Everyday Adventure XXIII: Dia Yang Beristirahat


Ryouta menunduk tepat ketika lengan logam yang nyaris sama besar dengan tubuhnya itu melesat di atas kepalanya, kemudian menghantam sebatang pohon hingga batang kayu pohon yang tebal dan kokoh itu pun langsung hancur berkeping-keping.
Karena serangannya meleset, Robot Liar yang sedang dihadapi Ryouta itu meraung frustasi sembari mengayunkan lengan yang satunya lagi. Tapi kali ini Ryouta tidak menghindar, dengan tenang dia mengangkat sebelah tangannya dan menahan gempuran itu dengan perisai energi transparan yang muncul di lengannya. Suara dentum kencang pun bergema, diiringi debu yang beterbangan ke segala arah.
Sang Robot Liar tersentak kaget karena serangannya bisa ditahan oleh lawan yang bertubuh jauh lebih kecil darinya. Karena kaget, robot yang bagian-bagian tubuhnya terdiri dari campuran berbagai jenis mesin dan robot lainnya itu pun melangkah mundur ... dan itulah kesempatan yang ditunggu Ryouta sejak tadi.
<Anti-Machina Weapon terisi penuh>
Sebuah suara elektronis tiba-tiba terdengar di dalam kepala Ryouta, dia pun segera mengambil kuda-kuda dan membuka pelat-pelat penutup dada dan punggungnya. Sepasang lingkaran cahaya berwarna biru elektrik pun bersinar terang di belakang punggung mantan Guardia itu, sementara udara di sekitarnya langsung bergelombang menakutkan dan dipenuhi kilat-kilat cahaya.  
“Tembak!”
Ryouta bergumam pelan sambil menembakkan senjata mematikannya.
Sebuah kilatan cahaya terang pun menyinari lantai hutan yang temaram dan menghantam tubuh sang Robot Liar dengan telak. Tubuh robot yang bobotnya beberapa puluh ton itu pun terlempar ke belakang, berguling-guling menerabas pepohonan dan semak-semak, lalu diam untuk selamanya.
Asap tipis tampak mengepul dari sela-sela tubuh mesin tua yang kini sudah berubah menjadi bangkai besi rongsokan itu. Seluruh komponen elektronik di tubuh robot malang itu sudah terbakar habis dan sama sekali tidak menyisakan satu pun bagian yang bisa diperbaiki. Tidak ada satu pun robot, termasuk Machina, yang dapat bertahan setelah menerima serangan energi elektromagnetik dari semua spektrum, mulai dari gelombang radio hingga radiasi gamma, termasuk gelombang gravitasi, yang ditembakkan oleh sebuah Guardia.  
<Anti-Machina Weapon dinonaktifkan. Sistem pendingin, aktif.>
Sekali lagi suara elektronis terdengar di dalam kepala Ryouta, selagi pelat-pelat pelindung di dadanya tertutup dan sistem pendingin tubuhnya langsung bekerja keras mendinginkan seluruh komponen reaktor nuklir dan AWM yang ada di dalam tubuhnya itu. Dengan diiringi suara desis nyaring, uap panas tebal pun mendesis kuat dari punggung dan pinggang Ryouta.
Guardia tua itu lalu berjalan memeriksa kondisi lawannya yang sudah mati total. Sejenak Ryouta menutup mata, kemudian mengaktifkan sensor dan radar yang ada di tubuhnya. Dia harus memastikan kalau ini adalah Robot Liar terakhir yang terpaksa harus dia habisi untuk melindungi kota Bravaga yang sempat kehilangan sebagian Mother Veil-nya beberapa waktu yang lalu.
Akibat hilangnya sebagian lapisan pelindung Mother Veil di Bravaga, mutan buas dan Robot Liar yang ada di reruntuhan kota di sekitar kota para robot itu pun mulai bergerak untuk bisa masuk ke dalam kota. Beruntung rekan-rekan Ryouta, yang sebagian besar adalah mantan mesin perang, segera beraksi dan membentuk benteng pertahanan di lokasi rusaknya Mother Veil. Akibatnya, tidak ada satu pun Robot Liar atau pun mutan buas yang sempat lolos dan membuat kerusakan serius di dalam kota Bravaga.
“Semoga ini yang terakhir,” ujar Ryouta sambil menghela nafas.
Dia lalu memandang ke sekelilingnya, ke arah bangkai beberapa Robot Liar, serta beberapa mutan buas yang terpaksa dibunuh oleh para robot karena mereka tidak bisa diusir menjauh dari kota. Beberapa robot yang dikenal Ryouta juga tampak memeriksa keadaan di sekitar perbatasan kota, sementara di angkasa, terlihat beberapa Pengembara yang berpatroli sambil sesekali memberikan laporan pandangan dari atas.
<Ini Gato dari atas. Kondisi saat ini sudah aman. Tidak ada Robot Liar atau mutan buas berukuran besar yang terdeteksi dalam radius sepuluh kilometer dari perbatasan kota sini,> seru sang Pengembara dengan wujud mirip kucing dan bersayap segitiga yang berpatroli di langit di atas Ryouta. <Tugas kita selesai dan kita bisa pulang sekarang!>
Begitu mendengar laporan dari Gato via saluran nirkabel terbuka itu, semua robot yang sejak beberapa hari lalu itu sibuk mempertahankan kota Bravaga itu langsung bersorak penuh kemenangan, tidak terkecuali Ryouta. Dia pun ikut berseru kegirangan ketika mengetahui kalau tugasnya sudah selesai dan dia bisa berhenti menghancurkan robot lain. Meskipun robot yang sejak beberapa hari itu dia lawan adalah robot-robot yang sudah kehilangan kesadaran dan menjadi ‘liar’, tapi tetap saja Ryouta merasa bersalah telah menghabisi mereka semua.
Maafkan aku karena terpaksa harus melakukan ini pada kalian semua ... gumam Guardia tua itu dalam hati.
Dia lalu memandangi sosok Robot Liar terakhir yang terkapar di lantai hutan. Beberapa Backpacker terlihat sudah mengerubungi bangkai robot yang masih dipenuhi sisa radiasi dan jejak elektromagnetik yang dihasilkan dari serangan AWM Ryouta tadi. Sementara itu, udara di sekitar Ryouta dan sang Robot Liar terasa masih menggelitik karena sisa-sisa energi elektromagnetik dan gelombang gravitasi yang belum sepenuhnya hilang. Itu sebabnya robot lain yang juga berjuang bersama Ryouta, terlihat selalu menjaga jarak dan menghindar begitu mantan Guardia itu mulai menggunakan senjata anti-Machina-nya. Sebab, kalau terlalu dekat, mereka juga bisa jadi korban dari senjata mematikan itu.
“RYOUTAAAA~~!”
Mendadak Ryouta mendengar namanya dipanggil, dia pun menoleh dan sosok robot mirip kecoak raksasa tahu-tahu melesat dan menempel di wajah android bermata satu itu. Karena kaget, Ryouta melangkah mundur, lalu jatuh terduduk.
“Buggy! Apa-apaan ini?!” Ryouta berseru protes sambil menarik lepas Buggy dari wajahnya. “Kalau aku tidak sempat lihat itu kau, aku bisa saja menghajarmu!”
“Iya, maaf! Tapi ini penting sekali!” balas Buggy sambil menggeliat lepas dari genggaman Ryouta.
“Ada masalah apa?” tanya Ryouta penasaran.
Buggy berhenti sejenak dan seperti menarik nafas panjang, sebelum akhirnya bicara lagi.
“Borodino! Dia rusak berat!”
Seketika itu juga mata Ryouta pun langsung terbelalak lebar.
****

“Apa yang terjadi?”
Ryouta bertanya pada kakek Tesla yang langsung menyambut kedatangannya.
“Tidak tahu pasti, aku belum sempat lihat laporan atau rekamannya,” jawab kakek Tesla sambil merayap di samping Ryouta. “Tapi dari yang kudengar, Borodino berhadapan dengan dua Robot Liar yang berhasil menembus barikade dan menyerbu masuk ke kota. Dia berhasil menghancurkan keduanya ... tapi ...”
“... dia mengalami kerusakan berat ya?” potong Ryouta. Kakek Tesla pun mengangguk mengiyakan. “Seberapa parah?”
Kakek Tesla terdiam sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya.
“Aku khawatir ini di luar kemampuan kami ...” ujar robot tua itu dengan suara lirih. “Dia ...”
“RYOUTAAAA~~!”
Ucapan kakek Tesla dipotong oleh suara seruan kencang dari ujung lorong. Sesosok gynoid berambut hitam tampak berlari menyambut Ryouta, lalu menabrak dan memeluk mantan Guardia itu dengan erat. Gynoid itu tidak lain adalah Maria, dan kedua mata jernihnya terlihat berkaca-kaca karena sedih.
“Borodino! Dia ...”
“Aku sudah dengar,” potong Ryouta sebelum Maria sempat menyelesaikan ucapannya. “Di mana dia sekarang?”
Maria tidak menjawab, tapi dia menarik tangan Ryouta dan membawa android bermata satu itu ke dalam sebuah ruangan yang biasa dipergunakan untuk reparasi darurat di Central Tower. Di tengah ruangan tersebut sudah terbaring sesosok robot besar berwujud mirip seperti seekor beruang.
Robot itu tidak lain adalah Borodino.
Dari sekali lihat saja sudah jelas seberapa parah kerusakan yang diderita oleh mantan robot perang itu. Tangan kiri Borodino hilang, sementara tangan kanannya tampak rusak berat. Pelat-pelat pelindung di tubuhnya juga tampak penyok, terbakar, dan ada lubang besar dengan pinggiran yang meleleh, seperti habis ditembus sesuatu yang sangat panas, sehingga mesin-mesin canggih di baliknya pelat tebal dan kokoh itu terlihat jelas. Tapi yang paling parah tentu saja ... sebagian kepala robot malang itu tampak meleleh cukup parah. Ketika melihat itu, Ryouta yakin kalau kerusakan di kepala Borodino itu sebenarnya yang paling serius dibandingkan dengan kerusakan lain di tubuh robot mirip beruang itu.
Cukup lama Ryouta memandangi sosok Borodino yang terbaring tidak sadarkan diri itu. Bagaimana pun juga, Borodino adalah teman lama Ryouta dan juga satu dari sedikit robot di kota Bravaga yang bersedia melayaninya latih tanding. Melihat sosok kekar itu terbaring tidak berdaya dengan tubuh rusak parah seperti itu membuat Ryouta benar-benar sedih.
“Kau tahu apa yang terjadi dengannya?” tanya Ryouta pada Maria.
Maria menggelengkan kepalanya.
“Aku sempat lihat dia mengejar dua Robot Liar yang menerobos barikade,” ujar gynoid itu sambil memandangi sosok Borodino yang terbaring tidak sadarkan diri di dalam ruangan. “Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi setelah dia menghancurkan satu Robot Liar, tiba-tiba ada sesuatu yang meledak dan tahu-tahu Borodino sudah jadi begitu ...”
Ryouta mengepalkan tangannya. Dari cerita Maria dan kerusakan di tubuh Borodino, Ryouta menduga kalau Robot Liar yang dihadapi Borodino waktu itu memiliki senjata seperti senapan laser, atau meriam plasma. Itu satu-satunya jawaban atas bekas terbakar dan meleleh di tubuh Borodino yang terbuat dari logam komposit yang seharusnya tahan panas. Tapi kalau dihajar dengan senjata plasma yang suhunya bisa mencapai ratusan ribu, atau jutaan derajat celcius, maka pelat-pelat pelindung tebal di tubuh Borodino sekalipun tidak akan bertahan.
“Lalu Robot Liar yang satu lagi?” tanya Ryouta.
“Sudah dihancurkan beberapa Pengembara yang segera datang ... tapi ... Borodino keburu jadi seperti ini ...” jawab Maria sambil menahan tangisnya. Dia lalu memandang lurus ke arah Ryouta yang berdiri di sampingnya. “Tapi Mother bisa memperbaikinya kan? Mother bisa memperbaiki Ryouta dan Arslan waktu kalian rusak parah. Dia pasti bisa memperbaiki Borodino juga.”
“Sayangnya ... Borodino tidak mungkin diperbaiki.”
Kali ini yang bicara adalah Kakek Tesla. Robot kuno berwujud mirip kelabang raksasa itu merayap masuk ke dalam ruangan dan bergelung di samping Maria. Dia lalu menepuk kepala gynoid di sampingnya itu dengan salah satu tangannya.
“Kenapa gitu?! Kan Mother bisa memperbaiki semuanya!” protes Maria. Dia lalu menengadah ke atas, seolah ingin bicara dengan sosok lain yang tak kasat mata di dalam ruangan tempatnya berada itu. “Iya, kan? Mother?!”
Sebagai jawaban atas protes Maria itu, Mother mengirimkan arus data yang langsung diterjemahkan oleh cyberbrain gynoid itu. Begitu memahami informasi yang baru saja diberikan oleh Mother, kedua mata Maria pun langsung kembali berlinang air mata. Pasalnya kerusakan yang diderita oleh Borodino sudah mencapai ke cyberbrain-nya, dan itu sebabnya umur mesin perang kuno itu sudah tidak lama lagi. Kerusakan sistem sudah merambat ke beberapa bagian cyberbrain-nya dan akan segera membuat otak elektronik itu berhenti berfungsi.
Dan bila itu terjadi, maka Borodino akan ‘mati’.
“Tapi ... kan kita bisa memindahkan seluruh kesadaran Borodino ke cyberbrain baru! Dengan begitu, dia tidak harus ...” Maria tercekat selama beberapa detik, sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya. “... mati ...!”
Ryouta baru saja akan merespon perkataan Maria, namun kakek Tesla sudah kembali bicara lagi.
“Maria. Apa kamu tahu kelebihan dari cyberbrain yang kita miliki ini?” tanya kakek Tesla.
Maria pun mengangguk, namun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Kalau begitu, kamu juga tahu kan kelemahan dari otak eletronik kita ini?” tanya kakek Tesla lagi kepada gynoid di sampingnya itu.
Untuk kedua kalinya Maria mengangguk. Meskipun cyberbrain memang dibuat meniru struktur otak manusia, lengkap dengan kompleksitasnya, namun dia tahu kalau pada dasarnya otak elektronik yang ada di sebagian besar robot canggih di jaman sekarang itu adalah hanyalah sebuah komputer kuantum.
Walaupun kemampuannya jauh berada di atas komputer atau otak elektronik robot biasa, cyberbrain punya satu kelemahan utama ... yaitu bahwa sekali rusak, informasi yang ada di dalam cyberbrain itu bisa hilang begitu saja. Pasalnya data dalam bentuk qubit yang digunakan untuk Simulasi Kepribadian dan Emosi, serta yang paling penting, ingatan, yang ada di dalam cyberbrain hanya bisa aktif dan terbaca oleh satu cyberbrain saja. Sehingga bila datanya dipindahkan ke cyberbrain lainnya, maka data qubit terkait tiga sistem vital itu hanya akan jadi sampah data saja. Itu karena cyberbrain baru tidak bisa membaca informasi kuantum yang berasal dari cyberbrain lama.
Dengan kata lain, sekali cyberbrain rusak, maka sebuah robot akan ‘mati’.
“Enggak ... ini enggak mungkin terjadi ...” gumam Maria sambil menahan kesedihannya. “Apa enggak ada yang bisa kita lakukan?”
Ryouta menggelengkan kepalanya, begitu pula kakek Tesla.
“Sayangnya, seperti yang kamu tahu, Maria. Kita tidak bisa memindahkan isi cyberbrain Borodino ke cyberbrain baru,” ujar kakek Tesla sambil menyentuh bahu Maria. “Karena nantinya itu ...”
Ucapan Kakek Tesla terpotong karena tiba-tiba saja Borodino duduk tegak sambil merenggut lengan-lengan mekanis yang tengah membuka pelat-pelat pelindung di tubuhnya. Kedua mata robot mirip beruang besar itu tampak menyala mengerikan ketika dia memaksakan kepalanya yang rusak untuk menoleh ke arah Maria, Ryouta, dan kakek Tesla.
“Borodino?” tanya Maria kebingungan. “Kenapa kok tiba-tiba ...”
Sebelum sempat dia menyelesaikan ucapannya, tubuh Maria tahu-tahu ditarik mundur oleh kakek Tesla, tepat ketika Borodino menerjang maju dan mengayunkan sisa cakarnya ke arah gynoid itu. Di saat yang sama, Ryouta yang berada di samping Maria langsung bertindak dan menahan serangan itu dengan sebelah tangannya. Percikan bunga api disertai suara dentang nyaring pun bergema di ruangan yang tidak begitu luas itu.
“Sialan!”
Ryouta mengumpat sambil menendang tubuh Borodino dengan sebelah kakinya dan membuat robot mirip beruang besar itu terhempas ke samping. Tapi masih dengan keganasan yang sama, Borodino kembali menerjang. Kali ini ke arah kakek Tesla. Namun karena niatnya sudah bisa terbaca, Ryouta langsung menangkap lengan Borodino, membanting tubuh besar temannya itu ke lantai berlapis beton, kemudian memitingnya hingga robot beruang itu tidak dapat bergerak. Tentu saja Borodino tidak diam saja, dia meraung keras hingga suaranya menggetarkan kaca-kaca jendela yang ada di ruang reparasi darurat.
“ADA APA INI?!” tanya Maria ketakutan sambil melepaskan dekapan kakek Tesla yang berusaha melindungi tubuh gynoid itu dengan kaki-kakinya. “Kenapa Borodino tadi mau menyerangku?!”
 Ryouta melirik ke arah Maria sejenak, kemudian kembali memusatkan perhatiannya ke arah bekas robot perang yang sedang ditahannya di lantai.
“Ini yang kutakutkan. Mode pertahanan diri otomatis, yang biasanya ada di sistem dasar mesin perang sepertiku dan Borodino, baru saja aktif,” ujar Ryouta, masih sambil menahan Borodino yang terus berusaha memberontak tanpa memperhatikan kondisi tubuhnya sendiri itu. “Kalau sudah begini, semua robot yang tidak dikenali sistem dasarnya sebagai kawan, akan dianggap sebagai musuh ... dan berhubung aku yakin kita semua tidak terdaftar di sistem dasar Borodino waktu dia dibuat dulu ... dia akan menganggap kita semua sebagai musuh!”
“Lalu kita harus bagaimana?!” tanya Maria panik.
Ryouta terdiam sejenak, kemudian menoleh ke arah Maria. Meskipun wajahnya tidak bisa menunjukkan emosi apa pun, tapi tatapan mata bulat mantan Guardia itu jelas menyiratkan kesedihan yang begitu mendalam.
“Tidak ada pilihan kecuali mematikannya sekarang ...” ujar Ryouta dengan nada getir.
Dia tahu itu pilihan terburuk yang sangat tidak ingin dilakukan olehnya, tapi saat ini, tidak ada cara lain untuk menghentikan Borodino yang sedang mengamuk tanpa sadar itu. Sebelum ada yang terluka lagi, Ryouta harus mematikan Borodino dengan cepat dan sebisa mungkin tidak membuat temannya itu terlalu menderita.
Tidak ada cara lain ... maafkan aku, teman! ujar Ryouta dalam hati.
Dia baru saja mengangkat sebelah tangannya yang bebas untuk mencabut sambungan sistem cyberbrain dari sumber energi Borodino, tapi tahu-tahu Maria melompat dan menahan tangannya. Tentu saja itu membuat Ryouta kaget setengah mati, dia pun langsung melotot ke arah gynoid berambut hitam itu.
“Biar kucoba ...” ujar Maria, masih sambil menahan sebelah tangan Ryouta. “Aku akan coba masuk ke dalam sistem Borodino dan menghentikannya.”
Ryouta masih melotot ke arah Maria selama beberapa saat, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah kakek Tesla, yang juga terlihat bingung dan ragu. Tapi Ryouta tahu sekarang dia tidak boleh ragu-ragu, dan dia pun memilih untuk percaya pada apa pun rencana Maria saat ini.
“Berapa lama?” tanya Ryouta.
“Apanya?” balas Maria bingung.
“Berapa lama kau butuh waktu untuk masuk dan menghentikannya?” tanya Ryouta lagi.
Maria menggelengkan kepalanya.
“Entah,” jawabnya singkat. “Tapi kita akan tahu sebentar lagi!”
Sebelum Ryouta sempat bicara, atau pun melakukan apa pun, Maria sudah keburu menempelkan kedua tangannya ke kening Borodino, yang tubuhnya masih dipiting oleh Ryouta di lantai.
*****
Borodino berdiri tegak sambil kebingungan memandangi ruang kosong berwarna putih bersih yang membentang sejauh mata memandang. Robot perang kuno berwujud mirip beruang itu lalu memandangi kedua tangannya dan terkejut karena melihat kedua tangannya masih utuh. Soalnya, hal terakhir yang dia ingat sebelum sistemnya dimatikan secara paksa adalah dia baru saja menghajar, dan dihajar, oleh dua Robot Liar yang berhasil menerobos masuk ke kota Bravaga. Akibat pertarungan itu, Borodino ingat dia kehilangan satu lengannya, sementara lengan lainnya rusak berat, lalu ... dia ingat kalau salah satu Robot Liar menembakkan sebuah plasma slug-gun yang menembus tubuh dan menghancurkan sebagian dari kepalanya.  
Kalau mengingat kejadian itu, Borodino langsung menyadari satu hal.
“Oh? Jadi aku sudah mati?” ujar robot itu pada dirinya sendiri.
“BELUM!”
Borodino kaget bukan main ketika mendengar suara yang begitu akrab baginya, dia pun berbalik dan berhadapan dengan gadis robot berambut hitam panjang, yang tidak lain adalah Maria.
“Loh? Maria? Ngapain di sini?” tanya Borodino kebingungan. “Sebenarnya apa yang terjadi? Ini tempat apa?”
Tanpa menjawab pertanyaannya, Maria tahu-tahu berlari, lalu memeluk tubuh besar Borodino sambil menangis dan membuat robot mirip beruang itu langsung salah tingkah. Karena bingung harus berbuat apa, Borodino hanya bisa diam dan membiarkan Maria menangis sepuasnya sambil mengusap lembut kepala gynoid itu.
Cukup lama Maria menangis sambil memeluk Borodino. Setelah puas menangis, Maria lalu menceritakan apa yang terjadi kepada Borodino. Robot perang tua itu hanya terdiam ketika mendengar cerita dari Maria. Dia sudah bisa menduga apa yang sedang terjadi pada dirinya, dan cerita Maria membenarkan dugaannya itu.
“Jadi ... di dunia nyata, aku baru akan dihajar Ryouta karena baru saja mencoba menyerangmu?” tanya Borodino. Maria pun mengangguk mengiyakan. “Lalu ruang serba putih ini ... apa?”
Maria mengangkat bahunya.
“Entahlah. Aku tahu-tahu ada di sini waktu menyentuh kepalamu,” balasnya sambil memaksakan senyum. “Tapi aku pernah beberapa kali lihat ruangan yang mirip seperti ini sebelumnya. Jadi kupikir ini semacam perwujudan dunia maya atau kesadaranmu ... entah yang mana yang benar.”
Borodino baru saja akan menanggapi, tapi Maria keburu bicara lagi.
“Borodino, kami akan berusaha menyelamatkanmu dengan mencoba memindahkan seluruh isi cyberbrain-mu ke cyberbrain baru, karena yang lama sudah rusak parah dan tidak mungkin diperbaiki. Tapi karena kamu sudah tidak sadarkan diri waktu kami semua datang, kami tidak tahu harus bagaimana ... ditambah lagi kamu lalu mengamuk ...” Maria berhenti sejenak, kemudian menatap lurus ke arah Borodino. “Untung aku bisa masuk ke ruang kesadaranmu ini dan bisa meminta ijin untuk melakukan itu. Aku tahu konsekuensinya, tapi kalau tidak dilakukan ... maka ... kamu akan ...”
“... mati?” sahut Borodino. Maria pun mengangguk.
Borodino diam selama beberapa saat. Dia lalu menepuk kepala Maria dengan lembut.
“Terima kasih karena kau sudah susah payah melakukan ini. Tapi ini sudah cukup,” ujar Borodino dengan lembut. “Biarkan aku istirahat saja.”
Maria pun terbelalak kaget. Dia tidak menyangka kalau Borodino akan mengatakan itu.
 “Kenapa?! Mother pasti masih bisa menyelamatkanmu dan sekarang belum terlambat!” protes Maria. Kedua matanya kembali berkaca-kaca. “Borodino!”
“Maria. Kau tahu kan kalau pun seluruh isi cyberbrain-ku dipindahkan ke tempat yang baru, hampir semua ingatan, pengalaman, rekaman emosi, dan kepribadianku tidak bisa dipindahkan dan hanya jadi data sampah yang memenuhi cyberbrain baru,” ujar Borodino sambil menempatkan telapak tangannya di dadanya. “Kalau itu terjadi, aku yang nantinya bangun, bukan lagi aku yang sekarang. Semua yang membuat Borodino jadi Borodino seperti ini akan hilang. Bukannya itu sama saja dengan aku yang sekarang tetap akan mati?”
Maria tediam.
Dia sudah tahu soal itu.
Mother sudah menjelaskan soal itu tadi dan Maria juga sebenarnya sudah tahu kalau usaha menyelamatkan Borodino yang ini adalah sia-sia. Tapi dia masih belum bisa menerima kenyataan itu. Namun setelah dengar sendiri kalau Borodino menolak untuk diperbaiki dan kehilangan kepribadiannya yang saat ini, Maria pun jadi kesulitan untuk membendung kesedihannya.
Dan ucapan Borodino barusan itu memang benar.
Bila Borodino yang sekarang ini hilang setelah seluruh isi otak elektroniknya dipindahkan ke cyberbrain yang baru, itu sama artinya dengan Borodino yang dikenal Maria sudah mati. Meskipun nantinya akan ada Borodino yang baru, sosok baru itu tidak akan pernah sama dengan yang lama.
Ketika menyadari hal itu, Maria kembali tidak bisa menahan air matanya.
Melihat ekspresi di wajah Maria, Borodino lalu berlutut di depan gynoid itu agar bisa memandangi wajah Maria dari ketinggian yang sama.
“Maria, aku sudah hidup lama sekali ... bahkan terlalu lama. Kematian bukan hal yang baru bagiku dan juga bukan sesuatu yang kutakuti, karena aku tahu cepat atau lambat, itu akan datang juga bagiku,” ujar robot berwujud mirip beruang itu. “Yah, biar bagaimanapun, mesin seperti kita juga punya batas waktu. Dan kurasa ... ini waktu bagiku untuk berhenti dan beristirahat dengan tenang.”
Maria masih terdiam, walaupun kini air mata mulai mengalir di pipi gadis robot itu.
Borodino kembali mengelus kepala Maria dengan lembut. Dia lalu beralih melihat ke sekelilingnya, ke arah ruang putih tanpa batas yang membentang sejauh mata memandang.
“Ah, tempat ini benar-benar mengingatkanku akan pemandangan di sekitar pabrik tempatku dibuat dulu. Semuanya berwarna putih karena tertutup salju dan es sejauh mata memandang. Lalu ada hembusan angin musim dingin yang menusuk dan mengancam akan membekukan semua cairan dalam tubuhku, badai yang meraung keras hingga membuatku terpaksa mematikan sensor suara, dan padang beku tanpa kehidupan sama sekali ...” ujar Borodino, masih dengan tatapan menerawang. “Tapi ... begitu musim semi datang ... semuanya akan meledak dengan warna dan aroma yang menakjubkan. Hamparan putih tanpa kehidupan seperti ini akan menjelma menjadi padang bunga yang membentang sejauh mata memandang. Sungguh indah ...”
Borodino lalu terdiam cukup lama, dia lalu menoleh ke arah Maria, yang balas menatap ke arahnya dengan tatapan penuh kesedihan.
“Sayang sekali aku tidak bisa melihat pemandangan itu untuk yang terakhir kalinya ...” ujar Borodino sambil kembali menerawang. “... sayang sekali ...”
“BISA!”
Maria tiba-tiba berseru sambil mengusap air matanya, dia lalu meraih cakar Borodino dengan kedua tangannya. Dia tahu kalau dia tidak akan bisa menyelamatkan Borodino, tapi bukan berarti Maria tidak bisa melakukan sesuatu yang spesial untuk temannya itu. Terlebih karena dia tahu dia bisa melakukan itu.
“Bisa apa?” tanya Borodino kebingungan.
“Tutup matamu dan bayangkan pemandangan padang bunga di kampung halamanmu itu,” ujar Maria, masih sambil menggenggam cakar Borodino.
Walaupun kebingungan, robot beruang itu pun mengikuti ucapan Maria dan menutup kedua matanya. Untungnya ingatannya tentang padang bunga itu masih terekam kuat di dalam benak Borodino, meskipun Maria tadi bilang kalau dia mengalami kerusakan berat di kepalanya. Pemandangan padang bunga luas yang menjadi salah satu ingatan paling berharganya itu langsung terbayang di dalam benak Borodino.
“Sekarang buka matamu.”
Bersamaan dengan ucapan Maria, Borodino pun perlahan-lahan membuka matanya dan dia pun langsung terkejut bukan main karena saat ini dirinya sedang berdiri di hamparan padang bunga dengan berbagai warna dan bentuk. Dia lalu menengadah dan melihat langit biru dengan awan tipis yang menggantung rendah. Desiran angin hangat di tengah udara yang masih terasa dingin itu terasa menggelitik di tubuhnya. Aroma berbagai macam bunga pun langsung menerobos masuk ke sensor kimia milik Borodino dan membanjiri benaknya dengan rasa damai.
Tidak salah lagi!
Ini adalah pemandangan kampung halamannya!
“Kok bisa?!” tanya Borodino, masih sambil terkaget-kaget.
Maria hanya bisa tersenyum lebar sambil menempelkan telunjuk ke bibirnya.
“Sihir,” ujarnya, masih sambil tersenyum. “Bagaimana? Apa ini sudah sama dengan apa yang kamu lihat di kampung halamanmu itu?”
Borodino memang tidak bisa menunjukkan ekspresi apa pun, tapi saat ini robot berwujud beruang itu sedang tersenyum lebar. Dia pun merasakan kedamaian luar biasa yang sudah tidak pernah benar-benar dia rasakan selama ratusan tahun ini.
Dan saat itulah dia tahu kalau waktunya sudah tiba.
Perlahan-lahan, Borodino pun duduk di tengah padang bunga yang sedang mekar dengan hebohnya itu. Robot itu lalu menoleh ke arah Maria sejenak, kemudian kembali memandangi hamparan bunga yang terbentang di hadapannya itu.
“Terima kasih karena sudah melakukan ini, Maria.”
Borodino bergumam lembut tanpa menoleh ke arah Maria.
“Sekali lagi ... terima kasih ...”
Dan seiring dengan ucapan itu, Borodino, sang robot beruang kuno itu pun beristirahat dengan tenang untuk selamanya.
*****
Sesuai dengan kebudayaan yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu di kota Bravaga, tubuh Borodino akan dibongkar hingga ke roda gigi dan sekrup terakhir untuk kemudian di daur ulang di Clone Replicator yang ada di Central Tower. Dengan begitu, Borodino tidak akan benar-benar mati begitu saja, karena bagian dari tubuhnya suatu saat akan ‘hidup’ di dalam tubuh robot lainnya. Sementara itu, cyberbrain milik Borodino kemudian ‘dimakamkan’ dengan prosesi pemakaman khusus yang dihadiri oleh semua robot yang sering latih tanding dengannya. Maria, Ryouta, Buggy, dan Orabelle juga hadir dalam upacara yang dipimpin oleh kakek Tesla itu.
Upacara pemakaman Borodino, dan juga robot-robot lain di kota Bravaga sebenarnya cukup sederhana dan meniru prosesi pemakaman manusia di jaman dahulu. Cyberbrain Borodino, yang sudah dikunci dalam kubus kristal kuarsa, akan dikubur di bawah nisan kecil yang menunjukkan nama, tahun pembuatan, dan tahun kematiannya. Setelah itu pemimpin upacara pemakaman, yaitu kakek Tesla, akan membicarakan soal kebaikan dari Borodino kemudian mempersilahkan robot lain yang ingin membagi kenangannya tentang Borodino. Dan tentu saja semua yang hadir dengan senang hati berbagi kenangan akan teman mereka, dan sama seperti tubuh mesinnya, dengan berbagi kenangan akan kehidupan Borodino, maka robot perang kuno berwujud mirip beruang itu tetap akan hidup dalam ingatan semua teman-temannya.
Selama upacara berlangsung, Maria tentu saja tidak bisa menahan kesedihannya. Bahkan setelah upacara selesai, gynoid itu masih berada di depan nisan Borodino dengan ditemani oleh Ryouta dan Buggy. Meskipun Ryouta dan Buggy tidak bisa menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya, namun keduanya benar-benar merasa kehilangan.
“Ryouta ... kenapa Borodino memilih untuk berakhir seperti ini?” tanya Maria sambil menoleh ke arah temannya itu. “Bukannya lebih baik kalau dia diperbaiki dan tetap hidup, meski itu artinya Borodnio harus mulai dari awal lagi?”
Ryouta mengelus kepala Maria dengan lembut.
“Entahlah,” ujar Guardia tua itu. “Tapi aku bisa mengerti perasaan Borodino. Bagi kita, yang hampir seluruh bagian tubuhnya bisa dibongkar pasang dan diganti sesuai kebutuhan atau keinginan, satu-satunya yang menjaga jati diri kita adalah memori dan kepribadian ... kalau itu juga hilang, maka kita yang sekarang ini juga akan hilang. Dan kurasa Borodino tidak mau itu terjadi.”
Maria terdiam cukup lama. Dia sudah memikirkan itu selama beberapa waktu belakangan ini, dan semakin lama, Maria semakin memahami apa yang ada di pikiran Borodino waktu itu. Daripada Borodino yang lama hilang dan dilupakan begitu saja karena ada Borodino yang baru, lebih baik dia beristirahat saja dan membiarkan dirinya menjadi bagian dari daur hidup yang ada di kota Bravaga. Meskipun keputusannya itu memang menyakitkan bagi semua teman yang dia tinggalkan, tapi Maria kini paham kalau itu adalah yang terbaik bagi Borodino.
“Lagi pula, selama masih ada robot yang mengingat siapa dirinya, dan mungkin, memakai suku cadang yang berasal dari tubuhnya, maka Borodino tidak akan benar-benar mati. Borodino akan terus hidup di dalam benak dan tubuh robot lain di kota Bravaga,” ujar Ryouta lagi, masih sambil mengelus kepala Maria.
“Dan jangan lupa ya, Borodino mati setelah melindungi robot-robot di kota Bravaga, dan kurasa, ini bukan akhir yang buruk bagi bekas mesin perang seperti dirinya,” timpal Buggy.
Mendengar ucapan Ryouta, Maria pun tersenyum dan menyeka air matanya. Dia lalu memandangi Ryouta, dan juga Buggy, yang sedang bertengger di pundak android kekar bermata satu itu.
“Kalian benar. Tidak ada gunanya bersedih terus, karena Borodino pastinya tidak mau melihat kita begini terus,” ujar Maria sambil tersenyum. “Masih banyak yang harus dikerjakan sebelum waktu istirahat kita tiba. Nah, ayo kita pulang sekarang!”
Tanpa menunggu jawaban dari Ryouta atau Buggy, Maria sudah berjalan pergi dengan langkah yang lebih ringan. Sementara itu, Ryouta hanya diam dan tersenyum dalam hati. Untuk terakhir kalinya mantan mesin perang di era sebelum Catastrophy itu memandangi nisan Borodino, kemudian memberikan penghormatan kepada temannya itu.
Beristirahatlah dengan tenang, Borodino. Kau sudah melaksanakan tugas dan hidupmu dengan baik dan kami tidak akan melupakan itu sampai akhir kami tiba, ujar Ryouta dalam hati.
“Sudah?” tanya Buggy, yang masih bertengger di pundak Ryouta.
“Ya,” sahut Ryouta singkat.
Dia lalu berbalik dan memandangi sosok Maria yang sudah jauh di ujung jalan. Gynoid itu terlihat sedang melambaikan tangan dengan semangat dan memberi isyarat agar Ryouta dan Buggy segera menyusulnya.
Sembari kembali tersenyum dalam hati, Ryouta menepuk tubuh Buggy dengan lembut.
“Ayo kita pulang sekarang.”

~FIN?~

red_rackham 2020


Comments