[FF-2011] Lampu

Lampu

 

 

Mimpi itu datang lagi.

Dalam mimpi itu, aku melihat diriku sendiri bersama seorang anak kecil yang tidak kukenal, berlari menyusuri sebuah lorong yang panjang dan sempit. Ada yang mengejar kami dari belakang, dan mereka ingin kami berdua mati. Kami mencoba mempercepat laju kami, tapi percuma. Mereka terlalu cepat dan kami terlalu lambat. Namun sebelum mereka menangkap kami, aku pasti merasakan rasa sakit yang tidak tertahankan di tubuhku.

Kemudian aku pasti terbangun sambil menjerit-jerit seperti orang gila, hanya untuk diumpati oleh tetangga sebelah yang baru saja tidur. Mimpi ini berulang beberapa hari sekali dan selalu muncul pada saat yang salah.

Seperti malam ini.

Aku mengusap wajahku yang dipenuhi keringat dingin lalu mendesah dan mendengarkan tetangga sebelah melemparkan kata-kata yang tidak bisa kuucapkan kembali. Awalnya aku juga balas mengumpatinya, tapi tetanggaku yang lain ikut bangun dan mulai menggedor pintuku. Tapi aku jadi stress sendiri, akhirnya aku membiarkan tetanggaku yang pemarah itu terus berteriak hingga dia lelah.

Aku menoleh ke arah jam dindingku.

Pukul 3 dini hari....bagus sekali....

Aku menguap lalu berjalan ke arah kulkas yang ada di dapur.

“Kulkas sial! Pintunya macet lagi!!!”

Aku menggerutu sambil menarik pintu kulkas sekuat tenaga, tapi pintu benda sial ini sama sekali tidak bergeming. Memang kulkas tua ini punya banyak masalah. Mulai dari pendingin yang sering bocor, pintu yang susah dibuka, dan yang paling parah, bau menyengat yang tertinggal berminggu-minggu kalau aku lupa mengeluarkan sisa makanan basi dari dalam kulkasku.

“*@&#*%&!@)#*%!&%%$!@~/?*^&%!!!!”

Aku mengumpati kulkas itu dan menendang pintunya sekuat tenaga. Seperti mengejekku, pintu kulkas itu sama sekali tidak terbuka.

Akhirnya aku menyerah dan menyambar botol air yang kuletakkan diatas meja, lalu meneguk isinya. Setelah memuaskan dahagaku, aku duduk di sofa dan menyalakan televisi.

Sepertinya pagi ini memang benar pagi sial bagiku.

Televisi kuno-ku memutuskan untuk berhenti menyala pagi ini. Aku menekan tombol remote dengan frustasi, tapi televisi bodoh itu sama sekali tidak menyala.

Kalau aku kalap, aku bisa saja melemparkan benda rongsokan itu keluar jendela apartemenku. Tapi akal sehatku masih bekerja dan menghentikanku melakukan hal-hal bodoh.

Aku mendesah dan menutup mata lagi.

Setiap kali mimpi itu datang, aku pasti tidak bisa tidur lagi sampai pagi.

“Aaaah! Kenapa sih mimpi itu selalu muncul? Kalau itu pertanda, kenapa tidak memberikan gambaran yang lebih jelas!?”

Aku menggerutu sendiri dan bangkit dari sofa.

Mungkin angin dingin di pagi buta bisa membuatku lebih tenang sedikit.

Sambil bersenandung pelan, aku melangkah keluar dari apartemenku dan berjalan menuruni langkan tangga yang sempit dan gelap. Apartemen ini memang kondisinya sangat menyedihkan. Aku sendiri heran kenapa aku bisa tahan hidup di tempat seperti ini. Daripada sebuah apartemen, tempat ini lebih mirip kandang merpati. Parahnya, kadang baunya memang seperti itu. Awalnya aku juga tidak tahan, tapi lama-lama aku terbiasa.

Kemampuan beradaptasi itu memang mengerikan. Aku dulu sama sekali tidak pernah membayangkan diriku hidup diantara orang-orang pemarah, pemabuk, pecandu obat, maniak, dan jenis-jenis lain yang tidak bisa kuceritakan.

Intinya....tempatku tinggal sekarang lebih mirip neraka.

Meski begitu, aku harusnya lebih bersyukur karena masih punya atap dan kasur saat tidur. Masih banyak orang lain yang harus tidur beralas aspal dan beton, serta beratapkan langit kota yang suram.

Sambil berjalan menyusuri komplek perumahan di dekat apartemenku, aku memandang ke sekelilingku.

Hari masih sangat gelap dan matahari belum sama sekali menampakkan wujudnya. Sesekali aku memperhatikan sudut-sudut gang dan bangunan yang gelap. Berhati-hati terhadap apapun yang bisa tiba-tiba muncul dan menyerangku.

Yah....zaman sekarang memang tidak sebaik zaman dulu. Sekarang orang bisa saja ditemukan mati di dalam rumahnya, atau lebih buruk lagi, hilang begitu saja tanpa jejak.

Aku menengadah dan memandangi langit malam yang tidak berbintang.

Terkutuklah polusi cahaya dan asap di kota ini. Berkat itu tidak ada bintang yang mau bersinar di atas kota padat ini.

Aku mendesah lagi.

Seharusnya aku berhenti menggerutu dan mengutuki segala sesuatu.

Tiba-tiba aku melihat sesuatu yang sangat menarik perhatianku.

Di sudut jalan, tepatnya di bawah sorotan lampu jalan yang temaram, aku melihat seorang anak kecil berdiri ketakutan. Dari tempatku berdiri, aku memang tidak bisa melihat jelas wajahnya, tapi dari sikapnya, aku tahu dia ketakutan.

Aku tahu ini akan terdengar bodoh. Tapi aku langsung menghampiri anak itu. Begitu aku mulai mendekat, anak itu langsung gemetar ketakutan. Wajar saja.

“Nak, aku tidak akan menyakitimu.”

Aku berusaha meyakinkannya untuk tidak takut padaku. Tapi dia semakin ketakutan dan berusaha bersembunyi di balik tiang lampu.

Aneh. Kalau dia begitu ketakutan, kenapa dia tidak lari saja?

Aku mendekat lagi, dia langsung berjongkok. Masih sambil memeluk tiang lampu di depannya. Anak itu menutup matanya dan menutupi kepalanya dengan sebelah tangan, seolah-olah aku akan memukulnya. Ajaibnya, dia tidak menjerit atau berteriak ketakutan.

Yah untung saja begitu. Kalau tidak akan ada banyak orang yang langsung keluar rumah dan mulai menyerbuku.

“Nak, tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu. Jangan takut.”

Sekali lagi aku berusaha meyakinkan anak itu dan sepertinya usahaku mulai membuahkan hasil.

Perlahan-lahan anak itu membuka matanya dan menatapku dengan tatapan heran bercampur takut. Tapi dia masih tidak mau melepaskan tiang lampu dari pelukannya.

“Siapa namamu nak?”

Anak itu hendak membuka mulutnya dan menjawab, tapi dia terdiam lagi dan menggelengkan kepalanya. Kemudian menatapku dengan tatapan memelas.

Aku menggaruk belakang leherku dan mendesah lagi.

“Oke....jadi kau tidak punya nama atau kau tidak mau menjawabku?”

Anak itu menatapku kebingungan. Lalu menggelengkan kepalanya.

“Oke...aku bingung sekarang. Jadi dia ini tidak punya nama, tidak mau menjawab, atau sekedar tidak mengerti ucapanku?”

Aku tidak ambil pusing dan menyapanya lagi.

“Kalau begitu kau akan kupanggil Lampu. Kenapa bingung? Kan aku tidak tahu namamu dan karena kau terus memegangi tiang lampu itu, aku memanggilmu Lampu. Bagaimana?”

Anak itu terdiam dan sepertinya sedang berusaha memahami perkataanku. Lalu tanpa terduga, dia menatapku dan tersenyum manis.

Sebenarnya senyumannya seharusnya lebih dari cukup untuk membuatku tersenyum, tapi sebaliknya. Aku justru ketakutan setengah mati ketika pandanganku bertemu dengan pandangan anak itu.

Mata anak itu berwarna hitam pekat. Benar-benar pekat. Sampai bayanganku atau sinar lampu jalan diatasnya tidak terpantul di mata anak itu. Ketika melihat matanya, aku merasakan seolah-olah diriku ditarik masuk ke dalam mata anak itu.

Aku langsung merinding, tapi aku memutuskan untuk membawa anak itu kembali ke apartemenku.

Oke. Sebelum ada yang berpikir aku pedofil. Kutegaskan kalau aku hanya tidak tega melihat anak itu berdiri seorang diri dipinggir jalan. Sama sekali tidak ada niat lain.

Ketika aku membawa anak itu kembali ke apartemenku. Nasibku sedang sial.

Aku bertemu 3 orang junkies yang tinggal satu apartemen denganku. Ketiganya langsung melotot waktu melihatku naik, mata mereka nyaris keluar dari kepala mereka ketika melihat anak kecil yang kubawa.

“Apa lihat-lihat?!!”

Aku menggeram dan mengusir mereka. Ketiganya langsung kembali ke kamar mereka dan membanting pintu.

Lampu menatapku heran.

Aku mengusap kepalanya dan menjelaskan siapa ketiga orang itu. Mereka hanya sekelompok sampah yang hidupnya bergantung pada obat yang mereka pakai setiap saat.

Lampu tersenyum lagi melihatku menggerutu. Tapi senyumannya lagi-lagi tidak membuatku senang.

Aku mendengus dan mendorong anak itu agar kembali berjalan hingga kami tiba di depan kamarku. Aku langsung membuka pintu itu dan membiarkan Lampu masuk terlebih dahulu.

Anak itu langsung berkeliling kamar apartemenku yang sempit dengan gembira. Dia terlihat kagum melihat televisi rongsokanku yang baru saja mati, kulkas sial yang pintunya belum juga mau terbuka, serta kompor listrik butut yang tidak mau menyala tanpa membuatku tersetrum.

“Kau lapar?”

Aku bertanya pada Lampu. Anak itu memiringkan kepalanya lagi.

Oke. Jadi dia tidak mengerti apa yang kuucapkan. Bagus sekali.....

Aku menggerutu lagi dan mengusap perutku, lalu menunjuk ke arah perutnya. Lampu tampaknya mengerti dan menepuk perutnya sendiri dan membuka mulutnya.

Oke. Itu artinya dia lapar. Kalau begitu akan kucoba membuka pintu kulkas sialan itu. Kalau dia tidak mau terbuka juga, besok aku akan melemparkan benda itu ke tong sampah!

Sambil mengumpat lagi, aku menarik pintu kulkas tuaku. Tapi pintu itu tidak mau terbuka. Aku menarik-narik pintu itu berkali-kali, menendang, dan meninjunya. Tapi kulkas itu tetap keras kepala.

“Kulkas sial!!! Besok kau akan pergi ke tong sampah!!!”

Aku berseru marah sambil menendang pintu kulkas itu sekali lagi.

Ajaibnya, pintu benda tua itu perlahan-lahan terbuka. Aku bersorak gembira dan buru-buru membuka pintu itu dan mengeluarkan beberapa potong daging beku yang kusimpan. Kemudian mulai memasak daging itu diatas kompor listrik, setelah melontarkan beberapa umpatan lagi karena tersetrum kompor butut itu.

Setelah matang, aku menyajikan daging itu bersama salad sayuran layu yang masih ada di dalam kulkasku. Aku sudah lupa berapa lama aku menyimpan sayuran itu, tapi aku tidak peduli. Baunya masih oke dan warnanya belum berubah, jadi kupikir masih aman dimakan.

Aku meletakkan daging itu diatas meja di depan sofa dan menggiring Lampu untuk duduk di sofa.

Anak itu memandangiku dan daging diatas meja dengan bingung.

Aku memperagakan gerakan orang makan pada anak itu dan menunjuk ke arah daging diatas meja makan. Anak itu menatapku dengan matanya yang hitam pekat, hingga membuatku berpaling lagi.

“Makanlah! Ini enak!”

Aku mencuil sedikit daging yang kusediakan dan memakannya. Sekedar untuk menunjukkan kalau daging ini enak dan tidak kuracuni.

Lampu masih memandangku dengan tatapan bingung. Perlahan-lahan dia mencuil daging yang kumasak dan memakannya. Tapi tidak sampai menelannya, dia lalu memuntahkan lagi daging itu. Anak aneh itu lalu menatapku dan menggelengkan kepalanya.

“Kau tidak bisa makan daging? Kenapa? Apa masakanku segitu tidak enaknya??”

Lampu tidak menjawab, dia lalu mulai mengambil sayuran yang kusajikan bersama daging itu dan memakannya dengan lahap. Heran bercampur lega, aku memperhatikan anak itu makan dengan lahap.

Selesai makan, Lampu tiba-tiba merebahkan tubuhnya diatas sofa dan memejamkan matanya. Dia lalu tertidur begitu saja.

Aku mengambil daging yang kusajikan untuknya dan memakannya. Rasanya sih seperti daging, walau tidak bisa dibilang lezat. Yang penting masih bisa dimakan. Setelah selesai makan, aku memperhatikan anak yang kini tertidur pulas di sofaku.

Oke....sekarang apa yang harus kulakukan dengan anak ini? Aku kan tidak bisa menjaganya seharian....aku harus kerja. Lagipula....siapa yang tega meninggalkan anak ini sendirian di tengah pagi buta? Orangtuanya pasti sudah gila!

Aku sendiri bingung kenapa aku membawanya ke apartemenku, padahal aku tahu ini akan jadi masalah besar. Kadang aku heran kenapa sesekali otakku tidak bisa bekerja dengan benar. Sambil terus menggerutu aku mengambil piring kosongnya dan meletakkannya diatas bak cuci, lalu berjalan ke arah jendela, membuka tirai, dan membuka jendela kamarku.

Cahaya matahari langsung menyapaku, disertai angin yang membawa debu dan polusi.

Sambil batuk-batuk dan mulai menggerutu lagi, aku memandang ke bawah. Seperti biasanya orang-orang sudah memulai hari mereka dan berjalan dengan tergesa-gesa. Pemandangan ini sudah kulihat setiap hari selama 8 tahun lebih.

Tapi hari ini pandanganku langsung terpaku pada sebuah mobil van hitam yang diparkir tepat di depan pintu apartemen.

Instingku langsung bilang ada yang tidak beres pada mobil van itu.

Tepat ketika aku berpikir seperti itu, pintu depanku digedor dengan kuat.

“Buka pintunya! Kami tahu kau dan anak itu ada di dalam!!”

Suara seruan dari balik pintu itu langsung membuatku berlari ke kamar tidur dan meraih ke balik kasur. Sebuah benda hitam dan berat langsung berada di genggamanku. Aku menyelipkan benda itu ke balik punggungku, lalu berlari ke ruang utama dan membangunkan Lampu.

“Bangun!”

Satu guncangan sudah membuat anak itu terbangun dan duduk dengan tiba-tiba.

Suara gedoran dan seruan di balik pintu apartemenku semakin keras. Aku sudah tahu kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya. Jadi kuputuskan untuk melarikan diri sebelum itu terjadi.

Lampu memandangku dengan tatapan bingung bercampur ketakutan.

“Jangan lihat aku seperti itu! Kita harus pergi dari sini! Ikuti aku!!!”

Aku menarik Lampu ke arah jendela dan melongok ke bawah.

Bagus! Tidak ada yang berjaga di bawah sana.

Lampu memandangku lagi dan jendela, bergantian. Wajahnya langsung memucat ketika dia sepertinya sadar apa yang akan kulakukan.

Anak itu menyilangkan tangannya dan mulai berseru ketakutan. Tapi aku tidak peduli. Ini urusan hidup dan mati.

Tanpa basa-basi aku merangkul tubuh anak itu dan melompat keluar jendela.

Tindakan bodoh?

Memang. Tapi aku tahu apa yang kulakukan.

Meski kamarku berada di lantai 13, aku tahu fisikku masih sanggup bertahan kalau hanya melompat dari ketinggian seperti itu. Dan aku sengaja mengarahkan lompatanku tepat diatas van hitam yang diparkir di depan pintu apartemen.

Berat tubuhku, ditambah berat tubuh Lampu, langsung meremukkan atap mobil van malang itu. Orang-orang di kamarku langsung sadar aku sudah melarikan diri dan langsung melompat keluar jendela, sementara aku sudah berlari masuk ke sebuah lorong.

Nafasku memburu. Aku mengutuki diriku karena tidak sering-sering olahraga. Tapi sekarang tidak ada waktu untuk berhenti dan menarik nafas. Aku harus segera lari atau mereka akan menangkapku dan Lampu.

Jarak kami pada awalnya cukup jauh, tapi lama kelamaan kami tersusul juga. Aku tahu tidak lama lagi mereka akan segera menyusulku.

“Berhenti!!!!”

Aku mendengar orang-orang dibelakangku berseru marah. Tentu saja aku tidak berhenti begitu saja, meski otakku terus menjerit dan menyuruhku berhenti berlari.

Kemudian aku mendengar suara desing samar, lalu sebuah lubang sebesar piring makan langsung muncul di tong sampah yang baru kulewati.

“GILA!!!”

Aku berseru dan melompat ke gang di sampingku, tepat ketika lebih banyak lagi suara desing dan lubang-lubang muncul di sekitar tempatku berdiri tadi.

Sekarang jantungku berdegup terlalu kencang dan nyaris meledak. Aku menoleh dan melihat Lampu meringkuk ketakutan di sampingku. Aku mengelus kepalanya dengan lembut.

“Tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatir.”

Aku berusaha menenangkan anak itu, sekaligus diriku sendiri karena saat ini aku juga sedang ketakutan setengah mati.

Perlahan-lahan aku meraih ke balik pinggangku dan mengambil benda hitam yang kuselipkan disana. Benda itu adalah sebuah senjata. Senjata yang sama seperti yang digunakan orang-orang yang mengejarku.

Aku memandangi alat pembunuh itu dengan ngeri. Tidak terbayang akan datang hari dimana aku akan menggunakan benda itu. Tapi tidak ada pilihan lain.

Sambil mendengarkan langkah kaki mereka yang perlahan-lahan mendekat, aku menggenggam erat senjataku.

Tuhan....aku tahu aku terlalu banyak mengutuk dan mengumpat. Tapi setidaknya jangan tinggalkan aku sekarang.....

Aku memohon dalam hati dan mengambil ancang-ancang. Lalu melompat ke arah lorong tadi dan menembakkan senjataku pada siapapun yang kulihat di lorong itu.

Beberapa pengejarku langsung roboh dengan tubuh berlubang-lubang. Tapi yang lain sempat menghindar dan berlindung di ceruk dan tumpukan sampah logam yang ada di lorong itu. Kemudian mereka balas menembak.

Adu senjata berlangsung singkat karena peluruku sangat terbatas. Baru beberapa detik saja, aku sudah kehabisan peluru dan terpaksa mundur.

“!&@$!(~&!! Kenapa aku tidak sekalian beli peluru cadangan waktu membeli senjata sial ini!!!!!”

Sambil mengumpat dan mengutuki kebodohanku, aku berlari dan menyambar tubuh Lampu yang masih meringkuk ketakutan. Kemudian aku membawanya lari lagi.

Sayangnya aku tidak bisa lari jauh, karena di belakangku terdengar lagi suara desing-desing samar. Kemudian aku terjatuh begitu saja.

Aku kebingungan setengah mati karena tiba-tiba saja kakiku kehilangan tenaga dan tubuhku mendadak membentur jalanan. Sambil berbaring aku mulai menyadari satu fakta tidak terelakkan.

Aku baru saja tertembak.

Aku bisa merasakan cairan hangat mengalir dari lubang-lubang di tubuhku. Seiring dengan mengalirnya darahku, aku bisa merasakan nyawaku juga perlahan meninggalkan tubuhku.

Aku tahu aku akan segera mati.

Aku menatap Lampu yang kini mulai menangis dan menggucang-guncangkan badanku yang sudah mulai kaku. Suaranya mulai terasa bergema, seakan-akan dia berbicara dari kejauhan.

“Lampu....larilah! Jangan biarkan orang-orang itu menangkapmu! Lari! LARI!!!”

Dengan sisa tenagaku, aku membentaknya untuk segera melarikan diri. Anak itu perlahan-lahan bangkit dan mulai berlari menjauh, meski masih terus menoleh ke belakang.

Aku bisa mendengar orang-orang yang mengejarku berseru marah dan mulai mengejar Lampu. Aku tahu anak itu tidak akan bisa lari. Jadi aku melakukan satu-satunya hal yang terpikirkan olehku.

Aku mengambil benda lain kusimpan di saku dan mengangkat benda itu tinggi-tinggi.

Orang-orang yang baru saja melewatiku langsung berhenti dan terpaku di tempat. Wajah mereka langsung memucat seputih kapur ketika melihat silinder metalik di tanganku.

Aku tahu apa yang mereka pikirkan, jadi aku langsung tersenyum lebar dan mengacungkan jari tengahku pada mereka.

Mampus!

Aku menekan ujung silinder itu sambil tertawa lepas.

Kemudian semuanya menjadi putih. Tapi bersamaan dengan itu, aku juga merasa sangat damai.

Aaaah....akhirnya damai.....

 

 

Pagi itu aku bangun karena suara dentuman hebat yang membuat kaca-kaca jendela kamarku berderak nyaring.

Aku langsung lompat dari tempat tidur dan berlari ke pintu keluar.

Tadinya kukira ada gempa, tapi setelah tidak terasa getaran lain, aku kembali ke dalam kamar.

“@&#!^$*!&!!!”

Aku mengumpat dan membanting pintu hingga tertutup.

Sudah cukup tadi malam aku dibangunkan tengah malam oleh tetangga gilaku yang berteriak-teriak. Kemudian aku dibangunkan lagi oleh suara gedoran pintu di kamar tetanggaku beberapa menit yang lalu. Sekarang....apalagi?!

Sambil menggaruk kepalaku, aku menyalakan televisi dan menonton berita.

Tayangan berita yang kulihat benar-benar membuatku ternganga.

Sebuah ledakan dahsyat baru saja terjadi di area pemukiman padat penduduk, hanya berjarak 3 blok dari apartemenku. Ledakan itu meruntuhkan 5 apartemen, dan merusak 10 rumah lain di sekitarnya.

Tapi bukan itu yang membuatku rahangku nyaris jatuh ke lantai, melainkan foto pelaku yang terpampang di layar televisi.

Orang di foto itu sudah kulihat selama 8 tahun lebih dan selalu kukutuki serta kuumpati beberapa minggu terakhir ini.

Ya. Orang di foto itu adalah tetangga gilaku yang sering teriak-teriak tengah malam.

Aku mendengarkan pembawa berita menyiarkan kronologi kejadiannya.

Aku makin ternganga lagi ketika mendengar ucapan pembawa berita di televisi itu.

“.....pelaku diketahui berusaha melarikan diri dari kejaran polisi sambil membawa barang terlarang. Sempat terjadi baku tembak antara polisi dan pelaku yang menewaskan 4 orang personil, dan melukai 2 lagi. Pelaku tewas dalam ledakan, namun barang terlarang yang dilarikan tersangka diduga selamat dan kini berkeliaran di tengah kota. Bagi siapapun yang melihatnya, diharap segera melaporkan ke pos polisi terdekat....”

Aku mematikan televisi dan menelan ludahku.

Gambar barang terlarang yang kulihat di televisi langsung terbakar di dalam benakku.

Gambar seorang anak manusia bermata hitam pekat tadi membuatku nyaris tercekat. Cepat-cepat aku berjalan ke arah kamar mandi dan mencuci mukaku. Aku lalu menatap ke arah bayanganku sendiri di cermin.

Wajahku terlihat agak kacau gara-gara kurang tidur dan berita tadi membuatnya makin buruk. Aku mengusap tanduk kananku dan menyeringai, memperlihatkan gigi-gigiku yang runcing. Ekorku yang tebal dan bersisik kuangkat lalu kuperiksa. Gara-gara kurang tidur, sisik di ekorku jadi agak kusam.

Aku menggerutu lagi dan mengutuki tetanggaku, berikut keributan yang sudah dibuatnya.

Manusia.

Tidak kusangka aku akan melihat mereka lagi. Kukira mereka semua sudah punah di alam, dan sisanya hanya hidup di penangkaran saja. Rupanya ada yang lepas dan membuat keributan.

Aku tidak peduli apa yang dipikirkan tetanggaku itu. Setidaknya sekarang aku tidak akan terganggu lagi dengan jeritannya di tengah malam.

Sambil tersenyum puas, aku berbalik dan kembali menyalakan televisi. Berita tadi kusingkirkan jauh-jauh dari benakku.

Bah! Kuharap hari ini tidak akan lebih buruk lagi. Naga tua sepertiku tidak butuh kejutan-kejutan lagi seperti tadi.

Aku menggerutu lagi dan mulai menonton televisi.

 

~FIN~

 


Ini adalah entry saia di FF-2011 yg gagal menang + gagal masuk 100 besar. Akhirnya saia posting saja disini (=___=)'a

http://kastilfantasi.com/2011/07/lampu/

Comments