Everyday Adventure VIII




Everyday Adventure VIII
(Para Pengembara)



Hari itu kota Bravaga tidak terlihat seperti biasanya. Kota yang dihuni oleh ratusan ribu robot dari berbagai generasi itu tampak lengang, seolah-olah seluruh kota memutuskan untuk menghentikan semua aktivitasnya. Jalanan kota yang biasanya dipadati berbagai jenis robot, kini sama sekali kosong. Begitu pula dengan berbagai pusat aktivitas lainnya.
Seolah-olah kehidupan di kota Bravaga mendadak lenyap begitu saja.
Namun tentu saja bukan itu yang terjadi. Hari ini adalah hari spesial bagi para robot di kota Bravaga, karena merupakan hari di mana mereka akan kedatangan tamu spesial yang hanya datang setahun sekali. Mereka adalah para Pengembara, robot-robot penerbang tangguh yang hidup dengan berkelana ke seluruh penjuru dunia. Setiap tahunnya, mereka akan datang dan singgah di kota Bravaga untuk melepas lelah, memperbaiki diri, serta berbagi pengalaman dan teknologi kuno yang berhasil mereka dapatkan. 
Tidak bisa dipungkiri, banyak dari warga kota yang menantikan kedatangan mereka. Itu alasan mengapa saat ini nyaris seluruh warga kota telah berkumpul di sekitar Central Tower, menara tinggi tempat tinggal Mother, sekaligus pusat kota Bravaga. Sebuah panggung kecil tampak berdiri di depan menara tersebut, dan di situlah tempat kakek Tesla berdiri tegak sembari menengadahkan tangan-tangannya ke udara.
“Demi mereka yang telah pergi, dan untuk mereka yang akan datang, kami hidup dari bayangan masa lalu untuk masa depan!”
Suara kakek Tesla bergema di seluruh sistem pengeras suara kota Bravaga.
“Demi leluhur dan pencipta kami yang telah lama hilang, dan demi generasi baru yang telah dan akan lahir!”
Kakek Tesla membungkuk, kemudian mengangkat sebuah kubus kristal yang menyelimuti sebuah awetan otak manusia. Ketika dia melakukan itu, para robot dan Automa yang hadir di sekitarnya ikut menengadahkan tangan-tangan atau tentakel-tentakel masing-masing. Pada saat yang sama, mereka memejamkan mata, seolah sedang membayangkan masa-masa ketika manusia masih menjadi penguasa bumi.
“Kami warga Bravaga, bersumpah untuk tidak mengulangi kesalahan leluhur kami di masa lalu, dan menjaga bumi dengan penuh kasih sayang. Demi masa kini, dan demi masa depan!”
Kali ini seruan kakek Tesla disambut dan diikuti oleh semua yang hadir di sekitar Central Tower itu. Mereka yang tidak memiliki sistem pengeras suara, mengikuti seruan itu dengan menggunakan sistem komunikasi nirkabel mereka. Akibatnya bunyi sumpah itu tidak hanya terdengar bergema di udara, namun juga bergaung dalam kepala masing-masing robot dan Automa yang hadir.
 Di antara mereka yang hadir di sana, berdiri Ryouta, Buggy, dan juga Maria. Ketiganya turut hadir dalam upacara menyambut kehadiran kembali para Pengembara di kota Bravaga. Mereka berdiri di antara kerumunan warga kota, yang kini, nyaris serempak menatap jauh ke arah langit berawan di atas sana. Seolah-olah mereka semua sedang mencari sesuatu yang bisa muncul sewaktu-waktu dari balik awan.
<Sudah selesai belum?> Maria bertanya pada Ryouta melalui saluran komunikasi nirkabel, agar tidak mengganggu robot lainnya.
Ryouta tidak menjawab, tapi dia mengangguk pelan.
<Terus? Kapan Para Pengembara itu akan datang?> tanya Maria lagi.
Kali ini Ryouta menoleh ke arah gynoid itu, kemudian menunjuk ke langit.
<Mereka sudah di sini,> sahutnya singkat.
Maria langsung menengadah mengikuti arah yang ditunjuk Ryouta. Kedua mata elektroniknya langsung menangkap ratusan titik-titik yang terbang tinggi di udara, kemudian berputar turun dalam lingkaran besar. Tidak perlu waktu lama bagi Maria dan warga kota Bravaga untuk mengetahui mereka adalah robot-robot penerbang dalam berbagai wujud dan ukuran. Mereka melayang turun dalam gugusan dinamis yang selalu berubah-ubah, dan akhirnya mendarat di atap bangunan-bangunan kota. Salah satu dari ratusan Pengembara, kini mendarat di depan kakek Tesla, kemudian melipat sayap logamnya yang berwujud mirip sayap seekor elang.
“Para Pengembara kembali hadir di hadapan Tetua Tesla,” ujar robot bersayap elang itu sembari berlutut di depan kakek Tesla. “Saya Arslan, perwakilan Pengembara, kembali membawakan Batu Langit ke kota ini.”
Arslan kemudian mengangkat sebuah bola kristal berisi tujuh buah batu hitam mengkilat ke hadapan kakek Tesla. Kakek Tesla mengambil bola kristal itu, kemudian balik menyerahkan kotak kristal berisi awetan otaknya kepada Arslan.
“Saya Tesla, perwakilan Bravaga, kembali membawakan Ingatan Leluhur kepada Para Pengembara,” ujar kakek Tesla.
“Dengan ini, lingkarannya sudah lengkap.”
“Dengan ini, lingkarannya sudah lengkap.”
Kakek Tesla dan Arslan mengucapkan kalimat itu pada saat yang bersamaan, sembari mengangkat benda-benda yang mereka bawa. Saat itu juga, suara sorak-sorai bergema di seluruh kota Bravaga. Saking kerasnya suara itu, rongga dada Maria serasa bergetar dan dia pun tiba-tiba merasakan luapan perasaan gembira, sehingga dia akhirnya ikut bersorak bersama seluruh warga Bravaga.

****


“Arslan!”
Maria berseru sambil menerobos kerumunan robot yang berkumpul di sekitar Central Tower. Seorang Pengembara yang bernama Arslan itu langsung menoleh dan melambaikan tangannya ke arah Maria. Dia lalu menyerahkan kubus kristal yang dia pegang kepada rekannya, seorang Pengembara berkepala burung dan bersayap mirip sebuah pesawat tempur.
“Oh, Maria! Senang bertemu denganmu lagi,” sahut Arslan sembari berjalan menghampiri Maria. Dia lalu beralih menatap sosok robot tinggi besar yang berjalan mengikuti Maria. “Dan kau juga, Ryouta.”
“Masih hidup?” tanya Ryouta sambil mengamati sosok Arslan. “Sepertinya perjalanan tahun ini berat ya?”
Arslan mengangkat bahunya, kemudian memandang ke arah teman-temannya sesama Pengembara yang sedang berkumpul. Sama seperti dirinya, mereka semua terlihat lelah, kusam, serta banyak lecet dan penyok di sekujur tubuhnya. Satu robot bersayap tebal di antara mereka malah kehilangan sebelah lengannya. Tapi anehnya tidak satu pun di antara mereka yang terlihat sedih, semuanya tetap terlihat bersemangat meski telah menempuh perjalanan yang panjang dan berat.
“Begitulah,” sahut Arslan. “Kabut Elektrik makin sering terjadi di kawasan khatulistiwa sana, soalnya medan gravitasi paling kacau di sana sih. Apalagi sejak... yah... Catastrophy. Perjalanan melintasi area itu tidak pernah jadi pekerjaan yang mudah. Kau kan tahu itu.”
Kalau mulutnya dirancang untuk bisa tersenyum, Ryouta pasti sudah tersenyum lebar saat ini. Dengan lembut, robot itu menepuk pundak Arslan.
“Senang bisa melihatmu lagi, kawan,” ujar Ryouta.
Arslan mengangguk.
“Begitu juga denganku,” ujarnya. Dia lalu menoleh ke arah Maria. “Nah, jadi kau ingin aku cerita apa?”
Maria tampak berpikir sejenak. Sebenarnya ada banyak sekali yang ingin dia tanyakan pada Arslan, robot yang sudah berkali-kali terbang mengitari Bumi itu. Tetapi tentu saja ada satu cerita yang paling ingin Maria dengar.
“Apa kau bertemu manusia tahun ini?” tanya Maria penuh harap, sembari menatap wajah Arslan dengan mata berbinar-binar.
Arslan tersenyum tipis melihat sikap Maria. Dia sudah dengar kalau akhir-akhir ini gynoid itu terobsesi dengan kehidupan ras penguasa bumi yang sudah lama punah itu. Sayangnya, jawaban yang dimiliki Arslan bukan merupakan kabar baik bagi Maria.
“Tidak,” sahut Arslan pendek. “Tahun ini kami telah menjelajahi beberapa area baru yang dulu ditutupi Kabut Elektrik. Sayangnya sampai saat ini... tidak seorang Pengembara pun yang pernah melihat manusia hidup. Maaf.”
Jawaban Arslan membuat Maria menghela nafas karena merasa sedikit kecewa. Dia memang tidak sepenuhnya berharap kalau para Pengembara secara ajaib berhasil menemukan manusia-manusia, yang ternyata berhasil selamat dari Catastrophy. Meskipun tidak ada yang tahu pasti bencana apa yang terjadi saat itu, yang jelas itu adalah bencana berskala global, bahkan ada yang bilang itu bencana berskala kosmik. Rasanya tidak mungkin makhluk ringkih seperti manusia bisa selamat dari kejadian seperti itu.
“Lalu, ada berita apa lagi?” Ryouta berusaha mengalihkan pembicaraan. “Dari berita yang kalian kirim beberapa hari lalu, kudengar ada daratan yang tenggelam lagi di timur jauh sana. Apa itu benar?”
Arslan mengangguk. “Ya. Benar sekali,” sahutnya. “Beberapa bulan lalu ada gempa besar di daratan timur jauh. Tidak lama setelah itu, bagian pulau yang ukurannya 10 kali lebih besar dari Bravaga ini, tiba-tiba tenggelam ke dasar lautan. Nyaris tidak ada sisanya. Sungguh tidak bisa dipercaya.”
Kedua mata Maria kembali berbinar-binar ketika mendengar penuturan Arslan itu.
“Heh?! Benarkah?” serunya bersemangat. “Ayo cerita lagi lebih jelas padaku!”
Arslan tertawa ringan.
“Tentu saja. Tapi sebelum itu, aku dan teman-temanku akan pergi menemui Mother dulu untuk diperiksa.” Arslan menyadari kalau ekspresi wajah Maria langsung berubah. “Hei, jangan begitu dong. Kami kan baru bepergian sangat jauh. Tidak ada salahnya kan kami istirahat sebentar. Soalnya tidak lama lagi kan kami harus pergi lagi. Bagaimana kalau besok?”
Maria mendengus jengkel karena tidak bisa langsung mendengar bagaimana serunya perjalanan tahunan Arslan, sang Pengembara itu. Namun dia juga paham kalau para Pengembara ingin segera mendapatkan perawatan dari Mother. Perjalanan mengelilingi dunia sekarang ini memang sangat berat, dan tidak jarang, mematikan. Oleh karena itu para Pengembara selalu datang setahun sekali ke Bravaga untuk mendapatkan perawatan khusus dari Mother, ibu dari para robot di kota itu. Selain itu, mereka juga sering memberikan potongan teknologi kuno untuk diolah menjadi sesuatu yang bisa digunakan oleh masyarakat robot di kota Bravaga.
“Ya sudah, kalau begitu besok siang kutunggu kau di Menara Memori!” Maria melangkah mundur sambil menunjuk ke arah Arslan. Tidak lama kemudian, gynoid itu sudah menghilang ditelan kerumunan robot dan android yang masih berkumpul di sekitar Central Tower.
Ryouta dan Arslan memandangi sosok Maria sampai dia menghilang, kemudian keduanya saling tatap.
“Ada berita lain yang tidak bisa kau sebutkan di depan Maria?” tanya Ryouta dengan nada serius.
Arslan menutup matanya, kemudian menghela nafas.
“Ya,” sahutnya singkat. “Distorsi ruang-waktu akibat Kabut Elektrik semakin sering muncul di berbagai belahan dunia. Kami sempat mencoba datang ke kota yang kami datangi tahun kemarin, tapi tempat itu sudah lenyap sekarang. Tanpa bekas. Berdasarkan penyelidikan beberapa rekanku, beberapa hari sebelumnya Kabut Elektrik menyelimuti kota itu, kemudian semuanya hilang begitu saja.”
Ryouta menggaruk kepalanya, meskipun dia tidak bisa merasakan gatal atau apapun. “Separah itu?”
Arslan mengangguk mengiakan.
“Selain itu, aku dengar cerita aneh dari beberapa robot yang tinggal tidak jauh dari kota yang hilang itu,” ucap Arslan lagi. Kali ini sambil mengangkat telunjuknya. “Pada hari saat Kabut Elektrik menyelimuti kota, ada robot yang mengaku dia melihat ada dua Machina kuno datang ke sana untuk mencari sesuatu. Satu Machina biru dan satu Machina oranye.”
“Machina?!” tanya Ryouta dengan nada penuh kebencian. “Apa yang mereka cari?”
Arslan mengangkat bahu.
“Entah. Keduanya keburu diusir sebelum ada yang bertanya lebih jauh soal jati diri mereka. Wajar sih, melihat ada duet Machina datang, hal paling logis yang bisa dilakukan adalah lari jauh-jauh, atau memuntahkan semua senjata yang ada ke arah mereka. Warga kota itu memilih opsi kedua, dan kudengar waktu itu situasinya jadi kacau sekali.” Arslan berhenti sejenak untuk tertawa sinis. “Yang jelas, salah satu di antara keduanya itu bukan Machina biasa. Menurut salah satu robot perang kuno yang melihatnya, Machina itu konon adalah mesin perang yang menyebabkan hancurnya bulan. Tidak heran kota kecil itu bisa ‘hilang’ begitu saja dalam waktu singkat. Pasti itu ulah si Machina itu.”
Seketika itu juga Ryouta menegang.
“Jangan bercanda,” gumamnya. “Blue Hound sudah lama mati. Dia dijatuhkan oleh pasukan Deimos di Jerman pada akhir Perang Bulan Kedua, nyaris satu milenium lalu. Lebih dari setengah kota di Eropa Timur harus dikorbankan dalam usaha penyerbuan itu!”
Arslan mengangkat bahunya lagi.
“Yah, soal Machina itu cuma kabar burung. Rumor. Tidak perlu terlalu kau pikirkan,” ujarnya sambil tersenyum. “Tapi cerita soal kota yang hilang ditelan Kabut Elektrik itu sungguhan. Waktu kudengar kabut itu bergerak semakin dekat ke Bravaga, aku jadi ikut khawatir.”
“Kabut itu hanya lewat beberapa mil dari kota. Tidak cukup dekat,” ujar Ryouta. “Kau tidak perlu khawatir... setidaknya untuk sementara ini.”
Arslan menghela nafas. Dia salah satu robot yang paling tahu tentang bahaya dari badai partikel nano-material, yang disertai gelombang elektromagnetik dahsyat itu. Terutama karena dialah, robot-robot di seluruh dunia menjadi waspada soal kedatangan badai yang bisa muncul kapan saja itu.
“Bagaimana dengan Maria? Apa selama ini dia baik-baik saja?” Arslan berusaha mengalihkan pembicaraan dengan topik lainnya. “Masih suka membuat onar?”
Ryouta mendengus.
“Lebih dari baik. Dia itu kelewat ‘baik’, sampai aku harus terus-terusan menjauhkannya dari masalah,” gerutu android itu sambil berkacak pinggang. “Belum lagi obsesinya dengan manusia akhir-akhir ini. Beberapa waktu lalu, dia sempat hilang dalam Kabut Elektrik, sebelum akhirnya kutemukan sedang tidak sadarkan diri.”
“Hilang dalam Kabut Elektrik?” tanya Arslan kaget.
“Ya,” balas Ryouta singkat.
“Apa ada yang aneh setelah dia kembali dari sana?” Arslan kembali bertanya. Kali ini dengan nada serius.
Ryouta heran dengan perubahan sikap temannya itu.
“Ya. Maria bilang dia bertemu dengan beberapa robot-robot... yang seharusnya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dia juga membawa pulang sebuah benda aneh mirip kompas, dengan penunjuk arah holografis, dan rekaman suara senandung yang aneh,” jawab Ryouta. “Apa kau tahu sesuatu soal itu?”
Arslan mengangkat bahunya, untuk ke sekian kalinya.
“Ini juga hanya rumor yang kudengar dalam perjalanan,” ujarnya. “Beberapa robot yang pernah terjebak dalam Kabut Elektrik menceritakan soal kafe aneh, yang juga dipenuhi robot-robot aneh. Mereka juga bilang, robot-robot yang mereka temui di sana seharusnya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Soalnya beberapa robot di kafe aneh itu, konon berasal dari masa sebelum Perang Bulan Pertama.”
Selama sejenak Ryouta dan Arslan terdiam. Sebagai robot yang lahir pada masa sebelum Catastrophy, keduanya tahu bahwa Perang Bulan pertama terjadi lebih dari 100 tahun sebelum Perang Bulan Kedua, yang sudah berlalu lebih dari satu Millenium itu.
“Sebenarnya Kabut Elektrik itu apa?” Ryouta kembali bertanya pada Arslan.
“Kutukan yang ditinggalkan para pencipta kita?” balas Arslan tanpa pikir panjang. Dia lalu menepuk bahu Ryouta, membuat android besar itu mendengus kesal. “Lupakan saja soal itu. Sekarang ini waktunya pesta, bersenang-senang! Ayo, robot besar, jangan murung terus!”
Tanpa menunggu balasan dari Ryouta, Arslan sudah mendorong tubuh android itu ke arah kerumunan warga Bravaga yang sedang bersuka-cita. Meskipun dengan terpaksa, Ryouta akhirnya ikut larut dalam kegembiraan warga kota, yang menyambut kedatangan para Pengembara itu. Namun dalam benaknya, Ryouta masih memikirkan soal Machina yang disebutkan dalam cerita Arslan tadi.
Blue Hound... Tidak kusangka setelah ratusan tahun, aku akan mendengar nama itu disebut lagi...

****

Sesuai janjinya, Arslan datang menemui Maria di sebuah menara kecil yang dibangun tidak jauh dari Central Tower. Menara ini dinamakan Menara Memori karena tempat itu dipenuhi berbagai lukisan dan foto kehidupan ras manusia di masa lampau. Bangunan kuno itu juga merupakan salah satu tempat favorit Maria untuk menghabiskan waktu akhir-akhir ini. Gynoid itu juga kadang-kadang membunyikan lonceng tua yang tergantung di puncak menara, hanya karena dia iseng. Meskipun ulahnya itu kadang membuat bingung beberapa warga Bravaga.
Begitu Arslan tiba di Menara Memori, Maria sama sekali tidak buang-buang waktu. Nyaris tanpa jeda, dia menanyakan rentetan pertanyaan yang terlintas dalam cyberbrain-nya.
Bagaimana kondisi kota lain? Bagaimana kehidupan di sana? Apa yang terjadi dengan kota-kota raksasa di Barat, atau di Tenggara, atau jauh di Selatan sana? Apa Arslan dan kawanannya bertemu dengan manusia?
Itu hanya sebagian kecil dari rentetan pertanyaan yang ditanyakan Maria dengan antusias, dan dijawab oleh Arslan dengan sabar. Selagi Arslan menceritakan kondisi dunia saat ini, Maria terus mendengarkan penuturan robot bersayap mirip burung itu dengan seksama. Sementara itu Ryouta berdiri bersandar di dinding, sedangkan Buggy sedang asyik bertengger di atas lonceng besar yang tergantung di tengah ruangan. Berbeda dengan Maria, keduanya tidak begitu antusias mendengar kondisi Bumi, yang tampaknya semakin giat menghapus sisa-sisa peradaban manusia dari permukaannya. Sebagian besar bangunan dan kota-kota yang dikenal oleh Ryouta, kini sudah tidak ada lagi. Beberapa sudah ditelan oleh hutan Tanaman Berjalan, ataupun tenggelam di bawah lautan. Sementara itu, kota yang kurang beruntung malah lenyap begitu saja, konon akibat disapu oleh Kabut Elektrik.
Ryouta tahu, tidak lama lagi apapun yang tersisa dari peradaban tinggi para penciptanya itu akan sepenuhnya hilang disapu jaman. Dia bisa membayangkan kalau selanjutnya akan ada makhluk-makhluk lain yang muncul untuk menggantikan posisi manusia. Mungkin saja para Backpacker suatu saat akan berkembang menjadi makhluk cerdas seperti manusia? Makhluk-makhluk itu dikenal punya kecerdasan tinggi dan sepertinya siap untuk berevolusi jadi lebih pintar lagi. Siapa yang tahu?
“Jadi... ini tempat apa?” Maria bertanya untuk ke sekian kalinya, sembari menunjuk ke arah sebuah tanda di peta holografis milik Arslan.
“Ah, itu bekas kota besar, kalau tidak salah namanya Jayakarta. Kota itu dulu merupakan pusat pemerintahan dan pusat pendidikan di negara-negara kepulauan yang tergabung dalam South East Asian Federation. Konon katanya, itu merupakan satu-satunya kota di dunia yang nyaris 70% wilayah kotanya dibangun dengan sistem platform apung. Dengan kata lain, itu kota terapung raksasa.” Arslan menjawab pertanyaan Maria sambil memperlihatkan hologram foto-foto sebuah kota Megapolitan megah. “Sayang sejak Catastrophy melanda, wilayah yang dulunya kawasan kepulauan itu, kini berubah jadi gurun tandus. Lautnya sudah lama menghilang dan pindah ke belahan lain Bumi. Jadinya wilayah yang dulu merupakan benua kini ganti berubah jadi kepulauan, dan sebaliknya wilayah yang dulunya lautan kini berubah jadi daratan. Aneh sekali kan?”
Maria memperhatikan satu persatu foto kota Jayarkarta yang diperlihatkan Arslan dengan seksama. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana serunya tinggal di kota sebesar dan semegah itu. Gedung-gedung tinggi, kendaraan yang memadati jalan, serta orang-orang yang berseliweran sepertinya akan jadi pemandangan sehari-hari di kota itu. Dalam hati, Maria merasa iri dengan Arslan yang mengetahui begitu banyak hal soal dunia di luar Bravaga.
“Sepertinya seru sekali ya, hidup jadi Pengembara.”
Tanpa sadar Maria mengutarakan isi pikirannya pada Arslan.
“Memang seru,” sahut Arslan tanpa pikir panjang. Dia lalu melirik ke arah Ryouta, yang kini melotot ke arahnya. “Sebagai Pengembara, aku dan teman-temanku bisa pergi melihat bagaimana dunia telah berubah sejak manusia punah. Kami juga bisa mengunjungi berbagai tempat-tempat menarik, bertemu dengan robot-robot unik, serta mengalami berbagai pengalaman seru. Kami juga bisa menemukan dan berbagi teknologi dengan para robot di seluruh dunia.”
Ucapan Arslan membuat kedua mata Maria langsung berbinar-binar. Dia langsung bisa membayangkan bagaimana serunya kehidupan sebagai seorang Pengembara seperti Arslan. Memang sudah lama sekali Maria berkeinginan untuk pergi dari Bravaga untuk melihat dunia di luar kota tempat tinggalnya itu.
“Tapi tentu saja tidak selamanya hidup kami menyenangkan.” Arslan kembali bicara sambil memandang lembut ke arah gynoid yang duduk di hadapannya itu itu. “Ada saat-saat di mana aku berpikir kalau kehidupan robot seperti mu, atau Ryouta, jauh lebih baik dan nyaman.”
“Kenapa begitu?” balas Maria.
Arslan memalingkan wajahnya dan memandangi sosok Maria, Ryouta, dan Buggy bergantian. Dia lalu menutup kedua matanya dan kembali bicara.
“Sebagai ganti kebebasan berkelana yang kupunya, aku selalu berhadapan dengan ancaman kehilangan mereka yang penting bagiku. Memang menyenangkan bisa pergi ke mana saja, kapan saja, dan tinggal di mana saja kau mau. Tapi ada bahaya yang selalu mengancam nyawa kami, para Pengelana, misalnya: robot liar, mutan buas, cuaca ekstrem, masyarakat robot sinting, dan masih banyak lagi...” Nada bicara Arslan mendadak berubah jadi lembut, namun disisipi dengan nada kesedihan. “Aku sudah menyaksikan rekan-rekanku jatuh di perjalanan. Aku menyaksikan mereka dengan gembira mengakhiri masa bakti mereka di tempat yang jauh dari rumah... jauh dari kota ini.  Selain itu tidak semua yang jatuh dalam perjalanan bisa kami bawa pulang ke Bravaga, tempat kelahiran mereka. Sebagian besar terpaksa kami tinggalkan... atau kami hancurkan... agar mereka tidak dijadikan suku cadang oleh para robot liar.”
Maria terdiam mendengar penuturan Arslan. Ini pertama kalinya dia mendengar bagaimana kerasnya hidup para Pengembara. Kemudian gynoid itu teringat betapa Ryouta berkali-kali memperingatkan bahwa di luar kota Bravaga, ada berbagai bahaya yang mengancam nyawanya. Itu juga alasan mengapa Ryouta selalu marah kalau Maria seenaknya pergi dari kota Bravaga. Maria sangat paham soal itu, terutama karena beberapa waktu lalu dia pernah diserang oleh robot liar. Untung saat itu ada Ryouta yang melindunginya.
“Kalau pengembaraan itu begitu berat... kenapa kalian masih saja jadi Pengembara?” Maria bertanya dengan nada ragu. “Bukannya kau bilang lebih enak kalau kalian tinggal di sini, kemudian hidup nyaman sepertiku, Ryouta, atau Buggy?”
Arslan tersenyum mendengar ucapan Maria.
“Karena Mother membuat kami semua dengan sebuah tugas besar,” sahut Arslan. Dia mengeluarkan sebuah silinder kecil seukuran jempol dari sakunya, kemudian meletakkan benda mungil itu di depan Maria. “Kau tahu apa ini?”
“Baterai Sol tipe XS-112,” jawab Maria kebingungan. “Memangnya kenapa dengan baterai ini?”
Arslan kembali tersenyum lembut, kemudian menyentuh baterai mungil itu dengan ujung jarinya.
“Bagi kita yang hidup dari teknologi clone-replicator dari Mother, ini hanya sebuah baterai kecil, yang mungkin tidak begitu berharga,” ujar robot bersayap itu. Dia lalu ganti menunjuk ke arah sebuah tanda di peta holografisnya. “Tapi bagi mereka yang hidup di tempat terpencil seperti ini, benda ini sama berharganya dengan nyawa mereka. Kau paham?”
Awalnya Maria kebingungan, tapi tidak butuh waktu lama baginya untuk bisa memahami maksud ucapan Arslan barusan.
Ya. Berkat teknologi canggih yang berada di pabrik bawah tanah Central Tower, semua robot yang hidup di Bravaga tidak perlu khawatir soal suku cadang, ataupun energi. Ladang Sol di sisi utara kota Bravaga menyediakan semua energi yang dibutuhkan untuk menghidupi semua robot di kota. Sementara pabrik raksasa Mother menyediakan semua suku cadang yang sesuai untuk semua tipe robot di kota Bravaga.
Tapi bagaimana di tempat yang tidak ada Central Tower dan Mother-nya? Atau tidak ada teknologi clone-replicator? Atau tidak ada teknologi konversi energi Sol?
Maria pernah mendengar dari Arslan soal kota robot yang menyembah sebuah reaktor nuklir kuno sebagai Tuhan. Dia juga pernah dengar ada kota yang warganya bergantian hidup tiap dua hari sekali, hanya karena tidak ada energi yang mencukupi untuk menghidupi semuanya sekaligus.
“Melihat ekspresimu, kurasa kau sudah paham,” ujar Arslan. “Tugas utama kami, para Pengembara, adalah menyebarkan teknologi yang dibuat Mother pada seluruh dunia. Dengan begitu, suatu saat nanti, mereka juga bisa hidup dengan layak seperti kita di kota ini. Dan suatu saat nanti, ras kita bisa berbuat lebih banyak lagi untuk mengembalikan kondisi dunia ini seperti semula. Semuanya untuk mempersiapkan kedatangan kembali ras manusia ke Bumi.”
“Itu pun kalau mereka semua selamat dan bisa kembali ke sini lagi.”
Tiba-tiba Ryouta itu nimbrung dan berdiri di belakang Arslan. Sosoknya yang besar, tampak kontras dengan Arslan yang bertubuh lebih ramping.
Mendengar komentar Ryouta, Arslan langsung nyengir lebar dan mendongak ke arah temannya itu.
“Ayolah. Jangan sok negatif begitu ah. Aku tahu kau masih berharap mereka semua akan kembali suatu saat nanti,” ujar robot penerbang itu. Dia lalu ganti menatap ke arah Maria. “Bagaimana? Jadi Pengembara itu tidak mudah loh. Ada tanggung jawab besar dalam diri kami semua. Masih mau bergabung dengan kami?”
Maria tersenyum lebar mendengar ucapan itu, kemudian menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Kurasa itu masih terlalu berat untukku,” sahutnya. “Mungkin kalau aku sudah siap, aku akan minta Mother mengubah tubuhku jadi penerbang seperti mu.”
Arslan tertawa ringan. Suara tawanya terdengar merdu, meskipun bernada agak tinggi. Dan itu membuat Maria tersenyum semakin lebar.
“Ya. Mungkin suatu saat nanti kau akan siap,” ujar Arslan. “Tapi sebelum itu, kau harus belajar banyak soal dunia ini, sejarahnya, dan teknologi dari Mother. Baru setelah itu mungkin temanmu yang besar ini akan bersedia melepasmu pergi keluar sana.”
Maria mengakui kalau dia masih ingin merasakan bagaimana kehidupan para Pengembara. Namun di saat yang sama, dia tidak yakin apakah dirinya sanggup mengemban tanggung jawab besar seperti itu. Sekilas Maria melirik ke arah Ryouta yang berdiri bersandar di dinding sambil menatap ke arahnya. Dia lalu kembali menghadap Arslan yang duduk santai di hadapannya.
“Kau benar. Mungkin belum saatnya aku pergi keluar Bravaga,” ujarnya dengan nada kecewa. Tapi dia lalu mengembangkan senyum lebar. “Tapi suatu saat nanti, aku pasti akan pergi melihat dunia di luar kota ini. Dan kalau saatnya tiba, aku ingin kau mengantarku, Arslan. Apa kau mau?”
Arslan tersenyum mendengar ucapan Maria, tapi dia lalu menyadari kalau Ryouta kini melotot dengan satu mata besarnya. Sikap Guardia tua itu mau tidak mau membuat Arslan geli, sehingga senyumannya jadi semakin lebar.
“Tentu saja,” sahut Arslan. Dia lalu menepuk ringan kepala Maria. “Tapi jangan lupa ajak juga teman besarmu yang di sana itu, nanti dia kesepian kalau ditinggal pergi begitu saja.”
Ryouta baru saja akan protes, tapi dia mengurungkan niatnya begitu melihat senyuman lebar terkembang di wajah Maria. Seketika itu juga, Ryouta tahu kalau ke mana pun Maria pergi, dia pasti akan ada di samping gynoid itu. Tidak peduli meskipun harus mengorbankan nyawanya, Ryouta bertekad untuk memastikan Maria, dan juga Buggy, kembali pulang ke kota Bravaga dengan selamat.
“Nah. Sebentar lagi festival malam akan digelar di sekitar Central Tower. Apa kau tidak mau ikut?”
Arslan tiba-tiba berkomentar sambil mematikan semua layar holografis yang tadi bertebaran di sekitarnya. Begitu mendengar ucapan Arslan, Maria terkejut karena menyadari kalau matahari sudah hampir terbenam. Tidak terasa dia sudah menghabiskan waktu seharian mendengarkan cerita Arslan.
“Sudah malam?! Waduh! Aku belum siap-siap untuk festival!” Maria berseru sambil berdiri, kemudian memandang ke arah Arslan, Ryouta, dan Buggy bergantian. “Terima kasih atas ceritanya, Arslan. Nah, ayo Buggy! Kita pergi ke Central Tower dan bersenang-senang! Jangan sampai kita ketinggalan menu utama festivalnya!”
Tanpa menunggu reaksi dari teman-temannya, Maria tahu-tahu sudah meloncat keluar dari Menara Memori, kemudian berlari menuju Central Tower yang ada di tengah kota Bravaga.
“Hei! Tunggu dong!” protes Buggy sambil melesat terbang menyusul Maria, yang sosoknya kini sudah tidak terlihat lagi.
Melihat tingkah Maria yang kelewat energik itu, Ryouta menghela nafas panjang. Dia lalu memandang ke arah Arslan, yang kini nyengir ke arahnya.
“Apa?” tanya Ryouta.
“Tidak. Hanya saja tingkah kalian tidak berubah sejak dulu,” balas Arslan sambil berdiri, kemudian meregangkan sayap-sayap logamnya. “Kau, Maria, dan Buggy. Kalian bertiga terlihat selalu kompak. Aku jadi iri. Meskipun aku punya banyak teman, tapi rasanya di antara para Pengembara, tidak ada satu pun yang bisa menyamai kalian bertiga.”
Ryouta berjalan menghampiri Arslan, kemudian menepuk bahu sang Pengembara itu.
“Jangan begitu. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, kau tidak perlu memikirkan tugas dari Mother dan bisa bersantai, atau bersenang-senang,” ujar Ryouta. “Kurasa Maria sama sekali tidak keberatan kalau kau bergabung bersama kami. Kau juga bisa tinggal sementara di tempatku kalau kau mau. Bagaimana?”
Arslan menutup matanya dan kembali tersenyum.  
“Terima kasih, Ex-Guardia.”
“Sama-sama, Ex-Machina.”

****
~FIN?~
red_rackham 2014




Comments