Extra Adventure V: Kurir

“Hei, kau enggak apa-apa?”

Ketika mendengar kalimat itu, Orabelle mendadak membuka matanya.

Dengan segera gynoid Generasi Baru itu menyadari kalau dirinya sedang terbaring di tengah reruntuhan kota yang diselimuti kabut tipis yang sesekali berkilau keperakan. Sementara itu, tepat di samping tempatnya berbaring, sudah berlutut sesosok humanoid misterius yang mengenakan helm full face sederhana.

Karena terkejut, Orabelle tiba-tiba bangkit sambil melompat menjauh, namun aksinya itu justru membuatnya kembali kehilangan keseimbangan.

Gadis robot itu pun langsung jatuh berlutut.

“Hei, hei, hei! Tenanglah! Enggak perlu panik! Aku sama sekali enggak berniat buruk dan hanya ingin tahu bagaimana kondisimu ... itu saja ...”

Sosok misterius berhelm itu kembali bicara, kali ini sambil mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat kalau dia tidak berbahaya dan tidak ingin mencelakakan Orabelle.

Namun tentu saja Orabelle tidak serta merta percaya dengan ucapannya.

“Apa yang terjadi padaku?! Di mana ini?!”

Orabelle berseru panik sembari memandangi langit yang kini tertutup Kabut Elektrik berwarna putih itu.

Selama beberapa saat gynoid Generasi Baru yang kini adalah Pengembara itu seperti kehilangan ingatan. Dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, dan tentu saja itu membuatnya panik.

“Tenang dulu ya ...” ujar sosok berhelm, yang masih berlutut di tempatnya itu. “Tarik nafas panjang dan hembuskan ... eh ... itu kalau kau bisa bernafas ya ...”

Sosok misterius yang tiba-tiba saja ada di samping Orabelle itu sekilas memang tidak terlihat berbahaya, atau tidak berniat mencelakakan dirinya. Tapi ada banyak sekali bahaya yang mengancam di dunia pasca Catastrophy ini, bahkan untuk robot Pengembara seperti dirinya. Itu sebabnya Orabelle pun belajar untuk tidak langsung mempercayai siapa pun selain para Pengembara. Biarpun begitu, dia tahu kalau perkataan sosok misterius berhelm itu benar. Dia harus menenangkan dirinya sendiri, kemudian mulai memeriksa kondisi tubuhnya untuk menemukan apakah ada komponen yang rusak.

Orabelle pun menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya.  

Setelah itu, dia pun segera memeriksa kondisi tubuhnya sembari mengaktifkan satu-persatu sistem diagnosis canggih yang tertanam di dalam tubuhnya.

Sekilas pandang, tidak ada yang rusak, meskipun sepertinya dia baru saja terjatuh ... entah dari ketinggian berapa hingga sampai ke tempat misterius ini. Selain pakaiannya yang kini compang-camping, serta goresan dan penyok baru di beberapa bagian tubuhnya, sepertinya tidak ada kerusakan serius yang bisa dia lihat atau rasakan. Untungnya tubuh Orabelle yang sekarang jauh lebih kuat daripada yang terlihat dari luar. Kalau tidak, gynoid itu tidak akan selamat, atau setidaknya, dia akan mengalami kerusakan berat.

Viva modifikasi Mother~! ujar Orabelle dalam hati.

Pada saat yang bersamaan, hasil diagnosis sistem internal Orabelle pun selesai.

<Semua sistem vital, normal. Integritas rangka tubuh, sembilan puluh empat persen.>

Orabelle menghela nafas lega ketika mendengar suaranya sendiri bergema dalam kepalanya. Dia kini pun sudah kembali ingat kalau dirinya dan para Pengembara lainnya baru saja terbang menembus Kabut Elektrik tipis yang menyelimuti rute perjalanan yang akan mereka tempuh.

Seharusnya tidak ada masalah.

Orabelle dan para Pengembara lainnya sudah beberapa kali menembus Kabut Elektrik tipis yang sesekali menghalangi perjalanan mereka. Selama ini sih tidak ada efeknya pada para Pengembara ... setidaknya sampai saat ini ...

Apa pun yang terjadi ketika dia menembus Kabut Elektrik barusan, yang jelas Orabelle mendadak kehilangan kesadarannya. Dan ketika kembali sadar, dia tahu-tahu sudah berbaring terlentang di atas tanah lembap berlapis seresah dedaunan yang sudah membusuk ini.

Setelah mengetahui kalau sistem diagnosisnya tidak menemukan adanya masalah serius, gynoid itu pun lalu beralih mengamati kondisi sekitarnya dan segera menyadari kalau dia sedang berada di tengah-tengah reruntuhan kota yang tampak begitu kuno. Saking kunonya, hampir seluruh reruntuhan gedung di sekelilingnya sudah hampir sepenuhnya hilang ditelan oleh semak-semak rimbun dan pepohonan rindang, yang sebagian di antaranya adalah Travelling Tree. Tumbuh-tumbuhan misterius yang muncul pasca terjadinya Catastrophy itu terlihat jengkel karena kanopi mereka baru saja diterobos oleh Orabelle yang sepertinya baru saja jatuh dari langit.

Untungnya lapisan tebal seresah dedaunan dan tumbuhan yang telah mati dan menumpuk di tanah telah membantu meredam benturan yang diterima oleh tubuh logam gynoid itu saat jatuh tadi. Tentunya ranting-ranting kanopi pohon yang juga cukup tebal di atas sana juga membantu memperlambat kecepatan jatuh Orabelle tadi.

Tapi gara-gara kejadian itu, semua barang yang tadinya tersimpan di dalam tas-tas yang dibawa Orabelle kini berserakan di sekitar tempatnya terbaring tadi. Sementara itu, beberapa tas yang diselempangkan ke tubuhnya itu tampak robek parah dan sudah tidak berbentuk lagi.

“Sudah tenang?” tanya si sosok berhelm. Dia masih belum beranjak dari tempatnya berlutut tadi dan terlihat sabar menunggu hingga Orabelle selesai menenangkan dirinya. “Apa aku sudah boleh bergerak sekarang?”

Orabelle mengangguk sambil tersenyum tipis. Sosok berhelm misterius itu pun lalu berdiri sambil membersihkan tanah dan seresah dedaunan yang mengotori celananya.

“Kau benar-benar tidak apa-apa nih?” tanya sosok itu lagi.

“Tidak apa-apa. Hanya ada tambahan goresan dan penyok baru,” sahut Orabelle sambil mengamati pakaian yang dia kenakan. “Tapi aku memang perlu pakaian baru karena yang kupakai sekarang ini sudah jadi kain rombeng seperti ini.”

“Yah ... kalau begitu syukurlah,” balas si sosok berhelm dengan nada lega. “Aku sama sekali enggak ngerti harus berbuat apa kalau ... yah ... kalau kau terluka parah atau semacamnya ...”

Orabelle tersenyum mendengar ucapan itu.

Dia lalu menyadari, kalau sosok yang mengenakan helm itu, sejak tadi berbicara menggunakan bahasa kuno dari bekas salah satu negara adidaya di Asia Tenggara. Namun sayangnya sejak negeri itu runtuh dan hancur karena perang sipil, bahasa yang digunakan penghuni negeri itu lama-kelamaan pun hilang dan dilupakan. Selain itu, dari suara dan nada bicaranya, Orabelle juga menduga kalau sosok berhelm misterius itu adalah sebuah android yang wujudnya sangat mirip manusia, sama seperti dirinya. Hanya saja karena mengenakan helm yang menutupi seluruh kepalanya, dan juga mengenakan jaket kulit dan celana model kargo yang cukup tebal, Orabelle tidak bisa melihat dengan jelas seperti apa wujud android itu dan apakah dia bisa mengenali jenis atau serinya.

Sementara itu, di belakang android itu terlihat sebuah kendaraan bermotor roda dua yang terlihat sangat antik. Saking antiknya, Orabelle nyaris tidak percaya kalau dia bisa melihat benda itu secara langsung, bukan dari buku yang pernah dia baca di Perpustakaan Kota Bravaga atau dari rekaman video dan data kuno yang tersimpan di dalam cyberbrain-nya.

Anehnya, meskipun sudah mencoba, tapi Orabelle tidak bisa memindai tubuh android misterius yang berdiri di hadapannya itu. Seolah-olah ada sesuatu yang menghalangi kinerja sensor-sensor canggihnya itu. Entah memang android di depannya itu punya semacam sistem pengacak sensor pemindai, atau ini gara-gara Kabut Elektrik yang masih menggantung tipis di sekitarnya itu.

Orabelle juga menyadari kalau sistem navigasi dan seluruh sistem komunikasinya, kini tidak lagi berfungsi. Peta elektronik yang tertanam di dalam memorinya itu, berserta sistem penanda lokasi para Pengembara lainnya, kini sama sekali tidak merespons perintahnya. Sementara itu, Orabelle hanya bisa mendengar suara gemeresik statis di seluruh frekuensi komunikasi nirkabel yang tertanam di dalam tubuhnya.

Wah ... ini benar-benar buruk ...  ucap Orabelle dalam hati.

Dia lalu kembali mengamati sosok android berhelm misterius dan motor antik yang ada di hadapannya itu.

“Apa kau tahu ini ada di mana?” tanya Orabelle. “Dan siapa namamu?”

“Waduh ... kalau kau tanya ini di mana ... aku juga tidak tahu ini. Soalnya aku juga sama-sama tersesat,” sahut android berhelm itu sambil mengangkat bahunya. “Dan ngomong-ngomong, namaku Awanama

Orabelle terkejut ketika mendapati dirinya tidak mengerti sebagian dari perkataan sosok misterius di depannya itu. Padahal, sejak tadi mereka bicara dengan bahasa yang sama. Itu berkat katalog bahasa dan sistem translasi otomatis yang tertanam di dalam cyberbrain Orabelle. Sehingga dia bisa fasih bicara hampir seluruh bahasa yang pernah ada di Bumi.

Bahkan bahasa yang sudah lama punah sekalipun.

Namun tetap saja dia tidak bisa memahami sepotong kalimat yang baru saja diucapkan android berhelm itu.

“Maaf ... aku tidak dengar jelas ...” ujar Orabelle. “Siapa namamu tadi?”

“Oh? Namaku Awanama” ujarnya lagi.

Orabelle kembali bingung karena dia tetap tidak bisa memahami bahasa yang digunakan pengendara itu untuk menyebutkan siapa namanya. Dengan segera, Orabelle kembali mengaktifkan sistem diagnosis dalam tubuhnya untuk memastikan cyberbrain atau program lain di tubuhnya itu tidak mengalami kerusakan akibat jatuh dari langit tadi. Dan, gynoid itu pun mendapati kalau dia baik-baik saja. Seluruh fungsi kognitif dan alih bahasa yang ada dalam otak elektronik canggihnya itu berfungsi sempurna.

Biar begitu, dia tetap tidak bisa mengerti apa yang baru saja diucapkan android berhelm itu tadi.

“Eh ... sepertinya aku tidak bisa memahami bahasa yang kamu pakai untuk menyebut namamu barusan,” ujar Orabelle, masih sambil terlihat bingung. “Tidak tahu kenapa. Padahal sejak tadi aku selalu mengerti apa yang kamu ucapkan.”

“Oh? Kok bisa begitu?” balas si android berhelm itu dengan heran. “Kalau begitu panggil saja aku dengan nama Awan ...”

Kali ini Orabelle mengangguk karena dia kini bisa memahami ucapan android misterius itu.

“Oh. Awan ya?” sahut gynoid itu sambil tersenyum. “Salam kenal~!”

“Iya. Salam kenal juga,” balas Awan. Dia lalu berhenti sejenak, seolah baru menyadari sesuatu dari sosok mirip gadis yang berdiri di hadapannya itu. “Kamu ini ... bukan manusia ya? Robot?”

Orabelle mengangguk mengiyakan.

“Iya,” ujarnya singkat. “Aku adalah gynoid Pengembara. Kamu sendiri?”

“Hm? Aku?” balas Awan. “Tentu saja aku ini manusia~!”

Kali ini Orabelle langsung melongo mendengar jawaban yang datang dari sosok berhelm misterius di hadapannya itu.

“Manusia?!” tanya Orabelle, masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Awan barusan.

“Yap~! Seratus persen manusia,” balas Awan. “Ngomong-ngomong ... kamu belum memberitahuku, siapa namamu?”

“Orabelle,” sahut Orabelle singkat.

“Orabelle?! Namamu Orabelle?!”

Tiba-tiba saja Awan berseru kaget, dan tentu saja, reaksinya itu membuat Orabelle jadi semakin penasaran.

“Iya? Ada masalah?” tanya Orabelle.

Tanpa menjawab, Awan tahu-tahu melepaskan ransel yang sejak tadi dia gendong, membuka retsletingnya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kayu berwarna coklat yang dihiasi berbagai macam tulisan dan stiker ‘mudah pecah’. Dia pun menyodorkan benda misterius itu kepada Orabelle, yang kini terlihat kebingungan.

“Kurasa aku tersesat ke tempat antah-berantah ini bukan tanpa alasan yang jelas,” ujar Awan. “Dan itu karena aku sepertinya harus mengantarkan paket ini untukmu.”

Orabelle masih belum mau menerima kotak misterius yang disodorkan oleh Awan itu. Diam-diam, gynoid itu melakukan pemindaian terhadap kotak kayu yang ada di tangan Awan untuk memastikan kalau benda itu tidak berbahaya. Setelah mengetahui hasil pemindaiannya tidak menunjukkan adanya tanda kalau isi kotak kayu itu bisa mencelakakan dirinya, Orabelle pun akhirnya mengambil benda itu dari tangan Awan.

“Apa isinya?” tanya Orabelle, masih sambil mengamati seluruh sudut kotak kayu yang tampak berusia cukup tua itu. Tidak ada yang istimewa dari kotak itu, selain bobotnya yang ternyata lebih berat dari yang terlihat.

“Entah,” balas Awan sambil mengangkat bahunya. “Sebagai kurir, aku tidak boleh membuka paket yang kukirim ... yah ... walau di manifest paketnya tertulis itu isinya alat elektronik. Tapi aku sama sekali tidak tahu alat elektronik apa yang dimaksud. Soalnya perusahaan kurir tempatku bekerja memang enggak mewajibkan pengirimnya menuliskan detail isi paket yang harus kukirim sih.”

Orabelle menimbang-nimbang kotak kayu di tangannya itu selama beberapa saat. Dia pun lalu kembali menatap ke arah Awan.

“Siapa pengirimnya?” tanya Orabelle lagi.

“Detail pengirimnya tertempel di salah satu sisi paketmu ...” balas pria berhelm itu sembari menunjuk ke arah kotak yang dipegang oleh Orabelle. “Kalau tidak salah ingat, paket itu dikirim oleh Airi ... dari ... hmm? ... kota Bra ... Braga?”

Seketika itu juga, Orabelle langsung tersentak kaget dan nyaris menjatuhkan paket misterius yang ada di tangannya itu.

“A ... Airi dari kota B ... Bravaga?!” seru Orabelle sambil berusaha mengendalikan emosinya.

“Nah, itu!” sahut Awan sambil menjentikkan jarinya. “Kenapa? Ada masalah? Apa aku salah orang?”

Orabelle menggelengkan kepalanya.

“Tidak! Kau sama sekali tidak salah orang ... aku Orabelle,” balas gynoid itu. “Tapi kalau memang benar yang mengirim paket ini adalah Airi ... ini benar-benar tidak masuk akal ...”

“Emangnya kenapa?” tanya Awan penasaran.

“Karena Airi adalah manusia terakhir yang hidup di kota Bravaga setelah Catastrophy melanda dunia ...” Orabelle berhenti sejenak untuk menenangkan dirinya, baru kemudian dia melanjutkan perkataannya. “... dan sudah beberapa ratus tahun berlalu sejak dia meninggal dunia ...”

“Hah?!” balas Awan kaget. “Tidak mungkin!?”

“Kenapa tidak mungkin?” sahut Orabelle. “Aku tidak bohong! Airi meninggal jauh sebelum kota Bravaga benar-benar berdiri dan sosok yang kukenal sebagai Mother selesai dibangun. Dan itu sudah lama sekali ...”

Awan mengangkat sebelah tangannya.

“Bukan begitu ... bukannya aku enggak percaya dengan ucapanmu ... tapi ...”

Awan terdiam sejenak, kemudian menunjuk ke arah kotak kayu yang sedang dipegang oleh Orabelle.

“... orang yang bernama Airi sendiri yang menyerahkan paket itu kepadaku ...”

Kali ini Orabelle pun menjatuhkan kotak misterius yang sedang dipegangnya itu.

****

“Jadi ... kau bilang tadi kalau Airi itu manusia terakhir yang hidup di kota yang dinamakan Bravaga, yang merupakan kota para robot, yang dibangun ulang dari sisa peradaban manusia yang sudah punah setelah dunia berakhir?”

Awan bertanya sembari menuntun motor antiknya, yang anehnya, tadi mendadak tidak berfungsi. Padahal dia tadi sempat menawarkan diri untuk mengantar Orabelle dan bersama-sama mencari jalan keluar dari reruntuhan kota kuno yang diselimuti kabus tipis itu. Hanya saja, entah mengapa, mesin kendaraan roda dua miliknya itu kini juga tidak mau menyala. Akibatnya, Awan jadi terpaksa berjalan kaki sambil mendorong motor tua miliknya itu.

“Kurang lebih begitu,” sahut Orabelle, yang juga berjalan santai di sisi Awan.

“Singkat kata ... dunia sudah kiamat ya?” gumam Awan lagi.

Orabelle pun mengangguk mengiyakan.

“Kami menyebut penyebab kiamat itu dengan nama Catastrophy,” balas Orabelle sambil melompati akar-akar Travelling Tree yang menghalangi jalannya. “Sayangnya tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi saat itu. Yang jelas ... tidak lama setelah peristiwa itu terjadi ... manusia pun punah.”

“Ah ... begitu rupanya ... tidak heran kondisi kotanya seperti ini,” sahut Awan lagi, dengan santainya. “Jadi sudah tidak ada lagi manusia yang tersisa di Bumi?”

Orabelle menggelengkan kepalanya.

“Sejauh yang kutahu ... tidak ada lagi,” balas gynoid itu. “Dan kamu adalah manusia pertama yang kutemui sejak aku memulai perjalanan sebagai Pengembara beberapa tahun yang lalu.”

Dia lalu memandangi Awan sejenak. Sayangnya karena sejak tadi pria yang mengaku sebagai manusia tulen itu menolak melepaskan helm yang dia kenakan, Orabelle jadi tidak bisa melihat bagaimana ekspresi wajah sosok kurir misterius itu.

Tapi yang jelas, Awan sama sekali tidak terdengar kaget ketika mengetahui kalau dunia sudah kiamat dan spesiesnya sudah punah. Ditambah lagi, dia sama sekali tidak terkesan kaget, takut, atau bingung ketika mendapati dirinya terlempar ke kota masa depan yang sudah porak-poranda seperti ini.

Seolah-olah peristiwa semacam ini bukan hal baru bagi manusia bernama Awan itu.

“Kamu ... tidak terdengar kaget mendengar penjelasanku tadi,” ujar Orabelle. “Bisa dibilang ... kamu terlalu tenang untuk seseorang yang baru mengetahui dirinya terlempar ke sebuah reruntuhan kota jauh di masa depan ... ketika dunia sudah kiamat dan semua manusia sepertimu sudah lama punah.”

Awan tiba-tiba tertawa mendengar perkataan Orabelle, dan tentu saja itu membuat gynoid itu jadi semakin penasaran.

“Kenapa malah tertawa?” tanyanya kebingungan.

“Wah ... gimana ya? Soalnya ini bukan pertama kalinya aku tersesat ke tempat antah-berantah kayak begini,” jawab Awan, masih dengan nada geli. “Jadi aku enggak terlalu kaget mendengar duniaku tahu-tahu sudah kiamat seperti ini. Lagi pula, aku pernah dipaksa berkunjung ke tempat aneh yang disebut dengan Level Pengamat, dan di tempat itu aku melihat bagaimana kotaku berkembang dari jaman purba hingga hilang lagi ditelan arus waktu yang bergerak tanpa henti. Jadi bisa dibilang, ini memang bukan pertama kalinya aku menyaksikan duniaku berakhir dengan mataku sendiri. Makanya aku enggak kaget mendengar penjelasanmu tadi.”

Orabelle semakin bingung ketika mendengar jawaban Awan barusan.

“Siapa kamu sebenarnya?” tanya gynoid itu.

Awan terlihat mengangkat bahunya.

“Hanya kurir biasa,” jawabnya santai. “Yah ... walau kadang-kadang aku mengalami kejadian aneh seperti ... UWOOH!”

Tanpa peringatan sama sekali, sebuah rongsokan mobil mendadak terhempas tidak jauh di depan Awan dan Orabelle. Benda yang bobotnya paling tidak beberapa ratus kilogram itu terbanting dan terguling di sepanjang jalan dengan suara nyaring yang bergema di seluruh kota sudut yang sejak tadi nyaris sunyi senyap itu.

“MAKHLUK APA ITU?!”

Awan berseru ngeri sembari menunjuk ke arah sosok besar yang berjalan terseok-seok keluar dari kabut tipis yang menyelimuti seluruh kota. Sosok itu terlihat seperti terbuat dari beberapa rongsokan mesin yang dipaksa menjadi sesuatu yang berjalan dengan empat kaki, yang keempat-empatnya terlihat tersusun dari komponen yang berbeda-beda.

“Itu Robot Liar!” jawab Orabelle dengan nada tegang. “Mesin yang jadi ‘liar dan buas’ karena otak elektroniknya sudah tidak berfungsi lagi. Dan makhluk itu sangat berbahaya!”

Orabelle lalu melangkah ke depan Awan sembari merentangkan sebelah tangannya. Sayap-sayap transparan pun satu-persatu muncul di belakang punggung gadis robot itu. Suara dengung samar pun terdengar ketika seluruh sayap Orabelle akhirnya terbentang lebar.

“Pergilah dan cari tempat aman ...” ujar gynoid itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari robot besar yang berjalan semakin dekat itu.

“Bagaimana denganmu?” tanya Awan. Dia jelas terdengar ragu ketika mendengar perintah Orabelle barusan. “Hei! Jangan bilang kau mau melawan robot raksasa itu!”

Orabelle menganggukkan kepalanya, kemudian tersenyum ke arah Awan, yang masih belum beranjak pergi juga.

“Robot Liar itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka tidak lagi punya cukup kecerdasan untuk bisa diajak bicara atau kompromi. Yang tersisa biasanya hanya keinginan untuk bertahan hidup ... meskipun itu artinya mereka harus menyerang dan merebut komponen atau suku cadang robot lainnya,” ujarnya sambil melangkah maju. “Aku akan menidurkannya.”

“Hah?! Menidurkan monster besi itu? Gimana caranya?!” tanya Awan. “Hei!”

Tanpa peringatan, Orabelle tiba-tiba saja melesat maju ke arah kepala Robot Liar yang kini tengah berderap maju ke arahnya itu. Melihat targetnya mendadak menerjang maju, sang Robot Liar pun terkejut dan berusaha menghentikan langkahnya. Namun karena tubuhnya bisa dibilang tersusun dari berbagai jenis rongsokan mesin yang tidak beraturan, robot dengan tinggi setidaknya tiga meter itu pun kehilangan keseimbangannya.

Suara dentum keras yang diiringi derit nyaring pun mengiringi jatuhnya Robot Liar itu.

Dengan panik dan bingung, sang Robot Liar pun berusaha untuk bangkit kembali. Namun tiba-tiba saja dia kembali jatuh berdebam ke atas aspal, seolah-olah tubuh mesin besar itu baru saja ditindih oleh sesuatu yang sangat berat. Suara derit dan derak terdengar nyaring ketika Robot Liar itu berjuang keras untuk bisa bangkit kembali.

Sementara itu, Orabelle terlihat melayang di atas sang Robot Liar sembari merentangkan kedua tangannya ke depan. Sayap-sayap transparan gynoid itu terlihat berpendar terang sementara udara di sekitarnya, dan juga di sekitar Robot Liar yang masih berusaha bangkit itu, terlihat bergelenyar seolah-olah terbuat dari cairan kental.

“Tenanglah,” ujar Orabelle dengan lembut sambil melayang turun ke depan kepala Robot Liar yang masih berusaha memberontak itu. “Ini akan selesai dengan cepat dan aku janji ini tidak akan menyakitkan ... jadi ... sekarang beristirahatlah dengan tenang.”

Sambil memejamkan matanya, Orabelle lalu menyentuh kepala mesin buas di hadapannya itu. Tiba-tiba saja, tanpa peringatan, Robot Liar yang tadi masih berusaha untuk memberontak itu mendadak lemas. Tubuh raksasa yang terbuat dari logam, plastik, dan campuran karet sintetis itu tiba-tiba saja jatuh terhempas ke atas aspal jalanan dengan suara berdebam nyaring.

Robot buas itu pun kini tidak akan bangun lagi untuk selamanya.

“Woah!” seru Awan, yang baru setengah jalan mencari tempat berlindung sembari menuntun motor antiknya. Namun ketika melihat bahaya yang mengancamnya kini sudah tidak ada lagi, dia pun mengurungkan niatnya untuk bersembunyi. “Apa robot itu sudah ... uhm ... mati?”

Orabelle menoleh ke arah manusia misterius itu sembari tersenyum tipis. Dia pun melayang turun dan mendarat tanpa suara di atas jalanan. Hampir pada saat yang bersamaan, sayap-sayap transparan di belakang punggung gynoid itu pun pecah menjadi serpihan-serpihan cahaya yang bertaburan ke segala arah.

“Robot Liar itu sudah tidur untuk selamanya. Semuanya sudah aman,” jawab Orabelle sambil merapikan pakaian compang-campingnya. “Aku juga tidak mendeteksi keberadaan Robot Liar lain ... tapi mudah-mudahan aku tidak melewatkan tanda bahaya apa pun ... soalnya harus kuakui Kabut Elektrik ini membuat banyak sistem di tubuhku jadi kacau.”

“Kabut Elektrik?” tanya Awan, yang kini berjalan perlahan mendekati Robot Liar, yang kini sudah tidak lebih dari rongsokan belaka. “Maksudmu kabut tipis yang dari tadi enggak pergi-pergi ini?”

Orabelle mengangguk mengiyakan.

“Iya. Kabut ini,” jawabnya. Dia lalu mengayunkan tangannya ke depan tubuhnya dan membuat kabut tipis di depannya itu berputar membentuk pola-pola spiral yang segera hilang. “Sekilas memang kelihatan seperti kabut biasa. Tapi ini adalah anomali ruang-waktu yang sering muncul sejak Catastrophy melanda. Tidak ada yang tahu pasti kapan, mengapa, atau bagaimana kabut ini bisa muncul. Yang jelas, ini adalah salah satu dari sekian bahaya yang mengancam siapa pun yang tinggal di dunia ini.”

Awan terlihat mengikuti gerakan Orabelle dan membuat beberapa pola spiral dan pusaran kabut dengan sebelah tangannya.

“Dan apa kabut aneh ini yang menyebabkan aku sampai terdampar ke tempat ini ... ke ... masa depan?” tanya Awan lagi.

“Kupikir begitu,” balas Orabelle.

“Aku tidak yakin kau bisa menjawab pertanyaanku sih ...” ujar Awan lagi. “Tapi ... apa aku kau tahu caranya agar aku bisa pulang ke ... yah ... waktu atau jaman dari mana aku berasal?”

Orabelle menggelengkan kepalanya.

“Seperti dugaanmu, aku tidak tahu apa kamu bisa kembali ke masa lalu atau tidak ... maaf,” jawabnya. “Maaf ...”

Awan terdengar menghela nafas panjang sambil mendongak ke arah langit, yang juga masih terlihat keputihan karena masih tertutup oleh Kabut Elektrik. Selama beberapa saat, manusia misterius itu terlihat menengadah seolah mencari sesuatu di langit yang tertutup kabut itu. Meskipun wajahnya tidak terlihat karena tertutup oleh helm full face, yang sejak tadi tidak dilepas sama sekali, tapi Orabelle tahu kalau Awan saat ini sedang menenangkan dirinya.

Sama seperti yang dia lakukan tadi.

“Oke ... jadi aku tidak tahu apa bisa pulang lagi atau tidak,” ujar Awan pada akhirnya. “Lalu, apa kau tahu cara agar kita setidaknya bisa keluar dari Kabut Elektrik ini?”

Orabelle menggelengkan kepalanya.

“Sayangnya sekarang ini semua sistem navigasi dan komunikasiku sama sekali tidak berfungsi,” jawabnya dengan nada lirih. “Selain mengacaukan ruang-waktu, Kabut Elektrik ini juga menyebabkan banyak alat elektronik tidak berfungsi, termasuk yang ada di dalam tubuhku. Andai saja sistem komunikasiku bekerja, aku bisa menghubungi Pengembara lainnya dan mereka bisa menuntun kita keluar dari sini ...”

Awan kembali menghela nafas sambil bersandar pada motor antiknya.

“Apa tidak ada alat navigasi lain yang bisa dipakai?” tanyanya lagi. “Kompas analog misalnya? Kalau yang elektronik tidak berfungsi.”

Orabelle kembali menggelengkan kepalanya.

“Aku tidak yakin alat navigasi analog juga berfungsi dalam Kabut Elektrik ini dan ...”

Orabelle mendadak berhenti bicara.

Tanpa peringatan, gynoid itu tiba-tiba saja membuka pakaian dan rompi compang-camping yang dia kenakan. Sesaat kemudian, bersama suara mendesis dan denting samar, dada gynoid itu pun terbuka dan menampakkan Pseudo-Machina Core yang berpendar keunguan, serta sebuah benda lain berbentuk mirip sebuah jam saku dengan ukuran sebesar telapak tangan Orabelle, yang langsung dia tarik keluar dari dalam tubuhnya.

Benda itu tidak lain adalah Harmonic Compass yang dulu diberikan oleh Maria kepada Orabelle sebelum dia pergi meninggalkan kota kelahirannya, Bravaga. Meskipun alat navigasi canggih di tubuhnya tidak berfungsi akibat efek dari Kabut Elektrik, dia masih berharap benda misterius itu tetap bekerja dengan baik.

“Apa itu?” tanya Awan penasaran, sambil berkali-kali mengalihkan pandangannya ke arah jam saku yang dipegang Orabelle, dan tubuh gynoid yang dadanya masih terbuka dan menampakkan mesin-masin canggih di baliknya. “Kompas analog?”

Orabelle tersenyum sambil menutup kembali dadanya, kemudian mengenakan pakaian yang sebenarnya sudah tidak layak pakai lagi. Baru setelah selesai berpakaian, Orabelle pun berjalan menghampiri Awan sembari menunjukkan benda yang baru saja diambil dari dalam tubuhnya itu.

“Ini Harmonic Compass,” ujar Orabelle sambil menyerahkan benda yang terbuat dari logam itu kepada Awan. “Ini diberikan oleh gynoid yang bisa kuanggap sebagai kakakku sendiri sebelum aku pergi mengembara. Benda inilah yang selama ini menuntunku, dan juga para Pengembara lain, ketika kami bepergian menjelajahi Bumi. Dan ... kuharap benda ini juga bisa menuntun kita keluar dari reruntuhan kota dan Kabut Elektrik ini.”

“Menarik sekali,” balas Awan sambil mengamati detail kompas canggih yang kini ada di tangannya itu. “Terus, gimana cara kerjanya?”

Belum sempat Orabelle menjelaskan fungsi Harmonic Compass, benda misterius itu tahu-tahu aktif sendiri di tangan Awan. Suara lantunan senandung merdu diiringi musik lembut tiba-tiba saja mengalun pelan memecah keheningan kota mati di sekitarnya. Sebuah anak panah holografis yang dikelilingi oleh pola berombak yang naik-turun, mirip pola gelombang suara, energi, atau semacamnya itu, kini juga muncul di atas salah satu permukaan Harmonic Compass.

“Wah! Ini kenapa?! Kok tiba-tiba menyala sendiri?!” seru Awan kaget.

“Ini ...” Orabelle terdiam sejenak, sebelum melanjutkan perkataannya lagi. “Ini pertama kalinya aku lihat Harmonic Compass bereaksi seperti ini.”

Orabelle memandangi benda misterius itu dengan takjub dan heran. Ini pertama kalinya Harmonic Compass menunjukkan kombinasi senandung, musik, anak panah, dan pola gelombang muncul dalam waktu yang bersamaan. Selama ini, Orabelle hanya pernah melihat dan mendengar dua hal yang muncul secara bersamaan dari benda misterius itu.

Biasanya hanya anak panah dan disertai suara senandung, atau pola gelombang dan suara seperti musik.

Aneh sekali ... ini benar-benar aneh! Seru Orabelle dalam hati. Dia pun menatap ke arah Awan, yang masih terlihat penasaran dengan Harmonic Compass yang mendadak aktif di tangannya itu. Siapa orang ini sebenarnya? Kenapa Harmonic Compass bereaksi begitu kuat di tangannya?

“Ini ... aku harus gimana sekarang?”

Pertanyaan Awan langsung membuyarkan lamunan Orabelle. Manusia misterius, yang masih mengenakan helm full-face yang menutupi kepalanya itu, terlihat memainkan Harmonic Compass di tangannya dengan bingung.

“Ikuti panah, suara senandung, dan musiknya. Semakin dekat dengan tujuan, suara senandung dan musiknya harusnya semakin kuat atau bertenaga. Selain itu, gelombang holografis di kompas itu juga akan berubah bentuk dan warna,” balas Orabelle. Dia pun menolak ketika Awan ingin mengembalikan Harmonic Compass yang dia pegang itu kepadanya. “Dan, tidak. Sebaiknya kamu yang memimpin jalan. Aku khawatir Harmonic Compass tidak lagi berfungsi kalau kamu berhenti memegang benda itu. Dan kalau itu sampai terjadi, maka kita bakal kehilangan satu-satunya petunjuk untuk keluar dari tempat ini.”

Awan masih terlihat bingung dan ragu.

“Tidak usah ragu. Ikuti saja petunjuk Harmonic Compass itu,” ujar Orabelle lagi. “Selama ini aku dan para Pengembara lainnya selalu mengandalkan benda itu untuk menunjukkan arah tujuan kami berikutnya. Kami tidak pernah sekalipun dicelakakan oleh petunjuk yang diberikan oleh kompas itu. Jadi, untuk saat ini, mau tidak mau kita harus percaya pada Harmonic Compass itu.”

Awan terlihat seperti memandangi Orabelle sejenak, lalu mengalihkan perhatiannya pada anak panah di Harmonic Compass yang kini sudah berhenti bergerak dan menunjuk ke arah kerimbunan hutan kota yang cukup lebat. Kalau mengikuti arah yang ditunjukkan kompas aneh itu, maka mereka kini harus berjalan menembus semak belukar dan Travelling Tree yang tumbuh lebat itu.

“Apa boleh buat,” ujar Awan sambil menghela nafas panjang. Dia lalu menoleh ke arah Orabelle. “Kita pergi sekarang?”

Orabelle mengangguk mengiyakan.

“Ya,” ujarnya singkat. “Ayo kita pergi sekarang.”

****

Perjalanan Awan dan Orabelle untuk mencapai tempat yang ditunjukkan oleh Harmonic Compass itu sama sekali tidak lebih mudah dari sebelumnya. Selain harus menembus kerimbunan hutan, yang dipenuhi Travelling Tree yang jengkel karena diganggu, keduanya sempat diserang oleh seekor Mutan Buas yang tiba-tiba saja muncul dari dalam sebuah reruntuhan gedung. Beruntung Orabelle sudah terlatih menghadapi situasi seperti itu dan dengan cepat berhasil mengusir Mutan Buas itu sebelum makhluk ganas itu sempat melukai Awan atau dirinya.

Setelah berjalan menyusuri hutan dan kota selama hampir setengah hari, keduanya pun akhirnya sampai di dekat lokasi akhir tujuan perjalanan mereka kali ini.

“Sepertinya kita sudah dekat ya,” tanya Awan sambil mengamati Harmonic Compass yang masih berada di tangannya itu.

Orabelle mengangguk.

Dia lalu beralih menandangi arah dinding semak belukar yang tumbuh lebat di hadapannya, yang merupakan penghalang dari tempat apa pun yang ditunjukkan oleh anak panah Harmonic Compass.

“Sudah siap?” tanya Orabelle pada Awan.

Awan pun mengangguk.

“Tunggu di sini, biar aku yang jalan duluan,” ucap Orabelle lagi.

“Hati-hati,” sahut Awan sambil menelan ludahnya.

Baiklah ... ini dia! Orabelle berseru dalam hati sambil melangkah menembus kerimbunan semak dan pepohonan di depannya. Pada saat yang sama, dia pun menyiapkan diri untuk menghadapi bahaya yang mungkin saja akan berusaha menyergapnya lagi.

Alih-alih menjumpai serbuan Mutan Buas, Robot Liar, atau bahaya lainnya, Orabelle justru disambut oleh deburan ombak yang mengalun berirama membasahi pantai pasir putih bagaikan mutiara. Reruntuhan bangunan yang sebagian sudah terbenam di dalam air tampak berdiri berjajar tidak karuan di sepanjang pesisir pantai itu. Namun satu bangunan yang terlihat paling menonjol adalah sebuah menara tinggi yang, entah bagaimana caranya, masih tetap tegak berdiri meskipun sebagian dinding yang terbuat dari logam itu sudah keropos atau berkarat parah. Sebuah ornamen besar berwujud mirip sebuah nyala lilin yang terbuat dari emas terlihat bertengger kokoh di atas menara misterius itu.

Tempat apa ini? Gumam Orabelle lagi sembari memandang ke segala arah.

Dia lalu segera mengaktifkan sensor pemindainya dan menyapu seluruh area di sekitarnya. Kali ini dia tidak menemukan tanda-tanda bahaya sama sekali, baik yang berasal dari Robot Liar, atau Mutan Buas. Alih-alih makhluk-makhluk berbahaya itu, ratusan Backpacker berjenis Glider tampak melayang berkelompok mengelilingi menara tinggi yang berdiri tegak tidak jauh dari pesisir pantai itu.

“Loh?! Itu kan Monas ? Kok bisa ada di sini?”

Tanpa menunggu aba-aba dari Orabelle, Awan tahu-tahu sudah berjalan sendiri menembus dinding tumbuhan yang tadi juga menghalanginya. Meskipun tertutup oleh kaca gelap helm yang dia kenakan, tapi dari nada bicaranya, Orabelle tahu kalau manusia misterius itu sedang kebingungan.

Tentu saja Orabelle ikut bingung, sebab, satu kata yang baru saja diucapkan oleh Awan tadi tidak bisa dia mengerti, sama seperti nama asli Awan yang entah mengapa tidak bisa dia pahami.

“Kau tahu itu apa?” tanya Orabelle penasaran.

Awan mengangguk mengiyakan.

“Bentuknya emang agak beda dan yang ini sepertinya terbuat dari logam, tapi aku seratus persen yakin itu Monas,” jawab Awan, masih dengan menyebut satu kata yang tetap tidak bisa dipahami Orabelle. “Lihat di atas sana! Itu ada api emas! Kalau memang benar menara itu menara Monas, jangan-jangan ini beneran kota Jakarta

Orabelle semakin kebingungan karena Awan kembali menyebutkan kata-kata asing yang kembali tidak dia pahami. Apa pun kata yang disebutkan manusia misterius itu, sepertinya ada sesuatu yang menghalangi sistem penerjemah Orabelle untuk bisa menerjemahkan kata itu ke dalam bahasa yang bisa dia kenali.

“Kalau ini benar lapangan Monas di kota Jakarta ... jangan-jangan benda itu bisa dipakai!”

Tanpa menghiraukan ekspresi bingung di wajah Orabelle, Awan tiba-tiba saja menyodorkan Harmonic Compass yang dia pegang ke tangan Orabelle. Dia pun segera membuka tas ransel yang dia kenakan, kemudian mengambil sebuah benda misterius yang berbentuk seperti rangka geometris yang rumit. Benda itu terlihat berpendar dan, Orabelle berani sumpah, kalau dia baru saja melihat pola geometris di benda yang dipegang Awan itu berubah bentuk. Di saat yang sama gynoid itu juga mendeteksi adanya lonjakan energi yang tampak jelas berasal dari benda misterius yang ada di tangan Awan. Tapi karena Awan sepertinya sekali tidak merasakan apa-apa, Orabelle pun akhirnya memendam niat untuk langsung mengambil dan membuang jauh-jauh benda misterius yang ada di tangan manusia berhelm itu.

“Apa itu?” tanya gynoid itu penasaran.

“Hiperkubus!” sahut Awan dengan riang. “Kupikir benda ini cuma hiasan saja ... tapi sepertinya ini bakal jadi jalan pulangku ke rumah!”

Orabelle tadinya ingin bertanya lebih jauh mengenai benda misterius yang kini tampak berpendar dan bergelenyar di tangan Awan itu. Tapi muncul firasat kalau dia sebaiknya tidak membuang waktu sama sekali. Meskipun masih belum benar-benar bisa memahami apa yang sedang terjadi, tapi Orabelle tahu kalau ini adalah saatnya dia dan Awan berpisah. Di saat yang sama, dia juga tahu kalau Awan tidak punya banyak waktu lagi sekarang.

“Jadi, sampai di sini saja ya?” tanya Orabelle sambil tersenyum. “Kurasa sudah saatnya kau pulang kembali ke tempat dan waktu asalmu.”

Awan tampak mengalihkan perhatiannya dari Hiperkubus yang kini melayang di atas telapak tangannya itu. Pria misterius itu pun mengangguk mengiyakan.

“Sepertinya sih begitu,” balas Awan. “Hei, meskipun pertemuan kita ini singkat, aku benar-benar berhutang nyawa padamu ... dan ... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membalas jasamu itu.”

Orabelle menggelengkan kepalanya.

“Tidak perlu. Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan. Tidak usah dipikirkan,” ujar gynoid itu, masih sambil tersenyum lembut. “Sekarang, lakukan apa pun yang harus kau lakukan untuk bisa pulang. Kurasa waktumu tidak banyak.”

Awan mengangguk mengiyakan. Dia lalu membiarkan benda yang disebut Hiperkubus itu melayang di depan dadanya sembari merentangkan kedua tangannya.

“Semoga ini benar-benar berhasil,” ujarnya sambil mengalihkan perhatiannya ke arah Orabelle, yang masih berdiri di hadapannya itu. “Nah, Orabelle, aku pulang dulu dan ... sampai jumpa lagi!”

Tanpa peringatan, Awan mendadak menepukkan kedua tangannya ke Hiperkubus yang tengah melayang di hadapannya itu.

Sebuah kilatan terang pun langsung muncul dan menyilaukan pandangan Orabelle hingga memaksa gynoid itu untuk menutup kedua matanya. Di saat yang sama, dia juga merasa kalau udara di sekitarnya terasa seperti bergelenyar, seolah-olah udara di sekeliling Orabelle mendadak jadi lebih padat dan kental, seperti oli.

Sensasi aneh itu hanya berlangsung selama beberapa detik saja dan segera hilang sama cepatnya dengan kemunculannya. Namun ketika Orabelle akhirnya bisa membuka matanya, sosok Awan dan motor antiknya sudah tidak ada lagi di tempatnya terakhir berada. Keduanya kini sudah lenyap tanpa jejak. Sosok misterius yang muncul secara tiba-tiba di samping Orabelle itu, kini sudah menghilang dengan cara yang sama misteriusnya dengan kedatangannya tadi.

Di saat yang sama, Orabelle langsung menyadari kalau Kabut Elektrik yang sejak tadi mengganggu penglihatan dan sebagian besar sistem elektronik di tubuhnya, kini telah hilang tidak berbekas. Pemandangan sekitarnya yang sejak tadi diselimuti kabut putih dengan kilau keperakan itu, kini pun jadi terlihat jelas.  

Sebagai gantinya, kini yang dilihat Orabelle adalah langit kemerahan dengan hiasan formasi awan rumit yang tampak begitu kontras dan menakjubkan ketika disandingkan dengan reruntuhan kota dan kerimbunan hutannya yang juga bermandikan cahaya senja. Di saat yang sama, hamparan pasir putih yang selalu diterpa oleh deburan ombak yang mengalun lembut, serta desir angin yang bertiup sepoi-sepoi pun turut menambah keindahan tempat Orabelle berdiri saat ini.

Selama beberapa saat, Orabelle hanya bisa terdiam memandangi keindahan pantai yang bermandikan cahaya mentari terbenam dan berhiaskan kota yang sudah lama ditinggalkan penghuninya.

Tanpa sadar, air matanya pun mengalir.

Orabelle pun jadi teringat waktu kesadarannya benar-benar muncul pertama kali sejak dirinya dibuat oleh Mother. Pemandangan pantai seperti inilah yang dilihat olehnya saat itu. Dan sebagai pemandangan pertama yang dia lihat dengan kesadaran penuh, seluruh ingatan dan sensasi yang dia rasakan saat itu, sangat membekas di dalam diri gynoid Generasi Baru itu.

Ingatan itulah yang membuatnya tiba-tiba tidak bisa menahan air mata rindunya.

Dia rindu rumahnya di Bravaga.

Dan tentu saja dia rindu mereka yang dianggap sebagai keluarganya itu.

Maria, Ryouta, Buggy, Kakek Tesla.

Dia mendadak rindu dengan mereka semua.

Namun Orabelle tahu, sebagai bagian dari kawanan Pengembara, perjalanannya kali ini belum berakhir dan dia pun belum bisa kembali pulang ke Bravaga. Gynoid itu pun lalu mengambil kotak kayu yang tadi diberikan oleh Awan dari salah satu tas yang terselempang di tubuh langsingnya. Dia masih belum tahu apa isi kotak yang konon diberikan langsung oleh Airi, ibu dari ibu semua robot Generasi Baru di Bravaga itu. Tapi, entah mengapa, Orabelle yakin apa pun isinya, benda itu akan sangat berguna pada waktunya nanti dan dia pun tahu kalau waktu untuk membuka kotak itu tidak akan tiba untuk waktu yang sangat lama.

Untuk kesekian kalinya, Orabelle memandangi lautan lepas yang terlihat begitu tenang di hadapannya itu. Setelah menarik nafas panjang dan menenangkan diri, dia pun mengaktifkan alat komunikasinya dan menghubungi Arslan sembari memainkan kotak kayu misterius yang masih dipegangnya itu.

Begitu tersambung dengan Arslan, Orabelle pun tersenyum lebar.

“Hei, Arslan!” seru Orabelle riang, yang langsung disahut oleh seruan bernada panik dari Arslan, dan juga Pengembara lain yang ikut nimbrung dalam saluran komunikasi khusus para Pengembara itu. Dan tanpa menghiraukan semua itu, Orabelle kembali nyengir lebar. “Eh, lupakan soal lenyapnya aku tadi! Kalian semua pasti tidak bakal percaya dengan apa yang baru saja terjadi padaku ...!”

****

~FIN?~

red_rackham 2021

 

 

Comments