Everyday Adventure XXIII: Dia Yang Beristirahat
Ryouta menunduk tepat
ketika lengan logam yang nyaris sama besar dengan tubuhnya itu melesat di atas
kepalanya, kemudian menghantam sebatang pohon hingga batang kayu pohon yang tebal
dan kokoh itu pun langsung hancur berkeping-keping.
Karena serangannya
meleset, Robot Liar yang sedang dihadapi Ryouta itu meraung frustasi sembari
mengayunkan lengan yang satunya lagi. Tapi kali ini Ryouta tidak menghindar,
dengan tenang dia mengangkat sebelah tangannya dan menahan gempuran itu dengan
perisai energi transparan yang muncul di lengannya. Suara dentum kencang pun
bergema, diiringi debu yang beterbangan ke segala arah.
Sang Robot Liar
tersentak kaget karena serangannya bisa ditahan oleh lawan yang bertubuh jauh
lebih kecil darinya. Karena kaget, robot yang bagian-bagian tubuhnya terdiri
dari campuran berbagai jenis mesin dan robot lainnya itu pun melangkah mundur
... dan itulah kesempatan yang ditunggu Ryouta sejak tadi.
<Anti-Machina Weapon
terisi penuh>
Sebuah suara elektronis
tiba-tiba terdengar di dalam kepala Ryouta, dia pun segera mengambil kuda-kuda
dan membuka pelat-pelat penutup dada dan punggungnya. Sepasang lingkaran cahaya
berwarna biru elektrik pun bersinar terang di belakang punggung mantan Guardia
itu, sementara udara di sekitarnya langsung bergelombang menakutkan dan dipenuhi
kilat-kilat cahaya.
“Tembak!”
Ryouta bergumam pelan
sambil menembakkan senjata mematikannya.
Sebuah kilatan cahaya
terang pun menyinari lantai hutan yang temaram dan menghantam tubuh sang Robot
Liar dengan telak. Tubuh robot yang bobotnya beberapa puluh ton itu pun
terlempar ke belakang, berguling-guling menerabas pepohonan dan semak-semak,
lalu diam untuk selamanya.
Asap tipis tampak
mengepul dari sela-sela tubuh mesin tua yang kini sudah berubah menjadi bangkai
besi rongsokan itu. Seluruh komponen elektronik di tubuh robot malang itu sudah
terbakar habis dan sama sekali tidak menyisakan satu pun bagian yang bisa diperbaiki.
Tidak ada satu pun robot, termasuk Machina, yang dapat bertahan setelah
menerima serangan energi elektromagnetik dari semua spektrum, mulai dari gelombang
radio hingga radiasi gamma, termasuk gelombang gravitasi, yang ditembakkan oleh
sebuah Guardia.
<Anti-Machina
Weapon dinonaktifkan. Sistem pendingin, aktif.>
Sekali lagi suara
elektronis terdengar di dalam kepala Ryouta, selagi pelat-pelat pelindung di
dadanya tertutup dan sistem pendingin tubuhnya langsung bekerja keras
mendinginkan seluruh komponen reaktor nuklir dan AWM yang ada di dalam tubuhnya
itu. Dengan diiringi suara desis nyaring, uap panas tebal pun mendesis kuat dari
punggung dan pinggang Ryouta.
Guardia tua itu lalu
berjalan memeriksa kondisi lawannya yang sudah mati total. Sejenak Ryouta
menutup mata, kemudian mengaktifkan sensor dan radar yang ada di tubuhnya. Dia
harus memastikan kalau ini adalah Robot Liar terakhir yang terpaksa harus dia
habisi untuk melindungi kota Bravaga yang sempat kehilangan sebagian Mother
Veil-nya beberapa waktu yang lalu.
Akibat hilangnya
sebagian lapisan pelindung Mother Veil di Bravaga, mutan buas dan Robot Liar
yang ada di reruntuhan kota di sekitar kota para robot itu pun mulai bergerak
untuk bisa masuk ke dalam kota. Beruntung rekan-rekan Ryouta, yang sebagian
besar adalah mantan mesin perang, segera beraksi dan membentuk benteng
pertahanan di lokasi rusaknya Mother Veil. Akibatnya, tidak ada satu pun Robot
Liar atau pun mutan buas yang sempat lolos dan membuat kerusakan serius di
dalam kota Bravaga.
“Semoga ini yang
terakhir,” ujar Ryouta sambil menghela nafas.
Dia lalu memandang ke
sekelilingnya, ke arah bangkai beberapa Robot Liar, serta beberapa mutan buas
yang terpaksa dibunuh oleh para robot karena mereka tidak bisa diusir menjauh
dari kota. Beberapa robot yang dikenal Ryouta juga tampak memeriksa keadaan di
sekitar perbatasan kota, sementara di angkasa, terlihat beberapa Pengembara
yang berpatroli sambil sesekali memberikan laporan pandangan dari atas.
<Ini Gato dari
atas. Kondisi saat ini sudah aman. Tidak ada Robot Liar atau mutan buas
berukuran besar yang terdeteksi dalam radius sepuluh kilometer dari perbatasan
kota sini,> seru sang Pengembara dengan wujud mirip kucing dan bersayap
segitiga yang berpatroli di langit di atas Ryouta. <Tugas kita selesai dan
kita bisa pulang sekarang!>
Begitu mendengar
laporan dari Gato via saluran nirkabel terbuka itu, semua robot yang sejak
beberapa hari lalu itu sibuk mempertahankan kota Bravaga itu langsung bersorak
penuh kemenangan, tidak terkecuali Ryouta. Dia pun ikut berseru kegirangan
ketika mengetahui kalau tugasnya sudah selesai dan dia bisa berhenti
menghancurkan robot lain. Meskipun robot yang sejak beberapa hari itu dia lawan
adalah robot-robot yang sudah kehilangan kesadaran dan menjadi ‘liar’, tapi
tetap saja Ryouta merasa bersalah telah menghabisi mereka semua.
Maafkan aku karena
terpaksa harus melakukan ini pada kalian semua ... gumam Guardia tua itu dalam hati.
Dia lalu memandangi
sosok Robot Liar terakhir yang terkapar di lantai hutan. Beberapa Backpacker terlihat
sudah mengerubungi bangkai robot yang masih dipenuhi sisa radiasi dan jejak
elektromagnetik yang dihasilkan dari serangan AWM Ryouta tadi. Sementara itu,
udara di sekitar Ryouta dan sang Robot Liar terasa masih menggelitik karena
sisa-sisa energi elektromagnetik dan gelombang gravitasi yang belum sepenuhnya
hilang. Itu sebabnya robot lain yang juga berjuang bersama Ryouta, terlihat
selalu menjaga jarak dan menghindar begitu mantan Guardia itu mulai menggunakan
senjata anti-Machina-nya. Sebab, kalau terlalu dekat, mereka juga bisa jadi
korban dari senjata mematikan itu.
“RYOUTAAAA~~!”
Mendadak Ryouta
mendengar namanya dipanggil, dia pun menoleh dan sosok robot mirip kecoak raksasa
tahu-tahu melesat dan menempel di wajah android bermata satu itu. Karena kaget,
Ryouta melangkah mundur, lalu jatuh terduduk.
“Buggy! Apa-apaan
ini?!” Ryouta berseru protes sambil menarik lepas Buggy dari wajahnya. “Kalau
aku tidak sempat lihat itu kau, aku bisa saja menghajarmu!”
“Iya, maaf! Tapi ini
penting sekali!” balas Buggy sambil menggeliat lepas dari genggaman Ryouta.
“Ada masalah apa?”
tanya Ryouta penasaran.
Buggy berhenti
sejenak dan seperti menarik nafas panjang, sebelum akhirnya bicara lagi.
“Borodino! Dia rusak
berat!”
Seketika itu juga
mata Ryouta pun langsung terbelalak lebar.
****
“Apa yang terjadi?”
Ryouta bertanya pada
kakek Tesla yang langsung menyambut kedatangannya.
“Tidak tahu pasti,
aku belum sempat lihat laporan atau rekamannya,” jawab kakek Tesla sambil
merayap di samping Ryouta. “Tapi dari yang kudengar, Borodino berhadapan dengan
dua Robot Liar yang berhasil menembus barikade dan menyerbu masuk ke kota. Dia
berhasil menghancurkan keduanya ... tapi ...”
“... dia mengalami
kerusakan berat ya?” potong Ryouta. Kakek Tesla pun mengangguk mengiyakan.
“Seberapa parah?”
Kakek Tesla terdiam
sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya.
“Aku khawatir ini di
luar kemampuan kami ...” ujar robot tua itu dengan suara lirih. “Dia ...”
“RYOUTAAAA~~!”
Ucapan kakek Tesla
dipotong oleh suara seruan kencang dari ujung lorong. Sesosok gynoid berambut
hitam tampak berlari menyambut Ryouta, lalu menabrak dan memeluk mantan Guardia
itu dengan erat. Gynoid itu tidak lain adalah Maria, dan kedua mata jernihnya
terlihat berkaca-kaca karena sedih.
“Borodino! Dia ...”
“Aku sudah dengar,”
potong Ryouta sebelum Maria sempat menyelesaikan ucapannya. “Di mana dia
sekarang?”
Maria tidak menjawab,
tapi dia menarik tangan Ryouta dan membawa android bermata satu itu ke dalam
sebuah ruangan yang biasa dipergunakan untuk reparasi darurat di Central Tower.
Di tengah ruangan tersebut sudah terbaring sesosok robot besar berwujud mirip
seperti seekor beruang.
Robot itu tidak lain
adalah Borodino.
Dari sekali lihat
saja sudah jelas seberapa parah kerusakan yang diderita oleh mantan robot
perang itu. Tangan kiri Borodino hilang, sementara tangan kanannya tampak rusak
berat. Pelat-pelat pelindung di tubuhnya juga tampak penyok, terbakar, dan ada lubang
besar dengan pinggiran yang meleleh, seperti habis ditembus sesuatu yang sangat
panas, sehingga mesin-mesin canggih di baliknya pelat tebal dan kokoh itu
terlihat jelas. Tapi yang paling parah tentu saja ... sebagian kepala robot
malang itu tampak meleleh cukup parah. Ketika melihat itu, Ryouta yakin kalau
kerusakan di kepala Borodino itu sebenarnya yang paling serius dibandingkan
dengan kerusakan lain di tubuh robot mirip beruang itu.
Cukup lama Ryouta memandangi
sosok Borodino yang terbaring tidak sadarkan diri itu. Bagaimana pun juga, Borodino
adalah teman lama Ryouta dan juga satu dari sedikit robot di kota Bravaga yang
bersedia melayaninya latih tanding. Melihat sosok kekar itu terbaring tidak
berdaya dengan tubuh rusak parah seperti itu membuat Ryouta benar-benar sedih.
“Kau tahu apa yang
terjadi dengannya?” tanya Ryouta pada Maria.
Maria menggelengkan
kepalanya.
“Aku sempat lihat
dia mengejar dua Robot Liar yang menerobos barikade,” ujar gynoid itu sambil
memandangi sosok Borodino yang terbaring tidak sadarkan diri di dalam ruangan.
“Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi setelah dia menghancurkan satu
Robot Liar, tiba-tiba ada sesuatu yang meledak dan tahu-tahu Borodino sudah jadi
begitu ...”
Ryouta mengepalkan
tangannya. Dari cerita Maria dan kerusakan di tubuh Borodino, Ryouta menduga
kalau Robot Liar yang dihadapi Borodino waktu itu memiliki senjata seperti
senapan laser, atau meriam plasma. Itu satu-satunya jawaban atas bekas terbakar
dan meleleh di tubuh Borodino yang terbuat dari logam komposit yang seharusnya
tahan panas. Tapi kalau dihajar dengan senjata plasma yang suhunya bisa mencapai
ratusan ribu, atau jutaan derajat celcius, maka pelat-pelat pelindung tebal di
tubuh Borodino sekalipun tidak akan bertahan.
“Lalu Robot Liar yang
satu lagi?” tanya Ryouta.
“Sudah dihancurkan beberapa
Pengembara yang segera datang ... tapi ... Borodino keburu jadi seperti ini
...” jawab Maria sambil menahan tangisnya. Dia lalu memandang lurus ke arah
Ryouta yang berdiri di sampingnya. “Tapi Mother bisa memperbaikinya kan? Mother bisa memperbaiki Ryouta dan
Arslan waktu kalian rusak parah. Dia pasti bisa memperbaiki Borodino juga.”
“Sayangnya ...
Borodino tidak mungkin diperbaiki.”
Kali ini yang bicara
adalah Kakek Tesla. Robot kuno berwujud mirip kelabang raksasa itu merayap
masuk ke dalam ruangan dan bergelung di samping Maria. Dia lalu menepuk kepala
gynoid di sampingnya itu dengan salah satu tangannya.
“Kenapa gitu?! Kan Mother bisa memperbaiki
semuanya!” protes Maria. Dia lalu menengadah ke atas, seolah ingin bicara
dengan sosok lain yang tak kasat mata di dalam ruangan tempatnya berada itu.
“Iya, kan? Mother?!”
Sebagai jawaban atas protes Maria itu, Mother
mengirimkan arus data yang langsung diterjemahkan oleh cyberbrain gynoid itu.
Begitu memahami informasi yang baru saja diberikan oleh Mother, kedua mata
Maria pun langsung kembali berlinang air mata. Pasalnya kerusakan yang diderita
oleh Borodino sudah mencapai ke cyberbrain-nya, dan itu sebabnya umur mesin
perang kuno itu sudah tidak lama lagi. Kerusakan sistem sudah merambat ke
beberapa bagian cyberbrain-nya dan akan segera membuat otak elektronik itu
berhenti berfungsi.
Dan bila itu terjadi, maka Borodino akan ‘mati’.
“Tapi ... kan kita bisa memindahkan seluruh
kesadaran Borodino ke cyberbrain baru! Dengan begitu, dia tidak harus ...”
Maria tercekat selama beberapa detik, sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya.
“... mati ...!”
Ryouta baru saja akan merespon perkataan Maria, namun
kakek Tesla sudah kembali bicara lagi.
“Maria. Apa kamu tahu kelebihan dari cyberbrain
yang kita miliki ini?” tanya kakek Tesla.
Maria pun mengangguk, namun dia tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
“Kalau begitu, kamu juga tahu kan kelemahan dari
otak eletronik kita ini?” tanya kakek Tesla lagi kepada gynoid di sampingnya
itu.
Untuk kedua kalinya Maria mengangguk. Meskipun
cyberbrain memang dibuat meniru struktur otak manusia, lengkap dengan
kompleksitasnya, namun dia tahu kalau pada dasarnya otak elektronik yang ada di
sebagian besar robot canggih di jaman sekarang itu adalah hanyalah sebuah komputer
kuantum.
Walaupun kemampuannya jauh berada di atas
komputer atau otak elektronik robot biasa, cyberbrain punya satu kelemahan
utama ... yaitu bahwa sekali rusak, informasi yang ada di dalam cyberbrain itu
bisa hilang begitu saja. Pasalnya data dalam bentuk qubit yang digunakan untuk Simulasi
Kepribadian dan Emosi, serta yang paling penting, ingatan, yang ada di dalam cyberbrain
hanya bisa aktif dan terbaca oleh satu cyberbrain saja. Sehingga bila datanya
dipindahkan ke cyberbrain lainnya, maka data qubit terkait tiga sistem vital itu
hanya akan jadi sampah data saja. Itu karena cyberbrain baru tidak bisa membaca
informasi kuantum yang berasal dari cyberbrain lama.
Dengan kata lain, sekali cyberbrain rusak, maka
sebuah robot akan ‘mati’.
“Enggak ... ini enggak mungkin terjadi ...”
gumam Maria sambil menahan kesedihannya. “Apa enggak ada yang bisa kita
lakukan?”
Ryouta menggelengkan kepalanya, begitu pula
kakek Tesla.
“Sayangnya, seperti yang kamu tahu, Maria. Kita
tidak bisa memindahkan isi cyberbrain Borodino ke cyberbrain baru,” ujar kakek
Tesla sambil menyentuh bahu Maria. “Karena nantinya itu ...”
Ucapan Kakek Tesla terpotong karena tiba-tiba
saja Borodino duduk tegak sambil merenggut lengan-lengan mekanis yang tengah
membuka pelat-pelat pelindung di tubuhnya. Kedua mata robot mirip beruang besar
itu tampak menyala mengerikan ketika dia memaksakan kepalanya yang rusak untuk
menoleh ke arah Maria, Ryouta, dan kakek Tesla.
“Borodino?” tanya Maria kebingungan. “Kenapa kok
tiba-tiba ...”
Sebelum sempat dia menyelesaikan ucapannya,
tubuh Maria tahu-tahu ditarik mundur oleh kakek Tesla, tepat ketika Borodino
menerjang maju dan mengayunkan sisa cakarnya ke arah gynoid itu. Di saat yang
sama, Ryouta yang berada di samping Maria langsung bertindak dan menahan
serangan itu dengan sebelah tangannya. Percikan bunga api disertai suara
dentang nyaring pun bergema di ruangan yang tidak begitu luas itu.
“Sialan!”
Ryouta mengumpat sambil menendang tubuh Borodino
dengan sebelah kakinya dan membuat robot mirip beruang besar itu terhempas ke
samping. Tapi masih dengan keganasan yang sama, Borodino kembali menerjang.
Kali ini ke arah kakek Tesla. Namun karena niatnya sudah bisa terbaca, Ryouta
langsung menangkap lengan Borodino, membanting tubuh besar temannya itu ke
lantai berlapis beton, kemudian memitingnya hingga robot beruang itu tidak
dapat bergerak. Tentu saja Borodino tidak diam saja, dia meraung keras hingga suaranya
menggetarkan kaca-kaca jendela yang ada di ruang reparasi darurat.
“ADA APA INI?!” tanya Maria ketakutan sambil
melepaskan dekapan kakek Tesla yang berusaha melindungi tubuh gynoid itu dengan
kaki-kakinya. “Kenapa Borodino tadi mau menyerangku?!”
Ryouta
melirik ke arah Maria sejenak, kemudian kembali memusatkan perhatiannya ke arah
bekas robot perang yang sedang ditahannya di lantai.
“Ini yang kutakutkan. Mode pertahanan diri
otomatis, yang biasanya ada di sistem dasar mesin perang sepertiku dan
Borodino, baru saja aktif,” ujar Ryouta, masih sambil menahan Borodino yang terus
berusaha memberontak tanpa memperhatikan kondisi tubuhnya sendiri itu. “Kalau
sudah begini, semua robot yang tidak dikenali sistem dasarnya sebagai kawan,
akan dianggap sebagai musuh ... dan berhubung aku yakin kita semua tidak
terdaftar di sistem dasar Borodino waktu dia dibuat dulu ... dia akan
menganggap kita semua sebagai musuh!”
“Lalu kita harus bagaimana?!” tanya Maria panik.
Ryouta terdiam sejenak, kemudian menoleh ke arah
Maria. Meskipun wajahnya tidak bisa menunjukkan emosi apa pun, tapi tatapan
mata bulat mantan Guardia itu jelas menyiratkan kesedihan yang begitu mendalam.
“Tidak ada pilihan kecuali mematikannya sekarang
...” ujar Ryouta dengan nada getir.
Dia tahu itu pilihan terburuk yang sangat tidak
ingin dilakukan olehnya, tapi saat ini, tidak ada cara lain untuk menghentikan
Borodino yang sedang mengamuk tanpa sadar itu. Sebelum ada yang terluka lagi,
Ryouta harus mematikan Borodino dengan cepat dan sebisa mungkin tidak membuat
temannya itu terlalu menderita.
Tidak ada cara lain ... maafkan aku, teman! ujar Ryouta dalam hati.
Dia baru saja mengangkat sebelah tangannya yang
bebas untuk mencabut sambungan sistem cyberbrain dari sumber energi Borodino,
tapi tahu-tahu Maria melompat dan menahan tangannya. Tentu saja itu membuat
Ryouta kaget setengah mati, dia pun langsung melotot ke arah gynoid berambut
hitam itu.
“Biar kucoba ...” ujar Maria, masih sambil
menahan sebelah tangan Ryouta. “Aku akan coba masuk ke dalam sistem Borodino
dan menghentikannya.”
Ryouta masih melotot ke arah Maria selama
beberapa saat, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah kakek Tesla, yang juga
terlihat bingung dan ragu. Tapi Ryouta tahu sekarang dia tidak boleh ragu-ragu,
dan dia pun memilih untuk percaya pada apa pun rencana Maria saat ini.
“Berapa lama?” tanya Ryouta.
“Apanya?” balas Maria bingung.
“Berapa lama kau butuh waktu untuk masuk dan
menghentikannya?” tanya Ryouta lagi.
Maria menggelengkan kepalanya.
“Entah,” jawabnya singkat. “Tapi kita akan tahu
sebentar lagi!”
Sebelum Ryouta sempat bicara, atau pun melakukan
apa pun, Maria sudah keburu menempelkan kedua tangannya ke kening Borodino,
yang tubuhnya masih dipiting oleh Ryouta di lantai.
*****
Borodino berdiri
tegak sambil kebingungan memandangi ruang kosong berwarna putih bersih yang
membentang sejauh mata memandang. Robot perang kuno berwujud mirip beruang itu
lalu memandangi kedua tangannya dan terkejut karena melihat kedua tangannya
masih utuh. Soalnya, hal terakhir yang dia ingat sebelum sistemnya dimatikan
secara paksa adalah dia baru saja menghajar, dan dihajar, oleh dua Robot Liar
yang berhasil menerobos masuk ke kota Bravaga. Akibat pertarungan itu, Borodino
ingat dia kehilangan satu lengannya, sementara lengan lainnya rusak berat, lalu
... dia ingat kalau salah satu Robot Liar menembakkan sebuah plasma slug-gun
yang menembus tubuh dan menghancurkan sebagian dari kepalanya.
Kalau mengingat
kejadian itu, Borodino langsung menyadari satu hal.
“Oh? Jadi aku sudah
mati?” ujar robot itu pada dirinya sendiri.
“BELUM!”
Borodino kaget bukan
main ketika mendengar suara yang begitu akrab baginya, dia pun berbalik dan
berhadapan dengan gadis robot berambut hitam panjang, yang tidak lain adalah
Maria.
“Loh? Maria? Ngapain
di sini?” tanya Borodino kebingungan. “Sebenarnya apa yang terjadi? Ini tempat
apa?”
Tanpa menjawab
pertanyaannya, Maria tahu-tahu berlari, lalu memeluk tubuh besar Borodino sambil
menangis dan membuat robot mirip beruang itu langsung salah tingkah. Karena
bingung harus berbuat apa, Borodino hanya bisa diam dan membiarkan Maria
menangis sepuasnya sambil mengusap lembut kepala gynoid itu.
Cukup lama Maria
menangis sambil memeluk Borodino. Setelah puas menangis, Maria lalu
menceritakan apa yang terjadi kepada Borodino. Robot perang tua itu hanya
terdiam ketika mendengar cerita dari Maria. Dia sudah bisa menduga apa yang
sedang terjadi pada dirinya, dan cerita Maria membenarkan dugaannya itu.
“Jadi ... di dunia
nyata, aku baru akan dihajar Ryouta karena baru saja mencoba menyerangmu?”
tanya Borodino. Maria pun mengangguk mengiyakan. “Lalu ruang serba putih ini
... apa?”
Maria mengangkat
bahunya.
“Entahlah. Aku
tahu-tahu ada di sini waktu menyentuh kepalamu,” balasnya sambil memaksakan
senyum. “Tapi aku pernah beberapa kali lihat ruangan yang mirip seperti ini
sebelumnya. Jadi kupikir ini semacam perwujudan dunia maya atau kesadaranmu ...
entah yang mana yang benar.”
Borodino baru saja
akan menanggapi, tapi Maria keburu bicara lagi.
“Borodino, kami akan
berusaha menyelamatkanmu dengan mencoba memindahkan seluruh isi cyberbrain-mu
ke cyberbrain baru, karena yang lama sudah rusak parah dan tidak mungkin
diperbaiki. Tapi karena kamu sudah tidak sadarkan diri waktu kami semua datang,
kami tidak tahu harus bagaimana ... ditambah lagi kamu lalu mengamuk ...” Maria
berhenti sejenak, kemudian menatap lurus ke arah Borodino. “Untung aku bisa
masuk ke ruang kesadaranmu ini dan bisa meminta ijin untuk melakukan itu. Aku
tahu konsekuensinya, tapi kalau tidak dilakukan ... maka ... kamu akan ...”
“... mati?” sahut
Borodino. Maria pun mengangguk.
Borodino diam selama
beberapa saat. Dia lalu menepuk kepala Maria dengan lembut.
“Terima kasih karena
kau sudah susah payah melakukan ini. Tapi ini sudah cukup,” ujar Borodino
dengan lembut. “Biarkan aku istirahat saja.”
Maria pun terbelalak
kaget. Dia tidak menyangka kalau Borodino akan mengatakan itu.
“Kenapa?! Mother pasti masih bisa
menyelamatkanmu dan sekarang belum terlambat!” protes Maria. Kedua matanya
kembali berkaca-kaca. “Borodino!”
“Maria. Kau tahu kan
kalau pun seluruh isi cyberbrain-ku dipindahkan ke tempat yang baru, hampir
semua ingatan, pengalaman, rekaman emosi, dan kepribadianku tidak bisa
dipindahkan dan hanya jadi data sampah yang memenuhi cyberbrain baru,” ujar
Borodino sambil menempatkan telapak tangannya di dadanya. “Kalau itu terjadi,
aku yang nantinya bangun, bukan lagi aku yang sekarang. Semua yang membuat
Borodino jadi Borodino seperti ini akan hilang. Bukannya itu sama saja dengan
aku yang sekarang tetap akan mati?”
Maria tediam.
Dia sudah tahu soal
itu.
Mother sudah
menjelaskan soal itu tadi dan Maria juga sebenarnya sudah tahu kalau usaha
menyelamatkan Borodino yang ini adalah sia-sia. Tapi dia masih belum bisa
menerima kenyataan itu. Namun setelah dengar sendiri kalau Borodino menolak
untuk diperbaiki dan kehilangan kepribadiannya yang saat ini, Maria pun jadi
kesulitan untuk membendung kesedihannya.
Dan ucapan Borodino
barusan itu memang benar.
Bila Borodino yang
sekarang ini hilang setelah seluruh isi otak elektroniknya dipindahkan ke
cyberbrain yang baru, itu sama artinya dengan Borodino yang dikenal Maria sudah
mati. Meskipun nantinya akan ada Borodino yang baru, sosok baru itu tidak akan
pernah sama dengan yang lama.
Ketika menyadari hal
itu, Maria kembali tidak bisa menahan air matanya.
Melihat ekspresi di
wajah Maria, Borodino lalu berlutut di depan gynoid itu agar bisa memandangi
wajah Maria dari ketinggian yang sama.
“Maria, aku sudah
hidup lama sekali ... bahkan terlalu lama. Kematian bukan hal yang baru bagiku dan
juga bukan sesuatu yang kutakuti, karena aku tahu cepat atau lambat, itu akan
datang juga bagiku,” ujar robot berwujud mirip beruang itu. “Yah, biar
bagaimanapun, mesin seperti kita juga punya batas waktu. Dan kurasa ... ini
waktu bagiku untuk berhenti dan beristirahat dengan tenang.”
Maria masih terdiam,
walaupun kini air mata mulai mengalir di pipi gadis robot itu.
Borodino kembali
mengelus kepala Maria dengan lembut. Dia lalu beralih melihat ke sekelilingnya,
ke arah ruang putih tanpa batas yang membentang sejauh mata memandang.
“Ah, tempat ini
benar-benar mengingatkanku akan pemandangan di sekitar pabrik tempatku dibuat
dulu. Semuanya berwarna putih karena tertutup salju dan es sejauh mata
memandang. Lalu ada hembusan angin musim dingin yang menusuk dan mengancam akan
membekukan semua cairan dalam tubuhku, badai yang meraung keras hingga
membuatku terpaksa mematikan sensor suara, dan padang beku tanpa kehidupan sama
sekali ...” ujar Borodino, masih dengan tatapan menerawang. “Tapi ... begitu
musim semi datang ... semuanya akan meledak dengan warna dan aroma yang
menakjubkan. Hamparan putih tanpa kehidupan seperti ini akan menjelma menjadi padang
bunga yang membentang sejauh mata memandang. Sungguh indah ...”
Borodino lalu terdiam
cukup lama, dia lalu menoleh ke arah Maria, yang balas menatap ke arahnya
dengan tatapan penuh kesedihan.
“Sayang sekali aku
tidak bisa melihat pemandangan itu untuk yang terakhir kalinya ...” ujar
Borodino sambil kembali menerawang. “... sayang sekali ...”
“BISA!”
Maria tiba-tiba
berseru sambil mengusap air matanya, dia lalu meraih cakar Borodino dengan
kedua tangannya. Dia tahu kalau dia tidak akan bisa menyelamatkan Borodino,
tapi bukan berarti Maria tidak bisa melakukan sesuatu yang spesial untuk
temannya itu. Terlebih karena dia tahu dia bisa melakukan itu.
“Bisa apa?” tanya
Borodino kebingungan.
“Tutup matamu dan bayangkan
pemandangan padang bunga di kampung halamanmu itu,” ujar Maria, masih sambil
menggenggam cakar Borodino.
Walaupun kebingungan,
robot beruang itu pun mengikuti ucapan Maria dan menutup kedua matanya.
Untungnya ingatannya tentang padang bunga itu masih terekam kuat di dalam benak
Borodino, meskipun Maria tadi bilang kalau dia mengalami kerusakan berat di
kepalanya. Pemandangan padang bunga luas yang menjadi salah satu ingatan paling
berharganya itu langsung terbayang di dalam benak Borodino.
“Sekarang buka
matamu.”
Bersamaan dengan
ucapan Maria, Borodino pun perlahan-lahan membuka matanya dan dia pun langsung
terkejut bukan main karena saat ini dirinya sedang berdiri di hamparan padang
bunga dengan berbagai warna dan bentuk. Dia lalu menengadah dan melihat langit
biru dengan awan tipis yang menggantung rendah. Desiran angin hangat di tengah
udara yang masih terasa dingin itu terasa menggelitik di tubuhnya. Aroma
berbagai macam bunga pun langsung menerobos masuk ke sensor kimia milik
Borodino dan membanjiri benaknya dengan rasa damai.
Tidak salah lagi!
Ini adalah
pemandangan kampung halamannya!
“Kok bisa?!” tanya
Borodino, masih sambil terkaget-kaget.
Maria hanya bisa
tersenyum lebar sambil menempelkan telunjuk ke bibirnya.
“Sihir,” ujarnya,
masih sambil tersenyum. “Bagaimana? Apa ini sudah sama dengan apa yang kamu
lihat di kampung halamanmu itu?”
Borodino memang tidak
bisa menunjukkan ekspresi apa pun, tapi saat ini robot berwujud beruang itu
sedang tersenyum lebar. Dia pun merasakan kedamaian luar biasa yang sudah tidak
pernah benar-benar dia rasakan selama ratusan tahun ini.
Dan saat itulah dia
tahu kalau waktunya sudah tiba.
Perlahan-lahan,
Borodino pun duduk di tengah padang bunga yang sedang mekar dengan hebohnya
itu. Robot itu lalu menoleh ke arah Maria sejenak, kemudian kembali memandangi
hamparan bunga yang terbentang di hadapannya itu.
“Terima kasih karena
sudah melakukan ini, Maria.”
Borodino bergumam lembut
tanpa menoleh ke arah Maria.
“Sekali lagi ...
terima kasih ...”
Dan seiring dengan
ucapan itu, Borodino, sang robot beruang kuno itu pun beristirahat dengan
tenang untuk selamanya.
*****
Sesuai dengan kebudayaan
yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu di kota Bravaga, tubuh Borodino
akan dibongkar hingga ke roda gigi dan sekrup terakhir untuk kemudian di daur
ulang di Clone Replicator yang ada di Central Tower. Dengan begitu, Borodino
tidak akan benar-benar mati begitu saja, karena bagian dari tubuhnya suatu saat
akan ‘hidup’ di dalam tubuh robot lainnya. Sementara itu, cyberbrain milik
Borodino kemudian ‘dimakamkan’ dengan prosesi pemakaman khusus yang dihadiri
oleh semua robot yang sering latih tanding dengannya. Maria, Ryouta, Buggy, dan
Orabelle juga hadir dalam upacara yang dipimpin oleh kakek Tesla itu.
Upacara pemakaman
Borodino, dan juga robot-robot lain di kota Bravaga sebenarnya cukup sederhana
dan meniru prosesi pemakaman manusia di jaman dahulu. Cyberbrain Borodino, yang
sudah dikunci dalam kubus kristal kuarsa, akan dikubur di bawah nisan kecil
yang menunjukkan nama, tahun pembuatan, dan tahun kematiannya. Setelah itu
pemimpin upacara pemakaman, yaitu kakek Tesla, akan membicarakan soal kebaikan
dari Borodino kemudian mempersilahkan robot lain yang ingin membagi kenangannya
tentang Borodino. Dan tentu saja semua yang hadir dengan senang hati berbagi
kenangan akan teman mereka, dan sama seperti tubuh mesinnya, dengan berbagi
kenangan akan kehidupan Borodino, maka robot perang kuno berwujud mirip beruang
itu tetap akan hidup dalam ingatan semua teman-temannya.
Selama upacara
berlangsung, Maria tentu saja tidak bisa menahan kesedihannya. Bahkan setelah
upacara selesai, gynoid itu masih berada di depan nisan Borodino dengan
ditemani oleh Ryouta dan Buggy. Meskipun Ryouta dan Buggy tidak bisa menunjukkan
ekspresi apa pun di wajahnya, namun keduanya benar-benar merasa kehilangan.
“Ryouta ... kenapa
Borodino memilih untuk berakhir seperti ini?” tanya Maria sambil menoleh ke
arah temannya itu. “Bukannya lebih baik kalau dia diperbaiki dan tetap hidup,
meski itu artinya Borodnio harus mulai dari awal lagi?”
Ryouta mengelus
kepala Maria dengan lembut.
“Entahlah,” ujar Guardia
tua itu. “Tapi aku bisa mengerti perasaan Borodino. Bagi kita, yang hampir
seluruh bagian tubuhnya bisa dibongkar pasang dan diganti sesuai kebutuhan atau
keinginan, satu-satunya yang menjaga jati diri kita adalah memori dan
kepribadian ... kalau itu juga hilang, maka kita yang sekarang ini juga akan
hilang. Dan kurasa Borodino tidak mau itu terjadi.”
Maria terdiam cukup
lama. Dia sudah memikirkan itu selama beberapa waktu belakangan ini, dan
semakin lama, Maria semakin memahami apa yang ada di pikiran Borodino waktu
itu. Daripada Borodino yang lama hilang dan dilupakan begitu saja karena ada
Borodino yang baru, lebih baik dia beristirahat saja dan membiarkan dirinya
menjadi bagian dari daur hidup yang ada di kota Bravaga. Meskipun keputusannya
itu memang menyakitkan bagi semua teman yang dia tinggalkan, tapi Maria kini
paham kalau itu adalah yang terbaik bagi Borodino.
“Lagi pula, selama
masih ada robot yang mengingat siapa dirinya, dan mungkin, memakai suku cadang
yang berasal dari tubuhnya, maka Borodino tidak akan benar-benar mati. Borodino
akan terus hidup di dalam benak dan tubuh robot lain di kota Bravaga,” ujar
Ryouta lagi, masih sambil mengelus kepala Maria.
“Dan jangan lupa ya,
Borodino mati setelah melindungi robot-robot di kota Bravaga, dan kurasa, ini
bukan akhir yang buruk bagi bekas mesin perang seperti dirinya,” timpal Buggy.
Mendengar ucapan
Ryouta, Maria pun tersenyum dan menyeka air matanya. Dia lalu memandangi
Ryouta, dan juga Buggy, yang sedang bertengger di pundak android kekar bermata
satu itu.
“Kalian benar. Tidak
ada gunanya bersedih terus, karena Borodino pastinya tidak mau melihat kita
begini terus,” ujar Maria sambil tersenyum. “Masih banyak yang harus dikerjakan
sebelum waktu istirahat kita tiba. Nah, ayo kita pulang sekarang!”
Tanpa menunggu
jawaban dari Ryouta atau Buggy, Maria sudah berjalan pergi dengan langkah yang
lebih ringan. Sementara itu, Ryouta hanya diam dan tersenyum dalam hati. Untuk
terakhir kalinya mantan mesin perang di era sebelum Catastrophy itu memandangi
nisan Borodino, kemudian memberikan penghormatan kepada temannya itu.
Beristirahatlah
dengan tenang, Borodino. Kau sudah melaksanakan tugas dan hidupmu dengan baik
dan kami tidak akan melupakan itu sampai akhir kami tiba, ujar Ryouta dalam hati.
“Sudah?” tanya Buggy,
yang masih bertengger di pundak Ryouta.
“Ya,” sahut Ryouta
singkat.
Dia lalu berbalik dan
memandangi sosok Maria yang sudah jauh di ujung jalan. Gynoid itu terlihat
sedang melambaikan tangan dengan semangat dan memberi isyarat agar Ryouta dan
Buggy segera menyusulnya.
Sembari kembali
tersenyum dalam hati, Ryouta menepuk tubuh Buggy dengan lembut.
“Ayo kita pulang
sekarang.”
~FIN?~
red_rackham
2020
Comments