengenal senandung yang sedang dinyanyikan Yellow Canary, tapi kemudian dia pun ingat pernah mendengar lagu itu. Perlahan-lahan, prajurit muda itu pun ikut bersenandung. Meskipun dia sudah tidak ingat lagi lirik lagu itu, tapi sepertinya nada dan melodinya masih melekat dalam ingatan Raymond.
Yellow Canary, yang tidak menyangka kalau prajurit di sampingnya itu akan ikut bernyanyi, sempat berhenti sejenak, tapi dia pun segera melanjutkan nyanyiannya dan menyesuaikan nadanya dengan nada suara Raymond. Pada mulanya, nada kedua penyanyi ganjil itu terdengar saling bertabrakan dan tidak berirama, namun lama kelamaan, suara keduanya melebur jadi satu kesatuan yang utuh.
Suara senandung keduanya bergema perlahan di reruntuhan bangunan di sekeliling Raymond dan Yellow Canary. Entah karena penasaran atau karena alasan lain, beberapa ekor hewan liar yang berkeliaran di reruntuhan kota mulai menampakkan diri dan mereka pun seolah menikmati konser dadakan yang tahu-tahu digelar di kota yang tadinya dipenuhi kematian dan kehancuran itu.
Raymond tidak tahu berapa lama dia dan Yellow Canary bersenandung bersama. Mungkin hanya beberapa menit, tapi bisa juga berjam-jam. Karena saat bernyanyi, Raymond seolah kehilangan kemampuan untuk memperkirakan waktu. Dia benar-benar hanyut dan larut dalam melodi nostalgia yang dinyanyikan oleh sang Machina. Mesin yang seharusnya merupakan maestro kematian itu, malam ini terdengar bagaikan seorang diva musik yang sudah lama terlupakan. Suara senandung Yellow Canary memang tedengar lembut dan jernih, tapi Raymond bisa merasakan ada energi asing di balik suara merdu itu. Tapi untuk saat ini, dia tidak terlalu mempedulikan beberapa peringatan yang sesekali muncul di layar holografis helmnya.
Semakin lama, Raymond semakin larut dalam senandung yang dilantunkan olehnya, dan oleh sang Machina. Awalnya memang mereka menyanyikan sebuah melodi nostalgia dari masa lalu, tapi kemudian senandung keduanya pun berkembang menjadi sesuatu yang baru. Sesuatu yang mencerminkan kesedihan dan kemarahan akan perang yang terus berkecamuk ini, serta harapan akan segera datangnya sebuah perdamaian. Anehnya, meskipun keduanya seharusnya tidak saling tahu nada apa yang akan dilontarkan, namun entah bagaimana caranya, keduanya bersenandung dalam harmoni yang nyaris sempurna.   
Kalau saja malam ini bisa bertahan untuk selamanya ... Raymond bergumam dalam hati sembari menarik nafas panjang untuk mengimbangi senandung Yellow Canary yang tidak terputus sama sekali itu. Tapi dia tahu, itu tidak mungkin terjadi ... setidaknya tidak untuk beberapa minggu, bulan, atau tahun ke depan.
Tidak sampai perang konyol ini benar-benar berhenti.
Namun untuk malam ini, Raymond, dan juga sang Machina, bisa melupakan sejenak tragedi dan horor yang akan mereka lalui esok hari, dan hari-hari berikutnya juga. Dan itu sudah cukup bagi keduanya.
****
“Itu tadi luar biasa~!”
Yellow Canary berseru gembira sembari menjabat tangan Raymond, yang sepertinya masih belum sepenuhnya tersadar dari kondisi trans-nya.
“Eh ... iya ... tadi itu ...” Raymond berhenti sejenak karena dia mendadak seperti kehabisan kata-kata. “... menakjubkan. Aku bahkan tidak tahu kalau aku bisa bernyanyi sebagus itu ...”
“Hehehe ... semua orang bisa kok! Asal tahu cara mengeluarkan potensi mereka saja,” ujar sang Machina, masih sambil nyengir lebar. “Tapi ini pertama kalinya ada manusia yang mau bernyanyi bersamaku. Aku benar-benar senang sekali!”
Raymond pun ikut tersenyum dari balik helm tebalnya. Ekspresi wajah Yellow Canary yang terlihat begitu berseri-seri membuatnya ikut merasa gembira. Terlebih karena kini dia merasa kalau beban berat dan pikiran-pikiran gelap yang selama ini menghantui dan menggelayuti benaknya pun hilang begitu saja. Sekarang Raymond merasa kalau dia siap untuk kembali ke medan pertempuran lagi. Tapi di saat yang sama, prajurit Union itu pun mulai dihinggapi pertanyaan yang sebenarnya sudah beberapa kali timbul dan tenggelam dalam pikirannya.
“Sebenarnya aku ini berperang untuk apa?”
Tanpa sadar, dan sebelum dia bisa mencegahnya, Raymond pun mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya saat ini.
“Untuk dirimu sendiri~!” sahut Yellow Canary tanpa ragu dan sambil berkacak pinggang.
“Hah?!” balas Raymond kaget. Dia tidak mengira kalau Machina berwujud seorang gadis bertubuh ramping di hadapannya itu akan langsung menjawab pertanyaannya dengan spontan. “Apa maksudmu?”
“Iya. Kamu berperang untuk dirimu sendiri,” ulang Yellow Canary sambil menekan dada Raymond dengan telunjuknya. “Omong kosong kalau ada yang bilang dia berperang demi orang lain, demi negara, demi ideologi, atau demi apa lagi yang lainnya. Karena ujung-ujungnya ini semua dilakukan demi meraih kebebasan untuk melakukan apa yang paling dia suka. Apa pun itu!”
Yellow Canary berhenti sejenak, kemudian menepuk dadanya.
“Kalau aku, aku berperang agar aku bisa bebas bernyanyi seperti tadi!” ujar Machina itu dengan tegas. “Tidak ada alasan lainnya!”
Ucapan Yellow Canary membuat Raymond tertegun. Sekilas apa yang diucapkan oleh Machina itu memang terdengar tidak masuk akal, tapi kalau dicermati ... mungkin saja dia benar. Tidak peduli semulia apa pun, atau seburuk apa pun alasan seseorang untuk terjun ke medang perang, semuanya kembali ke dirinya sendiri. Orang yang berperang demi ideologi misalnya, ujung-ujungnya itu dia lakukan demi menjaga apa yang dia percayai dan agar dia bisa menjalankan atau mengamalkan ideologinya itu dengan bebas, tanpa ada yang mencegah atau melarangnya. Atau perang demi membela negaranya ... itu juga sama saja ... pada akhirnya itu dilakukan agar kehidupan sang prajurit itu dapat hidup dengan tenang dan bahagia, bebas dari bahaya yang mungkin dibawa oleh mereka yang ingin menguasai negerinya.
Menyadari hal itu langsung membuat Raymond berpikir ulang akan alasan kenapa dia terjun ke medan perang ini untuk pertama kalinya ... dan dia terkejut ketika menyadari kalau, seperti kata Yellow Canary tadi, dia pun berperang hanya demi dirinya sendiri ... yaitu agar dia bisa melihat wajah bahagia orang-orang yang dia cintai. Memang itu terdengar seperti tujuan mulia untuk orang lain, tapi sebenarnya itu juga hanya untuk kepuasan diri sendiri.
“Nah, benar kan kataku? Kamu pun begitu.”
Yellow Canary bicara lagi, seolah dia bisa membaca pikiran Raymond ... atau jangan-jangan dia memang bisa melakukan itu? Biar bagaimanapun, gadis berambut pirang yang saat ini berdiri di depan Raymond adalah sebuah Machina, sebuah mesin perang tercanggih dengan kemampuan khusus, yang terkadang lebih mirip seperti hasil sebuah sihir, dibandingkan hasil dari teknologi modern yang super-canggih.
Tapi untuk saat ini, Machina di hadapan Raymond itu tidak ubahnya seperti seorang gadis remaja yang terlihat puas karena sudah berhasil mengalahkan lawan mainnya. Seringai nakal yang berkembang di wajahnya, kemudian sikapnya yang terkesan kekanakan, benar-benar tidak pas dengan kenyataan bahwa dia adalah sebuah senjata pemusnah massal.
Raymond pun tiba-tiba tertawa lepas, dan perubahan sikapnya itu membuat Yellow Canary langsung kebingungan.
“Loh? Loh? Loh? Apanya yang lucu?” tanya Machina itu kebingungan. “Hei!”
“Tidak ... aku hanya menertawakan diriku sendiri,” jawab Raymond. Dia tidak mau mengakui kalau dia barusan menertawakan sikap Yellow Canary. “Kamu benar. Aku juga berperang hanya demi mewujudkan keinginanku sendiri. Terima kasih karena sudah mengingatkan itu.”
Yellow Canary kembali tersenyum lebar.
“Sama-sama~!” ujarnya puas. Dia lalu menoleh ke atas sejenak, kemudian kembali menatap lurus ke arah Raymond. “Nah. Sudah waktunya aku pergi. Jemputanku sudah datang.”
Sebelum Raymond sempat bertanya, sinar-sinar lampu sorot mendadak membanjiri reruntuhan rumah tempatnya dan Yellow Canary berada, dan entah dari mana asalnya, sebuah pesawat siluman pengangkut pasukan melayang turun dari langit, sementara beberapa prajurit dengan powersuit khas pasukan elit dan robot-robot perang canggih berjalan memasuki area sekitar rumah.
“Sudah waktunya.”
Salah seorang prajurit elit yang berdiri paling depan memberi isyarat hormat pada Yellow Canary, dan Machina itu pun membalas hormatnya. Mesin perang berwujud gadis pirang itu lalu berbalik ke arah Raymond, yang masih berdiri terpaku di tempat.
“Terima kasih kamu mau menemaniku malam ini. Aku sangat gembira bisa bernyanyi lepas seperti tadi. Sudah lama sekali aku ingin melakukan itu, dan kamu sudah membantuku mewujudkan keinginanku itu,” ujar Yellow Canary sambil meraih tangan Raymond. “Tapi ini adalah salam perpisahan ... dan kita mungkin tidak akan pernah bertemu kembali. Sungguh sangat disayangkan sebenarnya ...”
Raymond hanya terdiam. Dari ucapannya, Raymond bisa menduga kalau Machina itu akan segera dikirim ke garis depan dan tentu saja akan menghadapi pertempuran brutal yang sama sekali tidak bisa dibayangkan oleh sersan rendahan seperti dirinya. Kalau sudah begitu, kemungkinan untuk kembali dari garis depan hidup-hidup sangat kecil sekali, atau bahkan bisa dibilang, nyaris tidak mungkin. Raymond tahu apa pun yang dia katakan atau lakukan, tidak ada yang bisa menahan sang Machina itu untuk tidak pergi ke medan perang lagi. Biar bagaimanapun, menurunkan mesin perang mematikan seperti Yellow Canary itu adalah salah satu cara untuk mempersingkat pertempuran ... meskipun itu berarti akan jatuh banyak korban akibat kehadirannya di medan perang.
“Aku tidak bisa menahanmu pergi. Tapi kuharap kamu salah,” ujar Raymond sambil menekan tombol di belakang helmnya dan membuka penutup wajahnya agar Yellow Canary bisa melihat ekspresinya. “Kuharap kita bisa bertemu lagi lain waktu dan aku akan menemanimu bernyanyi sampai puas.”
Yellow Canary tersenyum lebar sembari mengembangkan sayap-sayap transparannya. Machina itu pun melayang naik perlahan-lahan, sementara pesawat pengangkut pasukan, yang melayang nyaris tanpa suara di atas, membukakan pintu kargo untuknya. Namun sebelum pintu kargonya tertutup dan sosok Yellow Canary menghilang dari pandangannya, Raymond berseru nyaring, meskipun dia tidak yakin kalau suaranya akan didengar oleh Machina itu.
“Ngomong-ngomong, kudengar kamu punya nama asli selain Yellow Canary! Boleh kutahu siapa namamu?” seru Raymond.
Sejenak tidak ada jawaban, namun kemudian prajurit Union itu pun mendengar suara dari saluran komunikasi terbuka di helmnya.
“Amarilla. Namaku Amarilla, sang Yellow Canary.”
****
Sesuai perkataan Amarilla waktu itu, Raymond dan sang Machina tidak pernah bertemu kembali untuk ketiga kalinya. Perang yang semakin memanas membuat keduanya selalu aktif di medan pertempuran, hingga pada puncaknya, sang Machina legendaris, Blue Hound, menghancurkan setengah dari bulan dan mengakibatkan kekacauan besar di Bumi dan koloni-koloni di sekitarnya. Tidak lama setelah bencana mengerikan itu terjadi, perang utama pun berakhir, meskipun pertempuran kecil-kecilan masih berlanjut secara sporadis. Namun panggung utama perang, yang kemudian disebut sebagai Perang Bulan Kedua itu, kini telah usai.
Begitu pula karier militer Raymond.
Sejak terluka parah dan kehilangan kedua kakinya dalam sebuah pertempuran, dia pun terpaksa mundur dari garis depan, kemudian bekerja sebagai sukarelawan medis yang bertugas merawat orang-orang yang menderita akibat perang yang pernah dia lalui. Sementara itu, Amarilla, sang Yellow Canary, dikabarkan sudah lama gugur di garis depan setelah sepasukan Guardia yang dipimpin oleh sang Iblis Putih Dari Timur, Ryouta, menyapu bersih garis pertahanan terdepan milik Union di teater Asia Tengah ini.
Sayangnya Amarilla benar waktu itu ... kita tidak akan pernah bertemu lagi, gumam Raymond dalam hati.
Pertemuan Raymond dengan Machina berwujud gadis berambut pirang waktu itu memang amat sangat singkat, tapi benar-benar sangat membekas di diri mantan prajurit Union itu. Senandung yang mereka lantunkan waktu itu masih terngiang-ngiang dengan sangat jelas di dalam benak Raymond, dan dia pun selalu meluangkan waktu untuk melantunkan senandung nostalgia itu, seperti saat ini misalnya.
Raymond menarik nafas panjang setelah mengakhiri senandungnya, sementara para penontonnya, yang terdiri dari pasien dan petugas medis yang sedang tidak bertugas jaga, masih tampak terpukau dan terhipnotis oleh melodi unik yang baru saja dilantunkan mantan prajurit itu. Baru setelah beberapa detik, para penonton yang berkumpul di bawah tenda darurat itu mulai bertepuk tangan dan berseru kagum.
“Luar biasa~! Aku baru pertama kali mendengar lantunan nada seperti itu!” puji salah seorang petugas medis yang bekerja bersama Raymond. “Rasanya seperti merasuk langsung ke dalam jiwaku. Sungguh menakjubkan.”
“Terima kasih,” balas Raymond sambil meluruskan kedua kaki robotiknya.  
“Dari mana kamu belajar menyanyi seperti itu?” tanya temannya itu. “Itu ... kalau kamu tidak keberatan ...”
 Raymond tersenyum lebar ketika mendengar pertanyaan itu.
“Sama sekali tidak,” jawab veteran perang itu sambil kembali duduk, masih sembari tersenyum lebar. “Biar kuceritakan saat-saat aku bertemu dengan sebuah Machina bernama Amarilla, sang Yellow Canary ...”
****

~FIN?~

red_rackham 2019

Comments

Anonymous said…
Saya kira ini gak dilanjutkan lagi, semangat ya kak.