Everyday Adventure XXVI: Past and Future

Pagi itu suasana kota Bravaga terlihat begitu mencekam.

Kabut tebal yang sesekali berpendar keperakan tampak bergelung menyelimuti seluruh kota. Hanya beberapa bangunan tertinggi saja yang terlihat mencuat dari balik kabut yang menggantung rendah di kota para robot itu. Beberapa robot terlihat panik, sementara yang lainnya tampak bergerak terburu-buru di antara kabut yang menghalangi pandangan mereka itu. Seruan dan percakapan bernada panik pun juga terdengar di seluruh penjuru kota.

Sekilas memang kepanikan warga Bravaga itu terlihat atau terdengar berlebihan.

Namun reaksi warga kota itu sebenarnya wajar saja ... pasalnya kabut yang tengah menyelimuti kota para robot itu tidak lain dan tidak bukan adalah Kabut Elektrik. Kabut misterius yang muncul tidak lama setelah peristiwa Catastrophy berlangsung itu merupakan sebuah momok menakutkan bagi semua robot yang tersisa di Bumi. Terlebih karena kabut itu bukan sekedar kabut biasa, melainkan sebuah anomali yang mengganggu kinerja seluruh alat elektronik, termasuk sistem-sistem penting di tubuh sebagian besar robot. Ditambah lagi, konon kabut itu juga dapat menyebabkan kekacauan ruang-waktu di area tempatnya muncul.

Itu sebabnya semua warga Bravaga saat ini sedang waspada dan bersiaga penuh.

Terutama karena ini adalah pertama kalinya Kabut Elektrik turun ke tengah-tengah kota Bravaga. Sebelumnya, kabut itu hanya muncul di reruntuhan kota kuno manusia yang tersisa di sekitar Bravaga, dan belum pernah sampai masuk ke dalam kota. Tapi entah apa yang berubah saat ini, yang jelas, kabut menakutkan itu kini telah menyerbu masuk dan menyelimuti seluruh kota Bravaga.

Mengingat efek dari Kabut Elektrik tidak bisa diprediksi, semua robot yang tinggal di kota Bravaga kini tengah bersiap untuk menghadapi berbagai macam kemungkinan terburuk. Semua robot yang merupakan bekas mesin perang, dan yang memiliki kemampuan tempur, kini terlihat berpatroli menyusuri sudut-sudut kota Bravaga untuk memastikan semuanya aman.

Begitu pula dengan Ryouta, yang merupakan mantan Guardia, salah satu jenis mesin perang terkuat yang pernah bertempur dalam Perang Bulan Kedua. Android bertubuh besar dan bermata satu itu terlihat menyusuri lorong-lorong sempit di tengah kota Bravaga yang sedang diselimuti kabut tebal itu. Seluruh sensor sensitif di tubuhnya kini dalam kondisi aktif dan siap untuk mendeteksi tanda bahaya sekecil apa pun. Tapi berhubung Kabut Elektrik juga mengakibatkan gangguan elektromagnetik, sensor-sensor canggih yang dimiliki Ryouta itu kini tidak benar-benar berfungsi sempurna. Dan itu membuatnya tegang karena dia tidak tahu kapan ada bahaya yang tiba-tiba mengancam dirinya ... atau warga Bravaga lainnya.

Ini benar-benar tidak bagus ... gumam Ryouta sambil memandang ke sekelilingnya untuk memastikan kalau situasinya masih aman terkendali. Sejauh ini sih tidak ada insiden yang berarti. Tapi ini Kabut Elektrik ... tidak ada yang tahu apa yang bakal terjadi sekarang ... dan sialnya bahkan sensor-sensorku tidak berguna di tengah kabut ini ...

Untuk ke sekian kalinya Ryouta mengamati situasi di sekitarnya. Sayangnya kabut tebal yang sesekali berpendar keperakan itu benar-benar menghalangi pandangan dan sensornya, sehingga dia tidak bisa benar-benar memastikan kalau dia tidak melewatkan potensi bahaya apa pun di sekelilingnya. Arsitektur kota Bravaga, yang memang dibangun seenaknya tanpa perencanaan yang jelas dan lebih mirip labirin daripada sebuah kota, membuat usaha Ryouta mengamankan kota para robot itu juga jadi semakin sulit.

< ... krssssk ... Ryou ... tsssk ... masuk ... di mana ka ... krrssssk ... >

Tiba-tiba Ryouta mendengar namanya disebut dalam jaringan komunikasi nirkabelnya. Meskipun penuh distorsi dan noise, tapi Ryouta langsung mengenali suara yang terdengar dari jaringan komunikasi nirkabelnya itu.

Pemilik suara itu tidak lain adalah Maria.

Meskipun sudah dilarang, tapi gynoid itu tetap bersikeras untuk ikut berpatroli mengamankan kota bersama Buggy. Bersama beberapa relawan robot lain, mereka ikut berpatroli dari langit atau dari bangunan-bangunan tinggi kota Bravaga yang tidak terjangkau oleh Kabut Elektrik.

<Suaramu tidak jelas, Maria. Coba ulangi lagi!>

Ryouta membalas panggilan Maria sambil berusaha memperkuat sinyal komunikasinya. Sayangnya usahanya sia-sia saja karena gangguan sinyal yang ditimbulkan Kabut Elektrik masih terlalu kuat. Selama kabut misterius ini tidak menipis atau hilang, komunikasi nirkabel dengan cara apa pun tidak akan berjalan mulus sama sekali.  

<... Kakek Tesla bilang kalau ... krrssssssssssk ... nara Memori dan ... krrrrk ... dia .... krrssskk ... krrrrkk .... sssrrrkk ... >

Setelah itu tiba-tiba saja Ryouta kehilangan sinyal komunikasi sama sekali. Dia beberapa kali mencoba menghubungi Maria melalui berbagai frekuensi dan panjang gelombang, tapi usahanya sia-sia. Kabut Elektrik di sekitarnya seolah baru saja menelan semua sinyal elektromagnetik yang digunakan Ryouta untuk berkomunikasi. Sehingga usahanya untuk mencoba menghubungi Maria, Buggy, atau robot lain yang dia kenal, sama sekali tidak membuahkan hasil.

Tapi walau terputus-putus dan tidak jelas, setidaknya tadi Ryouta sempat menangkap sepotong informasi soal Kakek Tesla dan Menara Memori. Ryouta menduga kalau entah Maria, Kakek Tesla, atau keduanya, ingin bertemu dengannya di Menara Memori yang berdiri tidak jauh dari Central Tower. Tapi sayangnya karena sinyal komunikasi yang sangat buruk, dia tidak bisa menangkap seluruh perkataan Maria barusan. Berhubung Ryouta kini tidak lagi bisa menghubungi Maria, atau siapa pun melalui saluran komunikasi mana pun, dia tidak punya pilihan selain mencoba pergi ke Menara Memori yang terletak di sisi lain kota dari tempatnya berada saat ini.

Selama beberapa saat Ryouta memandangi kabut tebal yang menghalangi pandangannya, kemudian menghela nafas panjang. Meskipun dia sudah hidup di kota Bravaga ini selama beberapa ratus tahun, tapi tanpa panduan visual atau sistem navigasi yang jelas, bahkan Ryouta pun bisa tersesat di tengah kota para robot yang tata kotanya mirip seperti sebuah labirin itu.

“Yah ... diam di sini juga tidak ada gunanya ... lebih baik aku jalan sekarang ...”

Ryouta sekali lagi menghela nafas panjang dan mulai berjalan menembus Kabut Elektrik dan menyusuri kota Bravaga. Dan tentu saja dia berharap dia tidak tersesat di tengah kota para tempat tinggalnya itu.

****

Ryouta mendadak membuka matanya.

Android bertubuh besar itu langsung kebingungan karena mendapati dirinya tengah berbaring di sebuah bangunan luas yang lebih mirip seperti gudang barang rongsokan. Berbagai macam suku cadang, mesin-mesin aneh, dan benda-benda ganjil terlihat teronggok dan tertumpuk-tumpuk di berbagai sudut gudang. Ryouta lalu menyadari kalau pelat pelindung di dadanya telah terbuka dan menampakkan komponen dalam tubuhnya, termasuk senjata andalan yang tersembunyi di dalam sana. Kabel-kabel aneh terlihat telah tersambung di berbagai komponen di dalam tubuhnya, dan kabel-kabel itu semua mengarah ke berbagai alat-alat canggih yang sedang menyala di sekitar dipan tempatnya berbaring.

“Di mana ini?” tanya Ryouta sambil mengaktifkan sistem diagnosa di dalam tubuhnya untuk memastikan tidak ada yang berbuat macam-macam dan mengacaukan sistem, atau komponen elektronik ataupun mekanik dalam tubuhnya. Android bekas mesin perang itu pun menarik nafas lega saat sistem diagnostiknya tidak menunjukkan adanya anomali ... kecuali fakta bahwa dia sama sekali tidak ingat kapan dan di mana dia sepertinya sempat tidak sadarkan diri tadi.

“Oh. Kamu sudah bangun?”

Ryouta langsung berbalik ke arah datangnya suara dan terbelalak lebar ketika mendapati seorang wanita muda tengah melangkah santai ke arahnya. Wanita itu tampak ditemani oleh android ramping dengan tubuh terbalut lapisan kain sintetis berwarna hitam dan oranye yang sedang memanggul seperangkat suku cadang robot di pundaknya.

“Airi?” ujar Ryouta spontan.

Wanita muda langsung tersenyum ke arah Ryouta.

“Hee? Kamu ternyata tahu namaku ya?” ujar Airi. Dia lalu menoleh ke arah android yang datang bersama dengannya. “Ah, yang itu tolong taruh sana saja ya, Baron.”

Ryouta langsung menoleh ke arah Baron, dan android itu pun balas menatap ke arahnya selama beberapa sebelum melanjutkan pekerjaannya. Sekilas Ryouta seperti mengenal siapa sosok Baron, terlepas dari fakta kalau dia sudah sering melihat sosoknya dari memori Mother atau informasi yang tersedia di Central Tower.

Tapi yang kali ini berbeda.

Bertemu langsung dengan android bernama Baron itu seolah menggelitik memori kuno yang ada di dalam cyberbrain Ryouta. Sayangnya, entah mengapa, dia tidak bisa menggali ingatan itu dari dalam tumpukan memori yang tersimpan dalam otak elektroniknya.

“Ah, maaf kalau aku tidak sopan karena sudah mencoba membongkar tubuhmu.” Airi kembali bicara sembari memilah-milah barang-barang yang dibawa Baron. “Soalnya kami menemukanmu terbaring tidak sadarkan diri di dekat bengkel ini. Kupikir ada yang rusak dalam tubuhmu karena dari luar, kau terlihat baik-baik saja. Makanya aku tadi sempat berusaha mencoba memeriksa isi tubuhmu. Tapi kalau melihat kondisimu sekarang, sepertinya tidak ada masalah ya?”

Ryouta tidak menanggapi perkataan Airi dan kembali terdiam.

Dia berusaha memanggil ingatan terakhir dari rekaman memori di cyberbrain-nya, tapi tidak ada apa pun di sana. Yang dia ingat hanya dia sedang berjalan menyusuri Bravaga di tengah Kabut Elektrik, ketika seluruh sistemnya mendadak mati begitu saja. Untuk ke sekian kalinya, dia kembali mengamati sekelilingnya dan memastikan ini bukan ilusi, hologram, atau sebuah dunia virtual.

Sensor-sensor canggih di tubuh mantan Guardia itu kembali memastikan kalau semua ini nyata. Tapi semua data yang diberikan sensor-sensor sensitif milik Ryouta itu menunjukkan kalau ini semua benar-benar terjadi.

Wanita di hadapannya itu memang benar-benar Airi, dan android di sampingnya itu adalah Baron. Dua sosok yang dianggap sebagai pionir dan penyelamat bagi semua warga di kota Bravaga. Dan kalau kedua sosok itu memang benar-benar sosok Airi dan Baron yang sesungguhnya, Ryouta pun menduga kalau Kabut Elektrik, entah bagaimana caranya, telah menyebabkan dia terlempar kembali ke masa lalu ... ke masa di mana Airi masih hidup ... beberapa abad yang lalu.

“Terima kasih sudah menolongku,” ujar Ryouta sembari mulai mencabuti kabel-kabel yang tersambung ke tubuhnya, kemudian menutup kembali pelat-pelat pelindung di dadanya.

“Sama-sama ... toh aku tidak melakukan apa-apa,” balas Airi. “Ngomong-ngomong ... kau bukan dari sini ya? Atau lebih tepatnya ... bukan dari era ini.”

Ryouta terbelalak kaget, tapi dia segera berusaha mengendalikan dirinya. Kalau ini memang benar bengkel Airi di masa lalu, dia harus benar-benar berhati-hati agar dia tidak mengubah masa depan.

“Aku dibuat pada masa Perang Bulan kedua, sebelum Catastrophy,” ucap Ryouta lagi. “Dan mungkin kau sadar kalau aku ini ... sebenarnya adalah mesin perang. Bekas mesin perang, lebih tepatnya.”

Airi tersenyum lebar mendengar ucapan Ryouta.

“Oh. Aku tahu soal itu. Tapi bukan itu maksudku,” ujarnya lagi. “Kau itu robot yang datang dari masa depan kan?”

Kali ini Ryouta tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya.

“Bagaimana kau bisa ...”

“... tahu? Tentu saja aku tahu,” potong Airi sambil berjalan menghampiri Ryouta. “Beberapa teknologi yang ada di dalam tubuhmu itu jauh lebih canggih dari apa pun yang pernah kulihat sebelumnya. Lagi pula ... ini bukan pertama kalinya ada robot dari masa depan terlempar ke bengkelku gara-gara Kabut Elektrik seperti sekarang ini.”

Dia lalu menepuk pundak Ryouta.

“Dan kalau aku tidak salah ingat ...” Airi terdiam sejenak dan berpikir, sebelum akhirnya kembali bicara lagi. “ ... android besar, bermata satu, bekas Guardia, pakai jaket bomber hijau, dan punya Anti Machina Weapon di dalam dadanya ... kau pasti Ryouta kan?”

Untuk kedua kalinya, Ryouta terkejut bukan main. Dia tidak tahu apakah Airi sempat mengakses memori atau data lain yang tersimpan dalam cyberbrain-nya ketika dia tidak sadarkan diri. Tapi entah mengapa, Ryouta punya firasat kalau Airi mengenal dirinya dari orang lain.

“Kenapa kau bisa ...”

“... tahu namamu?” potong Airi lagi, sambil nyengir lebar. “Itu karena ada gynoid bernama Maria yang pernah mampir ke sini dan bercerita panjang lebar tentangmu dan kondisi di zamanmu.”

Kali ini mulut Ryouta pun langsung terbuka lebar ketika mendengar nama itu diucapkan oleh Airi.

“Melihat reaksimu, sepertinya kalian berdua kenal dekat ya?” tanya Airi sambil mengambil, kemudian menyerahkan jaket bomber favorit milik Ryouta. “Soalnya dia tidak berhenti bercerita banyak pengalamannya bersamamu, dan itu menarik sekali.”

“Tapi Maria tidak pernah menceritakan itu padaku,” balas Ryouta sembari mengambil jaket miliknya dari tangan Airi, dan segera mengenakannya. “Padahal biasanya dia selalu menceritakan semua pengalaman atau kegiatan sehari-harinya padaku.”

Airi mengangkat bahunya, kemudian mengangkat dua jarinya.

“Kemungkinan pertama ... dia ingin merahasiakan pengalamannya itu, entah apa alasannya ...” ujarnya. “Dan yang kedua ... peristiwa itu belum terjadi ... setidaknya dari sudut pandang Maria yang kau kenal, dia belum datang ke sini. Yah, kemungkinan kedua memang terdengar tidak masuk akal sih. Tapi kalau mengingat apa kabut yang lagi ada di luar sana itu, kurasa yang seperti itu bisa saja terjadi.”

Ryouta terdiam sejenak dan langsung paham apa maksud Airi.

Dia tahu kalau Kabut Elektrik bisa mengakibatkan kekacauan ruang-waktu. Dan berhubung perkara perjalanan menembus waktu seperti yang dialaminya sekarang itu cukup rumit dan membingungkan. Bisa jadi, seperti kata Airi barusan, Maria yang dia kenal saat ini belum mengalami peristiwa perjalanan waktu ke masa lalu dan bertemu dengan Airi. Tapi itu artinya, entah kapan di masa depan, untuk ke sekian kalinya Maria akan tersesat di Kabut Elektrik kemudian terlempar balik jauh ke masa lalu, dan akhirnya bertemu langsung dengan Airi.

“Sayangnya kau tidak bisa berekspresi ya, jadi aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikiranmu,” ujar Airi lagi. “Tapi kurasa kau sudah paham apa maksudku kan?”

Ryouta pun mengangguk mengiyakan.

“Apa ini buruk?” tanyanya.

“Kenapa begitu?” sahut Airi sambil membereskan kabel-kabel yang tadi terhubung ke tubuh Ryouta. “Memangnya apa yang salah kalau kau bertemu denganku?”

“Yah ... dari banyak cerita karangan manusia yang kutahu, perjalanan ke masa lalu hampir selalu membuat masalah besar yang tidak bisa diduga akhirnya ...” Ryouta berhenti sejenak dan menatap ke arah Airi dan Baron secara bergantian. “Aku khawatir kehadiranku di sini menyebabkan masalah besar di masa depan ... di zaman tempatku berasal ...”

“Khawatir soal Butterfly effect? Atau Paradoks?” ujar Airi lagi sambil tersenyum lebar. “Ah. Tidak usah dipikirkan. Apa yang terjadi ... ya ... terjadilah. Lagi pula sudah terlambat untuk khawatir soal itu sekarang. Toh kau sudah ada di sini. Sudah bertemu dan sudah berinteraksi banyak denganku juga kan? Gynoid yang bernama Maria juga begitu. Jadi kalau memang yang terjadi sekarang ini bakal bikin kacau masa depan ... yah ... seharusnya efeknya sudah kelihatan kan? Toh kau ini juga berasal dari masa depan.”

Ryouta mengangguk pelan.

Seperti kata Airi, efek perubahan kecil di masa lalu bisa jadi berakibat fatal dan mengubah, atau mengacaukan masa depan. Tapi tidak ada yang benar-benar tahu pasti apa yang akan terjadi bila sosok dari masa depan mengunjungi masa lalu. Sebab, bahkan di zaman keemasan teknologi manusia pun, tidak ada yang benar-benar bisa membuktikan pengaruh perjalanan lintas waktu ... sebab perjalanan semacam itu adalah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan ... setidaknya sampai Kabut Elektrik muncul setelah Catastrophy melanda dunia.

“Jadi ... kalau dari yang kudengar dari Maria, dan yang kulihat sendiri ... kau ini benar-benar bekas Guardia yang dirombak ulang ya?”

Airi kembali bicara untuk memecah keheningan di antara dirinya dan Ryouta. Ryouta pun mengangguk membenarkan.

Anti-Machina Weapon yang ada di dalam tubuhmu itu jelas-jelas senjata khas sebuah Guardia. Hanya saja konstruksinya lebih rumit dan ukurannya juga jauh lebih kecil dari yang aslinya. Siapa pun yang melakukan modifikasi dan miniaturisasi terhadap senjata itu telah melakukannya dengan sangat baik sekali,” ujar Airi lagi. “Ditambah lagi struktur tubuh dan teknologi yang ada di dalam sana juga jauh lebih canggih dibandingkan robot-robot yang pernah kutemui dan kuperbaiki selama ini. Sekali lagi, siapa pun yang telah merombak ulang dirimu, dia benar-benar melakukan pekerjaan yang spektakuler. Aku belum pernah memperbaiki Guardia, tapi sebagai salah satu mesin perang tercanggih di masa lalu, tubuh kalian pasti penuh teknologi canggih yang tidak akan ditemukan di robot-robot lainnya.”

Ryouta terdiam dan menyentuh dadanya. Setelah ditemukan dan diselamatkan oleh kakek Tesla, tubuh Ryouta memang hampir sepenuhnya dibuat ulang oleh Mother. Dari sekian banyak komponen canggih yang ada di dalam tubuhnya itu, hanya cyberbrain-nya saja yang masih asli.

Ryouta baru saja ingin bicara lagi, tapi tiba-tiba saja sesosok robot berkaki tiga berjalan masuk dengan sempoyongan ke dalam bengkel milik Airi itu. Sekilas lihat, kondisi robot itu jelas-jelas sedang tidak baik. Satu kakinya hilang, dan tubuhnya penuh goresan, penyok, dan gurat-gurat yang tidak beraturan.

“To ... long ... a ... ku ...” ujar robot malang itu dengan suara elektronik yang bergetar dan bergemeresik. Langkahnya pun terseok-seok dan satu dari empat tangannya terlihat bergetar tidak karuan.

“BARON!”

Suara Airi pun bergema di dalam ruang bengkel yang cukup luas itu, dan dengan cekatan, sosok Baron pun tahu-tahu sudah berada di samping sang robot malang. Dengan lembut, android itu lalu menuntun sang robot ke arah dipan, yang tadi digunakan oleh Ryouta. Sementara itu, Ryouta yang menyadari kalau dirinya hanya akan mengganggu pekerjaan Airi pun langsung menyingkir.

“Kenapa dia?” tanya Ryouta penasaran.

“Baron! Temukan dan sambungkan kabel energi cadangan ke tubuhnya. Kita tidak boleh membiarkan cyberbrain-nya mati tanpa daya!”

Airi mengabaikan pertanyaan Ryouta dan malah memberi perintah pada Baron, yang dengan cekatan, menarik sebuah kabel tebal, dan meskipun dengan sedikit paksaan, kemudian membuka pelat logam di pinggang robot berkaki tiga yang kini sudah terbaring di dipan. Ketika kabel itu sudah terpasang, sang robot pun terlihat lebih tenang. Robot itu pun kini terbaring diam dengan tatapan kosong yang mengarah ke langit-langit bengkel. Tapi setidaknya kini tangannya sudah berhenti gemetaran dan robot malang itu sudah terlihat lebih tenang.

“Seperti inilah kuhadapi sehari-hari ...” ujar Airi sambil mulai membongkar tubuh robot yang ada di depannya, sementara Baron dengan cekatan mempersiapkan berbagai macam peralatan yang dibutuhkan untuk memperbaiki robot malang itu. “Robot yang tersisa pasca Perang Bulan dan Catastrophy di sekitar sini tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri. Sebagian besar dari mereka tidak punya program untuk memperbaiki diri, belum ditambah dengan tidak adanya suku cadang yang tersisa setelah peradaban manusia runtuh. Akibatnya ... ya ... kalau ada yang rusak, maka habislah mereka.”

Ryouta terdiam. Dia tahu ada alternatif lain dari kematian yang bisa dialami beberapa jenis robot, terutama mereka yang dilengkapi teknologi nanomachine, yang bisa memaksa diri untuk memperbaiki komponen yang rusak dengan ‘memangsa’ robot lainnya. Namun sering kali robot-robot semacam itu berakhir dengan mereka berubah menjadi sosok menakutkan dan berbahaya, yang secara umum dikenal oleh warga Bravaga sebagai Robot Liar. Robot-robot semacam itu sudah tidak mampu berpikir secara rasional lagi dan hanya mengandalkan insting atau program dasar untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Meskipun itu berarti Robot-robot Liar itu harus memburu, menghancurkan, dan membongkar tubuh robot lain untuk mendapatkan suku cadang, yang sering kali, dipaksakan untuk dipakai di tubuh mereka.

Tapi menimbang situasinya saat ini, Ryouta memilih untuk diam saja dan tidak menceritakan soal itu pada Airi yang sedang sibuk bekerja untuk menyelamatkan robot malang yang baru saja meminta bantuannya itu.

“Untuk saat ini aku memang bisa memperbaiki mereka sebisaku, sekaligus mengajari beberapa robot lain cara melakukan perbaikan terhadap diri sendiri dan juga memperbaiki robot yang lainnya.” Airi terdiam sejenak selagi dia berusaha membuka baut-baut yang sudah berkarat parah di tubuh pasien robotnya. “Tapi kemampuanku terbatas. Peralatanku juga seadanya. Dan suku cadang yang ada pun hasil kanibal atau mengais-ngais dari reruntuhan kota di sekitar sini. Cepat atau lambat, aku tidak mungkin lagi menolong robot yang datang ke bengkelku ini ...”

“... itu sebabnya aku ingin segera menyelesaikan Clone Replicator itu ...” Airi lalu menunjuk ke arah sisi lain gudang, tepatnya ke sebuah mesin aneh yang jelas masih setengah jadi, dan tiga buah balok berwarna yang terbuat dari material seperti batu vulkanik, atau obsidian dengan warna hitam berkilat.

Ketika Ryouta melihat mesin dan tiga balok hitam itu, dia kembali terbelalak karena dia langsung mengenali benda-benda yang terlihat janggal itu. Benda-benda itu adalah inti dari Mother, atau Clone Replicator, yang tersembunyi jauh di bawah Central Tower kota Bravaga dan dilindungi oleh beberapa lapis sistem pelindung khusus.

Ryouta baru saja akan bicara, tapi Airi buru-buru mengangkat tangan dan memberi isyarat agar Guardia tua tetap diam dan tidak mengatakan apa pun.

“Sudah kuduga kau juga tahu soal mesin yang sedang kuselesaikan itu. Maria yang datang ke tempatku juga bereaksi sama sepertimu. Tapi sebaiknya kau tidak usah menjelaskan apa pun, dan juga tidak perlu membantuku menyelesaikan mesin itu,” ujar Airi, masih sambil mengangkat sebelah tangannya. “Itu bukan tugas dan tanggung jawabmu.”

“Yang benar saja!” bantah Ryouta. Dia lalu menepuk dadanya. “Tanpa Mother, tanpa Clone Replicator itu, aku juga tidak akan ada di sini sekarang. Hanya berkat mesin itu aku, dan juga banyak robot lain di Bravaga, tetap bisa hidup setelah sebelumnya kami sempat mati suri selama puluhan, atau bahkan, ratusan tahun. Mesin itu adalah sumber kehidupan kami di Bravaga! Tentu saja salah satu tanggung jawabku sebagai bagian dari kota Bravaga adalah menjaga dan merawat Clone Replicator satu-satunya di kota kami itu.”

“Aku paham soal itu,” balas Airi dengan lembut. “Tapi ini adalah pekerjaan besarku sebagai satu-satunya manusia yang masih tersisa di sekitar sini. Bisa dikatakan, menyelesaikan Clone Replicator itu adalah alasan hidupku saat ini. Karena tanpa itu ... aku mungkin sudah akan menyerah untuk tetap bertahan hidup.”

Airi berhenti sejenak untuk menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan perkataannya lagi.

“Mau bagaimana lagi? Aku tahu-tahu bangun di dunia di mana semua orang yang kukenal sudah lama tiada dan aku adalah satu-satunya manusia yang tersisa di reruntuhan kota ini ... atau bahkan mungkin ... aku adalah manusia terakhir di dunia ini ...”

Untuk kesekian kalinya, Airi berhenti bicara dan tatapannya terlihat menerawang selama beberapa detik, sebelum akhirnya pandangannya tertuju kembali kepada Ryouta. Dia pun kembali tersenyum pada android besar bermata satu yang datang dari masa depan itu.

“Tanpa adanya tujuan hidup yang jelas ... yah ... untuk apa lagi aku hidup?”

Ryouta terdiam memandangi sosok Airi. Kedua mata wanita itu terlihat jernih, namun jelas-jelas memendam kesedihan yang mendalam. Dia pun teringat cerita bagaimana Baron, dan juga kakek Tesla, menemukan Airi yang tertidur di dalam sebuah kapsul cold-sleep misterius di tengah reruntuhan bunker jauh di bawah tanah kota mati, yang merupakan cikal bakal Bravaga. Ryouta bisa membayangkan bagaimana perasaan Airi ketika bangun dari tidurnya dan menyadari kalau dia adalah satu-satunya yang berhasil bangun dari tidur panjangnya selama berabad-abad. Sementara itu semua penghuni kapsul lain yang ada di reruntuhan bangunan yang sama dengannya itu ternyata sudah lama mati dalam tidur masing-masing. Itu belum lagi ditambah ketika dia mengetahui kalau dunia tempat tinggalnya pada dasarnya sudah berakhir, dan dia satu-satunya manusia yang tersisa di reruntuhan kota bekas tempat tinggalnya itu.

Kalau yang bangun itu bukan Airi, mungkin manusia malang itu sudah memutuskan untuk segera mengakhiri hidupnya. Tapi bukan Airi namanya kalau dia tidak bisa menemukan tujuan hidupnya di tengah keputusasaan luar biasa yang sedang melandanya waktu itu. Ketika dia mengamati sosok robot-robot tua yang sudah berjuang mengeluarkan dan menyelamatkan nyawanya dari reruntuhan laboratorium tempatnya tertidur, Airi pun dengan segera menemukan alasan mengapa dia masih hidup dan terbangun di era semacam ini.

Kalau semua kekacauan ini merupakan akibat dari perbuatan manusia, maka sudah sepantasnya Airi, sebagai manusia terakhir, memiliki tugas untuk memperbaiki kekacauan yang dibuat oleh spesiesnya itu.

Penemuan cetak biru mesin super-canggih yang bernama Clone Replicator oleh Tesla beberapa waktu lalu itu merupakan jalan terbaik bagi Airi untuk meninggalkan sesuatu yang berguna bagi para robot di masa depan. Dia tahu kalau era manusia sudah lama berakhir, dan ini adalah era para robot.

Itu sebabnya, dengan kedua tangannya sendiri, Airi ingin membukakan jalan dan memberikan harapan serta masa depan bagi generasi baru yang akan menggantikan manusia itu.

“Ryouta, aku tahu kau ingin membantuku dengan cara apa pun,” ujar Airi setelah ikut terdiam cukup lama. Wanita itu pun lalu tersenyum lebar ke arah android bertubuh kekar yang berdiri di hadapannya itu. “Tapi percayalah, hanya dengan kamu datang ke sini saja, itu sudah sangat membantuku.”

“Kau tahu kenapa?” tanya Airi. Namun sebelum Ryouta sempat mengatakan apa pun, wanita itu pun sudah menjawab pertanyaannya sendiri. “Itu karena aku semakin yakin kalau usahaku ini tidak sia-sia. Meski butuh waktu entah berapa lama, aku pasti akan menyelesaikan Clone Replicator-ku. Pada akhirnya aku yakin kalau mesin yang kubangun itu akan melahirkan robot-robot sepertimu, atau Maria. Itu sudah cukup untuk membangkitkan semangatku dan membuatku tidak bisa begitu saja menyerah menghadapi keadaanku sekarang ini! Suatu saat nanti, aku pasti bisa menemukan jalan untuk bisa menyelesaikan tugas besar terakhirku itu.”

Ryouta sebenarnya masih ingin membantah lagi, tapi dia juga tahu kalau dia sebaiknya tidak ikut campur lebih banyak lagi. Meskipun tadi Airi dengan yakin mengatakan kalau dia tidak perlu khawatir dengan Butterfly Effect atau Paradoks akibat kedatangannya ke masa lalu ini, tapi Ryouta tahu, itu pun ada batasnya, dan sebaiknya dia tidak perlu sampai mengetahui sampai mana batas aman peristiwa yang tidak bisa terduga itu.

“Kalau memang begitu keinginanmu ... aku tidak akan memaksa untuk ikut campur lagi,” ujar Ryouta.

Airi pun tersenyum lebar sembari menyelesaikan pekerjaannya memasang suku cadang bekas hasil kanibal ke tubuh pasien robotnya.

“Ngomong-ngomong, kurasa sudah saatnya kamu pulang,” ujarnya santai pada Ryouta sambil menunjuk ke arah pintu gudang tempat kerjanya. “Kabutnya mulai menipis.”

Ryouta pun memandang ke arah yang ditunjuk Airi dan melihat kalau Kabut Elektrik di luar gudang yang tampaknya perlahan-lahan mulai menipis. Jika kabut misterius itulah yang membuatnya sampai terlempar ke tempat ini, maka kemungkinan besar, kabut itu juga yang akan menjadi satu-satunya jalan pulangnya. Kalau kabut itu sampai hilang, maka Ryouta akan benar-benar terdampar di masa lalu, dan dia tidak ingin itu terjadi.

“Kalau begitu, aku terpaksa harus pamit dulu,” ujar Ryouta sambil menghela nafas panjang, kemudian memandangi Airi, lalu Baron secara bergantian.

Untuk sekian kalinya, ada sesuatu yang mengganjal dari ingatan kuno mantan mesin perang itu ketika dia memandang langsung ke arah mata elektronik Baron. Seolah keduanya pernah bertemu entah di mana dan entah kapan, plus mereka seperti masih punya urusan yang belum selesai. Kalau dilihat sekilas dari desain tubuh Baron, Ryouta tahu kalau android bertubuh ramping itu juga sebuah mesin perang, sama seperti dirinya. Meskipun saat ini Baron sama sekali tidak terlihat seperti sebuah robot tempur, tapi dari balik lapisan kain sintetis hitam dan oranye yang membalut tubuhnya, Ryouta bisa menebak di mana saja Baron akan mengenakan pelat-pelat pelindung, senjata, dan peralatan perang lainnya. Selain itu, sensor sensitif Ryouta juga mendeteksi sumber energi yang mirip dengan yang ada di dalam Baron, yaitu generator nuklir mini dan kapasitor energi yang kapasitasnya jauh lebih besar dari yang umumnya ditemukan dalam tubuh robot-robot era Perang Bulan Kedua atau sebelum Catastrophy.

Sayangnya Ryouta tidak bisa mengingat kapan dan di mana dia pernah bertemu dengan Baron, dan benar-benar tidak tahu apa yang membuat sosok Baron terasa familier baginya. Bisa jadi keduanya pernah bertemu di medan perang, pangkalan tempur, atau sejenisnya. Tapi sayangnya memori Ryouta tentang banyak peperangan yang pernah dia lalui selalu terasa kabur dan lebih mirip sebuah mimpi buruk, sehingga dia tidak bisa banyak mengingat detail kejadiannya dengan baik ... dan itu selalu membuatnya merasa terganggu.

Tapi Ryouta lalu menggelengkan kepala untuk mengusir sensasi mengganggu itu dari benaknya, kemudian kembali bicara lagi.

“Senang bisa bertemu langsung dengan kalian,” ujarnya sambil merapikan jaket yang dia kenakan dan bersiap untuk pergi keluar dari gudang tempat kerja Airi itu.

Baron hanya mengangguk ketika mendengar ucapan Ryouta, tapi Airi tiba-tiba berdiri dan berlari kecil ke arah tumpukan benda dan rongsokan yang ada di sisi lain gudang. Tidak lama kemudian dia kembali sembari memberikan sebuah mesin aneh berbentuk silinder yang tidak simetris dan berwarna perak kepada Ryouta.

Ryouta pun mengambil, kemudian mengamati dan membolak-balik benda janggal yang ada di tangannya itu. Tapi dia benar-benar belum pernah melihat mesin, atau suku cadang semacam itu sebelumnya.

“Apa ini?” tanya Ryouta bingung.

“Komponen Warp Marker yang kutemukan beberapa waktu lalu,” jawab Airi. Dia lalu menunjuk ke arah lubang-lubang dan beberapa sisi silinder yang sedang dipegang Ryouta itu. “Sayangnya kurasa komponen benda itu tidak lengkap ... dan jelas dalam kondisinya yang sekarang, benda itu tidak lebih dari sebuah rongsokan. Tapi aku tahu ini akan berguna bagi kalian suatu saat nanti. Jangan tanya kenapa aku bisa tahu soal itu. Yang jelas, ini penting. Jadi, kuharap kau bersedia menyimpannya sampai saatnya benda itu bisa digunakan.”

Ryouta tampak kebingungan, tapi dia pun akhirnya menerima barang rongsokan itu dari tangan Airi, yang langsung tersenyum lebar ke arahnya. Tanpa disangka-sangka, wanita itu lalu memeluk tubuh Ryouta dengan erat. Tentu saja Ryouta jadi kebingungan, tapi di saat yang sama, dia merasa kalau sensasi pelukan Airi ini hampir sama seperti kalau dia sedang dipeluk oleh Maria. Tanpa bisa ditahan, Ryouta pun mengelus kepala Airi dengan lembut, seperti yang biasa dia lakukan kalau Maria sedang memeluknya.

Airi memeluk tubuh kekar Ryouta cukup lama, sebelum akhirnya wanita itu pun melepaskan pelukannya dan melangkah mundur. Sekilas Ryouta melihat ada bekas air mata di sudut kedua mata sosok wanita tangguh yang berdiri di hadapannya itu.

“Nah, sekarang pulanglah, dan jangan lupa untuk sampaikan salamku pada Maria dan juga pada semua yang ada di kotamu.”

Airi kembali tersenyum sembari melambaikan tangan ke arah Ryouta. Melihat ekspresi di wajah manusia terakhir itu, Ryouta pun tersenyum dalam hati. Sekilas dia seperti melihat sosok Maria di tempat Airi berdiri, dan mantan Guardia itu bisa menduga apa alasannya. Tapi dia memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun soal itu.

“Kalau begitu ... selamat tinggal dan sampai jumpa lagi ...”

Begitu selesai mengucapkan itu, Ryouta pun melangkah pergi menembus tebalnya Kabut Elektrik yang masih menutupi pandangan itu. Dalam sekejap, sosok kekarnya pun menghilang ditelan kabut kelabu yang berkilau keperakan itu dan meninggalkan Airi yang masih berdiri di depan pintu bengkelnya, sementara Baron terlihat melangkah mendekati wanita itu.

“Jadi itu Guardia yang bernama Ryouta itu, yang dulunya menjadi pelindung lokasi peluncuran proyek Starchild?” tanya Baron pada Airi. Airi pun mengangguk mengiyakan. Baron lalu kembali bicara sambil memandangi kabut yang sudah menelan sosok Ryouta barusan. “Dia terlihat sangat berbeda dengan Guardia yang pernah kutemui dulu. Selain itu sepertinya dia pun juga tidak ingat siapa aku sebenarnya. Dan ... meski akhirnya bisa bertemu langsung, aku tetap tidak bisa meminta maaf atas perbuatanku dulu ...”

Airi memandangi Baron beberapa lama, kemudian menepuk punggung android partnernya itu. Sama seperti Ryouta, Baron juga sebenarnya adalah bekas mesin perang. Bedanya, Baron adalah Unit Komando dan merupakan satu dari sekian banyak Unit Komando yang memimpin pasukan mesin perang yang dulu menyerbu pangkalan peluncuran Starchild ... tempat di mana Ryouta bertahan mati-matian dan akhirnya jatuh dan nyaris mati dalam pertempuran sengit terakhirnya itu.

“Lupakan saja. Itu sudah lama sekali berlalu kan? Saat itu kalian juga kebetulan berada di sisi yang saling berseberangan, dan kau juga hanya menjalankan perintah dari siapa pun majikanmu saat itu,” ujar Airi sambil menggenggam jemari tangan Baron. “Semua itu sudah berlalu, dan anak-anak Starchild juga sudah berhasil pergi meninggalkan planet ini untuk memulai hidup baru mereka. Begitu pun denganmu, dan dengan Ryouta, kalian juga sudah menemukan hidup baru di era baru ini. Jadi, tidak usah terlalu menyesali dan menangisi apa yang sudah kita perbuat di masa lalu. Sudah saatnya kau memikirkan apa yang bakal kau lakukan di masa depan. Soalnya kalau tidak begitu, kau tidak akan pernah bisa melangkah maju ...”

Airi terdiam sejenak dan memandangi kabut berkilau keperakan yang masih menutupi pandangannya itu.

“... seperti halnya diriku ...” gumamnya pelan pada dirinya sendiri.

Airi lalu menarik nafas panjang, kemudian tersenyum lebar. Wanita itu lalu menepuk punggung Baron cukup kencang, hingga suaranya bergema di sekitar reruntuhan kota yang sudah lama ditinggalkan penghuninya itu.

“Nah! Ayo kita balik kerja lagi! Masih banyak yang harus kita kerjakan untuk generasi masa depan di era ini!”

****

Ryouta berjalan cukup lama menembus Kabut Elektrik tebal yang sejak tadi menghalangi pandangannya. Semakin lama dia berjalan, android itu jadi semakin khawatir. Pasalnya sejak tadi dia sama sekali tidak menabrak apa pun, meskipun dia yakin kalau dirinya berjalan lurus ke depan.

Sama sekali tidak ada sosok atau pun siluet bangunan apa pun yang dia kenali di sekelilingnya. Semua yang bisa dia lihat saat ini adalah kabut putih-kelabu yang sesekali berpendar keperakan. Setiap kali dia berusaha mengusir kabut misterius itu dari pandangannya, Kabut Elektrik itu selalu seperti menolak untuk pergi dan kembali bergelung menutupi pandangannya. Berbeda dengan waktu dia tersesat sebelum tidak sadarkan diri dan bertemu dengan Airi dan Baron, kali ini pandangannya benar-benar tertutup kabut tebal. Kalau sebelumnya dia masih bisa melihat siluet robot penghuni Bravaga yang masih berkeliaran di jalanan kota, atau siluet bangunan-bangunan di sekitarnya, kini Ryouta tidak bisa melihat apa-apa.

Yang ada di hadapannya sekarang ini hanyalah warna putih bercampur kelabu, yang terkadang menampakkan kilauan atau kilatan keperakan. Sama sekali tidak ada sosok, benda, atau bangunan apa pun yang terlihat di sekitarnya.

Ini buruk sekali ... gumam Ryouta dalam hati. Benar-benar buruk ...

Dia pun berhenti berjalan dan memandang ke sekelilingnya. Perlahan tapi pasti, rasa khawatir pun mulai menghinggapi dirinya. Tetapi dia bukan mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Ryouta khawatir kalau dia sampai benar-benar tersesat dan tidak bisa kembali ke Bravaga, maka Maria dan Buggy hampir pasti akan mati-matian pergi mencarinya.

Ryouta lebih tahu dari siapa pun, kalau Maria tidak akan berhenti mencari dirinya, meskipun usaha pencariannya itu akan sangat berbahaya bagi gynoid itu. Itu sebabnya, entah bagaimana caranya, Ryouta bertekad untuk kembali pulang ke Bravaga. Dia benar-benar tidak mau Maria sampai mengalami sesuatu yang buruk gara-gara khawatir, lalu berusaha mencari dirinya.

Ketika membayangkan bagaimana ekspresi khawatir Maria, Ryouta pun lalu menepuk pipinya dengan kedua telapak tangan. Suara dentang logam beradu terdengar nyaring, namun segera ditelan oleh kabut tebal yang masih saja menghalangi pandangan dan sensor-sensor di tubuh mantan Guardia itu.

“Jangan mikir macam-macam! Sekarang pikirkan bagaimana caranya aku bisa kembali ke Bravaga dan kembali bertemu dengan Maria!” seru Ryouta pada dirinya sendiri, dia pun lalu kembali melangkah maju dengan mantap. Dalam benaknya sekarang, dia hanya membayangkan sosok Maria yang hampir pasti sedang menunggu kepulangannya.

Ketika sosok Maria semakin terbayang nyata dalam benak elektronik Ryouta, mantan mesin perang itu pun melangkah semakin mantap dan semakin kencang, bahkan bisa dibilang dia hampir sedang berlari-lari kecil.

Pulang! Aku pasti pulang! Tidak akan kubiarkan kabut ini menghalangi jalanku! Seru Ryouta dalam hati, sembari terus melangkah cepat menembus Kabut Elektrik yang masih saja menghalangi pandangan dan jalannya itu.

Dan tanpa peringatan sama sekali, kabut tebal yang berwarna putih-kelabu bercampur kemilau keperakan itu mendadak hilang begitu saja ... tepat ketika Ryouta menabrak sesuatu yang keras di hadapannya.

“ADUH!”

Secara refleks, Ryouta langsung mengulurkan tangan dan menangkap apa pun yang baru saja dia tabrak. Dengan terkejut, mantan Guardia itu mendapati dirinya sedang menatap lurus ke arah Maria, yang juga sama kaget dan bingungnya dengan Ryouta.

“Maria?!”

“RYOUTA!!”

Keduanya berseru bersamaan, kemudian, tanpa terduga Maria langsung memeluk android yang ada di hadapannya itu. Dan, masih tanpa terduga sama sekali, gynoid Generasi Baru itu mendadak menangis ketika dia memeluk Ryouta.

Tentu saja sikap Maria membuat Ryouta kebingungan setengah mati, dan karena dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan, android itu lalu balas memeluk dan mengusap lembut kepala gynoid yang sedang memeluknya dengan erat itu.

Cukup lama Maria memeluk Ryouta, sebelum akhirnya gynoid itu berhasil menenangkan diri dan mau melepaskan pelukannya. Tapi kali ini ekspresi wajah Maria terlihat bercampur antara lega dan jengkel setengah mati.

“KEMANA SAJA KAU INI?!” seru Maria, masih dengan suara bergetar. “Jangan seenaknya menghilang seperti itu! Tahu enggak, kita semua khawatir karena tiba-tiba saja kau hilang begitu saja! Jadi ... JANGAN DIULANGI LAGI!”

“Hilang? Tidak ... aku cuma tersesat waktu patroli dan ... “ Tiba-tiba Ryouta berhenti bicara dan menyadari sesuatu. “Maria ... berapa lama aku hilang kontak?”

Maria merengut mendengar pertanyaan Ryouta.

“Lebih dari seminggu! Tepatnya sembilan hari!” seru gynoid itu dengan nada jengkel bercampur lega. “Kau hilang begitu saja dan kami sama sekali tidak bisa menemukanmu di mana pun. Berhubung Kabut Elektrik ini juga bikin semua jaringan komunikasi jadi kacau, aku juga tidak bisa menghubungimu! Buggy dan teman-temannya sudah berusaha membantu mencarimu, tapi usaha mereka sia-sia!”

Kedua mata Maria kembali berkaca-kaca, dan dia sepertinya sudah siap untuk meluapkan emosinya lagi.

“Aku ... aku enggak tahu apa yang harus kulakukan kalau kau benar-benar hilang ditelan kabut ini ...” ujar Maria sambil berusaha menahan tangisnya lagi. “... tapi aku percaya kau tetap akan kembali ... dan ...”

Ryouta kembali meraih kepala Maria dan mengelusnya sembari berusaha menenangkan gynoid itu.

“Maafkan aku, Maria,” balas Ryouta lembut. Dia lalu menyadari kalau dirinya sedang berdiri di lapangan kecil, tidak jauh dari tempat Menara Memori berdiri. Android itu lalu kembali menatap ke arah Maria, yang juga balas menatap ke arahnya. “Aku sama sekali tidak tahu kalau aku ternyata sudah pergi begitu lama. Sepertinya Kabut Elektrik ini memang bisa bikin kacau Ruang-Waktu ...”

“Emangnya kau pergi ke mana?” tanya Maria sambil mengusap air mata yang sempat menggenang di sudut matanya itu. “Apa sepertiku waktu itu? Tersesat ke kafe misterius yang isinya sosok-sosok aneh dan nyentrik?”

Ryouta menggelengkan kepalanya. Dalam hati dia tersenyum karena bisa membayangkan seperti apa reaksi Maria berikutnya kalau dia mulai bercerita soal pengalamannya yang terdengar mustahil itu.

“Hei, percaya atau tidak ...”

Ryouta sengaja membiarkan kalimatnya menggantung di udara dan itu membuat Maria jadi semakin penasaran. Ekspresi Maria yang kini sudah berganti dari penuh kesedihan menjadi penuh rasa ingin tahu membuat Ryouta tertawa dalam hati, kemudian dia pun melanjutkan perkataannya lagi.

“... aku tersesat dan bertemu dengan Airi dan Baron secara langsung ...”

“HAH?! YANG BENAR?!” sahut Maria kaget. “Airi dan Baron?! Airi dan Baron yang itu?! Yang ada dalam cerita itu?!”

“Benar, dan ngomong-ngomong mereka itu bukan sekedar cerita Kakek Tesla dan Mother saja loh,” balas Ryouta dengan nada geli. Dia lalu memandang ke sekelilingnya, tepatnya ke arah Kabut Elektrik yang masih menggantung tipis di udara. “Tapi sebelum aku mulai cerita, sebaiknya kita berlindung dulu. Aku tidak mau kita tersesat ke entah tempat dan era mana lagi.”

Dan seperti yang sudah diduga Ryouta, Maria yang sudah dipenuhi dengan rasa penasaran tidak bisa menahan diri lagi. Gynoid itu pun langsung meraih dan menarik sebelah tangan Ryouta, kemudian menunjuk ke arah Menara Memori yang berdiri tegak tidak jauh dari tempat keduanya berdiri saat ini.

“Kalau begitu, kau bisa ceritakan semuanya padaku sambil main ke Menara Memori di sana!” desak Maria sambil menarik tangan Ryouta. “Ayo! Tunggu apa lagi?!”

Sambil tersenyum dalam hati, Ryouta pun melangkah mengikuti arahan Maria yang kini sudah kembali bersemangat. Melihat tingkah gynoid Generasi Baru di hadapannya itu, Ryouta pun benar-benar bersyukur atas apa yang sudah diwariskan oleh Airi kepada warga kota Bravaga.

Kau benar, Airi, usahamu tidak ada yang sia-sia, gumamnya dalam hati. Perjuangan dan kerja kerasmu di masa lalu adalah kunci masa depan bagi kami dan generasi yang mungkin akan datang setelahku, dan Maria.

Sesaat sebelum memasuki Menara Memori sambil ditarik-tarik oleh Maria, Ryouta berhenti sejenak, kemudian menoleh ke arah siluet Central Tower yang mulai terlihat menjulang tinggi di balik Kabut Elektrik yang sudah semakin tipis. Dia pun lalu membungkuk sekilas ke arah menara tinggi yang menjadi pusat kehidupan di kota Bravaga itu.

Dan dalam hati, Mantan Guardia itu pun mengutarakan isi hatinya.

Terima kasih atas segalanya, Mother Airi.

 

~FIN?~

red_rackham 2021

 

Comments