Tantangan Teen-lit: Pelindung Bumi?
Tantangan
Teen-lit: Pelindung Bumi?
“Kamu
adalah orang yang terpilih sebagai Pelindung Bumi. Sekarang, bangun dan terima
takdirmu!”
Alvian Cahyadi tertegun menyaksikan seekor burung berbulu merah
bertengger di jendela kamarnya, kemudian mengucapkan kalimat barusan. Dia
mengucek mata beberapa kali, mengorek telinga, kemudian mencubit pipinya. Sekedar
memastikan kalau dia sudah benar-benar bangun, bukan sedang bermimpi.
“Aku
masih mimpi ya? Masa sih ada burung bisa bicara?” Alvian bergumam sendiri sembari
berbaring, kemudian menarik kembali selimutnya. “Selamat tidur.”
“HEI!”
Si burung merah berseru protes, kemudian meloncat ke atas tubuh Alvian. “Ini
bukan mimpi, dan aku serius! Hei! BANGUN!”
“Berisik
ah! Ini kan cuma mimpi,” gerutu Alvian dari balik selimutnya. “Sudah deh, pergi
sana! Aku mau tidur.”
Mendengar
ucapan Alvian, si burung merah tiba-tiba saja mematuk tubuh pemuda itu dengan
paruhnya yang panjang dan tajam. Tindakannya itu membuat Alvian berteriak kaget,
meloncat ke samping, kemudian jatuh dari tempat tidur.
“SAKIT!”
Alvian berseru protes sambil mengusap belakang kepalanya
yang terasa sakit setelah menghantam lantai keramik yang keras.
“Huh!
Rasakan!” dengus si burung merah. Dia lalu mengibaskan sayapnya dan menunjuk ke
arah Alvian. “Dengarkan aku baik-baik, dunia tempat tinggalmu dalam masalah,
dan hanya kamu yang bisa menyelamatkannya! Jadi, bangkitlah dan jadilah
Pelindung Bumi!”
“Ogah!”
jawab Alvian tanpa pikir panjang.
“HEI!” protes
si burung merah. “Ini serius!”
“Aku
juga serius,” balas Alvian sambil berdiri, namun tetap menjaga jarak dari
burung ganjil di atas kasurnya itu. “Memangnya siapa sih kau ini? Tahu-tahu muncul
dan seenaknya bilang aku ini penyelamat atau semacamnya...”
Si
burung merah terlihat berpikir sejenak, dia lalu menepuk dada dengan sebelah
sayapnya.
“Namaku
Vermeil, sang Penjaga Keseimbangan,” ujar si burung merah. Dia lalu menunjuk
lagi ke arah Alvian. “Dan kau adalah Pelindung Bumi yang terpilih.”
“Pelindung
Bumi?” ulang Alvian bingung.
“Ya,
Pelindung Bumi. Orang terpilih yang akan melindungi dunia ini dari kekacauan
yang dibawa oleh Utusan Kegelapan, Eldive. Dengan kekuatanmu, kau bisa
menyelamatkan dunia ini sebelum seluruhnya ditelan kekuatan gelap,” ujar
Vermeil lagi. “Apa kau mengerti?”
Alvian menatap
burung ajaib di depannya itu sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan. Dia
masih berusaha mencerna arti ucapan Vermeil barusan.
“Sebentar...
siapa yang seenaknya menunjukku jadi Pelindung Bumi?” tanya Alvian. “Tuhan?”
Vermeil
tiba-tiba saja mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Eeh...
bukan,” jawabnya.
“Terus,
siapa?” desak Alvian.
“Aku,”
jawab Vermeil dengan nada riang dan polos.
“Kalau
begitu, lupakan!” geram Alvian. “Aku enggak tahu kau ini sebenarnya apa, tapi
jangan ganggu kehidupan normalku! Lagi pula, paling ini semua cuma lelucon.
Pasti kau ini burung beo terlatih yang sengaja dikirim untuk membuatku bingung,
iya kan?”
Vermeil terdiam
mendengar ucapan Alvian. Tiba-tiba saja sorot mata burung merah itu berubah
menjadi tajam. Pada saat yang bersamaan, suhu kamar kos Alvian terasa meningkat
tajam. Seolah-olah ada yang sedang menyalakan alat pemanas di dalam ruangan
sempit itu.
“Jadi,
kau perlu bukti ya? Baiklah.”
Nada
bicara Vermeil mendadak berubah menjadi dingin. Alvian langsung merinding
karena merasa baru saja membuat sebuah kesalahan fatal.
“Akan
kutunjukkan wujud asliku agar kamu tahu, aku tidak main-main!”
Vermeil bicara sambil mengangkat kedua sayapnya. Pada
saat yang sama, pusaran api mendadak muncul entah dari mana dan melahap tubuh
mungil burung merah itu. Hawa panas yang dihasilkan kobaran itu membuat Alvian
menjerit ketakutan. Dia mengira tubuhnya akan habis terbakar oleh api ajaib yang
mendadak berkobar itu. Namun anehnya, tidak satu pun barang di kamar Alvian
yang ikut terbakar, begitu pula tubuhnya. Meskipun hawa panasnya nyaris tidak
tertahankan, tapi tubuh Alvian masih utuh.
“Cukup! Maaf! Aku tadi enggak sopan! Jangan bakar aku!”
Akhirnya Alvian tidak tahan lagi dan memohon agar Vermeil
menghentikan apinya.
Nyaris sama mendadak dengan kemunculannya, kobaran api di
sekitar Vermeil menghilang begitu saja dan menampilkan wujud asli burung ajaib
itu. Begitu perubahan wujudnya selesai, dia langsung berkata dengan bangga pada
Alvian.
“Nah? Bagaimana? Hebat kan?” seru Vermeil.
Kali ini Alvian hanya bisa melongo.
Soalnya kali ini yang di hadapannya berdiri seorang gadis
cantik berambut merah dan bersayap mungil. Gadis itu berdiri berkacak pinggang tanpa
mengenakan sehelai kain pun di tubuhnya... alias telanjang bulat.
****
“Jadi... sebenarnya Eldive itu seperti apa sih?”
Alvian bertanya sambil menahan kapas yang menyumbat
lubang hidungnya. Setelah nyaris kehabisan darah akibat mimisan, Alvian
berhasil meyakinkan Vermeil untuk mengenakan pakaian. Meskipun sempat protes,
tapi akhirnya Vermeil mau mengenakan satu setel pakaian yang dipinjamkan
Alvian. Tidak lama kemudian, keduanya setuju untuk pergi keluar dan mencari
Eldive yang disebut-sebut Vermeil tadi.
“Hmm...
dia itu iblis dari dunia lain,” sahut Vermeil dengan entengnya. “Sekitar 10
Athurn, atau dalam hitungan kalian, 10.000 tahun yang lalu, dia muncul dan
menenggelamkan peradaban awal kalian. Sekarang dia muncul lagi. Kalau tidak
dicegah, hal yang sama akan terulang kembali.”
“Apa?!”
Alvian berseru kaget.
“Aku tidak main-main,” sahut Vermeil dengan
serius. “Itu alasan aku membutuhkanmu. Hanya Pelindung Bumi yang bisa menemukan
dan menghancurkan Eldive sebelum dia terlalu kuat untuk dikalahkan.”
Alvian
sekilas melirik ke arah Vermeil. Kalau bukan karena sayap mungil dan mata
keemasannya, Vermeil terlihat seperti gadis biasa dengan wajah cantik dan
bentuk tubuh yang ideal. Pantas saja reaksi Alvian begitu kuat ketika Vermeil
menunjukkan wujud aslinya tadi.
“Hei! Kamu
dengar tidak?” Vermeil protes melihat Alvian yang menatapnya dengan tatapan
kosong. “Jangan bengong! Ini serius! Aku merasakan tanda-tanda kehadiran Eldive
di kota ini, dan itu tidak bagus!”
Setelah
menggelengkan kepala untuk menyingkirkan bayangan mesumnya, Alvian balas
bertanya pada Vermeil.
“Eldive
ada di kota ini!? Di mana?” tanya Alvian.
Lagi-lagi
Vermeil mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Eeh... entahlah,”
jawabnya enteng.
Jawaban
Vermeil membuat Alvian kembali geram. Dia pun melotot ke arah sang gadis, yang
kini mati-matian menghindari tatapan tajam dari Alvian.
“Se... sebenarnya
aku cuma pernah bertemu Eldive sekali saja... itu pun waktu dia muncul pertama
kali di dunia ini 10 Athurn yang lalu,” ujar Vermeil salah tingkah. Ketika
melihat Alvian menepuk wajahnya dengan sebelah tangan, dia kembali bicara.
Sembari
mengutuk takdir aneh yang menimpanya itu, Alvian bertanya-tanya kenapa dia bisa
terlibat dalam masalah se-absurd ini.
“Lalu
gimana kau bisa menemukan Eldive, kalau wujudnya seperti apa saja kau tidak
tahu?!” tanya Alvian.
Vermeil
tiba-tiba balik menunjuk ke arah Alvian.
“Bukan
aku yang akan mencarinya, tapi kamu, Pelindung Bumi!” ujarnya sambil tersenyum
lebar.
“Bagaimana
caranya? Aku kan...”
“Pakai
ini dan berubahlah jadi Pelindung Bumi!” potong Vermeil sambil menjentikkan
jari. Sedetik kemudian, sebuah ponsel bergaya futuristik muncul begitu saja
dari udara. Ketika mewujud, Vermeil langsung melemparkan benda itu ke arah
Alvian. “Tinggal tekan tombolnya dan... BUM! Kamu akan berubah wujud!”
Alvian
menatap benda asing di tangannya itu dengan seksama. Sekilas memang terlihat
seperti ponsel canggih yang sering dia lihat di film-film sains fiksi. Tapi
alih-alih ada banyak tombol, hanya ada satu tombol merah di tengah benda itu.
“Tunggu
apa lagi? Jangan lama-lama, ayo berubah!” desak Vermeil. Karena tidak sabar, dia
langsung menghampiri Alvian, kemudian memaksa pemuda itu menekan tombol di
ponsel canggihnya. Alvian yang terkejut tidak bisa berbuat apa-apa ketika
cahaya menyilaukan mendadak menyelimuti tubuhnya.
“UWAAAH!!”
Tentu saja dia tidak malu-malu untuk berteriak. Sebab pada
saat cahaya itu muncul, Alvian juga merasakan sensasi menggelenyar dan
menggelegak dari dalam tubuhnya. Seolah-olah ada sesuatu yang minta dikeluarkan
dengan segera, dan itu rasanya amat sangat tidak nyaman.
“He... hentikan!” seru Alvian ketakutan.
Alih-alih membantu, Vermeil justru mengacungkan jempolnya
sambil melayangkan ekspresi puas di wajahnya.
“Jangan khawatir, tidak sakit kan?” ujarnya dengan nada
riang.
“Iya, tapi...!!”
Protes Alvian terhenti ketika sensasi aneh dan cahaya
menyilaukan yang menyelimuti tubuhnya itu mendadak hilang.
“Nah. Itu sudah selesai,” kata Vermeil. “Bagaimana
rasanya?”
Alvian terdiam sejenak untuk mengamati kalau-kalau
dirinya berubah menjadi burung aneh, sama seperti wujud Vermeil sebelumnya.
Sekilas dia masih berwujud seperti manusia. Setidaknya dia masih memiliki sepasang
tangan, dan sepasang kaki. Tapi dengan segera dia sadar kalau ada tambahan lain
di tubuhnya, yang sebelumnya tidak dia miliki.
“Vermeil?” tanya Alvian.
“Ya?” jawab Vermeil singkat
“Ini apa?” Alvian kembali bertanya sambil menunjuk ke
arah dadanya.
“Ayrudar,” jawab Vermeil, lagi-lagi dengan singkat.
“Ay... apa?!” tanya Alvian lagi, kali ini sambil
menyentuh dadanya sendiri.
“Eh...” Vermeil terdiam sejenak untuk berpikir, kemudian
tersenyum lebar. “Ayrudar... atau kalau dalam bahasa kalian, kurasa itu namanya
payudara.”
Seketika itu juga Alvian menyadari kalau secara ajaib dirinya
sudah berubah menjadi seorang perempuan.
****
“Rasanya
aneh...”
Alvian berkomentar
sambil memandangi bayangan dirinya di cermin kecil yang dipegangnya.
“Jangan banyak
komentar! Nanti juga terbiasa,” Vermeil berseru mengabaikan komentar gadis yang
melompat di sampingnya itu. “Sekarang fokus pada energi Eldive-nya! Jangan
sampai kamu kehilangan jejaknya!”
Alvian
hanya bisa merengut dan kembali berkonsentrasi.
Saat ini dia dan Vermeil sedang sibuk melompat-lompat
dari satu atap ke atap rumah lainnya dengan kecepatan tinggi. Entah bagaimana,
dia yang sekarang ini bisa merasakan ada ‘hawa tidak enak’ datang dari salah
satu sudut kotanya. Menurut Vermeil, itu kemungkinan adalah salah satu
tanda-tanda kemunculan Eldive. Hanya saja berhubung gadis itu tidak tahu
seperti apa wujud iblis yang dicarinya itu, Alvian jadi semakin ketakutan.
Sebab dalam benaknya sudah terbayang sosok monster mengerikan seperti yang
sering dia lihat dalam film-film horor.
“Vermeil.”
“Ya?”
“Boleh
enggak aku kabur sekarang?”
Vermeil
menoleh ke arah Alvian, kemudian menyunggingkan senyuman tipis yang kira-kira
artinya ‘kalau nekat kabur, kamu akan kupanggang’. Itu saja sudah cukup untuk
membuat Alvian mengurungkan niatnya untuk lari.
“Vermeil?”
“Apalagi?”
“Apa kita
enggak terlalu mencolok?” Alvian kembali bertanya, tepat saat dia melompati
seorang ibu rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaiannya. “Apa ini enggak
bakal jadi berita heboh?”
Vermeil
tertawa dengan suara merdu yang menyejukkan hati.
“Jangan
khawatir soal itu. Apapun yang kita lakukan, begitu orang yang melihat kita
berbalik, dia akan melupakan kejadian yang disaksikannya barusan,” ucap Vermeil
sambil tersenyum lebar. “Hebat kan? Selain itu dengan wujudmu sekarang, tidak
akan ada yang tahu jati dirimu yang sebenarnya. Kujamin!”
Meskipun
masih ragu, Alvian setidaknya percaya kalau jati dirinya benar terlindung. Soalnya
saat ini dia sama sekali bukan Alvian, melainkan seorang gadis cantik yang sambil
melompat-lompat ala parkour di atas atap. Sama sekali tidak mencolok.
“Ngomong-ngomong,
bagaimana aku bisa mengalahkan Eldive? Katamu dia sangat kuat, sampai-sampai
bisa menghancurkan dunia. Terus, bagaimana orang seperti ku bisa menang
melawannya?” Alvian kembali bertanya. Kali ini, pertanyaannya benar-benar bagus.
“Pakai
itu.” Vermeil menjawab dengan singkat, kemudian menunjuk ke arah kedua tangan
Alvian, yang kini tampak langsing dan berjari lentik.
“Kedua
tanganku?” Alvian balas bertanya kebingungan.
“Ya.
Memangnya pakai apa lagi?” sahut Vermeil.
“Tidak
ada senjata?” Alvian kembali bertanya. Kali ini dengan raut wajah memucat
akibat membayangkan dirinya duel tangan kosong melawan seekor monster.
“Buat
apa senjata? Bikin repot saja. Langsung hantam dan selesaikan dengan ini!”
Vermeil mengacungkan tinjunya yang kini dibungkus kobaran api berwarna biru. “Beres
kan?”
Alvian
kembali melongo karena jawaban Vermeil yang jelas asal-asalan. Tapi sekarang dia
tidak punya waktu untuk berdebat, sebab dia sudah berada sangat dekat dengan ‘hawa
tidak enak’ yang dia rasakan barusan.
“Perhatikan!
Itu dia!”
Ekspresi
wajah Vermeil langsung menegang ketika mengucapkan kalimat itu. Pandangannya
juga langsung tertuju ke sebuah sosok yang berdiri di antara kerumunan orang di
bawah sana. Alvian ikut mengalihkan pandangannya ke arah sosok yang sedang
diamati Vermeil, namun dia terkejut bukan main. Sebab sosok yang diawasi gadis
itu adalah seorang anak perempuan lucu yang berdiri sendirian di antara
kerumunan orang.
“Hei
Vermeil, itu bukannya...”
“Gawat!
Dia melihat kita!!”
Ucapan
Alvian dipotong Vermeil yang mendadak melompat mundur. Sesaat Alvian bingung
dengan tingkah gadis itu. Namun sedetik kemudian, kebingungannya berubah jadi kengerian.
Sebab Vermeil tiba-tiba saja bagaikan dipukul oleh palu raksasa. Tubuhnya mendadak
jatuh menembus atap rumah di bawahnya diiringi suara berdentum nyaring dan hempasan
debu tebal.
“VERMEIL!”
Alvian langsung bangkit dan hendak menolong Vermeil.
Namun dia tidak sempat berbuat apa-apa, sebab sesosok anak kecil mendadak
muncul di hadapannya. Berbeda dengan yang dilihatnya beberapa detik lalu, anak
perempuan yang ini sama sekali tidak imut. Wajahnya berkerut mengerikan dan
dihiasi senyum sadis.
“Kakak
juga datang dari dunia atas ya?” Suara anak perempuan itu terdengar berdengung
janggal. “Kalau begitu, kakak akan kukirim balik ke sana ya?”
Mampus!! Alvian menjerit dalam hati, sembari bersiap untuk lari secepat dan sejauh
mungkin. Namun alih-alih melarikan diri, tubuh Alvian mendadak bergerak sendiri
seolah tahu apa sebenarnya yang harus dia lakukan. Sedetik kemudian, pemuda
–yang saat ini sedang berwujud seorang gadis– tahu-tahu sudah melayangkan
sebuah tinju dengan kekuatan penuh.
Karena
tidak menyangka akan diserang, tinju Alvian telak mengenai targetnya. Suara
dentum keras yang disusul oleh kilatan cahaya biru terang muncul saat tinju
Alvian mengenai tubuh anak jelmaan Eldive. Dengan seketika tubuh mungil anak
itu langsung terpental dan menghantam tembok sebuah ruko di kejauhan.
Melihat hasil perbuatannya, Alvian hanya bisa
tertegun. Dia tidak menyangka kalau ucapan Vermeil tadi itu bukan main-main.
Ternyata tinju Alvian benar-benar sangat kuat bagaikan pukulan seorang manusia
super.
“Hei!
Jangan bengong saja! Kejar Eldive itu! Nanti dia keburu kabur!”
Mendadak
Alvian mendengar suara Vermeil. Dia pun segera menoleh ke arah datangnya suara,
dan dengan lega melihat gadis itu masih hidup. Dia tampak berdiri tegak di
antara kerumunan orang yang sudah memadati jalanan di bawah sana.
“Vermeil!
Kau tidak apa-apa?”
Bukannya segera mengejar Eldive, Alvian justru balik
bertanya pada Vermeil.
“Lupakan
soal diriku! Sekarang kau... MENUNDUK!!”
Tanpa
pikir panjang Alvian menunduk, tepat saat sebilah benda tajam melesat ke tempat
lehernya tadi berada. Telat sedikit saja, sekarang kepalanya pasti sudah
terguling di lantai. Dengan ngeri Alvian menatap ke arah monster yang berdiri
tepat di depannya. Berbeda dengan sosok anak perempuan imut yang dihantamnya
tadi, kali ini sosok yang menyeringai ke arahnya itu benar-benar mirip iblis,
lengkap dengan tangan bercakar pisau dan mulut yang dipenuhi taring-taring tajam.
“UWAAHH!!!”
Tanpa basa-basi, Alvian menjerit ketakutan sambil
melompat mundur, hanya untuk bertemu dengan cakar tajam yang langsung menembus
tubuhnya. Rasa sakit yang dirasakannya sungguh sulit dibayangkan.
Selama sesaat Alvian bagaikan buta.
Dia juga tidak ingat apakah dia sempat menjerit kesakitan
atau tidak.
Yang jelas saat kembali sadar, tahu-tahu dia sudah
berbaring di atas sebuah mobil yang atapnya ringsek akibat menahan jatuhnya.
Dia hanya bisa pasrah melihat sang monster Eldive yang melompat menerkam ke
arahnya.
“Hyaaah~~!!!!”
Suara seruan Vermeil mendadak memenuhi telinga Alvian dan
memaksanya membuka mata. Dia terkejut melihat gadis itu tahu-tahu sudah menahan
si monster di tembok terdekat dengan sekuat tenaga. Sementara itu api kembali
berkobar dan menyelimuti tubuhnya.
“Bangun!!” Vermeil berseru dengan susah payah pada
Alvian. “Kau belum mati! Bangun dan bantu aku! CEPAT!!”
Perlahan-lahan Alvian bangun dan menyadari kalau luka
menganga di perutnya tadi sudah sembuh. Satu-satunya bekas yang tertinggal
adalah robekan besar serta serta darah yang membasahi kaus yang dikenakannya.
“Aku harus apa?!” tanya Alvian panik.
“Tidak usah berpikir! Serahkan saja pada Pelindung Bumi
dalam dirimu! Dia tahu apa yang harus dilakukan!” balas Vermeil. Dia masih berusaha
mati-matian menahan Eldive dengan segenap tenaganya. “Cepat! Aku sudah tidak
kuat lagi!”
Seperti perintah Vermeil barusan, Alvian berhenti
memikirkan betapa mengerikannya Eldive itu, dan keinginannya untuk segera kabur
dari tempat ini. Ketika melakukan itu, tiba-tiba saja Alvian tahu apa yang
harus dilakukannya sekarang.
Menyadari itu, Alvin bangkit dan merentangkan kedua
tangannya ke samping. Di saat yang sama, dua buah bola cahaya berbeda warna
langsung muncul dari telapak tangannya. Sambil memfokuskan pikirannya pada sang
monster, Alvian menepukkan kedua tangannya hingga dua bola cahaya tadi bersatu.
Suara dentum nyaring, diiringi hempasan energi dahsyat, mengiringi bersatunya
kedua bola cahaya tersebut.
Seolah menyadari dirinya dalam bahaya, sang monster
mendadak berontak dan tanpa terduga melemparkan Vermeil ke samping. Monster itu
lalu melesat ke arah Alvian sambil meraung keras dan mengayunkan tangannya yang
dipenuhi cakar tajam.
Sayangnya kali ini Alvian sudah siap dengan serangan itu.
Dengan gesit, dia memutar tubuh dan membiarkan cakar si monster menghantam
mobil tempatnya berdiri barusan. Selama sedetik, gerakan Eldive terhenti karena
cakarnya tersangkut di antara rangka logam mobil yang ditembusnya.
Hanya
sedetik, tapi itu sudah cukup bagi Alvian.
“MAMPUS!!”
Sambil
meraung, Alvian mengayunkan tinjunya sekuat tenaga.
Pukulan yang sudah diperkuat dengan energi dahsyat itu
dengan telak menghantam tubuh sang monster.
Ledakan cahaya, diiringi kilatan energi yang menyambar ke
segala arah, mengiringi hancurnya tubuh Eldive hingga berkeping-keping. Saking
kuatnya ledakan itu, mobil yang ada di bawah Alvian dan monster itu langsung
meledak jadi serpihan kecil. Akibat ledakan tersebut, tubuh Alvian juga ikut terlempar
dan menabrak sebuah mobil boks hingga ringsek. Untungnya dia sekarang sudah jadi
manusia super, kalau tidak semua tulangnya pasti remuk akibat benturan barusan.
Sambil terengah-engah Alvian menatap hasil kerjanya tadi.
Sosok Eldive yang tadi begitu mengerikan kini sudah hancur berkeping-keping. Yang
tersisa dari makhluk itu hanya sebuah kristal kecil yang bersinar dan melayang
di udara.
“Kerja bagus.”
Vermeil berkomentar sambil melayang turun. Dia lalu
mengambil kristal sisa Eldive dan dengan segera memasukkannya ke dalam sebuah
kotak kecil. Setelah selesai, dia pun menoleh ke arah Alvian.
“Tidak
terlalu susah kan?” Vermeil berkomentar sambil tersenyum puas melihat hasil
kerja Alvian.
Alvian sebenarnya
ingin sekali protes, tapi sepertinya dia sudah benar-benar kehabisan tenaga.
Kekuatan yang beberapa saat lalu terasa meluap-luap dari dalam tubuh, kini
sudah hilang sama sekali. Yang tersisa hanya rasa lelah yang luar biasa.
“Walau
ini baru pertama kalinya, tapi kerjamu bagus sekali,” puji Vermeil.
“Vermeil?”
tanya Alvian dengan nada lirih.
“Ya?”
sahut Vermeil.
“Selamat
tidur.”
Tanpa
basa-basi lagi, Alvian langsung jatuh tersungkur dan tidak sadarkan diri.
****
Hal pertama yang dilihat Alvian saat kesadarannya pulih
adalah langit-langit kamar kosnya yang bercat biru kusam. Tadinya dia berharap
kalau semua kejadian ajaib yang telah dialaminya tadi itu hanya mimpi. Sayangnya
dia langsung sadar kalau itu semua sama sekali bukan mimpi. Soalnya dia melihat
Vermeil, sang gadis cantik jelmaan burung ajaib, sedang duduk di samping tempat
tidurnya.
“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya.
“Lemas...” jawab Alvian. “Tapi aku senang semuanya sudah selesai.”
Tiba-tiba Alvian sadar ada yang aneh. Soalnya saat dia
mengucapkan kalimat barusan, Vermeil langsung mengalihkan pandangannya ke arah
lain. Itu kebiasaan yang dilakukannya kalau gadis itu berusaha menyembunyikan
sebuah masalah.
“Tunggu... ada yang salah...”
Alvian terhenyak ketika menyadari dirinya belum kembali
jadi seorang laki-laki. Kedua matanya langsung terpaku pada bayangan seorang
gadis imut di cermin samping kasurnya. Gadis yang tidak lain adalah dirinya
sendiri.
“Ke... kenapa aku masih begini?!” seru Alvian panik.
“Vermeil!”
“Eeh...” Vermeil masih enggan menatap mata Alvian. Dia
pun terlihat salah tingkah. “Jadi... sebenarnya Eldive itu tidak cuma satu itu
saja. Masih ada 8 lagi yang tersisa. Dan... eeh... sepertinya kau baru bisa
kembali normal kalau semua Eldive sudah dibasmi.”
Mulut Alvin langsung terbuka lebar mendengar penjelasan
gadis yang duduk di sampingnya itu.
“Maaf ya, sepertinya kau akan tetap seperti itu selama beberapa
waktu,” ujar Vermeil lagi. “Ehehe...”
Kali ini Alvian merasa seperti ada sesuatu yang putus
dalam kepalanya, dan dia pun menjerit sekuat tenaga.
“JANGAN BERCANDAAAA~~~!!!!!”
****
~FIN?~
red_rackham 2014
Afterwords:
Ini merupakan jawaban atas tantangan dari bang Herjuno event Tantangan PTK2014 yang diselenggarakan oleh Kemudian.com. Bagi yang kebetulan baca post ini dan kebetulan punya akun di Kemudian.com, silahkan mampir dan berikan komentarnya :D
Comments