Everyday Adventure XX: Orabelle
Sebelumnya Maria
tidak begitu peduli dengan siapa dirinya, karena baginya, ada lebih banyak hal
lain yang lebih penting dan lebih menarik dari itu. Mencari peninggalan
manusia, menjelajahi Bravaga, dan menemukan hal-hal baru di kota tempat
tinggalnya itu jauh lebih penting dan lebih menarik bagi Maria. Namun setelah
insiden yang terjadi di Colony beberapa waktu lalu, Maria pun jadi semakin
bertanya-tanya tentang jati dirinya. Gynoid itu juga lalu mengingat kembali
beberapa kejadian aneh yang pernah terjadi pada dirinya, terutama
kilasan-kilasan misterius ketika Maria menyentuh atau berhadapan dengan
benda-benda peninggalan era sebelum Catastrophy.
Tentu saja itu
membuat rasa penasarannya pun juga semakin menjadi-jadi, terutama setelah
Graham, seorang Automa berkedudukan tinggi yang tinggal di Colony, menyebutkan sesuatu
yang membuat Maria semakin kebingungan.
Machina.
Setelah insiden yang
mengakibatkan hampir seluruh sistem pertahanan Colony lumpuh, Graham menduga
kalau Maria adalah sebuah Machina yang mampu menembus seluruh pertahanan
digital di kota tersembunyi itu. Terlebih karena kekacauan yang terjadi di kota
para Automa waktu itu terjadi setelah Maria terhubung ke sistem Colony.
Sebenarnya Maria
masih tidak percaya dengan ucapan Graham, tapi berhubung Ryouta, Arslan, Kakek
Tesla, dan bahkan Mother tidak mau menjawab pertanyaan seputar jati dirinya
sendiri. Kini Maria berniat untuk menemui satu-satunya sosok di Bravaga yang
mungkin mengetahui banyak hal soal Machina, dan yang juga mungkin mau
menjelaskan asal-usul Maria sendiri. Dia tidak lain adalah Dokter, seorang
Automa tua yang tinggal di tengah hutan reruntuhan kota kuno yang ada di sisi
lain Bravaga.
Itu sebabnya gynoid
itu kini tengah berlari dan melompat-lompat di atas atap bangunan-bangunan
beton yang dibangun tidak beraturan di kota Bravaga itu. Maria ingin segera
mencapai tempat tinggal Dokter dan memaksa Automa itu untuk menjawab semua
pertanyaan yang sejak beberapa hari belakangan ini memenuhi cyberbrain-nya.
Kini Maria hanya bisa
berharap kalau Dokter bersedia menjelaskan siapa sebenarnya dirinya itu, dan
... kalau memang dia sebenarnya adalah sebuah senjata mematikan dari era
sebelum Catastrophy ... Maria benar-benar ingin tahu untuk apa dia dibuat oleh
Mother dan apa perannya di kota Bravaga ini. Perang sudah berakhir ratusan
tahun lalu dan seharusnya sudah tidak ada alasan lagi bagi Mother untuk membuat
lagi sebuah senjata maut seperti Machina. Bahkan satu-satunya Machina yang dia
kenal, yaitu Arslan, sudah lama menanggalkan tubuh dan senjata aslinya, serta
meninggalkan kehidupan lamanya sebagai senjata pemusnah massal.
Karena sedang
memikirkan terlalu banyak hal, Maria nyaris tidak menyadari ada sosok lain yang
berdiri di tengah-tengah atap gedung, tepat di titik di mana gynoid itu
seharusnya mendarat. Beruntung Maria sempat melihat sosok itu. Dengan sigap dia
memutar tubuh, bermanuver di udara, kemudian mendarat dengan canggung dan pada
akhirnya jatuh terduduk di lantai beton. Menyadari kalau ada yang nyaris
menabraknya, sosok yang wujudnya mirip seperti seekor beruang yang terbuat dari
bulu sintetis dan logam itu langsung berbalik badan ke arah Maria. Ternyata dia
tidak lain adalah Borodino, rekan latih-tanding Ryouta, dan juga bekas robot
perang di era Perang Bulan Kedua sebelum Catastrophy.
“Wah! Maria! Maaf aku
jadi mengacaukan pendaratanmu. Kau tidak apa-apa?” tanya Borodino dengan suara
cempreng khasnya sembari mengulurkan sebelah cakarnya. Maria pun menyambut
uluran itu dan bergegas berdiri sambil membersihkan celana jeans pendeknya dari
debu dan pasir yang menempel.
“Enggak apa-apa,
salahku juga sih enggak liat-liat pas mau mendarat,” balas Maria sambil
tersenyum tipis. “Sedang apa kamu di sini sendirian?”
Borodino menggaruk
belakang kepalanya, yang tentu saja, bukan karena dia merasa gatal.
“Ada masalah di
Central Tower. Entah gimana caranya, ada robot Generasi Baru yang kabur sebelum
Mother sempat melakukan penyesuaian di sistemnya,” ujar robot mirip beruang
itu. “Singkat kata, robot itu belum sepenuhnya ‘sadar’ dan itu sangat berbahaya
bagi dirinya dan bagi robot lain di sekitarnya. Belum lagi ditambah kemungkinan
dia diserang mutan buas atau Robot Liar kalau dia sampai keluar dari batas kota
Bravaga.”
“Wah! Kalau begitu
kita harus mencarinya sebelum terlambat!” seru Maria sambil mengambil
ancang-ancang untuk melompat ke gedung sebelah. Untungnya dia langsung
menyadari kalau dirinya tidak tahu apa-apa soal robot Generasi Baru yang
melarikan diri itu. “Eh ... ngomong-ngomong bagaimana wujud robot baru itu?”
Borodino memang tidak
bisa menunjukkan ekspresi wajah dengan baik, tapi robot perang kuno itu menyeringai
lebar sebagai ganti senyuman. Dia pun mengakses kumpulan file foto dan detail
dari robot Generasi Baru yang kabur itu, kemudian membuka kanal data nirkabel
yang bisa diakses Maria.
“Sambungkan dengan
kanal data yang baru kubuka, biar kukirimkan semua data soal robot itu yang
kuterima dari Mother,” ujar Borodino sambil mengetuk pelipisnya dengan
tangannya yang bercakar.
Maria pun menutup
mata sejenak untuk mengakses data yang disiapkan oleh Borodino. Hanya butuh
waktu beberapa detik sampai semua data terkait robot Generasi Baru yang
melarikan diri itu sampai ke cyberbrain Maria. Begitu menyaksikan foto sosok
robot yang bertingkah janggal itu, Maria langsung terpaku di tempat. Pasalnya,
sosok robot Generasi Baru yang sedang membuat onar itu memiliki wujud sangat
humanoid seperti dirinya. Bedanya, gynoid yang fotonya sedang diamati oleh
Maria itu agak sedikit lebih pendek, serta memiliki rambut pendek sebahu yang
berwarna biru muda, nyaris transparan.
“Imut!” seru Maria
tanpa bisa ditahan. Gynoid itu lalu membuka matanya dan menoleh ke arah
Borodino. “Jadi dia ini beneran kabur dari Central Tower?”
Borodino pun
mengangguk mengiyakan.
“Kok bisa?!” tanya
Maria penasaran. Soalnya gynoid yang kini fotonya terus terpajang di sudut
cyberbrain Maria itu tidak tampak seperti sosok yang suka membuat onar seperti
dirinya. Dia juga tidak mengerti bagaimana gynoid bertampang imut itu bisa
kabur dari menara di pusat Bravaga yang memiliki sistem keamanan ketat itu.
Seketika itu juga
Maria langsung teringat pada dirinya sendiri, dan insiden yang terjadi di
Colony beberapa waktu yang lalu. Dia pun langsung menduga kalau robot yang
kabur ini juga sebenarnya seperti dirinya ... sebuah Machina ... atau
setidaknya, memiliki kemampuan seperti sebuah Machina.
“Mana kutahu,” sahut
Borodino sambil mengangkat bahunya. “Tapi itu tidak penting, yang penting
sekarang kita harus menemukannya sebelum gynoid itu terlibat masalah. Kau mau
membantu?”
Tanpa pikir panjang,
Maria mengangguk mengiyakan.
“Tentu saja!” ujarnya
sambil menepuk dadanya. “Aku akan membantumu mencari gynoid yang melarikan diri
itu.”
“Terima kasih, Maria.
Bantuanmu benar-benar sangat berarti,” ujar Borodino. Dia lalu terdiam sejenak,
kemudian menoleh ke arah lain. “Aku dapat kabar kalau ada yang melihat sosok
mirip gynoid baru kita itu di sisi timur kota. Kau mau ikut denganku?”
Maria kembali
mengangguk mengiyakan.
“Tentu saja"
sahutnya dengan segera.
“Baiklah kalau begitu
... ikuti aku!”
Seiring dengan
ucapannya itu, Borodino mengambil ancang-ancang dan melompat tinggi ke gedung
yang ada di sebelahnya. Maria pun langsung mengikuti robot berwujud mirip
beruang itu dari belakang.
Sambil mengikuti
Borodino, pikiran Maria sekilas kembali memikirkan soal jati dirinya, tapi
kemudian gynoid itu menggelengkan kepalanya. Dia tahu kalau ini bukan saatnya
memikirkan soal dirinya sendiri. Ada urusan lain yang lebih penting dan ini
juga menyangkut keselamatan gynoid lain seperti dirinya, jadi Maria memutuskan
untuk menyingkirkan pikiran-pikiran lain dan fokus pada misinya untuk menemukan
gynoid yang melarikan diri itu ... sebelum robot Generasi Baru itu mendapat
masalah ... atau membuat masalah lain.
****
Meskipun sudah
mengetahui dengan jelas seperti apa wujud gynoid Generasi Baru yang melarikan
diri itu, tapi menemukan satu robot di antara ratusan ribu robot berbagai wujud
yang tinggal di kota Bravaga tentu saja tidak mudah. Itu belum ditambah fakta
bahwa kota para robot itu tidak memiliki tata kota yang jelas, sehingga
beberapa bagiannya lebih mirip seperti sebuah labirin ketimbang sebuah kota
modern.
“Ini benar-benar
tidak mudah ...”
Borodino menggerutu
setelah berhasil lolos dari gang sempit tempatnya, dan Maria, sempat tersesat
tadi.
“Setuju,” timpal
Maria sambil memandang ke sekelilingnya. “Ibarat mencari jarum dalam tumpukan
jerami. Sudah begitu, tidak ada petunjuk sama sekali lari ke mana dia ...”
“Ada kabar dari Buggy
atau yang lainnya?” tanya Borodino lagi.
Maria menggelengkan
kepalanya. Sambil mencari bersama Borodino, dia tadi sempat menghubungi Buggy
dan Ryouta untuk meminta bantuan. Ternyata keduanya juga sedang melakukan hal
yang sama dengannya, sehingga Maria pun meminta agar kedua temannya itu berbagi
informasi atau petunjuk apa pun terkait keberadaan robot Generasi Baru yang
melarikan diri itu.
“Mungkin kita perlu
istirahat sejenak, baru habis itu kita putuskan mau mencari ke mana lagi,” usul
Borodino sambil duduk di tempat duduk beton yang melingkari sebuah pohon besar.
Saat ini keduanya tengah berada di sebuah lapangan kecil yang diapit oleh
dinding-dinding bangunan tinggi, yang berada entah di sebelah mana di pinggiran
kota Bravaga. Di tengah lapangan tersebut berdiri tegak sebatang pohon tinggi
dengan daun-daun lebar dan batang pohon yang ukurannya hampir empat kali lipat
ukuran tubuh Maria, yang menunjukkan bahwa pohon itu sudah berdiri di sana
sejak ratusan tahun lalu. Bahkan mungkin sebelum Bravaga dibangun kembali.
“Lagi pula, kau
sepertinya sedang banyak pikiran. Ada yang bisa kubantu?” ujar Borodino lagi
sambil memberi isyarat agar Maria duduk di sampingnya.
Maria terkejut
mendengar pertanyaan Borodino.
“Kok kamu tahu?”
tanyanya kebingungan.
Borodino terkekeh
kecil.
“Ekspresi wajahmu,”
ujar bekas mesin perang itu. “Entah bagaimana caramu melakukannya, tapi
ekspresimu terlihat muram dan tidak seceria seperti biasanya, dan ... yah ...
menyiratkan kalau kau sedang memikirkan sesuatu yang membebani pikiranmu. Jadi
... apa yang bisa kubantu?”
Maria pun menjatuhkan dirinya dan duduk di samping
Borodino. Dia pun menceritakan secara singkat insiden yang terjadi di Colony,
serta kekhawatiran kalau dirinya itu sebenarnya adalah sebuah mesin perang,
atau senjata mematikan seperti Machina. Selagi Maria bercerita, Borodino tampak
mendengarkan dengan seksama, sembari sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya,
tapi dia tidak berkomentar sama sekali.
“Jadi ... bagaimana
menurutmu?” tanya Maria setelah dia mengakhiri ceritanya. “Apakah yang
dikatakan oleh Graham di Colony itu benar ... bahwa aku ini sebenarnya adalah
sebuah Machina?”
Borodino terdiam
sembari memandangi Maria dengan seksama, tapi di luar dugaan, robot berwujud
mirip beruang itu lalu mengangkat bahunya.
“Entahlah,” jawabnya
dengan santai.
“Eh?!” sahut Maria
kaget. “Tapi kan kamu ini dulunya ... yah ... mesin perang kan? Memangnya kamu
enggak bisa membedakan mana yang mesin perang seperti Machina, mana yang
bukan?”
Borodino terdiam
selama beberapa detik, lalu mengangkat sebelah tangannya yang dilengkapi cakar-cakar
setajam pisau progressive, yang kalau
diaktifkan bisa membelah baja seperti membelah mentega dengan pisau panas. Dia
lalu menoleh ke arah Maria yang masih memandanginya dengan tatapan penuh harap.
“Bagaimana ya?
Soalnya kau enggak menunjukkan tanda-tanda kalau kau ini adalah sebuah
Machina,” ujar Borodino sambil menunjuk ke arah gadis robot yang duduk di sampingnya
itu. “Semua Machina menghasilkan semacam gelombang energi unik dari Core mereka. Gelombang energi macam itu bisa
dengan mudah dideteksi oleh sensor-sensor yang bisa mendeteksi gelombang
elektromagnetik. Dan ... yah ... kau enggak mengeluarkan tanda semacam itu.”
“Gelombang energi?”
tanya Maria kebingungan.
“Yah, kau kenal
dengan Arslan kan? Pernah lihat dia marah atau mengeluarkan kekuatannya?” tanya
Borodino. Maria pun mengangguk mengiyakan. “Nah, pas dia melakukan itu, hampir
semua sensor di tubuhmu bakal menjerit ketakutan kan?”
Sekali lagi Maria
mengangguk mengiyakan. Sudah beberapa kali dia menyaksikan dari dekat saat
Arslan marah dan siap mengeluarkan kemampuan Machina-nya.
“Itu kurang lebih
ciri khas Machina,” ujar Borodino lagi. “Dan ... yah ... sejauh aku mengenalmu,
belum pernah tuh ada sensasi seperti itu, bahkan waktu kau lagi marah-marah
misalnya.”
Maria pun terdiam dan
berpikir. Ucapan Borodino memang benar, tapi dia masih meragukan penjelasan
dari mantan mesin perang itu. Namun sebelum Maria sempat bicara lagi, Boridino
keburu bicara duluan.
“Lagi pula apa
masalahnya kalau memang benar kau adalah Machina?” tanya robot beruang itu.
“Itu ...” Maria
terdiam sebelum sempat mengutarakan apa yang dia pikirkan. Namun setelah
menimbang-nimbang selama beberapa saat, dia pun akhirnya mengungkapkan kekhawatirannya.
“Aku tidak tahu apa alasanku dilahirkan. Kalau memang aku ini sebenarnya adalah
sebuah senjata ... untuk apa aku dibuat di era seperti ini? ... di masa ketika
sudah tidak ada lagi perang ... dan ... aku ... takut.”
Kini giliran Borodino
yang terdiam sambil memandangi Maria. Selama beberapa saat, dia hampir lupa
kalau sosok gadis berambut hitam yang duduk di sampingnya itu bukan seorang
manusia, melainkan sebuah gynoid. Sebab ekspresi wajah dan kesan yang
ditimbulkan oleh Maria benar-benar sangat mirip dengan sosok manusia yang dulu
sekali pernah merawat dan memperbaiki Borodino.
Tanpa pikir panjang,
Borodino pun mengusap kepala Maria.
“Aku yakin kau dibuat
oleh Mother dengan membawa misi yang sangat penting bagi kota ini ... atau
malah ... bagi dunia kita saat ini,” ujar Borodino dengan lembut. “Kau tahu.
Waktu aku dibangkitkan lagi oleh Airi ratusan tahun lalu, aku juga tidak tahu
harus apa. Soalnya satu-satunya kemampuan yang kupunya adalah kemampuan untuk
menghancurkan robot lain. Tapi lama-kelamaan, aku pun menemukan tujuan hidup
baruku.”
Borodino berhenti
sejenak dan kemudian mendongak ke atas, ke arah kanopi pohon besar yang tumbuh
lebat hingga menghalangi sinar matahari di atas sana.
“Memang butuh waktu
lama, tapi aku yakin kau akan menemukan tujuan hidupmu sendiri. Pelan-pelan
saja. Toh kita punya banyak waktu untuk melakukan itu. Tidak seperti manusia
loh,” ujar mesin perang kuno itu lagi. Dia lalu menoleh ke arah Maria dan
menyeringai lebar. “Lagi pula, kalau kau tidak bisa menemukan alasan itu, kenapa
tidak dibuat saja sendiri?”
Mendengar ucapan
Borodino, Maria merasa seolah-olah ada lampu LED yang baru saja menyala di
dalam cyberbrain-nya. Gynoid itu tiba-tiba saja berdiri tegak dan membuat
Borodino yang duduk di sampingnya tersentak kaget.
“KAMU BENAR!” seru
Maria sambil mengangkat dan mengepalkan kedua tangannya. “Tidak seharusnya aku
terlalu mengkhawatirkan siapa diriku sebenarnya. Yang lebih penting adalah apa
yang bisa kulakukan untuk robot-robot lain di kota ini!”
Borodino menjentikkan
cakarnya sambil mengedipkan sebelah mata ke arah Maria.
“Tepat sekali!” ujar
robot mirip beruang itu. “Lagi pula sekarang kita punya misi yang juga penting,
yaitu menemukan gynoid yang kabur dari Central Tower.”
“Tepat sekali~!”
sahut Maria sambil menirukan gaya Borodino. “Nah, kalau sudah selesai
istirahatnya, ayo kita lanjut mencari gynoid itu.”
Bodorino pun
mengangguk dan segera berdiri sambil meregangkan tubuhnya. Namun belum sempat
Borodino dan Maria beranjak dari tempatnya, tiba-tiba sesosok robot mirip kecoa
raksasa melesat turun dari atas kanopi pohon. Robot itu tidak lain dan tidak
bukan adalah Buggy.
“Di sini kalian
rupanya!” ujar Buggy sambil mendarat di atas kepala Maria.
“Halo Buggy~!” ujar
Maria dengan riang sambil menepuk sisi tubuh Buggy dengan sebelah tangannya.
“Ada kabar apa?”
“Hai Maria~!” sahut
robot kecoa raksasa itu. “Para Pengembara sudah menemukan di mana gynoid yang
kabur itu berada.”
“Terus? Apa yang
mereka lakukan sekarang? Apa gynoid itu baik-baik saja?” tanya Maria lagi.
Buggy menoleh ke
samping sejenak untuk memandangi Borodino yang sedari tadi berdiri di samping
Maria.
“Hi Borodino,” sapa
Buggy singkat. “Oh. Soal pertanyaanmu tadi ... Gynoid itu baik-baik saja, tapi
memang ada sedikit masalah sih ... dia itu selalu kabur setiap kali mau
didekati oleh robot apapun. Dan semakin lama, dia lari semakin jauh dari
Bravaga. Jadi sekarang ini para Pengembara, dan beberapa robot lain, termasuk
si besar Ryouta, hanya berjaga di area sekitar gynoid itu dan untuk sementara
ini menjaga jarak darinya.”
“Kok dia lari dari
kalian?” tanya Maria penasaran. “Jangan-jangan karena tampang kalian
sangar-sangar semua?”
Buggy mengangkat
beberapa kaki-kakinya, sebagai ganti isyarat mengangkat bahu, yang secara teknis,
tidak dimilikinya.
“Entah,” sahut Buggy
singkat. “Singkatnya sih, Ryouta nyuruh aku mencarimu. Menurutnya, kamu, yang
wujudnya hampir sama dengan gynoid tukang kabur itu, harusnya tidak terlihat
terlalu asing baginya. Soalnya kata kakek Tesla, dia itu kan belum selesai di-install dengan Simulasi Kepribadian dan
Emosi, sehingga sistem kesadarannya masih belum stabil.”
“Masuk akal,” timpal
Borodino. Robot perang berwujud mirip beruang itu lalu menoleh ke arah Maria.
“Bagaimana? Kita ke sana sekarang?”
Maria pun nyengir
lebar dan menjawab pertanyaan temannya itu.
“Kok pakai nanya
segala? Ayo kita ke sana sekarang juga!”
****
Berkat panduan dari
Buggy, tidak butuh waktu lama bagi Maria dan Borodino untuk sampai di tempat di
mana gynoid yang melarikan diri itu berada, yang ternyata adalah pantai
festival tempat Maria pernah menyaksikan pertunjukan kembang api spektakuler
beberapa waktu yang lalu. Tapi berbeda dengan situasi waktu itu, saat ini
pantai yang berada di antara reruntuhan kota kuno itu tampak sunyi senyap.
Tidak ada satu pun robot, atau pun makhluk lain yang terlihat berada di pantai
berpasir putih itu.
Tidak ada siapa pun,
kecuali satu sosok gynoid berambut biru muda yang berdiri di tepian pantai,
tepat di antara batas antara air dan pasir.
Seperti yang sudah
dijelaskan Buggy tadi, para robot yang mengejar gynoid itu memutuskan untuk
menjaga jarak dari robot Generasi Baru yang melarikan diri itu. Alasannya tentu
saja agar gadis robot itu tidak lari lagi semakin jauh ke dalam hutan
reruntuhan kota, yang kini semakin berbahaya karena hari sudah sore, dan
matahari akan segera tenggelam. Ada lebih banyak mutan buas dan Robot Liar yang
aktif di malam hari, sehingga kalau gynoid itu sampai kabur lagi, tindakannya
itu akan sangat membahayakan keselamatan dirinya.
“Ryouta~!” Maria
langsung berseru nyaring ketika melihat sosok robot besar bermata satu yang
berdiri bersandar di reruntuhan pagar beton. Selain Ryouta, ada beberapa robot
lain yang tampak ‘bersembunyi’ di balik kerimbunan hutan dan Travelling Tree
yang kini menguasai kota yang sudah lama ditinggal punah penghuninya itu.
“Oh, akhirnya kau
datang juga! Kenapa lama sekali?” ujar Ryouta, tanpa mengubah posisinya sama
sekali.
Melihat sikap Ryouta
yang tak acuh itu, Maria pun mendengus kesal.
“Maaf deh!” ujar
gynoid itu sambil berjalan menghampiri temannya itu. Dia lalu memandang ke arah
gynoid lain yang masih berdiri terpaku di pinggir pantai. “Itu gynoid-nya?
Sedang apa dia?”
Ryouta melirik ke
arah gynoid yang ada di tepi pantai itu, kemudian menoleh ke arah Maria.
“Entah. Sudah lama
dia berdiri seperti patung begitu,” ujar Ryouta. Dia lalu menyadari kalau ada
Borodino di samping Maria, dan lanjut menyapa temannya itu dengan isyarat
anggukan, sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke arah Maria. “Karena Simulasi
Kepribadiannya belum benar-benar aktif dan ter-install dengan sempurna, gynoid itu sepertinya masih kebingungan
dengan semua hal yang ada di sekitarnya, termasuk dirinya sendiri. Yah ...
istilahnya kalau untuk manusia, dia itu masih setengah sadar.”
Maria memandangi
sosok gadis robot seperti dirinya, yang tampak kebingungan melihat deburan
ombak yang berkali-kali membasahi kakinya sendiri itu.
“Apa dia punya nama?”
tanya Maria, tanpa menoleh ke arah Ryouta.
“Tidak,” sahut Ryouta
singkat. “Dia kabur sebelum Mother, atau kakek Tesla sempat memberinya nama.”
“Hmmm ...”
Maria bergumam sambil
memegangi dagunya. Tingkahnya itu langsung memancing Ryouta untuk bicara lagi.
Soalnya sikap Maria itu menunjukkan kalau dia sedang memikirkan sesuatu, dan
sekarang ini Ryouta sedang tidak begitu ingin mendengar ide yang aneh-aneh dari
temannya itu.
“Hei! Apa pun yang
sedang kau pikirkan sekarang, jangan bikin situasi makin rumit!” ujar Ryouta
memperingatkan. “Kalau dia kabur lagi, kita bakalan repot!”
Tanpa mengindahkan
peringatan Ryouta, Maria tahu-tahu sudah berjalan dengan santai melintasi
pantai. Beberapa robot yang berjaga di sekitar pantai sempat ingin segera
bereaksi dan menghentikan langkah Maria, tapi mereka semua langsung
mengurungkan niatnya begitu Ryouta mengirimkan sinyal perintah untuk tetap diam
di tempat.
“Mau apa dia?! Dan
kenapa kau diam dan membiarkan dia bertingkah seenaknya begitu?!” Kali ini yang
protes adalah Borodino, yang sejak tadi berdiri di samping Ryouta. “Aku tahu
kalian berdua ini sangat dekat, tapi bukan berarti kau bisa membiarkan Maria
berbuat sesuka hatinya! Kau tahu kan dia itu sumber masa ...”
Borodino mendadak
terdiam ketika Ryouta memberi isyarat dengan sebelah tangannya.
“Lihat dan
perhatikan, Borodino. Aku yakin Maria tidak ingin mengacau dan kali ini
benar-benar tahu apa yang akan dia perbuat,” ujar Ryouta dengan tegas. Dia lalu
mengulang perkataannya lagi, kali ini sambil menyiarkannya melalui saluran
komunikasi nirkabel terbuka ke semua robot di sekitarnya. <Lihat dan
perhatikan.>
Sialnya dugaan Ryouta
itu salah besar.
Maria sebenarnya tidak
benar-benar punya rencana jitu untuk mencegah gynoid Generasi Baru di pantai
itu agar tidak kabur lagi dan mau kembali ke Central Tower. Dia hanya tahu
kalau gynoid yang baru ‘lahir’ itu sedang kesulitan mencerna semua sensasi baru
yang mendadak dia rasakan itu, terlebih karena sistem unik di otak
elektroniknya itu belum benar-benar selesai dipasang dengan benar oleh Mother.
Dan menurut Maria, tentu saja gynoid itu kini sedang ketakutan, terutama karena
dia tiba-tiba dikejar-kejar oleh banyak sosok yang tidak dia kenal dan tidak
dia mengerti.
Tentunya gynoid yang
sejak tadi berdiri mematung sembari memandangi deburan ombak itu langsung
bereaksi melihat kedatangan Maria. Tapi alih-alih kabur, gynoid berambut biru
itu justru terdiam di tempat sembari memandangi sosok Maria dengan seksama.
Kedua mata gynoid yang berwarna keemasan itu tampak mengamati Maria dari
kepala, hingga ke ujung kakinya, seolah ingin memastikan kalau sosok asing yang
baru saja mendekatinya itu tidak berbahaya.
“Halo~!” sapa Maria
sambil tersenyum lebar.
“Halo?” balas gynoid
berambut biru di hadapan Maria.
“Perkenalkan, namaku
Maria,” ujar Maria sambil mengulurkan sebelah tangannya. “Aku datang dari
Bravaga, dan aku juga robot Generasi Baru sama sepertimu.”
Alih-alih menjabat
tangan Maria, gynoid di hadapannya itu kembali memalingkan wajahnya dan
memandangi laut yang membentang luas di hadapannya. Karena saat ini kondisi
cuaca sedang baik pada musim-musim seperti ini, lautan di hadapan dua gynoid
Generasi Baru itu tampak begitu tenang, meskipun sesekali terlihat riak dan
ombak kecil di permukaannya akibat angin yang tiba-tiba saja bertiup melintasi
permukaan laut.
Pemandangan yang
terhampar di hadapan Maria dan gynoid yang melarikan diri itu tampak begitu
menakjubkan. Itu belum ditambah sinar merah-keemasan dari matahari yang akan
segera terbenam, serta gumpalan awan-awan putih yang kini juga berpendar dengan
warna oranye dan kemerahan.
“Cantik,” ujar gynoid
berambut biru di samping Maria itu. “Aku suka.”
Maria pun mengangguk
mengiyakan. Memang benar pemandangan laut luas di tengah matahari yang sedang
perlahan terbenam itu sungguh indah.
“Aku juga,” sahut
Maria sambil tersenyum lagi. “Padahal ini cuma laut dan matahari terbenam saja.
Harusnya tidak ada yang istimewa.”
“Tapi tetap cantik
...” sahut gynoid di samping Maria lagi. Dia lalu mengangkat kedua tangannya
dan memperhatikan telapak tangannya itu dengan seksama, sebelum akhirnya menoleh
ke arah Maria. Kemudian, tanpa disangka-sangka, gynoid berambut biru itu
menanyakan dua pertanyaan yang membuat Maria langsung terdiam.
“Aku ini apa? Dan
kenapa aku dibuat?”
Meskipun sudah
mendapatkan semua data terkait sosok gadis robot di hadapannya itu, Maria sama
sekali tidak bisa menjawab dua pertanyaan yang baru saja dilontarkan itu.
Pasalnya, dia sendiri saat ini sedang mengalami dilema terkait eksistensi
dirinya sendiri, yang mungkin saja adalah sebuah senjata maut seperti Machina.
Setelah diam dan
berpikir cukup lama, Maria kemudian teringat percakapannya dengan Borodino tadi
siang. Begitu mengingat isi pembicaraannya itu, Maria pun menoleh ke arah
gynoid di sampingnya itu, lalu kembali mengembangkan senyum lebar.
“Aku enggak tahu kamu
ini apa dan kenapa kamu dibuat oleh Mother,” jawab Maria jujur. Dia lalu
menempelkan sebelah tangan ke dadanya. “Begitu juga denganku. Aku juga tidak
tahu aku ini apa, dan kenapa aku dibuat oleh Mother. Sama seperti dirimu.”
Maria berhenti
sejenak, lalu menatap lurus ke arah kedua mata gynoid yang berdiri kebingungan
di hadapannya itu.
“Tapi, aku yakin ...
bersama-sama kita bisa menemukan siapa diri kita, dan apa tujuan hidup kita
yang sebenarnya. Ini hanya awal saja, dan perjalanan kita ini masih panjang,”
ujar Maria. Kemudian, untuk kedua kalinya, dia mengulurkan sebelah tangannya ke
arah lawan bicaranya itu. “Bagaimana? Apa kau mau ikut mencari jati diri dan
tujuan hidup kita bersamaku?”
Selama beberapa saat,
gynoid yang ada di depan Maria itu tampak ragu, tapi perlahan-lahan dia pun
menyambut uluran tangan Maria. Sembari menjabat tangan Maria, robot gadis
berambut biru pudar itu pun tersenyum manis. Sosoknya yang ramping, mungil,
serta rambut biru pudarnya yang kini merona kemerahan karena disirami sinar
matahari terbenam, kini membuat Maria sendiri terpana. Itu belum ditambah
dengan tatapan tajam, namun lembut dari kedua mata gynoid yang berwarna keemasan
bagaikan matahari yang sedang terbenam di cakrawala itu.
“Orabelle,” ujar
Maria dengan spontan.
“Orabelle?” ulang
gynoid di hadapan Maria itu.
“Iya! Orabelle!”
tegas Maria, kali ini sambil nyengir lebar. “Artinya pantai yang indah! Kudengar
kamu belum punya nama kan? Nah, itu namamu. Apa kamu suka?”
Gynoid Generasi Baru di
hadapan Maria itu tampak berpikir selama beberapa detik, kemudian dia pun
kembali tersenyum manis.
“Orabelle,” ujar
gynoid itu. “Aku suka itu.”
Mendengar itu, Maria
pun langsung meraih kedua tangan gynoid yang baru saja diberinya nama itu,
kemudian menggoyangkannya naik-turun dengan penuh semangat, sembari tertawa
lepas. Suara tawa Maria yang begitu jernih langsung mengisi udara di sela-sela
suara debur ombak dan desir angin pantai, serta membuat lega semua robot yang
berjaga di sekitar pantai. Sebab setelah mendengar tawa Maria yang seperti itu,
mereka semua tahu kalau kekacauan yang diakibatkan oleh gynoid yang melarikan
diri tadi siang itu, kini sudah selesai, dan tugas mereka pun juga sudah
berakhir.
“Halo, Orabelle!
Namaku Maria, salam kenal~!”
Maria berseru dengan penuh
semangat, masih sambil mengguncang-guncangkan kedua tangan gynoid yang berdiri
di hadapannya itu. Gynoid berambut biru pudar itu pun lalu membalas perkataan
Maria, kali ini sambil tersenyum lebar.
“Halo, Maria. Namaku
... Orabelle!”
Dan matahari pun
terbenam dengan damai di pantai berpasir putih yang berada di tengah reruntuhan
kota kuno itu.
****
~FIN?~
red_rackham
2019
Comments