Eva

Eva

Tubuhku terbaring miring tidak berdaya.

Pandanganku buram.

Aku hampir tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

Dalam hati aku tahu ajalku sudah dekat. Tapi aku terus berharap malaikat pencabut nyawa belum sudi mampir ke hadapanku, karena aku belum mau mati.

Aku takut mati.

Bukannya aku takut akan kematian itu sendiri, tapi aku takut akan nasib mengerikan yang menungguku di dunia sana.

Maklum saja.

Aku ini bukan orang baik. Aku ini orang jahat. Sangat jahat.

Entah sudah berapa ratus nyawa orang tidak bersalah yang kurenggut dengan kedua tanganku ini. Entah sudah berapa ratus kali aku mengabaikan ratapan mereka, ketika dengan entengnya aku mengakhiri riwayat mereka. Entah sudah berapa ratus kali aku memandangi mata-mata mereka yang dipenuhi kebencian, putus asa, pasrah dan rasa penuh penyesalan.

Tapi hari itu, semuanya berbeda. Itu pertama kalinya aku bertemu dengan orang seperti itu. Orang yang matanya masih dipenuhi nyala api kehidupan, bahkan ketika berhadapan dengan pengganti malaikat pencabut nyawa sepertiku. Orang yang sama sekali tidak meratap, memohon, ataupun mengumpatiku ketika aku siap menghabisinya nyawanya. Orang yang sama sekali tidak terlihat takut atau gelisah, bahkan ketika senjataku sudah menempel di dahinya.

Sial...kalau aku sudah mulai melihat riwayat hidupku mengalir di depan mataku, ini artinya ajalku benar-benar sudah dekat....

****

Hari itu seperti biasanya aku mendapatkan pekerjaan.

Pekerjaan kotor seperti biasanya.

Maklum saja. Sehari-hari aku bekerja sebagai pembunuh bayaran. Jadi tentu saja pekerjaanku tidak jauh-jauh dari mencabut nyawa orang, walau terkadang aku juga disewa sebagai bodyguard dan penagih hutang.

“Dengarkan aku Heinkel! Ini adalah pekerjaan penting. Jangan sampai salah dan jangan sampai gagal! Kau harus membunuhnya begitu kau melihatnya. Jangan beri ampun. Benamkan semua peluru timah yang ada di senjatamu itu ke tubuhnya. Jangan beri ampun!”

Seperti biasanya, sebelum aku menjalankan tugasku, bosku memberi wejangan yang sudah entah berapa kali kudengar. Sampai aku bosan dan biasanya mengabaikan ucapannya.

“Tenang saja bos. Semuanya pasti beres. Kau tidak perlu khawatir,” balasku dengan santai sambil menghembuskan asap rokok yang sedang kuhisap. “Siapkan saja uangnya.”

Aah...nikotin itu memang sedap.

“Heinkel. Aku tahu kau ini pembunuh bayaran terbaik di negeri ini. Tapi lawan yang akan kau hadapi kali ini bukan lawan sembarangan!” ujar bosku lagi dengan nada jengkel karena aku menganggap enteng ucapannya. “Dia sudah menghabisi 4 orang pembunuh bayaran lainnya yang hampir sekelas dirimu!”

Aku mendengus begitu mendengar ucapan bosku.

“Yah. Kalau mereka bisa sampai terbunuh, itu artinya mereka tidak sekelas denganku,” ujarku sambil membuang puntung rokokku ke luar jendela. “Bos jangan lupa, aku ini Heinkel Gottweiter, The Night Raven. Tidak ada target yang selamat dariku kalau sudah berhadapan denganku.”

Bosku mendesah lagi sambil mengusap wajahnya karena jengkel. Dia lalu melemparkan map coklat padaku, yang langsung kutangkap dan kubuka.

“Itu targetmu kali ini,” ujar bosku sambil mengambil cerutu dari kotak cerutunya dan menyalakan rokok mahal itu, kemudian menghisapnya.

Ketika aku membaca data-data targetku itu aku terdiam.

“Bos! Yang benar saja!”

Aku melayangkan protes sambil melemparkan lembaran-lembaran berisi data-data itu ke arah mejanya.

“Aku memang pembunuh bayaran profesional, tapi bos jangan lupa, aku punya prinsip!” ujarku dengan nada marah pada bosku. “Aku tidak akan membunuh wanita dan anak-anak! Tidak peduli apapun yang bos perintahkan dan berapapun bos membayarku, aku tidak akan melakukannya!”

Ya. Meski aku berprofesi sebagai pembunuh bayaran, tapi aku punya satu prinsip dasar yang tidak akan kulanggar apapun alasannya.

Aku tidak membunuh atau menyakiti wanita dan anak-anak.

“Heinkel. Aku tahu prinsipmu itu. Tapi sekarang aku tidak peduli dengan itu. Kau harus menghabisi targetmu itu seperti biasanya!” seru bosku sambil menghisap cerutunya.

“Bos!!” Aku berseru marah dan berjalan mendekati meja bosku, lalu menghantamkan telapak tanganku diatas lembaran foto targetku. “Target ini masih anak-anak! Jangan bohong padaku bos! Tidak mungkin dia membunuh 4 orang pembunuh bayaran profesional! Itu tidak masuk akal!”

Aku langsung berbalik dan meninggalkan bosku yang tampak marah.

“HEINKEL!!”

Begitu mendengar seruan marah bosku, aku berbalik sambil mencabut senjataku, sepasang pistol otomatis merk colt berkaliber 9 mm. Bosku langsung tersentak kaget di kursinya dan mengangkat kedua tangannya karena takut.

“Bos. Kau memang bosku. Tapi aku tidak segan untuk menyarangkan satu-dua peluru ke kepalamu kalau kau terus memaksaku, mengerti?” ancamku sambil menarik hammer pistolku, menegaskan niatku untuk menembaknya kalau dia masih memerintahku terus.

Meski bosku itu adalah pemimpin salah satu kelompok mafia di kota ini, tapi dia tetap saja takut dengan ancamanku. Pria gemuk itu langsung mengangkat kedua tangannya dan berkata dengan nada agak gemetar.

“Oke.....oke. Aku mengerti,” ujar bosku itu pada akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu melakukannya. Tapi bawa file-file itu. Siapa tahu kau berubah pikiran.”

Aku menarik kembali pistolku, memutarnya, dan lalu memasukkan kedua senjata itu ke sarungnya di balik pinggangku. Sambil mendengus, aku menyambar lembaran-lembaran file targetku, lalu berjalan keluar dari kantor bosku sambil membanting pintu.

Sambil berjalan, aku memandangi foto targetku yang merupakan seorang gadis kecil berambut pirang dan bermata hijau toska.

Tidak masuk akal! Memangnya anak sekecil ini bisa apa? Tidak mungkin bocah ini bisa membunuh orang, apalagi kalau orang yang dibunuhnya adalah seorang pembunuh bayaran.

“Heh! Ada-ada saja,” gumamku sambil mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.

****

Untuk menghilangkan rasa jengkelku, seperti biasa aku mengunjungi bar langgananku.

Begitu aku masuk ke dalam bar, beberapa pengunjung langsung menoleh ke arahku dan mereka tampak tegang. Wajar saja, sebagai sesama pekerja di dunia bawah, kami saling kenal. Daripada saling kenal, lebih tepat kalau dikatakan bahwa mereka yang sangat mengenalku karena reputasiku. Aku sih tidak kenal mereka semua.

“Heinkel.”

Aku mendengar si bartender memanggilku.

Berbeda dengan bar lain yang bartendernya adalah lelaki berotot dan bertampang menyeramkan, bartender bar ini adalah seorang wanita cantik bertubuh seksi. Namanya Luka ‘Jackknive’ Harrings. Meski cantik dan seksi, pelanggan bar tidak akan ada yang berani menggodanya, karena mereka bisa saja berakhir di lorong belakang bar dengan sebilah pisau menancap di leher.

“Yo, Luka. Bagaimana kabarmu?” tanyaku dengan maksud berbasa-basi.

“Baik-baik saja. Paling ada orang nekat yang baru saja kutenggelamkan di teluk sana. Bagaimana kabarmu?” jawab Luka dengan santai sambil mengeluarkan gelas dan sebotol minuman keras. “Minum?”

Aku mengangkat kedua tanganku, tanda bahwa aku menolak tawarannya.

“Tidak. Terima kasih,” ujarku sambil duduk di depan meja bar.

“Tampangmu suntuk. Ada apa?” tanya Luka lagi sambil duduk juga di depanku.

“Bosku,” jawabku singkat sambil mendengus jengkel kalau mengingat pekerjaan yang diberikan bosku tadi.

“Dia memberimu pekerjaan yang tidak enak lagi?” tanya Luka sambil menuangkan isi botol minumannya dan menenggak isinya dalam sekali teguk. “Luak tua itu memang sekali-sekali perlu diberi pelajaran.”

Aku tertawa mendengar komentar Luka. Tapi tiba-tiba kuperhatikan tampang wanita itu jadi serius. Dia tiba-tiba saja menarik kerah bajuku dan membuat pipiku hampir menempel dengan pipinya.

Karena kaget, kedua tanganku spontan langsung meraih senjata di balik punggungku. Tadinya kupikir ada yang mengincar kepalaku dan mengutus Luka untuk membunuhku. Tapi ucapannya berikutnya membuatku terdiam.

“Heinkel. Ikut aku ke belakang. Ada yang harus kusampaikan padamu,” ujar wanita itu sambil berbisik di telingaku.

Begitu selesai mengatakan itu, Luka melepaskanku dan berjalan ke arah pintu ruang belakang bar. Dia lalu memberi arahan padaku agar aku mengikutinya.

Jantungku masih berdebar dan jemariku masih memegang gagang kedua senjataku. Tapi perlahan-lahan aku melepaskan genggamanku, tentu setelah memastikan kalau pin pengaman senjataku sudah kulepas.

Hanya sekedar jaga-jaga saja.

Tanpa bicara aku berjalan mengikutinya dan masuk ke dalam ruang belakang bar.

Tapi apa yang ada di dalam ruangan itu membuatku terkejut.

Ruang belakang bar biasanya digunakan untuk menyimpan segala macam bahan makanan, botol-botol minuman, dan berbagai macam perkakas dapur lainnya. Hampir tidak ada yang istimewa di ruangan ini. Tapi kali ini aku melihat sesuatu yang sangat berbeda.

Di tengah-tengah lantai ruangan yang tidak terlalu luas itu, duduk seorang gadis kecil berambut pirang dan bermata hijau toska. Gadis itu dengan santainya sedang menyantap panganan ringan sambil membaca sebuah buku anak-anak.

Begitu melihat sosok gadis itu, seketika aku berpaling ke arah Luka.

“Luka.....apa maksudnya ini?!” tanyaku pada wanita itu.

Luka menghela nafas.

“Seperti yang kau lihat. Aku menemukannya tadi malam. Dia tidur di atas krat-krat bir yang kutumpuk di lorong belakang. Karena tidak tega membiarkannya tidur disitu, aku membawanya masuk,” jawab Luka dengan santainya.

“Luka. Aku yakin kau tahu siapa bocah ini,” ujarku lagi. “Informasinya pasti sudah sampai di telingamu kan?!”

Luka menaikkan sebelah alisnya. Dari ekspresinya itu aku tahu kalau aku benar. Luka memang sudah tahu siapa gadis kecil ini.

Aku menoleh ke arah gadis kecil yang sekarang tampak memandangi kami berdua sambil terdiam.

Gadis itulah yang seharusnya merupakan targetku. Gadis kecil yang konon sudah membunuh 4 orang pembunuh bayaran profesional, entah bagaimana caranya.

Ketika aku bertatapan dengan gadis itu, aku terdiam.

Kedua mata hijau gadis itu tampak memancarkan nyala api kehidupan yang mencengangkan. Ini pertama kalinya aku melihat seseorang dengan mata seperti itu. Biasanya yang kulihat adalah mata-mata orang yang dipenuhi hawa membunuh, dendam, putus asa, ketakutan, dan penyesalan. Maklum, orang-orang yang biasanya kutemui tidak jauh-jauh dari penjahat, mafia, makelar, pengedar obat, penjual senjata, pembunuh bayaran, bajingan, dan lain-lainnya. Paling yang lebih banyak variasinya hanya target-target yang harus kuhabisi.

“Paman. Paman aneh.”

Gadis kecil itu berkata padaku sambil tertawa dan menunjuk ke arahku. Suara gadis itu terdengar bening seperti suara lonceng dan terdengar menyenangkan.

“Bocah! Jangan panggil aku paman. Aku belum setua itu!” ujarku sambil berjongkok di depan gadis kecil itu. “Siapa namamu?”

Gadis itu tampak bingung. Lalu menggelengkan kepalanya.

“Tidak punya nama,” jawab gadis itu. Dia lalu mengulangi perkataannya lagi. “Aku tidak punya nama.”

“Kalau begitu biar kupanggil kau dengan nama Eva,” ujar Luka sambil ikut jongkok dan mengelus kepala anak kecil itu.

Aku memandang Luka dengan tatapan heran.

“Yah. Anak itu kan tidur diatas krat-krat bir merek ‘Evangel’. Daripada pusing-pusing cari nama, kupanggil saja dia dengan nama Eva. Simpel kan?” ujar Luka sambil nyengir.

Yah.....terserah saja.

Ketika memandangi wajah Eva lagi, aku langsung menyadari sesuatu hal penting.

Hal yang langsung membuatku terpaku di tempat dengan wajah pucat.

“Luka!” ujarku.

“Ya?” jawab wanita itu dengan riang.

“Apa ada orang lain yang sudah pernah melihat anak ini?”

Luka terdiam darn berpikir sejenak.

“Hmm....selain aku. Paling-paling hanya si botak Guido yang sudah melihatnya. Memang.......F***K!!!”

Luka menghentikan ucapannya di tengah-tengah, lalu mengumpat keras. Dia sepertinya sadar apa maksudku.

Dia baru saja akan bicara lagi ketika pintu ruang belakang bar ditendang keras hingga terlepas dari engselnya. Tiga orang pria bertubuh kekar dan membawa pistol langsung menyerbu masuk ke dalam ruangan, tapi tentu saja aku tidak tinggal diam.

Dua buah Colt milikku langsung menyalak dan membuat ketiga orang pria itu terhempas ke lantai, tentu setelah beberapa butir timah panas menerobos masuk ke tubuh mereka. Suara tembakan tentu saja menarik perhatian lebih banyak orang lagi.

Tapi sebelum mereka mulai menyerbu masuk ke dalam ruangan sempit itu, aku, Luka dan si gadis, Eva, sudah melarikan diri.

“Sialan kau Luka! Jangan menyeretku dalam masalah semacam ini!” umpatku pada Luka.

“Berisik! Siapa suruh asal tembak!” balas Luka sambil berlari di sisiku. Wanita itu tampak menggendong Eva dengan mudahnya di punggung sambil berlari. “AWAS!!”

Begitu mendengar seruan Luka, aku langsung melakukan gerakan sliding sambil menembak.

Dua orang pembunuh bayaran, yang tadi bermaksud menyergap kami dari lorong di depan, langsung terjungkal ke belakang dan mati.

“Maju!”

Aku langsung berseru pada Luka.

Tanpa pikir panjang lagi wanita itu langsung berlari, tapi kemudian dia terjatuh bersama Eva.

“Luka!!?”

Aku terkejut bukan main melihat genangan darah yang terbentuk di tempat dia terjatuh.

Keparat!!

Aku langsung berputar menembak ke arah orang yang menembak Luka. Orang itu terjungkal kebelakang dengan dua-tiga lubang angin tambahan di kepalanya. Aku segera menghampiri Luka dan memeriksa kondisinya.

“Sialan!” umpatku ketika melihat kalau luka di tubuh Luka sudah terlalu parah. Harapan Luka untuk bisa selamat dengan luka seperti itu sangat kecil.

“Per....pergilah...!” ujar Luka lirih, dia lalu menoleh ke arah Eva yang masih duduk dengan bingung. “Bawa....bawa Eva pergi....”

Sialan! Di saat seperti ini jangan memikirkan orang lain!

Tapi aku diam saja dan menggendong Eva di punggungku.

“Pegangan yang erat, bocah!!!” bentakku sambil membawa Eva pergi.

Aku berlari tanpa menoleh ke belakang lagi.

“Lari yang kencang, paman!”

Seruan riang Eva membuat darahku langsung mendidih. Bocah sialan ini sama sekali tidak sadar dirinya berada di tengah pertaruhan hidup-mati. Tapi aku tidak mengatakan apapun dan terus berlari meninggalkan Luka yang sedang meregang nyawa.

Aku berdoa dalam hati semoga Luka berhasil selamat entah dengan keajaiban seperti apa.

****

Dengan suatu keajaiban, akhirnya aku dan Eva berhasil lolos dan sekarang berada di dalam sebuah gudang tua.

Sambil menarik nafas dalam-dalam, aku memeriksa keadaan di sekelilingku untuk memastikan tidak ada bahaya lagi. Setelah yakin tidak ada lagi pembunuh bayaran yang berusaha membunuh kami, aku menatap ke arah Eva.

Gadis sialan itu masih terlihat riang, meski tadi dia nyaris mati bersama Luka.

Begitu melihat sikap anak itu, emosiku langsung naik lagi. Tanpa pikir panjang aku langsung menodongkan Colt-ku ke dahi anak itu, siap untuk menanamkan satu-dua timah panas ke dalam kepala anak itu.

Tapi anak itu sama sekali tidak terlihat takut, meski aku tahu dia sadar kalau benda logam yang menempel di kepalanya itu bisa mengakhiri nyawanya dalam sekejap.

Melihat sikap tenang anak itu, emosiku entah kenapa hilang dengan sendirinya.

“Paman. Apa bibi tadi tidak apa-apa?” tanya Eva dengan polosnya.

“Tidak. Luka mungkin sudah mati sekarang,” sahutku dengan nada geram. “Dengarkan aku bocah, apa yang membuatmu diburu oleh pembunuh-pembunuh bayaran itu!?”

Eva memiringkan kepalanya karena bingung.

Aku menghela nafas.

Gadis ini.....sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang bisa membunuh orang lain. Jangankan membunuh, sepertinya menjaga dirinya sendiri saja dia tidak bisa.

Cih! Apa sih yang dipikirkan bosku dan para pembunuh bayaran itu?

“Paman. Kalau paman takut dengan paman-paman galak tadi, nanti paman bisa berlindung di belakang Eva,” ujar anak itu dengan polosnya.

Aku langsung tertawa terbahak-bahak dan menepuk kepala anak itu.

“Yang benar saja! Terbalik tahu!” ujarku sambil tertawa.

Tawaku tiba-tiba saja terhenti ketika tubuhku mendadak tersentak ke samping.

Aku menjerit kesakitan saat sesuatu yang sangat panas menerjang pinggangku, membuat tubuhku terlempar dan terguling di tanah.

!@&$!#&@!78#*#)!!!!

Aku mengumpat sambil menoleh ke arah datangnya serangan dan menemukan seorang pria memegang senapan panjang. Tanpa pikir panjang aku menembak beberapa kali dan satu peluruku berhasil menembus tubuh sniper itu, sayangnya dia tidak langsung mati.

Tapi setelah menembakkan tembakan terakhir itu, aku kehabisan peluru.

Sungguh nasib sial!

“Sialan!!!” umpatku sambil menekan luka tembak di pinggangku.

Sayangnya peluru itu tertanam jauh di dalam dan sepertinya dengan sukses berhasil merobek ginjalku. Dalam kondisi seperti ini, aku pasti mati dalam waktu kurang dari 10 menit. Aku lalu memandang ke arah Eva.

Gadis itu masih diam memandangiku.

“Apa yang kau lihat?! LARI!!” bentakku pada gadis kecil itu.

Tapi Eva masih terdiam, bahkan ketika para pembunuh bayaran yang mengejar kami mulai berdatangan sambil menodongkan senjata ke arahnya.

Tiba-tiba gadis kecil itu tersenyum manis ke arahku.

“Paman tidur saja dulu. Eva mau membantu paman mengusir paman-paman galak ini dulu,” ujar Eva sambil berdiri.

“Tunggu!”

Aku berseru untuk menghentikan Eva, tapi gadis kecil itu dengan riangnya berjalan ke tengah-tengah kelompok pembunuh bayaran yang siap menembaknya.

Sial! Ayo bergeraklah!

Aku mengumpat sambil berusaha menggerakkan tubuhku. Tapi aku sudah kehilangan hampir seluruh tenagaku, pandanganku juga mulai buram. Sesekali ingatan masa lalu mulai berputar di depan mataku.

Sial! Aku tidak mau mati disini! Seruku dalam hati.

Di tengah-tengah kesadaranku yang mulai hilang, aku mendengar suara jeritan ketakutan dan kematian. Suara memilukan itu sangat akrab di telingaku hingga membuat kesadaranku kembali pulih.

Aku lalu memandang ke depan. Ke arah Eva yang seharusnya sudah mati dibunuh para pembunuh bayaran yang mengincar nyawanya. Tapi yang ada di tengah kerumunan para pembunuh bayaran itu bukan seorang gadis kecil tidak berdaya.

Eva tampak berdansa dengan gesit diantara kerumunan orang yang berusaha menembaknya. Tapi gerakan gadis kecil itu terlalu cepat, hingga tidak satupun peluru mengenai tubuh gadis itu. Satu hal yang membuatku makin terperangah adalah kedua tangan Eva kini ditumbuhi cakar setajam pisau cukur.

Sambil berdansa memutari lawan-lawannya, Eva sesekali mengayunkan tangannya dengan anggun, membuat kepala, tangan, kaki, pinggang, dan bahu lawannya berjatuhan ke lantai. Tentu saja diiringi semburan darah yang memancar seperti pancuran air. Hanya butuh waktu beberapa menit sampai seluruh pembunuh bayaran yang mengepungnya disulap jadi potongan-potongan daging yang berserakan di lantai.

Seluruh tubuh Eva kini berwarna merah terang akibat terkena darah korban-korbannya. Sosok gadis kecil itu kini lebih mirip seorang malaikat pencabut nyawa yang baru saja berpesta pora.

Demi Tuhan! Apa yang.......tidak! Ini tidak mungkin! Ini pasti hanya mimpi!

Aku sama sekali tidak bisa mempercayai penglihatanku. Gadis yang tadinya kukira sama sekali tidak berbahaya dan tidak berdaya, rupanya adalah monster pembunuh yang sadis.

Sial! Pantas saja bos dan para pembunuh bayaran itu begitu ingin membunuhnya!

Aku jadi menyesali kelemahanku sendiri.

“Paman.”

Eva memanggilku sambil berjalan dengan langkah riang ke arahku. Dengan santainya, gadis kecil itu menjilati cakar tajamnya sambil berjalan menghampiriku.

“Paman sudah aman sekarang. Paman-paman galak itu semuanya sudah Eva tidurkan,” ujar Eva dengan nada riang, seakan-akan pembantaian yang baru dia lakukan adalah permainan dan dia pemenangnya.

Aku hanya terdiam dan tidak bisa mengatakan apapun.

Instingku sekarang mulai mendesakku agar segera menghabisi nyawanya. Tanpa basa-basi aku mengerahkan seluruh tenagaku yang tersisa dan mengambil sepucuk derringger, pistol mini dua peluru yang kusimpan sebagai senjata rahasia. Dengan segera aku menodongkan senjata itu ke kepala Eva.

Aku tidak mau melanggar prinsipku, tapi yang ada di depanku ini bukan seorang gadis kecil, tapi seekor monster. Monster pembunuh yang tidak berperasaan, yang mengganggap membantai orang itu menyenangkan.

“Paman?” tanya Eva heran.

“Maaf. Tadinya aku tidak ingin membunuhmu. Tapi melihat dirimu sekarang, kau sama sekali bukan manusia. Kau ini monster!” ujarku sambil menarik hammer derringger milikku. “Jadi maafkan aku!”

Begitu selesai mengucapkan kalimat itu, aku langsung menarik pelatuk pistol mini itu dan suara letusan senjata terdengar nyaring membelah kesunyian gudang tua tempat kami berada.

****

Adalah suatu keajaiban aku masih hidup setelah semua kejadian yang kualami 2 bulan yang lalu.

Kalau waktu itu temanku tidak kebetulan lewat dan melihatku sedang sekarat, mungkin sekarang aku sudah tidur panjang di dalam peti mati. Sebenarnya hanya berkat suatu keajaiban aku masih bertahan hidup dari luka parah yang kuderita, karena orang biasa pasti sudah mati kalau di tubuhnya bersarang 5 butir peluru.

Tapi aku sungguh beruntung, tidak seperti kenalanku, Heinkel.

Tubuh Heinkel yang tidak bernyawa lagi ditemukan di sebuah gudang tua, tidak jauh dari tempatku terbaring karena ditembak. Pembunuh bayaran top itu ditemukan tewas bukan akibat luka tembak di pinggang, tapi akibat kepalanya yang berpisah dari tubuhnya.

Aku sama sekali tidak tahu apa atau siapa yang menyebabkan Heinkel terbunuh. Tapi yang pasti di dekat tempat Heinkel terbunuh, terdapat genangan darah yang nyaris membentuk sebuah kolam besar. Selain genangan darah itu, gudang tua itu juga dipenuhi percikan darah dimana-mana, di dinding, di lantai, bahkan di atap gudang yang cukup tinggi. Pertanda bahwa ada semacam pembantaian yang terjadi di dalam sana, tapi tidak ada yang tahu siapa atau apa yang menyebabkan kekacauan semacam itu.

Yang pasti, para pembunuh bayaran yang sempat mengejarku, Heinkel, dan Eva, semuanya menghilang tanpa jejak. Termasuk bos Heinkel dan beberapa petinggi lain di kelompok mafia yang dia pimpin. Mereka semua hilang begitu saja bagai ditelan bumi. Banyak yang menduga mereka semua entah melarikan diri atau dibunuh. Tapi walau sudah lewat dua bulan, mayat mereka semua sama sekali tidak ditemukan. Berita ini menjadi pembicaraan panas di dunia bawah selama 2 bulan belakangan ini. Berbagai rumor juga beredar di dunia bawah, tapi tidak satupun bisa dipastikan kebenarannya.

“Bibi.”

Aku menoleh ke arah Eva, gadis kecil berambut pirang dan bermata hijau toska yang berdiri di sampingku.

Setelah menghilang selama lebih dari 2 minggu sejak semua keributan yang terjadi gara-gara dirinya, anak itu kembali muncul di rumah sakit tempatku dirawat. Anak itu ditemukan perawat sedang tidur di lantai, tepat di depan ruangan tempatku menghabiskan waktu lebih dari sebulan akibat luka yang kuderita.

Meski aku terus bertanya-tanya siapa sebenarnya gadis misterius ini, aku tidak ambil pusing dan memutuskan untuk merawatnya.

“Bibi~!” ujar Eva dengan nada merengek sambil menarik lengan bajuku.

“Ada apa Eva?” tanyaku pada gadis itu.

Sambil nyengir lebar dan memperlihatkan deretan gigi taringnya yang tajam, gadis kecil itu berkata padaku.

“Eva lapar~!”

****

~FIN?~

red_rackham_2011

Comments