Murid Ke-Tujuh
Aku hanya terdiam menyaksikan situasi ganjil yang sedang terjadi di hadapanku ini.
Enam orang murid duduk menunduk dalam diam, sementara tangan mereka sibuk menuliskan sesuatu di atas meja. Entah apa yang mereka tuliskan di atas meja kayu mereka, tapi yang jelas mereka tampak terobsesi dengan apa yang mereka tuliskan.
Aku menatap sekilas ke arah meja salah satu murid dan melihat simbol-simbol aneh sudah tertera disana. Tapi karena berulang kali dituliskan, simbol-simbol itu kini sudah terukir di meja yang terbuat dari kayu itu.
Suara goresan pena yang terus menerus tanpa henti membuat suasana semakin terasa mencekam. Tapi diantara mereka, ada satu orang murid yang hanya diam dan memandangiku sambil tersenyum.
Dia adalah murid ke-tujuh.
Wajahnya sekilas terasa familiar bagiku, tapi aku tahu pasti dia bukan bagian dari kelasku. Aku yakin 100% kalau aku belum pernah melihatnya sebelumnya di sekolah, tapi entah kenapa aku merasa mengenal siapa dirinya.
Pandanganku teralih ke arah Irfan, guru pelajaran matematika, yang berdiri di sebelah kiriku. Biasanya dia selalu terlihat galak dan tegas, tapi kali ini dia jelas-jelas ketakutan. Kebiasaan lamanya menggigiti kuku kalau gelisah kembali, meskipun sudah tiga tahun aku tidak pernah melihatnya melakukan itu. Di sampingnya ada bu Nadia, guru pelajaran fisika. Kalau dia sih tidak usah ditanya. Bu Nadia benar-benar panik. Air mata masih saja mengalir di pipinya.
Aku kembali mengalihkan pandangan ke depan. Keenam murid di hadapanku masih saja sibuk menulis, sementara si murid ke-tujuh tetap memandangiku. Lama kelamaan aku jadi ngeri dengan caranya menatap langsung ke mataku. Rasanya seperti dia berusaha menatap langsung ke dalam jiwaku.
"Baiklah. Ada apa ini sebenarnya?"
Aku akhirnya bertanya, entah pada siapa. Tapi tidak ada yang menjawab.
Sambil menghela nafas, aku menoleh ke arah Irfan. Tadi dialah yang memanggilku kemari dengan tergesa-gesa, tapi sayangnya Irfan tidak sekalipun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya mengatakan satu kalimat pendek. "Darurat!"
"Irfan. Bisa jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi disini?" tanyaku sekali lagi.
Irfan tampak terkesiap dan berhenti menggigiti kukunya.
"A..aku tidak tahu. Tadinya bu Nadia memanggil keenam anak ini untuk melakukan tes remedial dan kemudian meninggalkan kelas setelah membagikan lembaran soal..." Irfan terdiam sejenak. "Tapi ketika dia kembali....mereka semua sudah seperti itu."
Aku melirik ke arah bu Nadia. Dia masih gemetar dan menangis karena ketakutan.
"Sudah ada yang mencoba bicara pada mereka?" tanyaku lagi.
Kulihat Irfan mengangguk ragu. "Su...sudah....pak Indra sudah mencoba bicara....tapi....."
"Tapi apa?"
Aku langsung punya firasat buruk soal apa yang akan diucapkan Irfan selanjutnya.
Irfan menggigiti kukunya lagi. Jelas telah terjadi sesuatu pada pak Indra, guru pelajaran kimia itu.
"Irfan!"
"Pak Indra sekarang ada di rumah sakit!" ujar Irfan setengah berteriak.
"Kenapa?"
Dia lalu menunjuk ke arah gadis yang duduk di bangku paling pinggir. "Di...dia menusuk mata pak Indra dengan pena!" sahut Irfan. "Kemudian gadis itu duduk lagi di bangkunya dan kembali menulis."
Aku menatap ke arah gadis yang dimaksud.
Ara. Namanya Ara. Gadis itu memang tidak terlalu pintar, tapi dia bukan tipe anak yang bisa melakukan hal mengerikan seperti itu.
Satu persatu aku memandangi deretan anak-anak yang duduk di sampingnya.
Rudi. Fahru. Ahmad. Linda. Mahmud.
Aku kenal mereka semua. Mereka semua anak yang baik. Tidak satupun dari mereka pernah terlibat masalah besar di sekolah, ataupun di luar sekolah. Rasanya tidak mungkin mereka tiba-tiba berubah seperti ini.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?" tanya Irfan.
Aku mengangkat bahu.
"Entahlah. Tapi kurasa dia tahu jawabannya."
Aku menunjuk ke arah murid ke-tujuh yang duduk manis di depan keenam murid lainnya.
"Dia satu-satunya murid yang tidak gila menulis," ujarku. "Dan dari tadi dia terus memandangiku dengan tatapan yang tidak mengenakkan."
Aku kaget karena Irfan kini mengernyitkan dahinya ke arahku dan memandangiku dengan tatapan bingung.
"Ja...jangan bercanda! Kau menunjuk kemana?" ujar Irfan kebingungan.
Giliran aku yang bingung.
"Bicara apa kau? Tentu saja aku menunjuk ke arah murid laki-laki yang duduk paling depan itu," sahutku.
Wajah Irfan semakin memucat. Aku bisa melihat kedua matanya menyapu seluruh isi ruangan dengan bingung. Seketika itu juga, aku sadar...dia tidak bisa melihat murid ke-tujuh ini! Dan itu berarti sang murid ke-tujuh ini bukan manusia.
Oke.....sialan!
"Baiklah. Kalian semua tunggu di luar. Ini urusanku."
Aku menepuk bahu Irfan dan bu Nadia, lalu perlahan-lahan mendorong mereka agar keluar ruangan. Bu Nadia yang sudah tidak bisa menahan tangisnya langsung menangis sejadi-jadinya di lorong, sedangkan Irfan memandangiku dengan tatapan ngeri.
"Jangan memandangiku seperti itu! Semuanya akan baik-baik saja. Aku jamin!"
"Ta...tapi...!"
Aku mengabaikan protes Irfan dan membanting pintu kelas di belakangku.
Setelah menarik nafas panjang, aku melangkah maju ke depan kelas. Lebih tepatnya ke depan si murid ke-tujuh.
"Baiklah. Sekarang para pengganggu sudah pergi," ujarku sambil berkacak pinggang. "Aku ingin tahu siapa kau dan mau apa kau dengan murid-muridku."
Murid ke-tujuh itu tiba-tiba tersenyum lebar. Saking lebarnya aku takut mulutnya akan sobek.
"Apa kau yakin kau mau berada di dalam sini sendirian?"
Aku terkejut. Suara murid itu langsung terdengar di dalam pikiranku. Aku yakin sekali aku tidak mendengar suaranya melalui telingaku, tapi aku mendengar suaranya melalui otakku.
Mendengar itu, aku langsung tahu aku berhadapan dengan siapa...atau lebih tepatnya...dengan apa.
Bagus sekali.....ini akan amat sangat merepotkan.
"Baiklah jagoan. Aku minta kau membebaskan mereka semua dari pengaruhmu. Tidak baik kalau melibatkan mereka dalam urusanmu denganku."
"Oh? Tapi justru itu tujuanku."
Tiba-tiba si murid ke-tujuh mengangkat tangan dan mengibaskannya ke bawah. Aku terkejut bukan main ketika sebilah pisau muncul entah darimana dan menancap di atas meja tiap murid. Pada saat yang sama, keenam murid yang lain berhenti menulis dan memandangiku, sementara tangan mereka bergerak dari pena ke pisau di depan masing-masing.
Uh-oh! Ini tidak bagus! Sangat tidak bagus!
"Aku yakin kau tahu apa artinya ini kan, pak Guru?" ujar si murid ke-tujuh sambil berdiri sambil mengambil pisaunya. "Biar bagaimanapun kau tidak bisa menyerang muridmu sendiri kan?"
Aku balas tersenyum.
"Kalau itu sih mudah. Aku tinggal berusaha tidak ditusuk. Itu saja," ujarku. "Aku peringatkan sekali lagi...bebaskan mereka dan tinggalkan tempat ini."
Senyumanku langsung hilang ketika murid-murid yang lain mulai berdiri dan berjalan perlahan mendekatiku.
"Berhenti!" seruku panik. Sayangnya tidak ada yang berhenti. Mereka semua kini berdiri berbaris di depanku sambil mengacungkan pisau masing-masing ke arahku. Kilau baja berkilat dengan pantulan sinar matahari sore membuatku menelan ludah.
Pastinya sakit sekali kalau ditusuk dengan pisau sebesar itu.
"Pak Guru. Anda boleh mati sekarang!"
Tentu saja aku tidak diam saja membiarkan mereka menikamku dengan pisau sebesar itu. Aku langsung berkelit dan melompat jauh ke belakang kelas. Tapi gara-gara salah mendarat, aku menabrak meja paling belakang sebelum akhirnya terbanting ke papan tulis belakang dengan sangat keras.
"ADUH!!"
Buru-buru aku bangun, tapi belum sempat aku berbuat apa-apa, sebilah pisau sudah menancap dalam di perutku. Diikuti dengan bilah pisau kedua...ketiga...keempat...Dalam sekejap sudah ada tujuh bilah pisau menancap di tubuhku.
Rasa sakitnya tidak usah ditanya.
Aku langsung roboh berlutut tanpa sempat menjerit kesakitan. Darah segar langsung mengalir bagaikan sungai dari luka-lukaku. Pandanganku langsung buram dan berwarna merah.
"Bagamana rasanya, pak Guru? Sakit?"
Suara si murid ke-tujuh masih terdengar jelas di dalam kepalaku. Jelas dia terdengar gembira melihat kondisiku yang begitu mengenaskan.
"Tapi kurasa itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang kurasakan ketika anda melemparkanku ke Gerbang Neraka tahun lalu," ujar murid itu lagi. "Kali ini giliranku melemparkan anda ke dalam sana."
Ucapannya langsung membuatku tertawa lebar. Sambil menahan sakit yang luar biasa, aku langsung berdiri dan meraih lehernya. Aku lalu meremas leher si murid ke-tujuh dengan sekuat tenaga. Kedua matanya melotot karena kesakitan campur ketakutan. Mulutnya terbuka dan tertutup seperti ikan yang baru saja diangkat keluar dari dalam air.
"Baiklah...tadi itu keterlaluan sekali. Kau tidak seharusnya menusuk orang dengan benda ini..." gumamku lirih sambil mencabut satu persatu pisau yang menancap di tubuhku, kemudian melemparkan semuanya ke lantai.
"Ba..bagaimana bisa...ka...kau....?!" ucapan si murid ke-tujuh terputus-putus karena lehernya sedang kucekik.
"Bagaimana bisa? Kok bisa-bisanya kau lupa kalau aku ini tidak beda denganmu?" ujarku sambil balas tersenyum. "Kurasa terlalu lama terpanggang api Neraka membuat otakmu tidak beres."
Sambil bicara, aku membanting murid itu ke lantai dengan begitu keras, hingga lantai kayu di bawahnya hancur jadi serpihan.
"Ti...tidak! A..aku....aku tidak....tidak mau kem...kembali kesana!!"
Si murid ke-tujuh berontak di bawah cengkramanku. Tapi usahanya sia-sia. Sekali tertangkap, aku tidak akan membiarkannya lepas.
"Salahmu sendiri. Harusnya kau tidak kembali ke sini dan mencoba balas dendam padaku...iblis kecil."
Tanpa basa-basi lagi, aku menghujamkan sebelah tanganku yang masih bebas ke lantai. Lantai kayu di bawahku bergolak bagaikan terbuat dari cairan. Sebuah pintu gerbang besar yang terbuat dari logam, tiba-tiba muncul begitu saja.
Melihat pintu itu, si murid ke-tujuh langsung menjerit sejadi-jadinya. Dia mulai mencakari wajah dan tubuhku, tapi aku tidak peduli. Dengan sebelah tangan, aku menarik salah satu daun pintu hingga terbuka dan menampakkan bara api abadi di baliknya.
"TIDAAAAKKK!!! TIDAAAKKK!!!"
"Ya!"
Aku mengangkat murid itu tinggi-tinggi dengan sebelah tangan, lalu melemparkan tubuhnya masuk ke dalam api membara di balik gerbang di bawahku. Suara jeritannya dengan segera ditelan oleh suara gemuruh api yang bergolak. Kemudian tanpa bantuanku, pintu gerbang itu menutup sendiri dengan suara berdebam nyaring dan menghliang begitu saja tanpa bekas.
Aku langsung duduk lemas dan memandang ke sekelilingku.
Murid-murid yang tadi berusaha membunuhku, kini sudah terkapar tidak sadarkan diri. Kuharap tidak satupun dari mereka mengingat apa yang baru saja terjadi hari ini. Kalau tidak mereka bisa stress sendiri. Terutama Ara.....dia pasti akan merasa bersalah sekali karena telah membuat pak Indra masuk rumah sakit.
Setelah menarik nafas panjang dan berusaha mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhku, aku berseru sekuat tenaga.
"Irfan! Bu Nadia! Kalian bisa masuk sekarang!"
Aku berseru kepada dua orang guru yang pastinya sudah menunggu di luar ruangan dengan cemas. Segera setelah aku berteriak, mereka berdua langsung menghambur masuk ke dalam ruangan. Sialnya yang dilihat bu Nadia pertama kali adalah tampangku yang masih agak berantakan. Tanpa malu-malu dia langsung pingsan ditempat.
"K...kau tidak apa-apa?" Irfan bertanya sambil membantuku berdiri.
Dia lalu menahan nafas ketika melihat kucuran darah masih jatuh ke lantai.
"Menurutmu bagaimana?" balasku.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Irfan sambil memandang ke segala arah dengan kebingungan. Kedua matanya lalu terpaku pada bilah-bilah pisau berdarah yang berserakan di lantai. "Apa kau baru saja...."
"...ditusuk dengan pisau? Ya." sahutku sebelum dia selesai bicara. "Ada iblis yang masuk ke dalam kelas dan mempengaruhi murid-muridku untuk membunuhku. Usahanya bagus sebenarnya...."
Aku berhenti sejenak untuk mengerang kesakitan.
"Aku pernah berurusan dengannya setahun yang lalu dan aku sudah membuatnya menderita..." gumamku. "Dia kembali untuk balas dendam. Tapi sayangnya dia lupa kalau aku tidak bisa dibunuh semudah itu...."
Irfan hanya bisa melongo mendengar penjelasanku. Pandangannya bolak-balik terarah dari luka tusukan di tubuhku ke wajahku. Dia tampak khawatir dengan kondisiku yang tampak sudah tinggal selangkah lagi dari gerbang kematian.
Aku langsung tersenyum lebar.
"Jangan dipikirkan. Aku akan pulih besok pagi."
"Ta...tapi...." Irfan ingin membantah, tapi dia lalu berhenti bicara dan menghela nafas panjang. "Oh...lupakan saja!"
Dia lalu membantuku berjalan dan bergumam lirih.
"Kira-kira apa yang harus kita katakan pada bu Nadia dan yang lainnya soal kejadian hari ini?" tanya Irfan. Dia lalu melirik ke arah papan tulis dan tembok yang retak, serta lantai di belakang kelas yang hancur berantakan. "Dan...bagaimana aku menjelaskan soal semua kekacauan ini?"
Aku mengangkat kedua bahuku.
"Entahlah. Bilang saja ini kasus kerasukan seperti biasa. Kan kau sudah biasa berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu."
Irfan langsung melotot ke arahku, tapi dia lalu menghela nafas panjang.
"Punya Guru keturunan iblis sepertimu di sekolah ini memang merepotkan."
~FIN~
red_rackham 2012
Enam orang murid duduk menunduk dalam diam, sementara tangan mereka sibuk menuliskan sesuatu di atas meja. Entah apa yang mereka tuliskan di atas meja kayu mereka, tapi yang jelas mereka tampak terobsesi dengan apa yang mereka tuliskan.
Aku menatap sekilas ke arah meja salah satu murid dan melihat simbol-simbol aneh sudah tertera disana. Tapi karena berulang kali dituliskan, simbol-simbol itu kini sudah terukir di meja yang terbuat dari kayu itu.
Suara goresan pena yang terus menerus tanpa henti membuat suasana semakin terasa mencekam. Tapi diantara mereka, ada satu orang murid yang hanya diam dan memandangiku sambil tersenyum.
Dia adalah murid ke-tujuh.
Wajahnya sekilas terasa familiar bagiku, tapi aku tahu pasti dia bukan bagian dari kelasku. Aku yakin 100% kalau aku belum pernah melihatnya sebelumnya di sekolah, tapi entah kenapa aku merasa mengenal siapa dirinya.
Pandanganku teralih ke arah Irfan, guru pelajaran matematika, yang berdiri di sebelah kiriku. Biasanya dia selalu terlihat galak dan tegas, tapi kali ini dia jelas-jelas ketakutan. Kebiasaan lamanya menggigiti kuku kalau gelisah kembali, meskipun sudah tiga tahun aku tidak pernah melihatnya melakukan itu. Di sampingnya ada bu Nadia, guru pelajaran fisika. Kalau dia sih tidak usah ditanya. Bu Nadia benar-benar panik. Air mata masih saja mengalir di pipinya.
Aku kembali mengalihkan pandangan ke depan. Keenam murid di hadapanku masih saja sibuk menulis, sementara si murid ke-tujuh tetap memandangiku. Lama kelamaan aku jadi ngeri dengan caranya menatap langsung ke mataku. Rasanya seperti dia berusaha menatap langsung ke dalam jiwaku.
"Baiklah. Ada apa ini sebenarnya?"
Aku akhirnya bertanya, entah pada siapa. Tapi tidak ada yang menjawab.
Sambil menghela nafas, aku menoleh ke arah Irfan. Tadi dialah yang memanggilku kemari dengan tergesa-gesa, tapi sayangnya Irfan tidak sekalipun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya mengatakan satu kalimat pendek. "Darurat!"
"Irfan. Bisa jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi disini?" tanyaku sekali lagi.
Irfan tampak terkesiap dan berhenti menggigiti kukunya.
"A..aku tidak tahu. Tadinya bu Nadia memanggil keenam anak ini untuk melakukan tes remedial dan kemudian meninggalkan kelas setelah membagikan lembaran soal..." Irfan terdiam sejenak. "Tapi ketika dia kembali....mereka semua sudah seperti itu."
Aku melirik ke arah bu Nadia. Dia masih gemetar dan menangis karena ketakutan.
"Sudah ada yang mencoba bicara pada mereka?" tanyaku lagi.
Kulihat Irfan mengangguk ragu. "Su...sudah....pak Indra sudah mencoba bicara....tapi....."
"Tapi apa?"
Aku langsung punya firasat buruk soal apa yang akan diucapkan Irfan selanjutnya.
Irfan menggigiti kukunya lagi. Jelas telah terjadi sesuatu pada pak Indra, guru pelajaran kimia itu.
"Irfan!"
"Pak Indra sekarang ada di rumah sakit!" ujar Irfan setengah berteriak.
"Kenapa?"
Dia lalu menunjuk ke arah gadis yang duduk di bangku paling pinggir. "Di...dia menusuk mata pak Indra dengan pena!" sahut Irfan. "Kemudian gadis itu duduk lagi di bangkunya dan kembali menulis."
Aku menatap ke arah gadis yang dimaksud.
Ara. Namanya Ara. Gadis itu memang tidak terlalu pintar, tapi dia bukan tipe anak yang bisa melakukan hal mengerikan seperti itu.
Satu persatu aku memandangi deretan anak-anak yang duduk di sampingnya.
Rudi. Fahru. Ahmad. Linda. Mahmud.
Aku kenal mereka semua. Mereka semua anak yang baik. Tidak satupun dari mereka pernah terlibat masalah besar di sekolah, ataupun di luar sekolah. Rasanya tidak mungkin mereka tiba-tiba berubah seperti ini.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?" tanya Irfan.
Aku mengangkat bahu.
"Entahlah. Tapi kurasa dia tahu jawabannya."
Aku menunjuk ke arah murid ke-tujuh yang duduk manis di depan keenam murid lainnya.
"Dia satu-satunya murid yang tidak gila menulis," ujarku. "Dan dari tadi dia terus memandangiku dengan tatapan yang tidak mengenakkan."
Aku kaget karena Irfan kini mengernyitkan dahinya ke arahku dan memandangiku dengan tatapan bingung.
"Ja...jangan bercanda! Kau menunjuk kemana?" ujar Irfan kebingungan.
Giliran aku yang bingung.
"Bicara apa kau? Tentu saja aku menunjuk ke arah murid laki-laki yang duduk paling depan itu," sahutku.
Wajah Irfan semakin memucat. Aku bisa melihat kedua matanya menyapu seluruh isi ruangan dengan bingung. Seketika itu juga, aku sadar...dia tidak bisa melihat murid ke-tujuh ini! Dan itu berarti sang murid ke-tujuh ini bukan manusia.
Oke.....sialan!
"Baiklah. Kalian semua tunggu di luar. Ini urusanku."
Aku menepuk bahu Irfan dan bu Nadia, lalu perlahan-lahan mendorong mereka agar keluar ruangan. Bu Nadia yang sudah tidak bisa menahan tangisnya langsung menangis sejadi-jadinya di lorong, sedangkan Irfan memandangiku dengan tatapan ngeri.
"Jangan memandangiku seperti itu! Semuanya akan baik-baik saja. Aku jamin!"
"Ta...tapi...!"
Aku mengabaikan protes Irfan dan membanting pintu kelas di belakangku.
Setelah menarik nafas panjang, aku melangkah maju ke depan kelas. Lebih tepatnya ke depan si murid ke-tujuh.
"Baiklah. Sekarang para pengganggu sudah pergi," ujarku sambil berkacak pinggang. "Aku ingin tahu siapa kau dan mau apa kau dengan murid-muridku."
Murid ke-tujuh itu tiba-tiba tersenyum lebar. Saking lebarnya aku takut mulutnya akan sobek.
"Apa kau yakin kau mau berada di dalam sini sendirian?"
Aku terkejut. Suara murid itu langsung terdengar di dalam pikiranku. Aku yakin sekali aku tidak mendengar suaranya melalui telingaku, tapi aku mendengar suaranya melalui otakku.
Mendengar itu, aku langsung tahu aku berhadapan dengan siapa...atau lebih tepatnya...dengan apa.
Bagus sekali.....ini akan amat sangat merepotkan.
"Baiklah jagoan. Aku minta kau membebaskan mereka semua dari pengaruhmu. Tidak baik kalau melibatkan mereka dalam urusanmu denganku."
"Oh? Tapi justru itu tujuanku."
Tiba-tiba si murid ke-tujuh mengangkat tangan dan mengibaskannya ke bawah. Aku terkejut bukan main ketika sebilah pisau muncul entah darimana dan menancap di atas meja tiap murid. Pada saat yang sama, keenam murid yang lain berhenti menulis dan memandangiku, sementara tangan mereka bergerak dari pena ke pisau di depan masing-masing.
Uh-oh! Ini tidak bagus! Sangat tidak bagus!
"Aku yakin kau tahu apa artinya ini kan, pak Guru?" ujar si murid ke-tujuh sambil berdiri sambil mengambil pisaunya. "Biar bagaimanapun kau tidak bisa menyerang muridmu sendiri kan?"
Aku balas tersenyum.
"Kalau itu sih mudah. Aku tinggal berusaha tidak ditusuk. Itu saja," ujarku. "Aku peringatkan sekali lagi...bebaskan mereka dan tinggalkan tempat ini."
Senyumanku langsung hilang ketika murid-murid yang lain mulai berdiri dan berjalan perlahan mendekatiku.
"Berhenti!" seruku panik. Sayangnya tidak ada yang berhenti. Mereka semua kini berdiri berbaris di depanku sambil mengacungkan pisau masing-masing ke arahku. Kilau baja berkilat dengan pantulan sinar matahari sore membuatku menelan ludah.
Pastinya sakit sekali kalau ditusuk dengan pisau sebesar itu.
"Pak Guru. Anda boleh mati sekarang!"
Tentu saja aku tidak diam saja membiarkan mereka menikamku dengan pisau sebesar itu. Aku langsung berkelit dan melompat jauh ke belakang kelas. Tapi gara-gara salah mendarat, aku menabrak meja paling belakang sebelum akhirnya terbanting ke papan tulis belakang dengan sangat keras.
"ADUH!!"
Buru-buru aku bangun, tapi belum sempat aku berbuat apa-apa, sebilah pisau sudah menancap dalam di perutku. Diikuti dengan bilah pisau kedua...ketiga...keempat...Dalam sekejap sudah ada tujuh bilah pisau menancap di tubuhku.
Rasa sakitnya tidak usah ditanya.
Aku langsung roboh berlutut tanpa sempat menjerit kesakitan. Darah segar langsung mengalir bagaikan sungai dari luka-lukaku. Pandanganku langsung buram dan berwarna merah.
"Bagamana rasanya, pak Guru? Sakit?"
Suara si murid ke-tujuh masih terdengar jelas di dalam kepalaku. Jelas dia terdengar gembira melihat kondisiku yang begitu mengenaskan.
"Tapi kurasa itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang kurasakan ketika anda melemparkanku ke Gerbang Neraka tahun lalu," ujar murid itu lagi. "Kali ini giliranku melemparkan anda ke dalam sana."
Ucapannya langsung membuatku tertawa lebar. Sambil menahan sakit yang luar biasa, aku langsung berdiri dan meraih lehernya. Aku lalu meremas leher si murid ke-tujuh dengan sekuat tenaga. Kedua matanya melotot karena kesakitan campur ketakutan. Mulutnya terbuka dan tertutup seperti ikan yang baru saja diangkat keluar dari dalam air.
"Baiklah...tadi itu keterlaluan sekali. Kau tidak seharusnya menusuk orang dengan benda ini..." gumamku lirih sambil mencabut satu persatu pisau yang menancap di tubuhku, kemudian melemparkan semuanya ke lantai.
"Ba..bagaimana bisa...ka...kau....?!" ucapan si murid ke-tujuh terputus-putus karena lehernya sedang kucekik.
"Bagaimana bisa? Kok bisa-bisanya kau lupa kalau aku ini tidak beda denganmu?" ujarku sambil balas tersenyum. "Kurasa terlalu lama terpanggang api Neraka membuat otakmu tidak beres."
Sambil bicara, aku membanting murid itu ke lantai dengan begitu keras, hingga lantai kayu di bawahnya hancur jadi serpihan.
"Ti...tidak! A..aku....aku tidak....tidak mau kem...kembali kesana!!"
Si murid ke-tujuh berontak di bawah cengkramanku. Tapi usahanya sia-sia. Sekali tertangkap, aku tidak akan membiarkannya lepas.
"Salahmu sendiri. Harusnya kau tidak kembali ke sini dan mencoba balas dendam padaku...iblis kecil."
Tanpa basa-basi lagi, aku menghujamkan sebelah tanganku yang masih bebas ke lantai. Lantai kayu di bawahku bergolak bagaikan terbuat dari cairan. Sebuah pintu gerbang besar yang terbuat dari logam, tiba-tiba muncul begitu saja.
Melihat pintu itu, si murid ke-tujuh langsung menjerit sejadi-jadinya. Dia mulai mencakari wajah dan tubuhku, tapi aku tidak peduli. Dengan sebelah tangan, aku menarik salah satu daun pintu hingga terbuka dan menampakkan bara api abadi di baliknya.
"TIDAAAAKKK!!! TIDAAAKKK!!!"
"Ya!"
Aku mengangkat murid itu tinggi-tinggi dengan sebelah tangan, lalu melemparkan tubuhnya masuk ke dalam api membara di balik gerbang di bawahku. Suara jeritannya dengan segera ditelan oleh suara gemuruh api yang bergolak. Kemudian tanpa bantuanku, pintu gerbang itu menutup sendiri dengan suara berdebam nyaring dan menghliang begitu saja tanpa bekas.
Aku langsung duduk lemas dan memandang ke sekelilingku.
Murid-murid yang tadi berusaha membunuhku, kini sudah terkapar tidak sadarkan diri. Kuharap tidak satupun dari mereka mengingat apa yang baru saja terjadi hari ini. Kalau tidak mereka bisa stress sendiri. Terutama Ara.....dia pasti akan merasa bersalah sekali karena telah membuat pak Indra masuk rumah sakit.
Setelah menarik nafas panjang dan berusaha mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhku, aku berseru sekuat tenaga.
"Irfan! Bu Nadia! Kalian bisa masuk sekarang!"
Aku berseru kepada dua orang guru yang pastinya sudah menunggu di luar ruangan dengan cemas. Segera setelah aku berteriak, mereka berdua langsung menghambur masuk ke dalam ruangan. Sialnya yang dilihat bu Nadia pertama kali adalah tampangku yang masih agak berantakan. Tanpa malu-malu dia langsung pingsan ditempat.
"K...kau tidak apa-apa?" Irfan bertanya sambil membantuku berdiri.
Dia lalu menahan nafas ketika melihat kucuran darah masih jatuh ke lantai.
"Menurutmu bagaimana?" balasku.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Irfan sambil memandang ke segala arah dengan kebingungan. Kedua matanya lalu terpaku pada bilah-bilah pisau berdarah yang berserakan di lantai. "Apa kau baru saja...."
"...ditusuk dengan pisau? Ya." sahutku sebelum dia selesai bicara. "Ada iblis yang masuk ke dalam kelas dan mempengaruhi murid-muridku untuk membunuhku. Usahanya bagus sebenarnya...."
Aku berhenti sejenak untuk mengerang kesakitan.
"Aku pernah berurusan dengannya setahun yang lalu dan aku sudah membuatnya menderita..." gumamku. "Dia kembali untuk balas dendam. Tapi sayangnya dia lupa kalau aku tidak bisa dibunuh semudah itu...."
Irfan hanya bisa melongo mendengar penjelasanku. Pandangannya bolak-balik terarah dari luka tusukan di tubuhku ke wajahku. Dia tampak khawatir dengan kondisiku yang tampak sudah tinggal selangkah lagi dari gerbang kematian.
Aku langsung tersenyum lebar.
"Jangan dipikirkan. Aku akan pulih besok pagi."
"Ta...tapi...." Irfan ingin membantah, tapi dia lalu berhenti bicara dan menghela nafas panjang. "Oh...lupakan saja!"
Dia lalu membantuku berjalan dan bergumam lirih.
"Kira-kira apa yang harus kita katakan pada bu Nadia dan yang lainnya soal kejadian hari ini?" tanya Irfan. Dia lalu melirik ke arah papan tulis dan tembok yang retak, serta lantai di belakang kelas yang hancur berantakan. "Dan...bagaimana aku menjelaskan soal semua kekacauan ini?"
Aku mengangkat kedua bahuku.
"Entahlah. Bilang saja ini kasus kerasukan seperti biasa. Kan kau sudah biasa berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu."
Irfan langsung melotot ke arahku, tapi dia lalu menghela nafas panjang.
"Punya Guru keturunan iblis sepertimu di sekolah ini memang merepotkan."
~FIN~
red_rackham 2012
Comments