Proyek Eksperimen LCDP: Balas Dendam Itu Gurih!

Proyek Eksperimen LCDP: Balas Dendam Itu Gurih!


Sudah hampir 20 tahun berlalu sejak aku mengalami kejadian yang membuat seluruh hidupku jungkir-balik tidak karuan. Berarti sudah 20 tahun juga aku menerima nasib dan berusaha menjalani hidup baruku ini dengan lapang dada.

Meski harus kuakui, aku merindukan saat-saat dimana semuanya begitu normal dan biasa-biasa saja.

Yah....memang benar kata orang. Manusia itu baru sadar dia memiliki sesuatu yang berharga kalau sesuatu itu sudah tidak dimilikinya lagi.

Begitu pula denganku.

Tadinya aku selalu berpikir hidupku sebagai seorang pemuda siswa SMA biasa sangat membosankan. Tidak terhitung berapa kali aku berharap suatu hari hidupku akan berubah menjadi lebih menarik dan tidak membosankan seperti waktu itu.

Ketika akhirnya harapanku itu terkabul, aku sama sekali tidak menduga kalau akhirnya akan seperti ini.

Yah....apa boleh buat. Yang sudah terjadi...terjadilah.

Aku meregangkan tubuhku sambil membuka mulutku dan berkata.

“Nyaaaw~!”

Aku lalu mulai menjilati cakar dan tubuhku sendiri yang berbulu hitam pekat. Aku melakukan ritual ‘mandi’ yang selalu kulakukan setiap pagi. Sambil ‘mandi’, aku memandangi sekelilingku.

Saat ini aku tinggal di sebuah gang sempit diantara dua buah ruko yang berdiri berdampingan. Tempat inilah yang sudah kujadikan sebagai ‘rumah’ selama 10 tahun belakangan ini. Sebelumnya aku selalu hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Hidup sebagai kucing memang tidak mudah.

Terkadang aku harus berhadapan dengan maut, seperti anjing liar yang berniat mencabik-cabikku, anak-anak nakal yang ingin menangkap dan menjadikanku sasaran lemparan batu, dan tentu saja bahaya terlindas kendaraan bermotor ketika aku menyeberangi jalan. Ah...untuk bahaya yang terakhir sih, tidak terlalu masalah. Kalau ingin menyebrangi jalan protokol, aku tinggal jalan diatas jembatan penyebrangan saja.

“Pagi!”

Aku memalingkan wajahku dan melihat seekor kucing gemuk berbulu oranye-belang putih, berjalan menghampiriku.

“Pagi juga,” balasku malas.

“’Gimana kabarmu pagi ini? Sudah makan?” tanya kucing gemuk itu sambil duduk di sampingku, diatas tong sampah besar yang menempel di dinding ruko.

Aku menggelengkan kepala.

“Belum. Memangnya kenapa?” tanyaku sambil memuntahkan satu-dua bola bulu, hasil dari menjilati tubuhku sendiri.

“Ha~! Kebetulan kalau begitu. Aku juga belum. Apa kau mau ikut aku? Ada tempat makan baru di dekat sini. Pemiliknya seorang wanita paruh baya yang ramah dan suka memberi kucing makanan enak,” ujar temanku itu sambil menjilati bibirnya sendiri. “Bagaimana? Mau ikut tidak?”

Aku berpikir sejenak.

Tidak ada salahnya mengikuti temanku dan melihat seperti apa tempat makan baru yang dia temukan. Kalau memang pemilik tempat makan itu suka memberi makanan enak, kupikir itu akan jadi lebih baik.

Setidaknya itu lebih baik daripada mengais-ngais tempat sampah di samping restoran fast-food di seberang jalan. Yah...memang aku sering mendapatkan makanan enak disana karena selalu saja ada orang bodoh yang menyisakan banyak makanan yang dibelinya, lalu membuangnya begitu saja.

“Oke...aku ikut deh. Tunjukkan padaku dimana tempatnya,” ujarku sambil meregangkan tubuh sekali lagi.

Temanku, si kucing gemuk langsung berbalik dan berjalan dengan langkah berat. Sambil berjalan mengikutinya, aku membiarkan pikiranku berkelana ke masa lalu.

Ke masa ketika aku masih jadi manusia.

Ke masa ketika aku menemukan bando terkutuk itu dan akhirnya jadi seperti ini.

****

Semua ini berawal ketika aku sedang mencari hadiah untuk temanku dekatku. Daripada teman, sebenarnya sih aku lebih senang menyebutnya ‘calon’ pacarku. Kenapa calon? Karena aku belum menyatakan cintaku padanya. Bukan karena tidak berani, tapi karena aku merasa belum ada waktu yang tepat untuk menyatakannya.

Dan kebetulan datanglah waktu yang sangat tepat ini.

Hari ulang tahunnya besok.

Nah, aku sudah merencanakan akan memberikan sesuatu yang sederhana namun berguna dan (kuharap) akan selalu dia gunakan. Setelah berpikir cukup lama, aku tetap tidak bisa memutuskan dan akhirnya pergi ke toko aksesoris di pusat perbelanjaan di tengah kota.

Toko aksesoris itu menjual barang-barang bagus dengan harga yang murah, sehingga tempat itu cukup terkenal di kalangan gadis-gadis. Aku sudah bertanya pada beberapa gadis-gadis teman sekelasku dan mereka semua merekomendasikan tempat itu.

Yah....meski aku agak ragu karena mendengar rumor miring tentang pemilik toko itu, yang katanya suka makan daging kucing mentah. Rumornya sih itu ritual wajib untuk menjaga ‘Aji Penglaris’ yang dipasang di tokonya.

Tapi aku tidak percaya soal yang begituan, karena kurasa itu hanya rumor miring yang dihembuskan oleh pesaing pemilik toko aksesoris itu, yang iri karena kemajuan bisnisnya yang terlalu pesat.

Setelah berganti kendaraan umum sebanyak 2 kali, akhirnya aku sampai di depan toko aksesoris itu.

Jelas saja toko ini laku keras. Pemilik toko ini benar-benar memperhatikan aspek estetika dalam menampilkan barang dagangannya...pikirku sambil mengamati bagian depan toko.

Di etalase toko tampak terpajang manekin yang mengenakan berbagai macam contoh aksesoris yang dijual di toko tersebut. Selain manekin, aksesoris-aksesoris yang terbuat dari logam dan batu mulia tiruan tampak ditata seakan-akan toko itu adalah sebuah toko perhiasan mahal. Jelas-jelas tatanan seperti itu membuat orang penasaran dan tertarik untuk masuk ke dalam toko tersebut.

Ketika aku masuk ke dalam, rupanya toko itu cukup ramai. Ada banyak sekali pengunjung yang sedang membeli atau sekedar melihat-lihat aksesoris yang dijual di toko tersebut.

“Selamat datang~!”

Suara sapaan itu membuatku terkejut dan langsung berbalik.

Begitu berbalik aku melihat seorang wanita paruh baya yang tersenyum padaku. Wanita itu mengenakan celemek yang dibordir dengan pola-pola bunga. Dari pakaiannya aku tahu dia bekerja di toko ini.

“Ada yang bisa kubantu?” tanya wanita itu lagi dengan suara ramah.

“Erh....aku mencari hadiah untuk..ehm..pacarku,” ujarku agak terbata-bata. Memang terasa agak aneh kalau seorang pemuda datang ke toko aksesoris seperti ini, sehingga aku merasa tidak nyaman dan agak salah tingkah.

“Ah~! Kebetulan sekali. Aku tahu sesuatu yang bagus untuk pacarmu itu,” ujar si wanita penjaga toko itu dengan ramah. “Ayo ikuti aku.”

Aku langsung mengikuti wanita itu ke sudut lain toko, tepatnya ke gudang di belakang toko, dimana dia membongkar beberapa buah kotak hingga akhirnya dia menemukan yang dia cari.

Sebuah bando berwarna merah dengan hiasan bunga mawar, yang kurasa akan cocok sekali kalau dikenakan oleh ‘calon’ pacarku nanti.

“Ini dia. Ini benda yang pasti cocok sekali untuk pasanganmu. Ya. Mawar merah selalu disukai gadis-gadis,” ujar wanita itu lagi sambil tersenyum manis.

Aku mengambil bando itu dan mengamatinya.

Yah...harus kuakui bando ini cantik sekali dan kurasa akan sangat pantas berada di kepala gadis idamanku itu. Sekilas terlihat bando ini benar-benar seperti sebuah barang mahal. Ketika aku memegangnya, bando ini sama sekali tidak terasa seperti terbuat dari plastik, bahkan benda ini rasanya terbuat dari permata atau semacamnya. Karena bando itu terlihat bening, berkilau, dan jelas terlihat sangat mahal.

“Euh...aku tidak yakin aku sanggup membayar benda semahal ini...” ujarku dengan nada ragu.

“Wah. Tidak perlu khawatir. Itu benda tua dan sudah lama sekali tidak laku terjual. Jadi akan kuberikan harga khusus yang sesuai dengan kantongmu anak muda,” ujar wanita paruh baya itu lagi.

Aku masih ragu dan menimang-nimang bando itu di tanganku.

“Ehm...aku tidak tahu apakah benda ini cocok untuknya...” ujarku lagi.

“Tidak mungkin tidak cocok anak muda. Coba kau kenakan sendiri dan lihat apakah kira-kira bando itu akan cocok dipakai oleh pasanganmu nanti,” ujar wanita paruh baya itu lagi sambil menunjuk ke arah kaca rias besar di sampingku, lalu mengambil bandonya dari tanganku.

Yang terjadi selanjutnya benar-benar konyol, sekaligus merupakan awal dari semua penderitaan yang akan kualami nantinya.

Aku membiarkan wanita itu meletakkan bando itu di kepalaku, dan ketika dia selesai melakukannya, wanita itu berjalan mundur sambil tersenyum puas. Tadinya aku yakin kalau dia tersenyum puas karena telah mengerjaiku, tapi aku segera sadar kalau senyumannya itu bermaksud lain.

“Nah...bando itu rupanya cocok sekali denganmu,” ujar si wanita paruh baya itu sambil terus tersenyum lebar.

Ketika bando itu berada di kepalaku, segalanya langsung berputar-putar dan aku merasa pusing.

A....apa-apaan ini!??? Seruku dalam hati.

Tidak lama kemudian aku terjatuh ke lantai. Tapi sebenarnya aku tidak sedang ‘terjatuh’, lebih tepatnya tubuhku menyusut dengan cepat hingga aku merasa seakan-akan aku sedang jatuh. Aku lalu terbaring tidak berdaya di lantai dan hanya memandangi si wanita paruh baya dengan tatapan lemah.

Kemudian aku tidak sadarkan diri.

Ketika aku sadar lagi, aku sudah tidak lagi jadi manusia.

Aku sempat panik setengah mati ketika menyadari aku sudah berdiri dengan empat kaki, seluruh tubuhku berbulu, punya ekor panjang berbulu, sepasang telinga yang mencuat dari kepalaku, dan satu-satunya suara yang bisa kubuat dengan mulut berkumis tipisku adalah: “Nyaaaw~!”

AKU SUDAH JADI KUCING!!!???

“Nah....sudah kubilang kalau bando itu cocok sekali denganmu,” ujar si wanita paruh baya di depanku sambil tersenyum lebar, kali ini senyumannya tidak lagi terlihat ramah, tapi terlihat begitu jahat dan mengerikan. Wanita itu lalu mengulurkan tangannya ke arahku, bermaksud untuk menangkapku. Sorot mata wanita itu terlihat liar, buas, dan........lapar...........!?

Tiba-tiba dalam benakku aku teringat rumor miring mengenai pemilik toko aksesoris ini yang suka makan kucing untuk menjaga agar sihir di tokonya tidak hilang. Bagimana kalau wanita paruh baya ini adalah si pemilik toko yang memang benar suka makan kucing?! Bagaimana kalau kucing-kucing yang dia makan sebenarnya adalah orang-orang malang sepertiku?! Bagaimana kalau.....

Aku tidak sempat berpikir lagi karena tangan si wanita sudah mencengkram tubuhku dengan begitu erat, hingga aku nyaris tidak bisa bernafas. Aku berusaha berontak tapi percuma saja, cengkraman tangan wanita itu bagaikan cengkaraman penjepit baja. Aku sama sekali tidak bisa bergerak.

“Sssst.....tenanglah ‘pus sayang. Tidak perlu berontak seperti itu. Aku akan merawat dan memeliharamu dengan baik,” ujar wanita itu sambil terus menyunggingkan senyum jahatnya. Dia lalu menambahkan dengan suara berbisik yang parau dan serak. “Tentu saja sampai kau berakhir di meja makanku....”

Mendengar ucapannya, aku langsung mengerahkan seluruh tenaga ‘kucing’ yang kumiliki dan menggigit jarinya, lalu mencakar wajahnya yang terlalu dekat dengan kedua cakarku.

Karena terkejut, wanita itu melepaskan tangannya dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melarikan diri. Aku berlari secepat yang kucing bisa dan dengan segera aku berada jauh diluar toko aksesoris terkutuk itu.

Dengan telinga kucingku yang jauh lebih peka daripada telinga manusia, aku bisa mendengar si wanita gila itu melontarkan sumpah serapah dan makian ke arahku.

Tapi aku tidak peduli dan terus berlari sekuat tenaga.

****

Yah...pokoknya cerita selanjutnya tidak terlalu bagus untuk didengar.

Hidupku jadi tidak karuan setelahnya.

Aku segera mendatangi rumahku, hanya untuk dikejar dengan sapu oleh ibuku sendiri. Maklum, ibuku alergi dengan kucing dan ayahku tidak suka ada binatang berbulu di dalam rumahnya. Aku lalu berbalik dan pergi ke rumah ‘calon’ pacarku, hanya untuk diusir karena aku mencuri ikan di dapur, padahal itu kulakukan karena lapar. Ketika aku kembali lagi kesana, ‘calon’ pacarku itu malah mengusirku dengan lemparan kerikil.

Ironis sekali kan?

Tentu saja aku tidak menyerah begitu saja dan berniat mendatangi lagi toko aksesoris milik wanita paruh baya gila itu. Apa niatku itu terdengar bodoh? Memang. Tapi aku berharap aku bisa menemukan sesuatu petunjuk untuk bisa mengembalikanku lagi jadi manusia.

Kalau wanita penyihir gila itu bisa mengubahku jadi kucing, seharusnya ada cara agar aku bisa kembali jadi manusia lagi.

Sialnya....ketika aku sampai disana, toko itu sudah disegel oleh polisi dan si wanita gila itu kabarnya sudah dipenjara. Dari orang-orang yang menonton acara penangkapan itu, aku mengetahui kalau si wanita gila itu dituduh sudah membunuh dan menyembunyikan mayat seorang pemuda. Pakaian pemuda itu ditemukan di ruang belakang tokonya, tapi tubuh si pemuda yang dibunuh tidak pernah ditemukan.

Belakangan aku tahu kalau pemuda yang dimaksud itu adalah aku. Tentu saja tubuh si pemuda itu tidak akan ditemukan, karena dia masih hidup, hanya saja bukan dalam bentuk ‘pemuda’ lagi.

Sejak saat itu aku terus berusaha bertahan hidup sebagai seekor kucing.

Aku harus amat sangat bersyukur kepada Tuhan karena setidaknya aku masih hidup. Karena beberapa hari setelah toko itu disegel, aku menerobos masuk dan menemukan tumpukan tulang kucing, serta tumpukan pakaian yang disembunyikan di dalam sebuah bak plastik besar di belakang toko.

Kupikir itu tumpukan pakaian milik orang-orang yang dijadikan kucing, dan akhirnya disantap.

Melihat tumpukan itu, baru kali itu aku merasakan darahku bergolak dan aku baru tahu kalau ‘dendam’ itu terasa begitu mengerikan....sekaligus menyenangkan karena aku jadi bersemangat.

“Oi~! Jangan bengong terus. Kita sudah sampai nih!”

Seruan si kucing gemuk berbulu oranye-putih itu langsung membuatku terbangun dari lamunanku.

Aku langsung memandang berkeliling dan terkejut melihat kerumunan kucing yang sudah berkumpul di sekitarku. Mereka sibuk bicara dan mengobrol hingga tidak menyadari kami berdua datang. Tapi salah satu diantara mereka, seekor kucing besar berbulu abu-abu langsung melompat turun dari tumpukan bata di pinggir lorong dan menyapa kami berdua.

“Wah...nambah lagi. Kalau begini terus nanti jatahku berkurang banyak,” gerutu kucing itu sambil memandangi kami berdua dengan tatapan jengkel dan dengan bulu tengkuk berdiri tegak. Jelas dia tidak bermaksud baik.

Benar saja, kucing itu langsung menerkamku yang berbadan lebih kecil dibandingkan temanku, si kucing gemuk. Dia pikir aku pasti jauh lebih lemah dan mudah dikalahkan.

Tapi dia memilih lawan yang salah.

Hanya dalam waktu singkat aku berhasil mengalahkannya dan mengusirnya. Kurasa kehidupan keras yang kujalani selama 20 tahun sebagai kucing jalanan membuatku jadi petarung yang handal...setidaknya diantara para kucing.

“Seperti biasa...kau kuat sekali untuk ukuran tubuh sekecil itu,” puji temanku sambil menjilati tubuhnya, tapi kemudian kedua telinganya berdiri tegak dan dia berbalik sambil berseru gembira. “Nah~! Itu dia makanan kita datang~!!!”

Benar saja, pintu belakang toko yang sedari tadi dipenuhi kucing itu mendadak terbuka dan sesosok manusia melangkah keluar dengan dua piring besar di tangannya.

“Saatnya makan anak-anak~!”

Manusia itu berseru riang sambil meletakkan piring besar yang dia bawa, yang rupanya berisi potongan daging ayam dan sapi. Tentu saja baunya sedap sekali dan tanpa menunggu aba-aba, semua kucing yang ada disana langsung menyerbu piring itu. Termasuk diriku.

Aku langsung makan dengan lahap. Maklum saja, aku sudah lapar sekali.

“Makan yang banyak dan cepat gemuk ya~! Aku jadi tidak sabar untuk menikmati kalian semua~!”

Tadinya aku tidak peduli dengan ucapan si manusia itu. Tapi begitu dia mengatakan hal itu. Aku langsung terdiam dan berhenti makan seketika.

Perlahan-lahan aku menengadahkan wajahku dan terpaku ditempat.

Wajah manusia itu sangat familiar bagiku, begitu juga dengan suaranya.

Di hadapanku saat ini, berdiri sesosok wanita paruh baya yang mengenakan celemek penuh aksesoris berbagai bentuk dan warna. Sosok yang tidak pernah akan kulupakan selamanya. Sosok wanita penyihir gila pemakan kucing yang sudah menghancurkan hidupku.

Tadinya aku sudah melupakan kejadian itu dan membiarkan hidupku mengalir apa-adanya. Tapi detik ini juga, aku bisa merasakan darahku kembali bergolak dan api dendam yang kukira sudah lama padam, mendadak berkobar hebat di dalam tubuhku.

KETEMU JUGA KAU!!!!!

Aku menjerit dalam hati penuh rasa benci, dendam, dan kemarahan.

Sudah 20 tahun aku berkelana dari kota ke kota untuk menemukan dimana wanita gila itu ditahan, tapi akhirnya aku tidak menemukannya. Siapa sangka orang itu rupanya ada di kota ini dan cukup sinting untuk membuka toko aksesoris lagi, dan kurasa.....dia masih cukup sinting untuk tetap suka makan kucing.

Tanpa sadar aku nyengir lebar, persis seperti tokoh Chessire Cat di cerita Alice in Wonderland.

Kucing tidak bisa nyengir? Siapa bilang? Toh aku sedang melakukannya. Ya, aku benar-benar nyengir lebar ketika melihat sosok orang yang kubenci itu kini ada di depan mataku.

Saatnya balas dendam! Pikirku penuh kebencian.

****

Malam itu juga aku akan melaksanakan rencanaku.

Kebetulan sekali, sama seperti sebelumnya, si pemiliki toko itu memang tinggal di tokonya sendiri yang merangkap sebagai tempat tinggalnya. Jadi aku tidak perlu repot-repot mengikutinya sampai ke rumahnya.

Kurasa jadi kucing itu ada enaknya juga.

Maling sehebat apapun dalam menyelinap tidak ada yang sehebat seekor kucing, karena aku sama sekali tidak menimbulkan suara apapun ketika aku menyelinap masuk ke dalam tokonya tadi sore. Aku lalu bersembunyi di tumpukan kardus yang diletakkan di gudang belakang toko dan menunggu hingga malam tiba.

Ketika matahari akhirnya terbenam dan toko akhirnya tutup, aku segera keluar dari tempat persembunyianku.

Sekilas aku menoleh ke arah jendela gudang yang berteralis baja.

Cahaya bulan purnama yang dingin dan pucat tampak memancar melewati jendela.

Bulan purnama? Bagus sekali! Ujarku gembira dalam hati.

Ketika bulan purnama, kekuatanku akan memuncak dan ini akan membuat usaha balas dendamku menjadi jauh lebih mudah. Kalaupun wanita tukang sihir gila itu mencoba menggunakan kekuatannya, aku bisa dengan mudah meredamnya dengan kekuatanku sendiri.

Saatnya bangun! Penyihir jelek!

Aku bergumam dalam hati sambil melepaskan apa yang selama ini kutahan selama tahun-tahun panjangku menjadi seekor kucing.

Dalam waktu singkat tubuhku membesar berkali-kali lipat. Awalnya hanya sebesar seekor anjing, tapi itu tidak cukup, tubuhku terus bertambah besar dan kekar hingga akhirnya aku tumbuh lebih besar daripada seekor kerbau. Ukuran tubuhku kini sudah jauh lebih besar dari harimau atau singa manapun di dunia ini.

Yah. Ada hikmahnya juga aku bertahan hidup jadi seekor kucing selama 20 tahun lebih.

Apa kau tahu kalau seekor kucing hidup lebih panjang dari umurnya yang seharusnya, kucing itu sudah bukan ‘kucing’ lagi?

Itulah yang terjadi padaku. Setelah menjalani tahun ke-15 sebagai seekor kucing, tiba-tiba saja aku merasa berbeda dan begitu kuat. Ketika aku menyadarinya, tahu-tahu saja aku bisa berubah jadi kucing raksasa seperti ini.

Aku merasa bersyukur dengan kekuatan aneh yang kumiliki ini, karena aku bisa melampiaskan dendam yang kumiliki ini dengan lebih mudah lagi.

Sambil menggeram rendah, aku mengayunkan ekorku yang kini sudah bertambah jadi 3 buah ke rak kaca yang ada di dekatku.

Suara ribut ketika aku memecahkan rak aksesoris itu langsung membuat si wanita penyihir pemakan kucing terbangun dari tidurnya. Menyadari kalau ada orang yang masuk ke dalam tokonya dan sepertinya berniat merampok, wanita itu langsung turun ke lantai bawah sambil menggenggam keris pusaka, sumber kekuatannya.

Wanita itu berniat untuk menghukum berat siapapun orang bodoh yang nekat merampok tokonya itu dengan sihir yang dia miliki.

Tapi begitu dia sampai di tokonya, wanita penyihir itu melongo tidak percaya karena melihat sesosok kucing raksasa berbulu hitam pekat tampak berdiri dengan pose mengancam.

“Apa yang....!?”

Sebelum penyihir itu sempat bicara sepatah katapun, aku menerkamnya hingga dia melepaskan senjata pusakanya dan terjatuh di lantai. Tanpa basa-basi aku menekankan cakar kiriku ke atas dadanya, membuat wanita penyihir itu tidak bisa bergerak.

“Kita bertemu lagi! Apa kau masih ingat aku!?”

Seruku dengan suara geraman rendah, hingga kata-kataku jadi agak sulit didengar. Maklum saja, kucing memang tidak seharusnya bicara bahasa manusia.

Kedua mata wanita penyihir itu terbelalak lebar.

“Ya! Aku adalah korban terakhirmu yang kau jadikan kucing dan nyaris kau santap!!” geramku lagi sambil menekan cakarku lebih keras lagi. Wanita penyihir itu menjerit kesakitan ketika merasakan tulang-tulang rusuknya mulai berderak mengerikan. “Apa kau tahu bagimana rasanya derita hidup seorang manusia yang diubah jadi kucing?!! Aku diusir keluarga dan ‘calon’ pacarku sendiri, terpaksa hidup di jalanan, makan makanan sisa, bertarung sampai hampir mati hanya untuk sepotong makanan busuk, dikejar-kejar anjing dan orang-orang sinting yang ingin membunuhku hanya untuk bersenang-senang!!! Apa kau tahu bagaimana rasanya?!!”

Wanita itu menjerit lebih keras ketika aku menekan cakarku lebih keras lagi. Kurasa aku baru saja meremukkan dua atau tiga tulang rusuknya.

“A....ampun! Ampuni aku!! Aku....aku....aku minta maaf!!” seru wanita penyihir itu dengan suara lirih karena kesakitan. “Kumohon jangan bunuh aku!!!”

Aku langsung tertawa terbahak-bahak hingga mulutku mengeluarkan suara yang sangat aneh dan janggal untuk seekor kucing. Tanpa pikir panjang aku menghantamkan sebelah cakarku ke tangannya dan meremukkan tangan rapuh wanita penyihir itu seketika.

Wanita itu menjerit lagi.

Aah....jeritannya bagaikan musik yang indah di telingaku.

“Am...ampuun!!! Ja...jangan bunuh aku!! Kumohon!!! Aku.....aku bisa mengubahmu kembali jadi manusia kalau kau mau!!!” pinta wanita malang itu sambil menahan rasa sakit di tangan dan dadanya.

Seketika itu juga aku terkesiap dan tanpa sadar melepaskan cakarku dari dada dan tangannya yang sudah remuk. Aku terdiam begitu mendengar ada kesempatan bagiku untuk kembali jadi manusia.

“Be.....benarkah?” tanyaku dengan suara bergetar penuh harap. “Kau benar-benar bisa melakukannya???”

Tapi wanita penyihir itu tidak menjawab, dia malah bangun dan melesat dengan cepat mengambil keris pusakanya. Dia lalu menikamkan senjata sihir itu ke sisi kiri tubuhku.

Aku meraung keras karena rasa sakit tidak tertahankan dari tusukan benda itu, kemudian aku terhuyung-huyung ke samping lalu jatuh menimpa rak-rak kaca lainnya.

“Rasakan itu kucing busuk!!! Siapa memangnya yang mau mengubahmu lagi jadi manusia? Setelah bertahun-tahun menghilang dari hadapanku, tidak kusangka kau berubah jadi kucing sebesar ini!!!” seru wanita penyihir itu dengan suara melengking sambil menjilati kerisnya yang berlumur darahku. “Daging yang empuk dan luar biasa banyak! Aku bisa pesta pora seminggu penuh kalau begini!”

Wanita itu melangkah ke depanku dengan gaya penuh kemenangan, seakan-akan dia sudah berhasil mengalahkanku.

Tapi dia salah.

Peraturan pertama dalam pertarungan dengan seekor kucing: Kalau lawanmu belum mati atau berbalik lalu kabur, kau belum benar-benar menang!

Lagipula apa yang wanita gila itu pikirkan? Memangnya keris kecil seperti itu bisa mengalahkanku hanya dengan satu tusukan?

Begitu dia ada tepat di depan wajahku dan mengangkat kerisnya tinggi-tinggi, aku mengayunkan sebelah cakarku dan membuatnya terbang ke sisi lain toko, menghantam rak kaca, lalu tergolek tidak berdaya.

Dengan lemah, wanita itu memandang ke arahku yang berjalan mendekatinya dengan tatapan penuh nafsu membunuh.

“A........a........a.........ampuni....a....ak....aku.......” pinta wanita itu lagi.

Tentu saja aku tidak mau mengampuninya. Tadinya aku sempat berpikir untuk membiarkannya hidup kalau dia mau mengubahku jadi manusia lagi. Tapi sepertinya sia-sia saja. Wanita ini benar-benar gila!

“Mengampunimu? Bagaimana ya???” ujarku sambil nyengir lebar.

Kemudian aku membuka mulutku lebar-lebar dan mencabik tubuhnya jadi dua dalam sekali gigitan. Darah segar langsung membasahi lantai dan wajahku, tapi aku sama sekali tidak merasa jijik. Aku menikmatinya.

Aku menikmati gurihnya ‘rasa’ balas dendam yang sedang kulakukan ini.

Tidak butuh waktu lama sampai aku selesai melahap habis seluruh tubuh wanita penyihir itu. Kini yang tersisa dari wanita-penyihir-gila-penikmat-kucing itu hanyalah genangan darah dan keris yang tadi dia gunakan untuk melukaiku.

Aku menjilati bibir dan gigiku sendiri, menikmati rasa dari apapun yang tertinggal disana.

Ah....ngomong-ngomong daging manusia itu memang gurih sekali ya. Seharusnya aku lebih sering lagi makan daging manusia, ujarku dalam hati sementara aku nyengir lebar dan memandangi bulan purnama yang bersinar pucat di langit.

****

~FIN~

red_rackham 2011

Comments