Everyday Adventure XVIII: Colony


Jarak yang harus ditempuh Maria dan Buggy untuk sampai ke Colony dengan menggunakan MagLev sebenarnya hanya memakan waktu setengah jam saja, namun bagi Maria, perjalanan itu seolah-olah makan waktu seharian. Sejak naik ke dalam kereta magnet yang melayang dengan kecepatan tinggi itu, Maria sudah tidak sabar untuk turun lagi. Gynoid itu ingin segera bertemu dengan para Automa yang tinggal di Colony, yang juga merupakan perwujudan dari manusia-manusia yang tersisa di Bumi pasca terjadinya Catastrophy.
Sulit bagi Maria untuk membayangkan bagaimana kehidupan para Automa di Colony itu, sebab satu-satunya Automa yang dia kenal adalah sosok yang penyendiri dan tidak suka bersosialisasi. Selain itu, dia belum pernah mendengar informasi lengkap mengenai kondisi di dalam Colony sendiri, kecuali dari cerita beberapa robot yang konon ikut membangun kota itu di masa lalu.
“Gyamtso, sebenarnya kehidupan di Colony itu seperti apa sih?”
Maria akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada Automa yang tadi menjadi pemandunya di Outpost. Gyamtso pun menoleh dan terlihat berpikir sejenak.
“Hmm ... bagaimana ya? Bisa dibilang biasa-biasa saja,” sahut Automa itu. “Sebagian Automa menghabiskan waktunya dengan hal-hal yang menurut mereka menarik. Sementara yang lainnya ... yah ... memilih untuk menyelam jauh ke dalam Virtual Sphere.”
“Virtual Sphere?” tanya Maria penasaran. “Apa itu?”
“Dunia virtual. Singkatnya sih itu ruang maya di mana para Automa bisa menjalani kehidupan sesuai yang mereka mau. Sebagian besar hidup di dunia maya yang diprogram semirip mungkin dengan tempat tinggal mereka di masa lalu, sementara yang lain ... yah ... bisa dibilang bermain-main dengan kehidupan lain yang lebih seru,” jelas Gyamtso. Dia lalu terdiam cukup lama, sebelum akhirnya melanjutkan penjelasannya lagi. “Bisa dibilang itu adalah cara para Automa untuk melarikan diri dari kenyataan pahit bahwa dunia yang dulu mereka kenal sudah berakhir lama sekali. Bagaimanapun juga, bagi sebagian orang, runtuhnya peradaban Manusia terjadi begitu cepat. Terlalu cepat malah, sehingga sama sekali tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau peradaban kami ini begitu ... rapuh.”
Maria memandangi Gyamtso cukup lama. Meskipun Automa bertubuh setengah laba-laba itu tidak memiliki wajah yang bisa menunjukkan emosi dengan jelas, tapi Maria tahu kalau Gyamtso merasa sedih ketika dia menjelaskan soal itu.
“Yah ... tapi itu sudah terjadi lama sekali,” ujar Gyamtso lagi. “Yang penting sekarang adalah fakta bahwa kami semua masih hidup. Itu yang terpenting. Bukan begitu?”
“Betul! Itu yang terpenting~!” sahut Buggy, yang bertengger di atas kepala Maria.
Maria pun ikut mengiyakan.
“Iya. Itu yang paling penting!” ujar Gynoid itu dengan nada riang, dia lalu menoleh ke arah tumpukan berbagai barang yang ada di ruang kargo, tempatnya dan Gyamtso berada saat ini. “Ngomong-ngomong. Barang-barang yang dikirim dari Bravaga ke Colony itu apa sih?”
“Huh? Anda tidak tahu?” tanya Gyamtso kebingungan.
Maria menggelengkan kepalanya.
“Enggak tahu,” sahutnya singkat. “Enggak ada yang ngasih tahu dan aku sendiri enggak nanya sih.”
Gyamtso berjalan mendekati salah satu peti kargo, kemudian membuka dan mengeluarkan isinya, yang ternyata semacam komponen mesin.
“Suku cadang tubuh Automa, komponen mesin, dan alat-alat elektronik lainnya,” ujar Gyamtso sambil menyerahkan sebuah benda mirip tabung yang dia ambil dari peti kargo kepada Maria. “Dengan kemampuan yang dimiliki oleh Clone Replicator di Central Tower kota Bravaga, kalian bisa menciptakan berbagai macam benda berteknologi tinggi yang sudah lama hilang sejak Catastrophy menghancurkan peradaban manusia. Sementara itu, kami di Colony memiliki sumber daya mineral yang kaya dari perut bumi, tapi tidak punya teknologi yang cukup canggih untuk mengolah sebagian besar dari mereka menjadi benda-benda yang kami butuhkan. Jadi ... kami mengirim material mentah ke Bravaga, dan Bravaga mengirim balik barang-barang hasil olahan ke Colony.”
“Jadinya impas ya~!” sahut Maria sambil mengembalikan tabung yang dia terima dari Gyamtso. “Bravaga dapat bahan untuk bikin berbagai macam barang, Colony dapat barang hasil olahan Mother.”
“Ya. Singkatnya seperti itu,” ujar Gyamtso lagi. “Tapi tentu saja kami juga membiarkan Clone Replicator mengambil sebagian material mentah dari kami untuk dipakai membuat suku cadang para robot dan komponen lain yang dibutuhkan kota Bravaga.”
Maria mengangguk-angguk paham. Dia baru akan bertanya lagi ketika MagLev yang ditumpanginya perlahan-lahan mengurangi kecepatannya, kemudian berhenti dengan satu sentakan lembut yang nyaris tidak terasa.
<Stasiun akhir: Colony>
Sebuah suara mekanis terdengar bergema di saluran nirkabel terbuka milik Maria. Gynoid itu pun langsung bangkit dari kursi tempatnya duduk dan berdiri dengan tidak sabar di depan pintu kereta. Tidak lama kemudian, pintu kereta MagLev itu pun terbuka dan menampakkan sebuah ruangan luas berbentuk tabung, dengan deretan beberapa kereta MagLev lainnya di jalur-jalur lain. Suara deru mesin pun terdengar ketika beberapa alat-alat berat otomatis tampak bergerak cepat menghampiri kereta yang ditumpangi Maria, kemudian membongkar kargo-kargo besar dengan cepat dan efisien.
“Selamat datang di Colony, Maria, Buggy.”
Gyamtso berkata sambil berjalan mendahului Maria dan Buggy, ke arah sebuah kendaraan lain yang mirip sebuah trem kuno dari era lebih dari 1000 tahun yang lalu. Dia pun lalu memberi isyarat tangan kepada kedua tamunya untuk segera naik.
Nyaris sambil melompat-lompat, Maria pun bergegas menghampiri Gyamtso dan naik ke kendaraan kuno, yang jelas terlihat tidak serasi dengan tampilan stasiun besar bawah tanah tempatnya berada itu. Namun tentu saja gynoid itu tidak mempermasalahkan soal itu, sebab saat ini dia sangat bersemangat untuk bisa menjelajahi Colony, tempat tinggal para Automa itu.
“Sudah siap?” Gyamtso bertanya pada Maria, dan gynoid itu pun mengangguk. “Baiklah, kita pergi sekarang!”
Seiring dengan ucapannya, trem kuno yang mereka naiki pun bergerak perlahan menyusuri rel diiringi suara derit halus, kemudian masuk ke dalam terowongan yang ada di sisi lain stasiun. Sementara itu, Maria nyaris melompat-lompat di dalam trem karena saking semangatnya. Sikap dan ekspresi yang terpampang di wajah gynoid itu pun membuat Gyamtso tersenyum dalam hati.

****


Cukup lama trem yang dinaiki Maria, Gyamtso, dan Buggy itu berjalan menyusuri terowongan, terutama karena kecepatan trem listrik kuno itu yang memang tidak terlalu cepat. Namun setelah sekitar dua puluh menit mereka bergerak dalam diam, akhirnya trem itu melaju keluar dari terowongan, dan Maria pun langsung terbelalak kagum.
Pasalnya saat ini trem yang dia naiki itu sedang melaju di atas rel spiral yang berputar ke bawah sebuah ruang silindris raksasa, yang ukurannya begitu besar hingga Central Tower, beserta satu blok bangunan di sekitarnya, bisa muat ke tengah ruangan super-besar itu. Namun ruangan raksasa itu tidak kosong melompong. Jalur-jalur transportasi seperti kereta tabung, trem kuno, jalan raya, dan pipa-pipa raksasa tampak sesekali melintang di tengah-tengah ruangan. Sementara itu, sisi-sisi ruang silindris megah itu dipenuhi bangunan berbagai bentuk, yang sebagian jelas-jelas dibangun di dalam dinding batu, sementara sebagian lagi tampak dibangun belakangan dan menempel di dinding dan bangunan lain yang sudah ada sebelumnya. Namun satu hal yang jelas, seluruh tempat berukuran tidak masuk akal ini jauh dari kesan suram, menakutkan, atau gelap. Sebaliknya, seluruh ruangan silindris yang dilintasi trem yang dinaiki Maria itu terlihat terang, bersih, dan sangat teratur. Sangat berbeda sekali dengan Bravaga, apalagi dengan Outpost yang ada di luar sana.
Selain itu, ‘kota’ yang didatangi Maria itu dipenuhi oleh berbagai macam sosok-sosok humanoid yang sebagian besar berwujud seperti dirinya, atau dengan kata lain, berwujud mirip manusia. Mereka tidak lain adalah Automa yang menghuni Colony. Meskipun tidak seramai Bravaga, tapi di jalanan yang melintang di tengah ruangan, atau pun di jalan-jalan di kompleks bangunan yang tertanam di dinding ruangan silindris itu, selalu bisa ditemukan Automa yang melintas.
Ekspresi kagum yang jelas-jelas terpampang di wajah Maria membuat Gyamtso kembali tersenyum dalam hati. Dia pun berjalan menghampiri gynoid yang bersandar di jendela trem itu.
“Sekali lagi saya ucapkan ... selamat datang di Colony. Kota perlindungan terakhir milik umat manusia,” ujar Gyamtso sambil memandang ke deretan bangunan di dinding seberang. “Sekarang kita sedang berada di Silo Nomor Tiga, satu dari Tujuh Silo yang dibangun pada akhir era Perang Bulan Kedua. Dan di sini kita akan bertemu dengan seseorang. Beliau juga sudah menunggu kedatangan kalian sejak lama.”
Maria memandangi Gyamtso sejenak.
“Siapa?” tanyanya bingung. Soalnya Ryouta dan Arslan tidak bilang apa-apa soal orang lain yang akan bertemu dengannya. Gynoid itu lalu memandangi Buggy yang juga bertengger di pinggir jendela trem. “Kamu tahu siapa yang akan kita temui?”
Buggy balas memandangi Maria, kemudian menggoyangkan badannya, tanda bahwa dia juga tidak tahu.
“Entah. Enggak ada yang bilang apa-apa padaku,” ujar robot berbentuk mirip kecoak raksasa itu. Dia lalu ganti menatap ke arah Gyamtso. “Kau janjian dengan siapa?”
“Seorang ahli robotik dan Automa terbaik di Colony. Beliau sudah lama mendengar cerita soal robot Generasi Baru di Bravaga, serta banyak mendengar berita soal perkembangan para robot di kota kalian. Dan tentu saja itu membuatnya penasaran. Tapi karena kesibukan dan peranan pentingnya di kota ini, Beliau tidak benar-benar punya waktu untuk berkunjung ke kota kalian.” Gyamtso menjawab pertanyaan Buggy sambil berjalan ke depan trem, kemudian dia menunjuk ke arah sebuah stasiun kecil yang ada di kejauhan. “Kita hampir sampai dan Beliau pun sudah menunggu kedatangan Anda sekalian.”
Maria dan Buggy pun langsung menghampiri Gyamtso dan melihat sesosok pria berpakaian serba hitam dan mengenakan topi bulat yang mirip topi para bangsawan era kerajaan Victoria, ribuan tahun lalu. Selain itu, pria itu juga mengenakan setelah jas dan pakaian dengan gaya serupa, yang jelas-jelas amat sangat ketinggalan jaman. Sekilas pandang, pria itu mirip manusia, tapi begitu trem yang dinaiki Maria berhenti di depan pria itu, jelas bahwa sosok bergaya Victorian ini bukan manusia, melainkan Automa seperti Gyamtso.
“Selamat datang di Colony, Maria, Buggy. Saya sudah menunggu kedatangan kalian,” ujar Automa misterius itu sambil mengulurkan satu dari beberapa tangan mekaniknya. “Perkenalkan, nama saya Graham. Saya yang akan memandu kalian menggantikan Gyamtso.”
Maria pun melompat keluar dari trem, kemudian menjabat tangan Graham sembari tersenyum lebar.
“Salam kenal, Graham. Terima kasih sudah menyambut kami~!” ujarnya riang. Dia lalu menoleh ke arah Gyamtso, yang masih berdiri di dalam trem. “Kamu enggak ikut?”
Gyamtso menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Tugas saya sudah selesai sampai di sini saja. Masih ada pekerjaan lain yang harus saya selesaikan,” ujarnya lembut. “Kuharap kita bisa bertemu lagi lain kali dan ... terima kasih karena sudah mengingatkan orang tua ini akan rasanya kembali menjadi manusia ...”
 Tanpa menunggu jawaban dari Maria, Gyamtso pun membungkuk hormat di hadapan gynoid itu. Kemudian trem yang dinaikinya pun perlahan-lahan kembali bergerak menyusuri rel dan menghilang di tikungan di kejauhan. Kini hanya tersisa Maria, Buggy, dan Graham yang masih berdiri di pinggir stasiun trem Silo Nomor Tiga kota Colony itu.
“Nah, tunggu apa lagi? Sebaiknya kita mulai jalan saja. Tempat yang kita tuju tidak jauh dari sini.”
Graham pun berbalik dan mulai berjalan, sementara Maria dan Buggy sempat saling pandang selama beberapa saat, sebelum akhirnya bergegas menyusul Automa berpakaian kuno itu.
Sambil jalan, Maria tentu saja tidak henti-hentinya bertanya soal berbagai macam hal terkait kehidupan para Automa di Colony. Mulai dari sejarah pembuatannya, hingga gaya hidup mereka saat ini. Di luar dugaan, Graham menjawab semua pertanyaan Maria dengan sabar dan dengan gaya bicara yang elegan. Namun di balik itu, Maria menangkap kesan ‘dingin’ dari sosok Graham. Sayangnya gynoid itu tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata apa sensasi atau kesan ‘dingin’ yang dia rasakan itu.
“Jadi ... sebenarnya aku diundang ke sini ini untuk apa ya? Soalnya Ryouta atau Arslan atau kakek Tesla tidak bilang apa-apa soal pertemuan denganmu ini. Jadi sejujurnya aku enggak tahu apa-apa nih soal apa yang mau kita lakukan sekarang.”
Berbeda dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, kali ini Graham terdiam dan berhenti berjalan. Automa itu lalu menoleh ke arah Maria, kemudian membetulkan posisi kacamata bulat bergaya kuno yang dia kenakan.
“Tidak ada yang menjelaskan maksud tujuanmu ke sini?” tanyanya kebingungan.
Maria mengangguk mengiyakan.
“Ah~!” ujar Graham lagi. “Begitu rupanya. Pantas saja.”
Ucapan Graham membuat Maria makin kebingungan.
“Memangnya aku ke sini untuk apa sih?” tanya gynoid itu. “Kok semuanya terkesan misterius begitu. Apa yang kalian sembunyikan sih?”
Graham tampak berpikir sejenak dan menimbang-nimbang pilihannya. Ekspresi wajah Automa itu jelas-jelas menunjukkan kalau dia ragu dengan pilihan apa pun yang ada saat ini, tapi pada akhirnya dia pun memutuskan untuk membawa Maria ke tempat yang tidak ingin dia kunjungi saat ini.
“Kalau begitu. Ikuti saya. Kita terpaksa menunda urusan utama kita agak lama, tapi ini penting supaya kamu, dan juga temanmu ini, paham apa peranan penting kalian saat ini.”
Tanpa bicara sepatah kata pun lagi, Graham kembali berjalan. Kali ini dengan langkah yang lebih cepat, disusul oleh Maria dan Buggy, yang keduanya masih bingung dengan perubahan sikap Automa berpakaian serba hitam itu. Maria ingin sekali bertanya lagi pada Graham, tapi ekspresi di wajah Automa itu membuatnya mengurungkan niat. Ada campuran perasaan marah dan putus asa yang jelas-jelas tertuang di wajah Graham, dan tentu saja itu membuat Maria penasaran. Hanya saja dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan soal apa yang membuat Automa itu berubah sikap.
Itu sebabnya Maria, dan juga Buggy, hanya diam selagi Graham membawa mereka menaiki trem lain yang tampaknya menunjuk ke ruangan silinder raksasa lainnya. Namun berbeda dengan Silo Nomor Tiga tadi, Silo yang sekarang mereka datangi tampak lebih suram dan kurang terawat. Banyak jaringan transportasi yang melintang di tengah Silo jelas-jelas tampak diabaikan dan rusak tidak terawat. Selain itu, cukup banyak bangunan di dinding silo yang sudah setengah roboh, namun seperti dibiarkan begitu saja dan tidak ada yang memperbaikinya.
“Tempat ini kayaknya udah lama enggak ada yang merawat. Apa yang terjadi di sini?” tanya Maria penasaran. Akhirnya dia tidak bisa menahan diri lagi. “Ada masalah apa sih?”
Graham memandangi Maria selama beberapa saat.
“Lebih mudah menjelaskan kalau kalian menyaksikan dengan kedua mata sintetik sendiri,” ujar Automa itu. Kemudian dia pun kembali terdiam.
Graham tidak mengucapkan apa-apa sampai setelah mereka turun dari trem dan berjalan menyusuri ‘kota’ yang tampak setengah diabaikan itu. Sama sekali tidak terlihat ada Automa yang berseliweran di jalan, tidak seperti Silo Nomor Tiga tadi. Itu ... sampai akhirnya Maria menemukan sebuah Automa wanita yang berdiri di pinggir jalan. Begitu melihat Maria, Buggy, dan Graham datang, Automa itu pun berjalan menghampiri mereka dan tersenyum lebar.
“Selamat datang di Megacity. Selamat menikmati kunjungan Anda sekalian,” ujar Automa itu dengan ramah sembari mengulurkan sebelah tangannya. “Silahkan, ini akan membantu Anda menemukan tempat-tempat menarik di kota ini. Selamat berwisata~!”
Maria kebingungan melihat perbuatan Automa itu, terutama di tangan wanita itu tidak ada apa pun. Dia lalu menoleh ke arah Graham sambil memberi isyarat meminta petunjuk, dan Graham pun seolah mengambil sesuatu yang tidak terlihat dari tangan Automa wanita di depannya, kemudian mengangguk dan memaksakan senyuman.
“Terima kasih, Margaret,” ujarnya dengan nada getir.
“Sama-sama,” ujar Automa bernama Margaret itu, yang lalu kembali berjalan ke arah tempatnya berdiri tadi. Namun baru beberapa menit dia berdiri di sana, Margaret tahu-tahu menoleh lagi ke arah Maria, Graham, dan Buggy, kemudian kembali berjalan menghampiri ketiganya lagi sambil tersenyum.
“Selamat datang di Megacity. Selamat menikmati kunjungan Anda sekalian,” ujar Automa itu dengan ramah sembari mengulurkan sebelah tangannya. “Silahkan, ini akan membantu Anda menemukan tempat-tempat menarik di kota ini. Selamat berwisata~!”
Kali ini Maria langsung menoleh ke arah Graham.
“Ada apa ini? Kenapa dia?” tanya gynoid itu penasaran.
“Ayo, kita pergi dulu dari sini.”
Tanpa menjawab pertanyaan Maria, Graham pun menarik tangan gadis robot itu dan memaksanya berjalan menjauhi Margaret, yang kini sudah kembali berdiri di tempatnya tadi. Kali ini Maria menyadari kalau hanya jalanan di sekitar Margaret saja yang sedikit lebih bersih dari debu dan pasir yang menumpuk di jalan berlapis beton itu, menandakan kalau tempat ini sudah lama sekali tidak dikunjungi orang lain.
Sepanjang jalan, Maria dan Buggy pun bertemu dengan Automa lain, yang semuanya melakukan hal-hal aneh yang berulang-ulang. Ada yang terus menerus melakukan gerakan seolah-olah dia sedang menyapu, padahal tangannya tidak memegang apa pun. Ada yang terlihat membuka-tutup pintu yang sudah tidak lagi ada di tempatnya. Dan tentu saja ada pula yang menyapa Maria, Buggy, dan Graham, namun dengan mengulang-ulang perkataannya hanya dalam selang beberapa menit saja. Semua perilaku mereka jelas amat tidak normal dan itu pun membuat Maria ketakutan.
“Apa yang terjadi di sini? Kenapa mereka semua seperti orang linglung dan mengulang-ulang perkataan atau pekerjaan? Apa mereka rusak?” tanya Maria sambil meraih jubah yang dikenakan oleh Graham. “Hei! Jangan diam saja!”
Graham pun berhenti berjalan dan menoleh ke arah gynoid berambut hitam, yang matanya sudah terlihat berkaca-kaca. Ekspresi wajah Maria yang terlihat bingung dan sedih itu pun membuat Graham terkejut. Dia tidak menyangka kalau gynoid yang ada di depannya itu sungguh-sungguh memiliki emosi yang lebih kuat dari sebagian besar Automa, atau manusia, yang tersisa saat ini.
“Kami tidak tahu kapan itu dimulai dan apa penyebab pastinya,” ujar Graham sambil duduk di atas bangku beton berdebu yang ada di pinggir jalan. Dia lalu mengangkat tangan-tangan kanan mekaniknya yang berjari tiga. “Dulu kami berpikir dengan pindah ke tubuh mesin, kami berhasil melarikan diri dari bencana dan ancaman kematian saat kondisi bumi sudah tidak lagi mendukung kehidupan manusia. Bahkan ada yang beranggapan kami sudah berhasil menggapai apa yang disebut sebagai keabadian. Tubuh mesin ini tidak akan tua. Tidak mudah rusak. Dan tentu saja lebih mudah diperbaiki dari pada tubuh organik kami yang lama. Tapi ...”
“... ternyata banyak masalah,” sahut Buggy sambil melompat ke atas bangku di samping Graham. “Aku udah pernah dengar rumor soal ‘penyakit’ Automa, tapi enggak nyangka bakalan lihat langsung.”
“Penyakit?” tanya Maria bingung sambil menahan tangis. Dia pun ikut duduk di samping Graham.
“Secara teknis bisa dibilang penyakit,” balas Graham singkat dan dengan nada getir. “Kami menyebutnya Soul Decay, atau Peluruhan Jiwa.”
Graham berhenti sejenak dan menyaksikan sebuah Automa yang sejak tadi berjalan mondar-mandir menyusuri satu blok kota. Dia lalu kembali menatap ke arah Maria.
“Singkatnya, itu adalah ‘penyakit’ yang membuat kami, para Automa, perlahan-lahan kehilangan kepribadian kami dan kemudian berubah menjadi sekedar mesin tidak berguna yang bahkan tidak sadar kalau kami sudah rusak,” ujar Graham lagi. “Tidak peduli apa pun yang kami coba dan tidak peduli seberapa kali pun kami memperbaiki diri, Soul Decay pasti terjadi pada semua Automa ... cepat atau lambat.”
“Apa ada penyembuhnya?” tanya Maria. “Pasti ada kan?”
Graham menggelengkan kepalanya, kemudian melepas topi bundarnya.
“Sayangnya tidak ada ... setidaknya untuk saat ini kami tidak tahu bagaimana cara memperlambat atau menyembuhkan Soul Decay,” ujar Automa itu sambil menatap lurus ke arah kedua mata Maria. “Dan di sinilah peranan pentingmu, sekaligus alasan utama kenapa kami akhirnya mengundangmu kemari.”
Maria langsung mengerutkan alisnya karena bingung.
“Apa itu?” tanyanya penasaran.
“Kami memerlukan cyberbrain-mu,” ujar Graham dengan tegas.  

****

Tadinya Maria sempat ketakutan ketika Graham mengatakan kalau dia membutuhkan cyberbrain Maria, tapi setelah Automa itu menjelaskan panjang lebar alasannya, Maria pun akhirnya memutuskan untuk membantunya.
Menurut Graham, robot generasi baru yang dibuat oleh Mother di Central Tower memiliki tingkat kerumitan teknologi yang tidak dimiliki oleh robot generasi lama dari era sebelum Catastrophy. Selain itu, Graham juga meyakini kalau struktur cyberbrain Maria, sebagai robot generasi terbaru, amat sangat berbeda dengan yang lainnya. Terutama karena gynoid itu menunjukkan level kompleksitas pemikiran dan emosi yang sama, atau bahkan, lebih baik daripada manusia, atau pun Automa seperti Graham. Itulah alasan mengapa Graham meminta Central Tower untuk mendatangkan Maria ke Colony, supaya dia bisa memeriksa struktur fisik dan sistem kepribadian buatan yang ada di dalam tubuh Maria.
“Bagaimana kalau aku enggak mau?”
Maria sempat bertanya seperti itu pada Graham, meskipun dia sebenarnya bisa membayangkan kalau saat ini dia bisa dibilang sedang berada di dalam wilayah kekuasaan Automa itu, dan tentu saja Graham bisa memaksa Maria dengan mudah.
“Kalau kamu tidak mau membantu?”
Graham mengulangi pertanyaan Maria. Automa itu lalu mengatupkan tangan-tangannya di depan wajah, kemudian menatap lurus ke arah Maria yang berdiri di hadapan Automa itu. Pada saat yang sama, Buggy melompat ke pundak Maria dan menegakkan sayapnya, siap untuk membela temannya itu kalau-kalau Graham nekat menyergap mereka.
“Saya sebenarnya punya pilihan untuk memaksa kalian berdua untuk mengikuti perintah saya. Tapi saya tidak ingin membuat masalah dengan Bravaga. Biar bagaimana pun, hidup kami di Colony ini sangat bergantung dengan berbagai barang-barang berteknologi tinggi yang kalian hasilkan. Kalau aku menyakitimu dan kabar soal itu sampai ke Central Tower ... masalahnya bisa lebih rumit lagi ... terutama karena saya tahu saat ini ada dua mesin perang pemusnah massal yang bersiaga di Outpost. Mereka pasti tidak akan tinggal diam dan akan menerjang masuk ke sini. Sang Guardia mungkin bukan masalah ... tapi Machina-nya ...”
Maria pun langsung membayangkan sosok Ryouta dan Arslan yang menyerbu masuk ke dalam Colony dan ... yah ... singkatnya sih mengamuk di dalam tempat ini.
“Lalu ... bagaimana denganmu, Maria? Apa kamu mau membantu kami?” tanya Graham sambil mengulurkan tangan kirinya yang memiliki bentuk seperti tangan manusia. Tapi Maria tetap tidak bergeming untuk menyambut uluran tangan Graham. Graham pun tersenyum tipis dan kembali bicara. “Saya percaya di balik teknologi canggih yang tertanam dalam dirimu, ada kepingan puzzle yang bisa membantu kami, para Automa, untuk tetap bertahan hidup dan mungkin ...”
Graham berhenti bicara sejenak dan mengamati beberapa sosok Automa yang melakukan pekerjaan yang sama berulang-ulang di kejauhan. Dia lalu kembali memandang lurus ke arah kedua mata elektronik Maria.
“... mungkin saja kami pada akhirnya bisa menemukan cara untuk memulihkan mereka yang sudah lama kehilangan diri mereka ...”
Ucapan Graham langsung membuat dada Maria tercekat. Dia menyaksikan sendiri beberapa Automa yang tampak tidak sadar kalau dirinya sudah ‘rusak’, kemudian kondisi silo tempatnya berada saat ini pun membuat suasana di sekitar Maria jadi semakin memilukan. Dia lalu membayangkan sosok satu-satunya Automa yang dia kenal di Bravaga, dan kemungkinan bahwa Automa berkepala televisi kuno itu jadi ‘rusak’ seperti Margaret tadi, membuat Maria merinding.
Gynoid itu lalu membulatkan tekadnya.
“Baiklah. Aku akan membantumu,” ujar Maria dengan tegas. Gynoid itu lalu meletakkan tangan kanannya di dada kiri. “Kalau tubuhku ini bisa membantu manusia membangun kembali peradaban mereka, maka aku akan melakukannya. Aku akan merelakan tubuh dan cyberbrain-ku diperiksa olehmu, Graham.”
“Oi! Apa kamu yakin?!” Buggy yang tidak banyak bicara sejak memasuki Colony pun akhirnya angkat suara. Robot kecoak itu menatap tajam ke arah Maria dengan kedua matanya yang bulat besar. “Kita enggak tahu kamu mau diapakan! Bisa-bisa nanti kamu malah rusak dan ...”
Buggy berhenti bicara sejenak, kemudian mengusap tubuhnya ke pipi Maria.
“... dan kamu enggak akan kembali lagi bersama kami ...” ujarnya dengan nada sedih.
Maria memandangi Buggy selama beberapa saat dan menyadari ... kalau dirinya sampai tidak kembali lagi ke Bravaga, maka Buggy, Ryouta, Arslan, dan banyak orang di kota itu mungkin akan merasa sedih. Khusus untuk Ryouta dan Arslan, seperti kata Graham tadi, keduanya tidak akan menahan diri lagi dan mungkin akan langsung menyerang Colony.
“Kalian tidak perlu khawatir.” Graham kini bicara sembari berdiri di hadapan Maria dan Buggy, lalu mengenakan kembali topi bundarnya. “Atas nama Colony, saya berjanji tidak akan melukai Maria dan apa yang akan saya lakukan ini sungguh-sungguh atas kepentingan para Automa di kota ini.”
Maria dan Buggy saling pandang selama beberapa saat, kemudian mengangguk bersamaan.
“Kupegang janjimu!” sahut Buggy tegas.
“Tentu saja,” balas Graham. Dia lalu mulai berjalan ke arah kedatangan mereka tadi. Automa itu kemudian tersenyum tipis lagi ke arah Maria. “Sesuai namamu, Maria. Kamu mungkin akan melahirkan sesuatu yang besar dan akan mengubah hidup kami semua.”
Maria memandangi sosok Graham yang berjalan semakin jauh dan berpikir selama beberapa saat. Dia memang masih belum bisa sepenuhnya mempercayai ucapan Graham dan Maria pasti bohong kalau dia bilang dia tidak takut atau khawatir dengan apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Bisa saja Graham menipunya dan justru akan membongkar seluruh tubuhnya dan membiarkannya begitu saja setelah selesai diperiksa.
Setelah menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran-pikiran gelap seperti itu, Maria pun memandangi sosok Margaret, yang untuk kesekian kalinya, berusaha menawarkan sesuatu yang sudah tidak ada lagi pada Graham yang melintas di hadapannya. Pemandangan itu pun semakin memantapkan pilihan Maria.
Kalau ada sesuatu apa pun yang bisa kulakukan untuk memperbaiki para Automa itu, aku akan melakukannya.
Bahkan ...
... bila itu artinya dia harus mengorbankan dirinya sendiri ...

****

~FIN?~

red_rachman 2018






Comments