Everyday Adventure XVIII: Colony
Jarak yang harus
ditempuh Maria dan Buggy untuk sampai ke Colony dengan menggunakan MagLev
sebenarnya hanya memakan waktu setengah jam saja, namun bagi Maria, perjalanan
itu seolah-olah makan waktu seharian. Sejak naik ke dalam kereta magnet yang
melayang dengan kecepatan tinggi itu, Maria sudah tidak sabar untuk turun lagi.
Gynoid itu ingin segera bertemu dengan para Automa yang tinggal di Colony, yang
juga merupakan perwujudan dari manusia-manusia yang tersisa di Bumi pasca
terjadinya Catastrophy.
Sulit bagi Maria
untuk membayangkan bagaimana kehidupan para Automa di Colony itu, sebab
satu-satunya Automa yang dia kenal adalah sosok yang penyendiri dan tidak suka
bersosialisasi. Selain itu, dia belum pernah mendengar informasi lengkap
mengenai kondisi di dalam Colony sendiri, kecuali dari cerita beberapa robot
yang konon ikut membangun kota itu di masa lalu.
“Gyamtso, sebenarnya
kehidupan di Colony itu seperti apa sih?”
Maria akhirnya
memberanikan diri untuk bertanya pada Automa yang tadi menjadi pemandunya di
Outpost. Gyamtso pun menoleh dan terlihat berpikir sejenak.
“Hmm ... bagaimana
ya? Bisa dibilang biasa-biasa saja,” sahut Automa itu. “Sebagian Automa
menghabiskan waktunya dengan hal-hal yang menurut mereka menarik. Sementara
yang lainnya ... yah ... memilih untuk menyelam jauh ke dalam Virtual Sphere.”
“Virtual Sphere?”
tanya Maria penasaran. “Apa itu?”
“Dunia virtual.
Singkatnya sih itu ruang maya di mana para Automa bisa menjalani kehidupan
sesuai yang mereka mau. Sebagian besar hidup di dunia maya yang diprogram
semirip mungkin dengan tempat tinggal mereka di masa lalu, sementara yang lain
... yah ... bisa dibilang bermain-main dengan kehidupan lain yang lebih seru,”
jelas Gyamtso. Dia lalu terdiam cukup lama, sebelum akhirnya melanjutkan
penjelasannya lagi. “Bisa dibilang itu adalah cara para Automa untuk melarikan
diri dari kenyataan pahit bahwa dunia yang dulu mereka kenal sudah berakhir
lama sekali. Bagaimanapun juga, bagi sebagian orang, runtuhnya peradaban
Manusia terjadi begitu cepat. Terlalu cepat malah, sehingga sama sekali tidak
pernah terbayangkan sebelumnya kalau peradaban kami ini begitu ... rapuh.”
Maria memandangi
Gyamtso cukup lama. Meskipun Automa bertubuh setengah laba-laba itu tidak
memiliki wajah yang bisa menunjukkan emosi dengan jelas, tapi Maria tahu kalau
Gyamtso merasa sedih ketika dia menjelaskan soal itu.
“Yah ... tapi itu
sudah terjadi lama sekali,” ujar Gyamtso lagi. “Yang penting sekarang adalah
fakta bahwa kami semua masih hidup. Itu yang terpenting. Bukan begitu?”
“Betul! Itu yang
terpenting~!” sahut Buggy, yang bertengger di atas kepala Maria.
Maria pun ikut
mengiyakan.
“Iya. Itu yang paling
penting!” ujar Gynoid itu dengan nada riang, dia lalu menoleh ke arah tumpukan
berbagai barang yang ada di ruang kargo, tempatnya dan Gyamtso berada saat ini.
“Ngomong-ngomong. Barang-barang yang dikirim dari Bravaga ke Colony itu apa
sih?”
“Huh? Anda tidak
tahu?” tanya Gyamtso kebingungan.
Maria menggelengkan
kepalanya.
“Enggak tahu,”
sahutnya singkat. “Enggak ada yang ngasih tahu dan aku sendiri enggak nanya
sih.”
Gyamtso berjalan
mendekati salah satu peti kargo, kemudian membuka dan mengeluarkan isinya, yang
ternyata semacam komponen mesin.
“Suku cadang tubuh
Automa, komponen mesin, dan alat-alat elektronik lainnya,” ujar Gyamtso sambil
menyerahkan sebuah benda mirip tabung yang dia ambil dari peti kargo kepada
Maria. “Dengan kemampuan yang dimiliki oleh Clone Replicator di Central Tower
kota Bravaga, kalian bisa menciptakan berbagai macam benda berteknologi tinggi
yang sudah lama hilang sejak Catastrophy menghancurkan peradaban manusia.
Sementara itu, kami di Colony memiliki sumber daya mineral yang kaya dari perut
bumi, tapi tidak punya teknologi yang cukup canggih untuk mengolah sebagian
besar dari mereka menjadi benda-benda yang kami butuhkan. Jadi ... kami
mengirim material mentah ke Bravaga, dan Bravaga mengirim balik barang-barang
hasil olahan ke Colony.”
“Jadinya impas ya~!”
sahut Maria sambil mengembalikan tabung yang dia terima dari Gyamtso. “Bravaga
dapat bahan untuk bikin berbagai macam barang, Colony dapat barang hasil olahan
Mother.”
“Ya. Singkatnya seperti
itu,” ujar Gyamtso lagi. “Tapi tentu saja kami juga membiarkan Clone Replicator
mengambil sebagian material mentah dari kami untuk dipakai membuat suku cadang
para robot dan komponen lain yang dibutuhkan kota Bravaga.”
Maria
mengangguk-angguk paham. Dia baru akan bertanya lagi ketika MagLev yang
ditumpanginya perlahan-lahan mengurangi kecepatannya, kemudian berhenti dengan
satu sentakan lembut yang nyaris tidak terasa.
<Stasiun akhir:
Colony>
Sebuah suara mekanis
terdengar bergema di saluran nirkabel terbuka milik Maria. Gynoid itu pun
langsung bangkit dari kursi tempatnya duduk dan berdiri dengan tidak sabar di
depan pintu kereta. Tidak lama kemudian, pintu kereta MagLev itu pun terbuka
dan menampakkan sebuah ruangan luas berbentuk tabung, dengan deretan beberapa
kereta MagLev lainnya di jalur-jalur lain. Suara deru mesin pun terdengar
ketika beberapa alat-alat berat otomatis tampak bergerak cepat menghampiri
kereta yang ditumpangi Maria, kemudian membongkar kargo-kargo besar dengan
cepat dan efisien.
“Selamat datang di
Colony, Maria, Buggy.”
Gyamtso berkata
sambil berjalan mendahului Maria dan Buggy, ke arah sebuah kendaraan lain yang
mirip sebuah trem kuno dari era lebih dari 1000 tahun yang lalu. Dia pun lalu
memberi isyarat tangan kepada kedua tamunya untuk segera naik.
Nyaris sambil
melompat-lompat, Maria pun bergegas menghampiri Gyamtso dan naik ke kendaraan
kuno, yang jelas terlihat tidak serasi dengan tampilan stasiun besar bawah
tanah tempatnya berada itu. Namun tentu saja gynoid itu tidak mempermasalahkan
soal itu, sebab saat ini dia sangat bersemangat untuk bisa menjelajahi Colony,
tempat tinggal para Automa itu.
“Sudah siap?” Gyamtso
bertanya pada Maria, dan gynoid itu pun mengangguk. “Baiklah, kita pergi sekarang!”
Seiring dengan
ucapannya, trem kuno yang mereka naiki pun bergerak perlahan menyusuri rel
diiringi suara derit halus, kemudian masuk ke dalam terowongan yang ada di sisi
lain stasiun. Sementara itu, Maria nyaris melompat-lompat di dalam trem karena
saking semangatnya. Sikap dan ekspresi yang terpampang di wajah gynoid itu pun
membuat Gyamtso tersenyum dalam hati.
****
Cukup lama trem yang
dinaiki Maria, Gyamtso, dan Buggy itu berjalan menyusuri terowongan, terutama
karena kecepatan trem listrik kuno itu yang memang tidak terlalu cepat. Namun
setelah sekitar dua puluh menit mereka bergerak dalam diam, akhirnya trem itu
melaju keluar dari terowongan, dan Maria pun langsung terbelalak kagum.
Pasalnya saat ini
trem yang dia naiki itu sedang melaju di atas rel spiral yang berputar ke bawah
sebuah ruang silindris raksasa, yang ukurannya begitu besar hingga Central
Tower, beserta satu blok bangunan di sekitarnya, bisa muat ke tengah ruangan
super-besar itu. Namun ruangan raksasa itu tidak kosong melompong. Jalur-jalur
transportasi seperti kereta tabung, trem kuno, jalan raya, dan pipa-pipa
raksasa tampak sesekali melintang di tengah-tengah ruangan. Sementara itu,
sisi-sisi ruang silindris megah itu dipenuhi bangunan berbagai bentuk, yang
sebagian jelas-jelas dibangun di dalam dinding batu, sementara sebagian lagi
tampak dibangun belakangan dan menempel di dinding dan bangunan lain yang sudah
ada sebelumnya. Namun satu hal yang jelas, seluruh tempat berukuran tidak masuk
akal ini jauh dari kesan suram, menakutkan, atau gelap. Sebaliknya, seluruh
ruangan silindris yang dilintasi trem yang dinaiki Maria itu terlihat terang,
bersih, dan sangat teratur. Sangat berbeda sekali dengan Bravaga, apalagi
dengan Outpost yang ada di luar sana.
Selain itu, ‘kota’ yang
didatangi Maria itu dipenuhi oleh berbagai macam sosok-sosok humanoid yang
sebagian besar berwujud seperti dirinya, atau dengan kata lain, berwujud mirip
manusia. Mereka tidak lain adalah Automa yang menghuni Colony. Meskipun tidak
seramai Bravaga, tapi di jalanan yang melintang di tengah ruangan, atau pun di
jalan-jalan di kompleks bangunan yang tertanam di dinding ruangan silindris
itu, selalu bisa ditemukan Automa yang melintas.
Ekspresi kagum yang
jelas-jelas terpampang di wajah Maria membuat Gyamtso kembali tersenyum dalam
hati. Dia pun berjalan menghampiri gynoid yang bersandar di jendela trem itu.
“Sekali lagi saya
ucapkan ... selamat datang di Colony. Kota perlindungan terakhir milik umat
manusia,” ujar Gyamtso sambil memandang ke deretan bangunan di dinding
seberang. “Sekarang kita sedang berada di Silo Nomor Tiga, satu dari Tujuh Silo
yang dibangun pada akhir era Perang Bulan Kedua. Dan di sini kita akan bertemu
dengan seseorang. Beliau juga sudah menunggu kedatangan kalian sejak lama.”
Maria memandangi
Gyamtso sejenak.
“Siapa?” tanyanya
bingung. Soalnya Ryouta dan Arslan tidak bilang apa-apa soal orang lain yang
akan bertemu dengannya. Gynoid itu lalu memandangi Buggy yang juga bertengger
di pinggir jendela trem. “Kamu tahu siapa yang akan kita temui?”
Buggy balas
memandangi Maria, kemudian menggoyangkan badannya, tanda bahwa dia juga tidak
tahu.
“Entah. Enggak ada
yang bilang apa-apa padaku,” ujar robot berbentuk mirip kecoak raksasa itu. Dia
lalu ganti menatap ke arah Gyamtso. “Kau janjian dengan siapa?”
“Seorang ahli robotik
dan Automa terbaik di Colony. Beliau sudah lama mendengar cerita soal robot
Generasi Baru di Bravaga, serta banyak mendengar berita soal perkembangan para
robot di kota kalian. Dan tentu saja itu membuatnya penasaran. Tapi karena
kesibukan dan peranan pentingnya di kota ini, Beliau tidak benar-benar punya
waktu untuk berkunjung ke kota kalian.” Gyamtso menjawab pertanyaan Buggy
sambil berjalan ke depan trem, kemudian dia menunjuk ke arah sebuah stasiun
kecil yang ada di kejauhan. “Kita hampir sampai dan Beliau pun sudah menunggu
kedatangan Anda sekalian.”
Maria dan Buggy pun
langsung menghampiri Gyamtso dan melihat sesosok pria berpakaian serba hitam
dan mengenakan topi bulat yang mirip topi para bangsawan era kerajaan Victoria,
ribuan tahun lalu. Selain itu, pria itu juga mengenakan setelah jas dan pakaian
dengan gaya serupa, yang jelas-jelas amat sangat ketinggalan jaman. Sekilas
pandang, pria itu mirip manusia, tapi begitu trem yang dinaiki Maria berhenti
di depan pria itu, jelas bahwa sosok bergaya Victorian ini bukan manusia,
melainkan Automa seperti Gyamtso.
“Selamat datang di
Colony, Maria, Buggy. Saya sudah menunggu kedatangan kalian,” ujar Automa
misterius itu sambil mengulurkan satu dari beberapa tangan mekaniknya.
“Perkenalkan, nama saya Graham. Saya yang akan memandu kalian menggantikan Gyamtso.”
Maria pun melompat
keluar dari trem, kemudian menjabat tangan Graham sembari tersenyum lebar.
“Salam kenal, Graham.
Terima kasih sudah menyambut kami~!” ujarnya riang. Dia lalu menoleh ke arah
Gyamtso, yang masih berdiri di dalam trem. “Kamu enggak ikut?”
Gyamtso menggelengkan
kepalanya.
“Tidak. Tugas saya
sudah selesai sampai di sini saja. Masih ada pekerjaan lain yang harus saya
selesaikan,” ujarnya lembut. “Kuharap kita bisa bertemu lagi lain kali dan ...
terima kasih karena sudah mengingatkan orang tua ini akan rasanya kembali
menjadi manusia ...”
Tanpa menunggu jawaban dari Maria, Gyamtso pun
membungkuk hormat di hadapan gynoid itu. Kemudian trem yang dinaikinya pun
perlahan-lahan kembali bergerak menyusuri rel dan menghilang di tikungan di kejauhan.
Kini hanya tersisa Maria, Buggy, dan Graham yang masih berdiri di pinggir
stasiun trem Silo Nomor Tiga kota Colony itu.
“Nah, tunggu apa
lagi? Sebaiknya kita mulai jalan saja. Tempat yang kita tuju tidak jauh dari
sini.”
Graham pun berbalik
dan mulai berjalan, sementara Maria dan Buggy sempat saling pandang selama
beberapa saat, sebelum akhirnya bergegas menyusul Automa berpakaian kuno itu.
Sambil jalan, Maria
tentu saja tidak henti-hentinya bertanya soal berbagai macam hal terkait
kehidupan para Automa di Colony. Mulai dari sejarah pembuatannya, hingga gaya
hidup mereka saat ini. Di luar dugaan, Graham menjawab semua pertanyaan Maria
dengan sabar dan dengan gaya bicara yang elegan. Namun di balik itu, Maria
menangkap kesan ‘dingin’ dari sosok Graham. Sayangnya gynoid itu tidak bisa
mengungkapkan dengan kata-kata apa sensasi atau kesan ‘dingin’ yang dia rasakan
itu.
“Jadi ... sebenarnya
aku diundang ke sini ini untuk apa ya? Soalnya Ryouta atau Arslan atau kakek
Tesla tidak bilang apa-apa soal pertemuan denganmu ini. Jadi sejujurnya aku
enggak tahu apa-apa nih soal apa yang mau kita lakukan sekarang.”
Berbeda dengan
pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, kali ini Graham terdiam dan berhenti
berjalan. Automa itu lalu menoleh ke arah Maria, kemudian membetulkan posisi
kacamata bulat bergaya kuno yang dia kenakan.
“Tidak ada yang
menjelaskan maksud tujuanmu ke sini?” tanyanya kebingungan.
Maria mengangguk
mengiyakan.
“Ah~!” ujar Graham
lagi. “Begitu rupanya. Pantas saja.”
Ucapan Graham membuat
Maria makin kebingungan.
“Memangnya aku ke sini
untuk apa sih?” tanya gynoid itu. “Kok semuanya terkesan misterius begitu. Apa
yang kalian sembunyikan sih?”
Graham tampak
berpikir sejenak dan menimbang-nimbang pilihannya. Ekspresi wajah Automa itu
jelas-jelas menunjukkan kalau dia ragu dengan pilihan apa pun yang ada saat
ini, tapi pada akhirnya dia pun memutuskan untuk membawa Maria ke tempat yang
tidak ingin dia kunjungi saat ini.
“Kalau begitu. Ikuti
saya. Kita terpaksa menunda urusan utama kita agak lama, tapi ini penting
supaya kamu, dan juga temanmu ini, paham apa peranan penting kalian saat ini.”
Tanpa bicara sepatah
kata pun lagi, Graham kembali berjalan. Kali ini dengan langkah yang lebih
cepat, disusul oleh Maria dan Buggy, yang keduanya masih bingung dengan
perubahan sikap Automa berpakaian serba hitam itu. Maria ingin sekali bertanya
lagi pada Graham, tapi ekspresi di wajah Automa itu membuatnya mengurungkan
niat. Ada campuran perasaan marah dan putus asa yang jelas-jelas tertuang di
wajah Graham, dan tentu saja itu membuat Maria penasaran. Hanya saja dia tahu
ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan soal apa yang membuat Automa itu
berubah sikap.
Itu sebabnya Maria,
dan juga Buggy, hanya diam selagi Graham membawa mereka menaiki trem lain yang
tampaknya menunjuk ke ruangan silinder raksasa lainnya. Namun berbeda dengan
Silo Nomor Tiga tadi, Silo yang sekarang mereka datangi tampak lebih suram dan
kurang terawat. Banyak jaringan transportasi yang melintang di tengah Silo jelas-jelas
tampak diabaikan dan rusak tidak terawat. Selain itu, cukup banyak bangunan di
dinding silo yang sudah setengah roboh, namun seperti dibiarkan begitu saja dan
tidak ada yang memperbaikinya.
“Tempat ini kayaknya
udah lama enggak ada yang merawat. Apa yang terjadi di sini?” tanya Maria
penasaran. Akhirnya dia tidak bisa menahan diri lagi. “Ada masalah apa sih?”
Graham memandangi
Maria selama beberapa saat.
“Lebih mudah
menjelaskan kalau kalian menyaksikan dengan kedua mata sintetik sendiri,” ujar
Automa itu. Kemudian dia pun kembali terdiam.
Graham tidak
mengucapkan apa-apa sampai setelah mereka turun dari trem dan berjalan
menyusuri ‘kota’ yang tampak setengah diabaikan itu. Sama sekali tidak terlihat
ada Automa yang berseliweran di jalan, tidak seperti Silo Nomor Tiga tadi. Itu
... sampai akhirnya Maria menemukan sebuah Automa wanita yang berdiri di
pinggir jalan. Begitu melihat Maria, Buggy, dan Graham datang, Automa itu pun
berjalan menghampiri mereka dan tersenyum lebar.
“Selamat datang di
Megacity. Selamat menikmati kunjungan Anda sekalian,” ujar Automa itu dengan
ramah sembari mengulurkan sebelah tangannya. “Silahkan, ini akan membantu Anda
menemukan tempat-tempat menarik di kota ini. Selamat berwisata~!”
Maria kebingungan melihat
perbuatan Automa itu, terutama di tangan wanita itu tidak ada apa pun. Dia lalu
menoleh ke arah Graham sambil memberi isyarat meminta petunjuk, dan Graham pun
seolah mengambil sesuatu yang tidak terlihat dari tangan Automa wanita di
depannya, kemudian mengangguk dan memaksakan senyuman.
“Terima kasih,
Margaret,” ujarnya dengan nada getir.
“Sama-sama,” ujar
Automa bernama Margaret itu, yang lalu kembali berjalan ke arah tempatnya
berdiri tadi. Namun baru beberapa menit dia berdiri di sana, Margaret tahu-tahu
menoleh lagi ke arah Maria, Graham, dan Buggy, kemudian kembali berjalan
menghampiri ketiganya lagi sambil tersenyum.
“Selamat datang di
Megacity. Selamat menikmati kunjungan Anda sekalian,” ujar Automa itu dengan
ramah sembari mengulurkan sebelah tangannya. “Silahkan, ini akan membantu Anda
menemukan tempat-tempat menarik di kota ini. Selamat berwisata~!”
Kali ini Maria
langsung menoleh ke arah Graham.
“Ada apa ini? Kenapa
dia?” tanya gynoid itu penasaran.
“Ayo, kita pergi dulu
dari sini.”
Tanpa menjawab
pertanyaan Maria, Graham pun menarik tangan gadis robot itu dan memaksanya
berjalan menjauhi Margaret, yang kini sudah kembali berdiri di tempatnya tadi.
Kali ini Maria menyadari kalau hanya jalanan di sekitar Margaret saja yang
sedikit lebih bersih dari debu dan pasir yang menumpuk di jalan berlapis beton
itu, menandakan kalau tempat ini sudah lama sekali tidak dikunjungi orang lain.
Sepanjang jalan,
Maria dan Buggy pun bertemu dengan Automa lain, yang semuanya melakukan hal-hal
aneh yang berulang-ulang. Ada yang terus menerus melakukan gerakan seolah-olah
dia sedang menyapu, padahal tangannya tidak memegang apa pun. Ada yang terlihat
membuka-tutup pintu yang sudah tidak lagi ada di tempatnya. Dan tentu saja ada
pula yang menyapa Maria, Buggy, dan Graham, namun dengan mengulang-ulang
perkataannya hanya dalam selang beberapa menit saja. Semua perilaku mereka
jelas amat tidak normal dan itu pun membuat Maria ketakutan.
“Apa yang terjadi di
sini? Kenapa mereka semua seperti orang linglung dan mengulang-ulang perkataan
atau pekerjaan? Apa mereka rusak?” tanya Maria sambil meraih jubah yang
dikenakan oleh Graham. “Hei! Jangan diam saja!”
Graham pun berhenti
berjalan dan menoleh ke arah gynoid berambut hitam, yang matanya sudah terlihat
berkaca-kaca. Ekspresi wajah Maria yang terlihat bingung dan sedih itu pun
membuat Graham terkejut. Dia tidak menyangka kalau gynoid yang ada di depannya
itu sungguh-sungguh memiliki emosi yang lebih kuat dari sebagian besar Automa,
atau manusia, yang tersisa saat ini.
“Kami tidak tahu
kapan itu dimulai dan apa penyebab pastinya,” ujar Graham sambil duduk di atas
bangku beton berdebu yang ada di pinggir jalan. Dia lalu mengangkat
tangan-tangan kanan mekaniknya yang berjari tiga. “Dulu kami berpikir dengan
pindah ke tubuh mesin, kami berhasil melarikan diri dari bencana dan ancaman
kematian saat kondisi bumi sudah tidak lagi mendukung kehidupan manusia. Bahkan
ada yang beranggapan kami sudah berhasil menggapai apa yang disebut sebagai
keabadian. Tubuh mesin ini tidak akan tua. Tidak mudah rusak. Dan tentu saja
lebih mudah diperbaiki dari pada tubuh organik kami yang lama. Tapi ...”
“... ternyata banyak
masalah,” sahut Buggy sambil melompat ke atas bangku di samping Graham. “Aku
udah pernah dengar rumor soal ‘penyakit’ Automa, tapi enggak nyangka bakalan
lihat langsung.”
“Penyakit?” tanya
Maria bingung sambil menahan tangis. Dia pun ikut duduk di samping Graham.
“Secara teknis bisa
dibilang penyakit,” balas Graham singkat dan dengan nada getir. “Kami
menyebutnya Soul Decay, atau Peluruhan Jiwa.”
Graham berhenti
sejenak dan menyaksikan sebuah Automa yang sejak tadi berjalan mondar-mandir
menyusuri satu blok kota. Dia lalu kembali menatap ke arah Maria.
“Singkatnya, itu
adalah ‘penyakit’ yang membuat kami, para Automa, perlahan-lahan kehilangan
kepribadian kami dan kemudian berubah menjadi sekedar mesin tidak berguna yang
bahkan tidak sadar kalau kami sudah rusak,” ujar Graham lagi. “Tidak peduli apa
pun yang kami coba dan tidak peduli seberapa kali pun kami memperbaiki diri,
Soul Decay pasti terjadi pada semua Automa ... cepat atau lambat.”
“Apa ada
penyembuhnya?” tanya Maria. “Pasti ada kan?”
Graham menggelengkan
kepalanya, kemudian melepas topi bundarnya.
“Sayangnya tidak ada
... setidaknya untuk saat ini kami tidak tahu bagaimana cara memperlambat atau
menyembuhkan Soul Decay,” ujar Automa itu sambil menatap lurus ke arah kedua
mata Maria. “Dan di sinilah peranan pentingmu, sekaligus alasan utama kenapa
kami akhirnya mengundangmu kemari.”
Maria langsung
mengerutkan alisnya karena bingung.
“Apa itu?” tanyanya
penasaran.
“Kami memerlukan
cyberbrain-mu,” ujar Graham dengan tegas.
****
Tadinya Maria sempat
ketakutan ketika Graham mengatakan kalau dia membutuhkan cyberbrain Maria, tapi
setelah Automa itu menjelaskan panjang lebar alasannya, Maria pun akhirnya
memutuskan untuk membantunya.
Menurut Graham, robot
generasi baru yang dibuat oleh Mother di Central Tower memiliki tingkat
kerumitan teknologi yang tidak dimiliki oleh robot generasi lama dari era
sebelum Catastrophy. Selain itu, Graham juga meyakini kalau struktur cyberbrain
Maria, sebagai robot generasi terbaru, amat sangat berbeda dengan yang lainnya.
Terutama karena gynoid itu menunjukkan level kompleksitas pemikiran dan emosi
yang sama, atau bahkan, lebih baik daripada manusia, atau pun Automa seperti
Graham. Itulah alasan mengapa Graham meminta Central Tower untuk mendatangkan Maria
ke Colony, supaya dia bisa memeriksa struktur fisik dan sistem kepribadian
buatan yang ada di dalam tubuh Maria.
“Bagaimana kalau aku
enggak mau?”
Maria sempat bertanya
seperti itu pada Graham, meskipun dia sebenarnya bisa membayangkan kalau saat
ini dia bisa dibilang sedang berada di dalam wilayah kekuasaan Automa itu, dan
tentu saja Graham bisa memaksa Maria dengan mudah.
“Kalau kamu tidak mau
membantu?”
Graham mengulangi
pertanyaan Maria. Automa itu lalu mengatupkan tangan-tangannya di depan wajah,
kemudian menatap lurus ke arah Maria yang berdiri di hadapan Automa itu. Pada
saat yang sama, Buggy melompat ke pundak Maria dan menegakkan sayapnya, siap
untuk membela temannya itu kalau-kalau Graham nekat menyergap mereka.
“Saya sebenarnya
punya pilihan untuk memaksa kalian berdua untuk mengikuti perintah saya. Tapi
saya tidak ingin membuat masalah dengan Bravaga. Biar bagaimana pun, hidup kami
di Colony ini sangat bergantung dengan berbagai barang-barang berteknologi
tinggi yang kalian hasilkan. Kalau aku menyakitimu dan kabar soal itu sampai ke
Central Tower ... masalahnya bisa lebih rumit lagi ... terutama karena saya
tahu saat ini ada dua mesin perang pemusnah massal yang bersiaga di Outpost.
Mereka pasti tidak akan tinggal diam dan akan menerjang masuk ke sini. Sang
Guardia mungkin bukan masalah ... tapi Machina-nya ...”
Maria pun langsung
membayangkan sosok Ryouta dan Arslan yang menyerbu masuk ke dalam Colony dan
... yah ... singkatnya sih mengamuk di dalam tempat ini.
“Lalu ... bagaimana
denganmu, Maria? Apa kamu mau membantu kami?” tanya Graham sambil mengulurkan
tangan kirinya yang memiliki bentuk seperti tangan manusia. Tapi Maria tetap
tidak bergeming untuk menyambut uluran tangan Graham. Graham pun tersenyum
tipis dan kembali bicara. “Saya percaya di balik teknologi canggih yang
tertanam dalam dirimu, ada kepingan puzzle yang bisa membantu kami, para
Automa, untuk tetap bertahan hidup dan mungkin ...”
Graham berhenti
bicara sejenak dan mengamati beberapa sosok Automa yang melakukan pekerjaan
yang sama berulang-ulang di kejauhan. Dia lalu kembali memandang lurus ke arah
kedua mata elektronik Maria.
“... mungkin saja
kami pada akhirnya bisa menemukan cara untuk memulihkan mereka yang sudah lama
kehilangan diri mereka ...”
Ucapan Graham
langsung membuat dada Maria tercekat. Dia menyaksikan sendiri beberapa Automa
yang tampak tidak sadar kalau dirinya sudah ‘rusak’, kemudian kondisi silo
tempatnya berada saat ini pun membuat suasana di sekitar Maria jadi semakin
memilukan. Dia lalu membayangkan sosok satu-satunya Automa yang dia kenal di
Bravaga, dan kemungkinan bahwa Automa berkepala televisi kuno itu jadi ‘rusak’
seperti Margaret tadi, membuat Maria merinding.
Gynoid itu lalu
membulatkan tekadnya.
“Baiklah. Aku akan
membantumu,” ujar Maria dengan tegas. Gynoid itu lalu meletakkan tangan
kanannya di dada kiri. “Kalau tubuhku ini bisa membantu manusia membangun
kembali peradaban mereka, maka aku akan melakukannya. Aku akan merelakan tubuh
dan cyberbrain-ku diperiksa olehmu, Graham.”
“Oi! Apa kamu
yakin?!” Buggy yang tidak banyak bicara sejak memasuki Colony pun akhirnya
angkat suara. Robot kecoak itu menatap tajam ke arah Maria dengan kedua matanya
yang bulat besar. “Kita enggak tahu kamu mau diapakan! Bisa-bisa nanti kamu
malah rusak dan ...”
Buggy berhenti bicara
sejenak, kemudian mengusap tubuhnya ke pipi Maria.
“... dan kamu enggak
akan kembali lagi bersama kami ...” ujarnya dengan nada sedih.
Maria memandangi
Buggy selama beberapa saat dan menyadari ... kalau dirinya sampai tidak kembali
lagi ke Bravaga, maka Buggy, Ryouta, Arslan, dan banyak orang di kota itu
mungkin akan merasa sedih. Khusus untuk Ryouta dan Arslan, seperti kata Graham
tadi, keduanya tidak akan menahan diri lagi dan mungkin akan langsung menyerang
Colony.
“Kalian tidak perlu
khawatir.” Graham kini bicara sembari berdiri di hadapan Maria dan Buggy, lalu
mengenakan kembali topi bundarnya. “Atas nama Colony, saya berjanji tidak akan
melukai Maria dan apa yang akan saya lakukan ini sungguh-sungguh atas
kepentingan para Automa di kota ini.”
Maria dan Buggy
saling pandang selama beberapa saat, kemudian mengangguk bersamaan.
“Kupegang janjimu!”
sahut Buggy tegas.
“Tentu saja,” balas
Graham. Dia lalu mulai berjalan ke arah kedatangan mereka tadi. Automa itu
kemudian tersenyum tipis lagi ke arah Maria. “Sesuai namamu, Maria. Kamu mungkin
akan melahirkan sesuatu yang besar dan akan mengubah hidup kami semua.”
Maria memandangi
sosok Graham yang berjalan semakin jauh dan berpikir selama beberapa saat. Dia
memang masih belum bisa sepenuhnya mempercayai ucapan Graham dan Maria pasti
bohong kalau dia bilang dia tidak takut atau khawatir dengan apa yang akan
terjadi pada dirinya nanti. Bisa saja Graham menipunya dan justru akan
membongkar seluruh tubuhnya dan membiarkannya begitu saja setelah selesai
diperiksa.
Setelah menggelengkan
kepala untuk mengusir pikiran-pikiran gelap seperti itu, Maria pun memandangi
sosok Margaret, yang untuk kesekian kalinya, berusaha menawarkan sesuatu yang
sudah tidak ada lagi pada Graham yang melintas di hadapannya. Pemandangan itu
pun semakin memantapkan pilihan Maria.
Kalau ada sesuatu apa
pun yang bisa kulakukan untuk memperbaiki para Automa itu, aku akan
melakukannya.
Bahkan ...
... bila itu artinya
dia harus mengorbankan dirinya sendiri ...
****
~FIN?~
red_rachman 2018
Comments