14th Spiral: Final Delivery

Pengumuman itu datang begitu tiba-tiba.

Kata orang ‘bagaikan geledek di siang bolong’.

Nyaring dan amat mengejutkan.

“Karena kondisi keuangan perusahaan yang tidak baik selama beberapa bulan ini, kami memutuskan untuk menutup permanen perusahaan ini mulai minggu depan. Semua gaji dan pesangon yang belum dibayarkan akan segera dibayarkan secara bertahap selama tiga bulan ke depan. Mohon maaf atas pengumuman yang tidak terduga ini, dan terima kasih atas pengabdian Saudara-saudari sekalian selama lima belas tahun ini. Tertanda, direksi.”

Irvan membaca isi surat pengumuman yang diedarkan kepada semua karyawan perusahaan pagi ini dengan nada lesu. Aku yang ikut memegang lembaran surat itu pun hanya bisa terdiam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu, teman-teman sekantorku yang lain mulai ribut karena pengumuman bangkrutnya perusahaan tempat kami bekerja ini benar-benar tidak terduga.

Yah ... sebenarnya sih hampir semua yang bekerja di perusahaan kurir dan pengantar paket tua ini bisa merasakan kalau bisnis selama beberapa bulan belakangan ini memang lesu. Sehingga tidak heran kalau sewaktu-waktu perusahaan kecil ini bakal gulung tikar. Hanya saja kurasa semua orang berharap kalau hari itu tidak pernah datang.

Tapi realitasnya memang berbeda.

Perusahaan tempatku bekerja kini bangkrut dan aku pun akan segera kehilangan pekerjaanku.

“Hari ini akhirnya tiba juga ya,” ujar Irvan lagi sambil menghela nafas panjang dan menjatuhkan tubuh ke kursi kerjanya. “Bagaimana sekarang? Mau daftar jadi pengemudi ojek online? Katanya sekarang lagi buka lowongan tuh.”

“Entahlah,” jawabku singkat sambil mengangkat bahu. “Pindah ke perusahaan saingan yang bikin tempat ini bangkrut itu rasanya ... aneh aja ...”

Ya ... Salah satu faktor yang bisa dibilang menjadi salah satu biang keladi tutupnya perusahaan tempatku bekerja adalah kehadiran berbagai perusahaan baru yang sama-sama bergerak di bidang kurir surat dan barang. Masalahnya ... beberapa perusahaan yang induknya merupakan perusahaan transportasi online itu menyediakan pelayanan yang lebih mudah diakses, lebih ‘kekinian’, dan tentu saja memiliki armada kurir yang jumlahnya puluhan, atau ratusan kali lipat dibandingkan yang dimiliki perusahaan kami.

Tidak heran perusahaan pengiriman paket skala kecil seperti tempatku ini tidak sanggup bersaing dan pada akhirnya tersingkir ...

“Apa boleh buat. Biar gimana juga, kita semua kan tahu kalau ini bakal terjadi cepat atau lambat,” ujar Irvan lagi. “Lebih baik begitu dari pada menganggur kan?”

Aku berpikir sejenak sembari menyelesaikan secangkir kopi yang baru kuseduh tadi. “Ojek online ya? Biar kupikirkan sih. Mereka punya cabang usaha untuk pengiriman barang pakai motor kan ya?”

Irvan mengangguk. “Yep. Tapi kurasa aku bakal pulang kampung dan cari kerja di kampungku saja,” ujar teman baikku itu. “Hidup di Jakarta ini memang keras dan mahal sekali ... lebih baik aku balik ke tempat kelahiranku dan mencari penghidupan lain di sana ... yah ... kalau enggak dapet kerja, aku bisa buka warung atau semacamnya.”

“Bagaimana denganmu? Mau tetap di Jakarta?” tanya Irvan lagi sambil membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di atas mejanya. Dokumen-dokumen yang sebentar lagi tidak ada artinya bagi kami berdua.

“Entahlah,” ujarku dengan jawaban yang sama seperti tadi. “Aku masih belum memikirkan langkahku berikutnya. Aku masih menyukai kota ini walaupun ... yah ... kau tahu lah ... kota ini sudah ‘menculik’ dan nyaris membunuhku.”

“Dasar sinting,” celetuk Irvan sambil nyengir lebar ke arahku.

“Memang!” balasku sambil mengeplak kepala temanku itu.

Tadinya, seperti yang sedang dilakukan Irvan sekarang, aku ingin mulai membereskan mejaku, tapi tiba-tiba mataku terpaku ke arah beberapa dokumen dengan tanda khas perusahaan, yang intinya menunjukkan itu adalah manifes pengiriman yang belum selesai.

“Itu dokumen untuk paket atau surat apa?” tanyaku pada Irvan. “Tandanya masih ada tuh. Berarti belum dikirim kan?”

Irvan langsung berhenti melemparkan kertas-kertas di atas mejanya ke tempat sampah. Dia langsung mengambil dokumen-dokumen yang ada di tumpukan kertas yang rencananya akan segera dia buang itu.

“Wah! Kau benar! Ada empat paket lagi yang masih harus dikirim hari ini!” ujarnya kaget. “Bagaimana ini?”

Aku mengambil lembaran-lembaran kertas itu dari tangan Irvan dan membaca dengan seksama detail pengirimannya. Sepertinya hanya dokumen dan paket kecil saja, dan bukan paket kilat atau paket yang harus dikirim dalam hitungan jam. Jadi masih ada waktu kalau aku langsung pergi sekarang.

“Biar aku yang antar,” ujarku sambil meraih jaket motor yang tersampir di kursi kerjaku. “Kirimkan saja rute dan alamatnya ke ponselku. Kalau aku pergi sekarang pasti masih keburu!”

“Kau serius mau pergi?” tanya Irvan kaget. “Sekarang?”

“Iya, sekarang!” ujarku sambil menarik ritsleting jaket dan mengenakan sarung tangan favoritku. “Biar bagaimana juga. Ini dokumen dan barang penting milik pelanggan kita. Aku tidak mau membiarkan reputasi perusahaan kita hancur begitu saja hanya karena kita akan bangkrut dan membiarkan paket-paket yang terlanjur dipercayakan ke kita ini terbengkalai dan hilang, atau rusak. Aku tidak mau diingat sebagai kurir dari perusahaan yang tidak bertanggung jawab.”

Irvan memandangiku dengan tatapan kagum sekaligus heran. Bagaimana tidak? Kami baru saja mendapat pengumuman kalau perusahaan tempat kami bekerja sudah bangkrut dan kami akan segera kehilangan pekerjaan. Di saat-saat seperti ini, aku masih sempat-sempatnya memikirkan soal pelanggan dan reputasi perusahaan yang sudah siap untuk bangkrut ini.

“Kau memang sinting,” ujar Irvan sambil tersenyum lebar. “Tapi aku suka gayamu. Sini, bagi satu buatku. Biarpun tempat kerja kita bakal bangkrut, tapi kita bakal bangkrut dengan keren~!”

Aku pun ikut tersenyum lebar mendengar ucapannya.

 

****

 

Seperti hari-hari sebelumnya, aku dan partner-ku kembali menyusuri jalanan kota Jakarta yang selalu padat nyaris setiap waktu. Barisan kendaraan yang mengular mengantre di jalanan, suara klakson yang bersahut-sahutan, serta makian yang sesekali terlontar dari para pengguna jalan hampir selalu menghiasi jalanan kota yang sudah kulalui setiap hari selama beberapa tahun ini.

Sama sekali tidak terasa kalau ini adalah hari terakhirku mengirimkan paket untuk perusahaan kurir tempatku bekerja saat ini ... atau bisa jadi ini memang hari terakhirku menjadi seorang kurir di kota ini.

Gara-gara ucapan Irvan tadi, aku juga jadi menimbang-nimbang untuk pulang kampung dan mencari kerja di tempat kelahiranku. Terlebih karena kudengar sekarang ini kampungku sudah kekurangan pemuda yang bekerja atau membuka usaha di sana. Ditambah lagi, gara-gara itu, cukup banyak usaha lokal yang bangkrut karena tidak mendapatkan pekerja muda yang mau bekerja di sana. Para pemuda di kampungku lebih memilih untuk mencari kerja di kota besar, terutama ibukota negara yang bernama Jakarta ini.

Urbanisasi memang menakutkan.

Bagaikan seekor monster yang selalu kelaparan, kota ini benar-benar menyedot segalanya.

Uang.

Orang.

Tenaga.

Pikiran.

Jiwa.

Semuanya tersedot dalam pusaran kehidupan yang begitu cepat, keras, tidak terduga, dan tanpa henti ini. Menakutkan memang, tapi inilah kenyataan di balik gemerlapnya kota Jakarta ... dan itu belum ditambah sisi-sisi lain yang tidak nampak di permukaan. Seperti yang sudah berulang kali kulihat dan kurasakan selama hidup di kota ini.

Mungkin sudah saatnya aku pulang.

Aku bergumam dalam hati sambil menyesuaikan kecepatan dan manuver motorku dengan ritme jalanan yang sering tidak bisa diprediksi ini.

Kalau ini memang hari terakhirku bekerja sebagai seorang kurir, dan ini adalah memang paket terakhir yang kukirimkan, aku harus melakukannya dengan sempurna.

Aku bergumam lagi sambil berhenti di depan sebuah toko kelontong yang berada di kawasan super-padat penduduk di Muara Baru. Selama beberapa menit aku hanya terdiam sambil memandangi layar ponselku dan berharap kalau informasi yang tertera di sana itu adalah sebuah kesalahan. Pasalnya kalau melihat dari alamat yang dikirimkan oleh Irvan melalui sistem peta yang dimiliki kantor kami, alamat penerima paket yang sedang kubawa ini berada di tengah-tengah perkampungan kumuh yang tampak menyeramkan ini. Rumah-rumah yang dibangun secara asal terlihat tumpang-tindih dan seolah saling berlomba mengalahkan yang lainnya demi mendapatkan sejengkal ruang ekstra. Lorong-lorong gelap yang tidak pernah terpapar sinar matahari menganga di berbagai sudut dan tentu saja ... baunya cukup membuat orang pusing.

“Yang benar saja ...” ujarku tanpa bisa ditahan lagi.

Sempat terbersit pikiran untuk menitipkan saja paket ini pada siapa pun warga yang kebetulan kutemui. Soalnya aku benar-benar tidak mau menyusuri lorong-lorong menakutkan yang ada di depanku ini.

Tapi pada akhirnya aku menepis pikiran itu dan membuangnya jauh-jauh dari benakku.

Ini yang terakhir. Jadi, lakukan yang benar!

Aku berseru pada diriku sekali lagi sambil memarkir motorku di depan satu-satunya warung yang tampak ‘normal’ di antara bangunan yang saling berdempetan di perkampungan padat ini. Kemudian aku pun berdiri terpaku karena bingung sendiri. Pasalnya kalau aku sampai nekat masuk ke dalam lorong labirin di depanku itu, aku pasti tersesat! Itu belum ditambah kawasan seperti ini cukup rawan kejahatan ...

“Mas, kenapa diem aja dari tadi?”

Aku pun langsung menoleh ke arah datangnya suara dan mendapati seorang pria paruh baya berdiri sambil menenteng sesuatu yang dibungkus dalam kantung plastik merah transparan.

“Masnya datang kemari ada perlu apa ya?”

Tanya orang itu lagi sambil mengusap janggut tipis didagunya.

“Eeh ... saya kurir paket, dan harus mengantar paket ini ke dalam sana, tapi ini pertama kalinya saya datang kesini dan sama sekali tidak tahu di mana alamatnya,” ujarku tanpa pikir panjang, sembari mengeluarkan paket kecil yang terbungkus rapih dari tasku. “Apa bapak tahu alamat ini?”

Pria berjanggut tipis itu tersenyum lebar.

“Oh~! Di situ? Ya ya ya,” ujarnya sambil mengelus janggut tipisnya. “Jalannya agak ribet karena masuknya lumayan dalam, tapi biar masnya kuantar. Kebetulan saya juga mau pulang.”

“Benarkah!” ujarku sambil menghela nafas lega. “Syukurlah bapak tahu jalan.”

“Masnya ikut saya ya,” ujar pria itu sambil memainkan bungkusan plastik di tangannya itu, sembari memberi isyarat agar aku segera mengikutinya

Tanpa banyak bicara lagi, dia pun melangkah masuk ke dalam lorong gelap yang menakutkan dan berbau tidak sedap itu. Dan meskipun aku masih ragu, dan masih diliputi rasa takut, aku pun melangkah mengikuti pria paruh baya misterius itu ... ke dalam lorong hitam yang menganga di depan sana.

 

 ****

 

Seperti yang sudah kubayangkan tadi, kawasan super-padat penduduk ini memang menyeramkan. Tidak hanya gelap dan berbau kurang sedap, udara di dalam lorong-lorong yang kulewati sejauh ini juga terasa stagnan. Atau bahkan bisa dibilang, semua yang ada di sekelilingku ini terasa diam dan berusaha keras untuk tidak bergerak. Seolah-olah dinding di sekitarku ini bagaikan makhluk hidup yang sedang menahan nafas dan menunggu saat yang tepat untuk menerkamku.

Itu belum ditambah fakta bahwa sesekali aku bisa melihat sosok-sosok menggelenyar, kelebatan misterius, dan suara bisik-bisik dalam bahasa yang tidak bisa kupahami. Semuanya tampak mengamatiku dengan seksama. Apa pun yang ada di balik kegelapan di sekitarku ini, jelas bukan sesuatu yang baik.

Seketika itu juga aku menyadari kalau keputusanku untuk masuk ke sini dan mengikuti pria paruh baya misterius yang ada di depanku ini adalah sebuah kesalahan besar.

Sialnya aku pun tidak bisa mundur lagi, soalnya aku sama sekali tidak tahu sekarang ini aku ada di mana. Jalanan yang kulewati barusan benar-benar rumit, karena sesekali aku harus naik-turun tangga yang sudah lapuk atau berkarat, atau berjalan melintasi lorong sempit yang benar-benar hanya bisa dilewati satu orang saja, serta kelokan-kelokan yang mengular membingungkan.

Intinya ... ini sama saja dengan maju masuk ke mulut singa, mundur masuk ke mulut buaya.

“Eh ... anu ... apa masih jauh tempatnya?”

Aku pun memberanikan diri untuk bertanya pada sosok yang berjalan dengan langkah ringan di depanku itu. Dan tanpa menoleh, pria yang sedari tadi memanduku tanpa bicara sepatah kata pun itu akhirnya bicara.

“Tidak jauh kok, sebentar lagi kita sampai,” ujarnya sambil memainkan bungkusan plastik di tangannya itu, dan aku berani sumpah kalau apa pun yang ada di dalam kantong itu, terlihat berdenyut tidak nyaman. “Kita hanya perlu melintasi Batas saja, lalu kita akan sampai.”

Aku menelan ludah. Pasalnya atmosfer di sekitarku sekarang ini benar-benar terasa mencekam. Aku bahkan seperti bisa merasakan kalau kegelapan di sekelilingku ini mulai menggeliat dan menjulurkan sulur-sulur bayangannya ke arahku. Tanpa bisa ditahan lagi, aku pun merinding ketakutan dan bergegas berjalan di samping pria berjanggut tipis yang ada di depanku itu.

“Eh ... bapak ini warga sini? Sudah tinggal berapa lama di sini?” tanyaku dengan niat basa-basi untuk mengusir rasa takut yang mulai tidak tertahankan ini.

Pria di sampingku itu pun mengangguk mengiyakan.

“Iya, saya sudah tinggal di sini sejak lama sekali,” ujarnya singkat. “Dulu sih tempatnya enggak kayak gini, mas. Tempatnya bagus deh. Tapi sekarang sayangnya jadi jelek kayak gini. Ini semua gara-gara ...”

Pria itu mendadak berhenti bicara, lalu merogoh ke dalam saku celananya, dan melemparkan apa pun yang dia ambil itu ke salah satu lorong yang baru kami lewati. Dan sekali lagi aku berani sumpah kalau aku benar-benar mendengar suara desis marah dan takut, serta merasakan hembusan angin dingin yang datang entah dari mana.

“ ... maaf, sampai mana tadi?” tanya pria misterius itu lagi, kemudian dia pun menjentikkan jarinya. “Oh! Ya. Tempat ini tadinya indah dan penuh kehidupan, tidak seperti sekarang ini. Tapi apa boleh buat ... tempat ini sekarang bisa dibilang sudah jadi tempat pengungsian mereka yang tergusur oleh perkembangan jaman. Mereka itu harusnya sudah hilang aja, tapi malah pada keras kepala dan masih nekat bertahan di sini.”

Aku menelan ludah. Sudah jelas sekarang sosok pria berjenggot tipis yang berjalan bersamaku ini bukan manusia biasa, malah semakin jelas, kalau dia bukan manusia. Dengan ngeri aku melirik ke balik pundakku, dan bisa melihat sekilas sosok-sosok di balik kegelapan yang sejak tadi mengikuti dari belakang. Tapi anehnya, sejak tadi, apa pun yang bersembunyi di balik bayang-bayang dan sudut-sudut labirin menakutkan ini jelas-jelas menjaga jarak. Seolah mereka semua takut akan sesuatu ... dan aku pun bisa menduga kalau yang mereka takuti itu adalah sosok pria paruh baya yang berjalan di sampingku ini.

Dan kalau makhluk-makhluk ghaib di sekelilingku ini sampai tidak berani mendekat, aku sama sekali tidak mau tahu siapa sebenarnya bapak-bapak berjenggot tipis yang sedang bersamaku ini ...

“Oh, kita sudah sampai!”

Ucapan pria misterius di hadapanku itu langsung membuatku tersadar dari lamunanku ... dan kemudian aku hanya bisa diam terbengong-bengong.

Pasalnya saat ini aku berada entah di mana, yang jelas di sekelilingku semuanya adalah hamparan laut dangkal yang membentang luas nyaris tanpa batas, dengan alun ombak lembut dan riak yang sesekali menghiasi permukaan air yang begitu jernih itu. Langit biru pun juga membentang dari ujung ke ujung di atas kepalaku, sedangkan tidak jauh di depan, terdapat sebuah rumah panggung sederhana yang terbuat dari kayu. Sekilas desain rumah panggung itu mirip dengan rumah tradisional orang Betawi, hanya saja ada ukiran dan ornamen yang sekilas tidak mirip dengan pola tradisional Indonesia apa pun yang pernah kulihat sebelumnya. Yang jelas ... rumah, ukiran, dan ornamen yang menghiasinya itu amat sangat tua.

Jauh lebih tua dari apa pun yang ada di sekelilingnya.

Aku pun menelan ludah.

“Masnya tunggu apa lagi? Itu alamat tujuan paketnya, mas,” ujar pria berjanggut tipis di depanku sambil melangkah ringan menaiki tangga rumah panggung di hadapannya itu. “Biar kubantu mengetuk pintu ya?”

Sebelum aku sempat menolak atau mengatakan apa pun, pria berjanggut yang memanduku itu sudah keburu mengetuk pintu kayu di hadapannya itu dengan cincin bel yang tergantung di depan pintu. Suara ketukannya terdengar bergema nyaring di ruang antah-berantah yang nyaris sunyi senyap ini.

Selama beberapa saat, tidak terdengar suara sahutan dari balik pintu rumah kayu janggal itu.

“Mungkin DIA lagi tidur, coba sekali lagi ya.”

Untuk kedua kalinya, aku tidak sempat protes atau menghentikan ulah pria pemanduku itu, dan sekali lagi ... suara ketukan pintu pun terdengar nyaring. Dan lagi-lagi ... tidak ada jawaban sama sekali.

“Hmmm ... coba sekali la ...”

“Mungkin yang punya rumah sedang keluar!” ujarku sambil menahan tangan pria berjanggut itu, sebelum dia sempat mengetuk pintu sekali lagi. “Mungkin lain kali saja aku datang kesini lagi.”

“Wah ... jangan begitu, soalnya masnya gak mungkin loh datang kesini sendirian,” ujar pemanduku itu sambil meraih cincin bel sekali lagi. “Biar ku ...”

“HEI!”

Sebuah suara menggelegar mendadak terdengar langsung menusuk ke dalam dadaku.

Tidak.

Aku tidak bercanda.

Rasanya seperti ada yang baru saja menggetarkan seluruh relung dadaku. Mirip seperti kalau kita mendengarkan konser musik metal atau rock, lalu suara dentuman suara rendah yang dimainkan serasa membuat seluruh organ dalamku bergetar karena resonansi.

Seperti itu.

Hanya lebih parah.

Pandanganku langsung kabur dan mataku berair, sementara sekujur tubuhku langsung lemas. Tanpa bisa ditahan, aku pun mengerang dan jatuh berlutut. Sementara pria berjanggut di sampingku mengernyitkan wajah tidak senang.

“Aduh! Tidak usah pakai teriak dong!” protesnya sambil berkacak pinggang. “Kasihan masnya jadi kesakitan kayak gitu.”

“Mau apa kamu kesini? Bukannya sudah kubilang kalau aku melihatmu lagi, aku bakal menombakmu dan membuangmu ke rekahan terdalam di Laut Banda sana!”

Perlahan-lahan aku menegakkan kepala dan melihat sesosok pria tua bertubuh kekar, berkulit gelap, berambut dan berjanggut ikal berwarna kecoklatan karena terbakar matahari, serta membawa peralatan untuk menombak ikan. Kedua mata pria kekar yang berwarna biru laut itu menatap tajam ke arahku, dan nyaris membuatku ingin menjerit ketakutan. Seolah aku sedang menatap ke arah sesuatu yang begitu tua, begitu dalam, dan begitu menakutkan ...

“Manusia, eh?” tanya pria kekar, yang sepertinya adalah pemilik rumah kayu misterius yang sedang kukunjungi ini. “Mau apa?”

Sambil berusaha menyeimbangkan tubuhku yang masih terasa limbung, aku pun perlahan-lahan mengeluarkan bungkusan paket yang kutaruh di dalam tasku.

“I ... ini ... ada paket ... sepertinya untuk Anda ....” ujarku terbata-bata. Entah bagaimana aku jadi kesulitan bicara karena berusaha menahan keinginanku untuk menjerit-jerit dan melompat ke laut. “Mudah-mudahan ... tidak ... tidak salah kirim ...”

Pria bertubuh kekar itu tidak mengatakan apa pun, namun dia berjalan dengan langkah tegap dan menghampiriku. Lalu tanpa kusangka-sangka, dia menerima paket yang kuulurkan ke arahnya itu dengan lembut. Jemarinya tampak mengelus permukaan bungkusan paket yang baru saja diterimanya itu, kemudian kedua matanya terbelalak lebar.

INI?!” serunya dengan nada tidak percaya, dan dengan suara menggelegar lagi. Untungnya kali ini tidak sampai membuat organ-organ dalamku gemetar lagi.

“... di mana kau menemukan ini?” tanya pria kekar itu sambil menunjuk ke arah bungkusan yang ada di tangannya itu.

“Entah ... pokoknya ada yang mengirimkan paket ini untuk diantar oleh perusahaan kurirku  yang ... yah ... bisa dibilang bakal bangkrut sebentar lagi ...” ujarku terus terang tanpa bisa aku tahan lagi. “Aku nekat kesini karena bisa jadi ini paket terakhir yang akan kukirimkan di kota ini ... jadi ... yah ... di sinilah aku sekarang.”

Pria kekar di hadapanku tampak mengamatiku dengan seksama. Tatapan matanya yang tajam menusuk, sekali lagi, seolah menusuk jauh ke dalam diriku. Kali ini ... jauh ke dalam jiwaku ...

Yeah.

Enggak usah tanya kenapa aku merasa begitu.

Pokoknya ... begitu!

Tanpa kusangka-sangka, pria kekar bermata sebiru lautan itu menepuk pundakku dengan hangat. Senyuman pun merekah di wajahnya yang penuh kerutan dan tampak terbakar matahari itu.

“Terima kasih! Ini sudah lama sekali kucari-cari ... dan tidak kusangka yang membawakannya kemari justru manusia biasa sepertimu,” ujarnya sambil nyengir lebar, dan menampakkan gigi-gigi taringnya yang berkilat terkena sinar matahari. “Dengan ini, parasit-parasit laut itu bisa kuusir dan kerjaanku jadi bakal lebih mudah! Lihat saja! Si Brengsek Tua dari Angkasa Luar itu tidak akan bisa menggangguku seenaknya lagi! Dia dan kutu-kutunya bakalan merasakan apa yang terjadi kalau aku marah!”

Aku menoleh meminta petunjuk ke arah pria pemanduku, yang masih dengan sabar menunggu di sampingku. Pria misterius itu hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum tipis.

Aku pun tersadar dan buru-buru mengambil surat tanda bukti pengiriman dari dalam tasku, kemudian menyerahkan lembaran itu kepada pria kekar yang masih tampak mengamati paketnya itu.

“Oh! Ha ha ha~! Tentu saja!”

Dia segera menyadari maksudku dan mengambil lembaran surat tanda bukti dari tanganku sambil tertawa nyaring. Dia lalu menekankan jempolnya di kolom tanda tangan, kemudian menyerahkan lembaran itu kembali kepadaku. Ketika aku menerima lembaran itu, alih-alih sidik jari, yang tampak di kolom tanda tangan itu adalah sebuah simbol aneh, yang entah mengapa, membuatku merasa agak mual ketika melihatnya.

“Eh ... terima kasih,” ujarku sambil memasukkan surat tanda bukti itu kembali ke tasku. “Kurasa ... sekarang saatnya aku pamit ya.”

Pria kekar di hadapanku itu kembali tersenyum lebar. Dia lalu merogoh ke dalam saku celana pendeknya dan menyodorkan sesuatu yang terlihat seperti sebuah biji salak yang berwarna hitam kepadaku.

“Ini. Ambil,” ujar pria itu sambil menatap lurus ke arah kedua mataku. “Ini imbalan atas jasamu.”

Aku sama sekali tidak bisa menjawab, karena tubuhku mendadak seperti menolak untuk dikendalikan dan hanya bisa mematung di tempat. Tatapan mata pria misterius yang berdiri di hadapanku itu begitu tajam dan dalam ... seolah-olah dia tidak hanya sedang menatap mataku, tapi juga menatap langsung ke arah esensi diriku ...

... atau jiwaku ...

... atau apalah namanya itu ...

“Simpan ini baik-baik, karena suatu saat kau akan membutuhkannya,” ujar pria kekar itu sambil menyelipkan biji salak hitam misterius itu ke saku jaket yang kukenakan. “Tidak tiap milenium aku memberikan ini pada seseorang, jadi jaga baik-baik dan bawa itu ke mana pun kau pergi.”

Aku yang masih tidak bisa bergerak hanya bisa mengangguk mengiyakan, tanpa bisa melepaskan pandanganku dari kedua mata pria tua kekar yang berwarna biru dan sedalam lautan itu. Pria kekar itu pun tersenyum dan membalikkan badannya, berjalan kembali ke dalam rumahnya, kemudian menutup pintu tanpa mengatakan sepatah-kata pun.

Baru setelah pria kekar misterius itu menghilang dari pandanganku, aku baru bisa bergerak lagi dan tiba-tiba saja aku mendadak megap-megap seperti baru saja kehabisan nafas. Pandanganku pun jadi agak kabur dan aku pun terpaksa berpegangan pada tiang teras depan rumah yang terbuat dari kayu itu.

“Masnya enggak apa-apa?”

Pria berjanggut tipis yang sedari tadi berdiri terdiam di sampingku itu akhirnya kembali bicara, dia lalu membantuku menyeimbangkan diri dan membiarkanku bertumpu di sebelah bahunya.

“Aku ... tidak ... apa ... apa ...?”

Tiba-tiba aku serasa kehilangan tenaga untuk bicara. Setiap kata rasanya seperti berat sekali untuk diucapkan dan mendadak aku juga merasa sangat lelah. Seperti habis lari maraton berkilo-kilometer tanpa henti.

“Mari saya bantu jalan pulang ... masnya tenang saja ya ... rileks saja ...”

Samar-samar aku bisa mendengar suara pria pemanduku itu. Tapi karena terlalu lelah dan otakku serasa sulit diajak untuk berpikir jernih, aku hanya menganggukkan kepala saja. Sekilas aku melihat sebuah senyuman tipis terkembang di wajah pria berjanggut yang masih sedang membantuku berdiri itu.

“Sekarang ... pulanglah ...”

Tanpa peringatan, pria misterius berjanggut tipis itu tahu-tahu meniup wajahku dan memaksaku menutup kedua mataku karena terkejut.

Namun ketika aku kembali membuka mata, tahu-tahu aku sudah berada di luar lorong sempit nan gelap tempatku masuk pertama kali tadi. Karena bingung, aku sempat terpaku di tempat selama beberapa saat, sebelum akhirnya memandang ke sekelilingku dan menyadari kalau hari sudah sore, matahari sudah mulai bergeser ke cakrawala dan bayang-bayang pun juga terlihat semakin panjang.

Setelah mengerjapkan mata beberapa kali, aku pun memandang ke sekelilingku, tapi aku sama sekali tidak bisa menemukan di mana pria berjanggut misterius yang memanduku tadi. Selain itu, aku juga menyadari kalau deretan rumah-rumah super-padat penduduk itu kini terlihat ramai dengan warganya yang tampak sedang sibuk menjalankan aktivitasnya masing-masing. Sangat berbeda dengan keadaan saat aku datang pertama kali tadi.

“Oh ... tentu saja ...”

Aku bergumam karena menyadari kalau baru saja mengalami kejadian supranatural, untuk yang ke sekian kalinya. Lorong gelap, sosok pemandu misterius, rumah betawi yang ada di tengah-tengah hamparan air luas tanpa batas, dan pria tua kekar yang terasa berusia lebih tua dari peradaban manusia tadi itu adalah bagian dari pengalaman anehku.

Untung saja kali ini aku tidak mengalami hal-hal yang mengancam nyawaku ... yah ... selain tadi tiba-tiba merasa lemas dan nyaris pingsan saja ... tapi hanya itu saja dan itu tidak terlalu buruk.

Setidaknya aku masih hidup sekarang.

Setelah menarik nafas panjang beberapa kali sembari mengabaikan tatapan heran dan curiga dari warga sekitar, aku pun buru-buru berjalan kembali ke motorku yang terparkir di depan sebuah warung. Ketika aku baru selesai mengenakan helm dan memeriksa kondisi tubuhku, tiba-tiba aku menyadari kalau ada sesuatu yang mengganjal di salah satu saku jaketku.

Ternyata benda itu tidak lain adalah ‘biji salak’ hitam yang diberikan pria tua kekar misterius tadi. Benda itu terlihat tidak lebih dari sebuah benda berwarna hitam yang terasa sangat ringan, seolah terbuat dari kapas atau semacamnya. Untungnya tidak ada sensasi aneh yang kurasakan ketika memainkan benda misterius itu di tanganku, tapi yang pasti, aku akan menyimpannya dengan baik.

Setelah mengembalikan benda hitam itu ke dalam salah satu kantung di jaketku, aku pun memutar kunci kontak motor dan menyalakan mesinnya. Suara derum partnerku itu pun seolah menunjukkan kalau dia senang melihatku lagi dan sudah tidak sabar lagi untuk kembali mengarungi kekacauan di jalanan kota Jakarta.

Aku pun menghela nafas panjang.

“Ayo kita pulang. Hari sudah petang.”

 

****

 

End of 14th Spiral

Move on to the next story

Comments

Anonymous said…
The King Casino - Community Khabar
The King Casino 더킹카지노 is william hill a modern, world-class resort and casino for everyone from all over the world, whether you're a link 12bet pro or a