Everyday Adventure XVII: Outpost
Bagi robot yang telah
menghabiskan bertahun-tahun hidupnya dengan tinggal di kota Bravaga, pergi
keluar kota tempat tinggal para robot itu jelas terdengar merepotkan, tidak
menyenangkan, atau bahkan, hanya terpikirkan oleh robot yang cyberbrain-nya
sudah tidak beres lagi. Pasalnya di luar sana terdapat banyak sekali bahaya
yang mengancam keselamatan siapa pun, seperti Mutan Buas, Robot Liar, Kabut
Elektrik, dan berbagai macam senjata atau perangkap bekas perang di era sebelum
Catastrophy, yang mungkin masih aktif. Itu sebabnya hanya sedikit sekali robot,
seperti Para Pengembara, yang bersedia bepergian keluar kota Bravaga dan
menantang maut demi menjelajahi dunia.
Namun tentu saja
tidak semua robot di Bravaga bersikap seperti itu, dan Maria adalah salah satu
diantaranya.
Gynoid generasi baru
itu senang sekali menjelajah dan sudah pergi ke berbagai tempat di luar
Bravaga, yang sebelumnya hampir tidak pernah dijamah oleh siapa pun sejak
Catastrophy melanda dunia. Tentu saja sudah tidak terhitung jumlah Maria berada
dalam bahaya akibat hobinya itu, namun dia tidak pernah bosan atau pun kapok
untuk terus mengulangi perbuatannya. Terutama karena dia punya rasa penasaran
yang sangat tinggi akan kondisi Bumi yang mengalami perubahan drastis sejak
bencana besar yang disebut dengan Catastrophy itu melanda.
Selain itu, tentu
saja Maria punya mimpi untuk bertemu dengan spesies berakal yang telah
menciptakan leluhur para robot di kota Bravaga, yang tidak lain adalah Manusia.
Memang secara teknis, spesies bernama manusia itu belum sepenuhnya punah dari
muka Bumi. Sebab masih ada para Automa, yang merupakan perwujudan manusia yang
berpindah ke tubuh mesin.
Namun selain Dokter
dan beberapa Automa nyentrik yang tinggal di Bravaga, semua mantan manusia itu
tinggal di sebuah kota yang sangat tertutup dan terlindung. Konon katanya,
bahkan terlindung dari apa pun yang menyebabkan Catastrophy. Sehingga tidak
semua robot bisa masuk ke kota para Automa itu.
Itu sebabnya kini
Maria masih belum bisa percaya bahwa dirinya saat ini sedang berada di dalam
sebuah pesawat angkasa khusus yang akan membawanya pergi ke Colony. Saat ini,
gynoid berambut hitam itu nyaris tidak bisa diam selagi dia berada di dalam
ruang kargo bersama dengan Ryouta, Arslan, dan tentu saja, Buggy. Keempat warga
kota Bravaga itu saat ini sedang melayang tinggi di stratosfer, jauh di atas
gumpalan awan tebal yang dipenuhi gelombang elektromagnetik dan anomali cuaca
lainnya.
“Berapa lama lagi
kita akan sampai di Colony?” tanya Maria penuh semangat, selagi dia mengintip
di balik jendela kecil di ruang kargo. Dari balik jendela berlapis kaca
balistik khusus itu, lengkung planet Bumi yang berwarna biru-kehijauan terlihat
dengan jelas. Sekilas pandang, sama sekali tidak terlihat ada jejak bekas
bencana besar yang dulu melanda planet itu dan menyebabkan kepunahan manusia.
Dari tempat Maria berada saat ini, planet Bumi tetap terlihat amat indah dan
bakal membuat siapa pun terpana kalau menyaksikan apa yang dilihat gynoid itu
saat ini.
“Sekitar lima belas
menit lagi,” jawab Ryouta yang sedang duduk santai di salah satu sisi ruangan.
Dia lalu menjentikkan jarinya, seolah baru mengingat sesuatu. “Ah, tapi kita
tidak langsung mendarat ke Colony. Kita harus mampir dulu di Outpost.”
“Eeeh? Tadi kamu
enggak bilang gitu~!” protes Maria sambil ikut duduk di samping Ryouta. “Tapi
... Outpost itu apa?”
“Outpost, sesuai namanya,
itu adalah kota persinggahan yang ada di depan gerbang keluar-masuk Colony,”
sahut Arslan yang juga duduk di seberang Ryouta dan Maria. “Konon katanya, kota
itu awalnya didirikan sebagai tempat seleksi dan fasilitas sementara bagi
Manusia yang akan pindah ke tubuh mesin sebagai Automa. Tapi setelah semua
Automa pindah ke Colony dan Catastrophy melanda, kota itu ditinggalkan cukup
lama sebelum akhirnya digunakan lagi sebagai tempat singgah oleh para
pengembara yang lewat.”
Arslan diam sejenak
untuk mengamati reaksi Maria, yang jelas-jelas terlihat semakin bersemangat dan
tidak sabar untuk turun dari pesawat yang ditumpanginya itu.
“Nah, selain sebagai
tempat persinggahan, Outpost juga jadi tempat tinggal robot-robot yang
mengungsi dari kota sekitar Colony waktu Catastrophy terjadi,” lanjut Arslan
lagi sambil mengacungkan telunjuknya di depan wajah. “Ditambah lagi ada
beberapa Automa, yang karena alasan tertentu, akhirnya tidak tinggal di Colony
dan menetap di Outpost.”
“Dan berhubung enggak ada pemimpinnya, Outpost
itu beneran lebih kayak labirin daripada kota. Bahkan tata kota Bravaga yang
lumayan berantakan juga enggak ada apa-apanya dibanding yang bakal kamu lihat
di Outpost,” timpal Buggy yang sedari tadi bertengger di atas kepala Maria.
“Pokoknya bakal seru deh~!”
“Iya~! Aku sudah
tidak sabar nih!” sahut Maria sambil mengelus punggung Buggy yang ada di atas
kepalanya.
<Perhatian
semuanya. Kita akan segera mendarat di Outpost dalam beberapa menit lagi.
Bersiaplah. Mungkin akan ada sedikit guncangan.>
Suara pilot pesawat
tiba-tiba terdengar melalui saluran komunikasi nirkabel di kepala Maria, dan
juga semua yang menumpangi pesawat khusus kota Bravaga itu. Hanya selang
beberapa menit setelah pengumuman itu berkumandang, Maria mendengar suara deru
mesin pendaratan pesawat yang telah diaktifkan. Tidak lama kemudian, getaran
cukup keras mengguncang seluruh ruang kargo tempat Maria berada, ketika
kendaraan terbang itu turun menembus awan tebal, turbulensi udara, dan sambaran
petir yang beberapa kali menghantam badan pesawat, hingga akhirnya pesawat itu mendarat
di sebuah landasan khusus yang berada tidak jauh dari Outpost.
Begitu pesawat itu
mendarat, Arslan pun segera membuka pintu kargo. Dan tentu saja Maria, yang
sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa wujud kota yang dinamakan Outpost
itu, langsung melesat keluar, bahkan sebelum pintu ruang kargo pesawat
benar-benar terbuka dengan sempurna. Namun karena buru-buru, dia tidak melihat
jalanan di depannya dan langsung menubruk sebuah robot yang datang menyambut
kedatangannya. Karena tidak sempat menyeimbangkan diri, Maria pun nyaris jatuh
membentur landasan yang berlapis beton, kalau saja robot yang ditabraknya tidak
segera menangkap tubuhnya.
“Wah! Anda tidak
apa-apa?”
Robot yang menangkap
Maria pun langsung bertanya dengan nada khawatir. Maria yang masih terkejut
mengerjapkan mata beberapa kali, sebelum akhirnya berdiri sambil tersenyum
malu.
“Aku tidak apa-apa,”
ujarnya. “Maaf dan terima kasih.”
“Oh, Gyamtso. Apa
kabar?” Ryouta yang berjalan di belakang Maria tadi langsung menyapa robot yang
ditubruk gynoid itu. “Kulihat wujudmu masih seperti yang dulu. Katanya mau upgrade?”
Robot, yang wujudnya
merupakan gabungan antara humanoid dan laba-laba bernama Gyamtso itu, lalu
menepuk dadanya sambil tersenyum.
“Ah. Saya hanya
melakukan upgrade beberapa komponen internal dan pasang senjata baru saja.
Kalau wujud sih saya sudah tidak ingin berubah lagi,” jawab Gyamtso.
Pandangannya lalu beralih ke arah Arslan yang baru saja keluar dari pesawat,
kemudian kembali ke arah Ryouta. “Kulihat Violet Hummingbird masih hidup ya. Luar biasa sekali. Terutama kalau
mengingat dia dan para Pengembara itu sudah berkeliling dunia yang kondisinya
sangat berbahaya ini.”
“Begitulah,” sahut
Ryouta sambil mengangkat bahunya. “Ngomong-ngomong. Kau yang kali ini
ditugaskan menyambut dan mengantar kami ke Colony?”
Gyamtso pun
mengangguk mengiyakan.
“Betul sekali,”
ujarnya. Dia lalu seperti baru menyadari sesuatu dan melangkah mundur, kemudian
memberi hormat kepada Maria, Ryouta, dan Buggy. “Mohon maaf karena saya telat
memperkenalkan diri. Nama saya Gyamtso dan selamat datang di Outpost. Saya akan
memandu Anda sekalian selama berada di kota ini.”
“Salam kenal juga~!
Aku Maria,” sahut Maria dengan nada riang. Dia lalu menunjuk ke arah Buggy yang
masih bertengger di kepalanya. “Kalau yang ada di atas kepalaku ini namanya
Buggy.”
“Ou~! Salam kenal~!”
ujar Buggy. Dia lalu memandang berkeliling sejenak, tepatnya ke arah pegunungan
tinggi berlapis salju tebal yang mengelilingi lokasi pendaratan dan kota yang
ada di salah satu lereng gunung tersebut, sebelum akhirnya kembali menatap ke
arah Gyamtso. “Outpost sepertinya enggak banyak berubah ya. Apa ‘tempat itu’
masih ada?”
“’Tempat itu’?” tanya
Gyamtso bingung, namun sedetik kemudian dia pun memahami maksud perkataan Buggy
barusan. “Ah~! Anda ingin berkunjung ke sana? Baiklah. Akan saya antar. Ikuti
saya.”
Bersamaan dengan
kalimat itu, Gyamtso pun mulai berjalan ke arah kota Outpost, sementara itu
Buggy langsung terbang mengikutinya. Maria tadinya ingin segera menyusul kedua
robot itu, tapi dia lalu melihat kalau Ryouta masih berdiri di tempatnya.
“Kenapa? Ayo~!” ajak
Maria sambil berlari kecil menghampiri Ryouta.
“Aku tidak ikut deh,”
ujar Ryouta sambil menggosok belakang lehernya. Sebelum Maria sempat protes,
android besar bermata satu itu buru-buru menambahkan. “Ada beberapa hal yang
harus diurus sebelum kita bisa masuk ke Colony. Selain itu aku juga harus membantu
Arslan dan para Pengembara melakukan bongkar muat barang.”
Maria sebenarnya
merasa kecewa, tapi dengan segera dia pun memahami kalau Ryouta dan Arslan
punya kesibukan sendiri. Pada akhirnya Maria pun hanya mengangkat bahunya,
kemudian menepuk belakang pinggang Ryouta.
“Baiklah, aku main ke
kota dulu ya~! Kerja yang benar, oke?” ujar Maria sambil nyengir lebar, sebelum
gynoid itu berbalik dan berlari menyusul Gyamtso dan Buggy yang sudah berjalan
cukup jauh meninggalkan landasan.
Melihat antusiasme
Maria, Ryouta mau tidak mau tersenyum dalam hati. Mantan Guardia itu kemudian
mengalihkan pandangannya ke arah lereng gunung tinggi yang menjulang di sisi
lain kota persinggahan yang bernama Outpost ini.
“Ini bakal jadi
pengalaman yang tidak akan terlupakan oleh Maria ...” gumam Ryouta sambil
menghela nafas panjang.
****
Seperti yang sempat
dijelaskan Buggy dan Arslan tadi di pesawat, Outpost benar-benar lebih pas
disebut sebagai labirin. Berbeda dengan Bravaga, yang ternyata dibangun dengan
semacam perencanaan khusus, Outpost benar-benar tidak punya tata kota. Bangunan
di kota persinggahan itu dibangun dengan seenaknya, bahkan tanpa
mempertimbangkan aspek keselamatan sama sekali. Selain itu, berbeda dengan
Bravaga yang bisa dikatakan cukup bersih untuk ukuran kota pasca-kiamat,
Outpost terkesan seperti kawasan kumuh di masa lalu, dengan sampah, rongsokan
dan reruntuhan bangunan yang masih berserakan di berbagai sudut kota. Sesekali
Gyamtso, Maria, dan Buggy terpaksa mengambil jalan lain karena jalur yang
seharusnya mereka lewati sudah tidak ada lagi. Entah karena ada bangunan baru
yang dibangun menutupi jalan, atau ada benda-benda lain yang dibiarkan
berserakan begitu saja sehingga menghalangi siapa pun yang akan lewat.
Intinya Outpost
benar-benar sebuah kota yang berantakan.
Selama perjalanan,
Gyamtso menjelaskan soal sejarah kota, serta beberapa bangunan penting di
Outpost, tapi perhatian Maria berkali-kali teralihkan oleh tampilan robot-robot
penghuni kota dengan berbagai wujud yang terlihat asing baginya. Selain itu,
dia juga bisa melihat kalau kondisi penghuni kota ini juga sering kali terlihat
mengenaskan. Ada banyak robot yang tampak mengalami kerusakan di bagian-bagian
tubuhnya, namun dibiarkan begitu saja. Mereka tampak menderita, dan cukup
banyak robot yang langsung memandangi Maria dengan tatapan iri ketika dia
melintas di hadapan mereka. Beberapa tampak ingin mendekati gynoid itu, tapi
entah mengapa mereka segera mengurungkan niat ketika bertukar pandang dengan
Gyamtso. Jelas sekali mereka takut dengan Automa bertubuh setengah laba-laba
dan setengah manusia itu.
Tadinya Maria tidak
ingin bertanya soal kondisi kota yang mengenaskan ini, tapi pada akhirnya dia
tidak bisa menahan dirinya.
“Gyamtso. Kenapa
penghuni kota ini terlihat ... yah ... tidak sehat. Apa yang terjadi?” tanya
Maria heran. “Emangnya baru-baru ini terjadi sesuatu yang buruk pada kota ini?
Bencana misalnya? Soalnya beberapa waktu lalu Bravaga kena hujan meteor dan
banyak bangunan yang rusak. Apa hujannya sampai ke sini?”
Gyamtso yang
mendengar perkataan Maria pun langsung berhenti melangkah, kemudian memutar
tubuhnya menghadap ke arah gynoid itu. Ekspresi yang tampak di wajah mesin itu
jelas-jelas menunjukkan kalau dia heran dengan pertanyaan Maria barusan.
“Hujan meteor? Apa
maksudmu? Kota ini memang sudah begini sejak dulu.” ujar Gyamtso dengan nada
heran sambil menatap lurus ke arah mata Maria. “Outpost hanyalah ... Outpotst.
Area terdepan dari Colony. Tempat singgah sementara. Tidak kurang. Tidak lebih.
Dan sejak dulu kondisi kota ini memang seperti ini. Tidak teratur. Berantakan.”
Selama beberapa menit
Gyamtso terdiam sambil memandang ke sekelilingnya. Sekilas Maria seperti bisa
melihat kalau robot humanoid setengah laba-laba di hadapannya itu sedang
melakukan pemindaian ke tumpukan bangunan tumpang-tindih di sekitarnya, seolah
memastikan kalau tidak ada bahaya yang mengancam. Dan memang itu yang sedang
dilakukan Gyamtso. Dia terbiasa melakukan itu kalau sedang berjalan sendirian,
atau sedang memandu seseorang di tengah Outpost. Soalnya di kota ini, meskipun
sangat jarang terjadi, serangan terhadap Automa atau robot lain yang tidak
waspada bisa saja terjadi. Biasanya pelakunya adalah robot yang sudah hampir
setengah jalan berubah menjadi Robot Liar, atau sedang putus asa akibat
kerusakan yang dideritanya.
Baru setelah selesai
memindai sekelilingnya, Gyamtso akhirnya melanjutkan penjelasannya lagi.
“Sejak Colony selesai
dibangun dan para Automa terpilih bermigrasi ke sana, kota ini secara teknis
sudah diabaikan dan Colony tidak mau ikut campur dengan pengaturan kota ini.
Apa yang terjadi di kota ini bukan urusan Colony. Kami tidak terlalu peduli
soal peristiwa apa pun yang terjadi di sini, kecuali kalau itu menyangkut
keamanan Colony,” ujar Gyamtso lagi setelah dirinya selesai melakukan
pemindaian. “Tentu saja mereka yang memutuskan untuk menetap permanen di
Outpost sudah tahu soal itu, dan tidak berhak untuk protes. Tidak ada yang
memaksa mereka untuk tinggal di tempat ini, dan tidak ada juga yang melarang
mereka untuk pergi dari sini kalau mau.”
Maria memandangi
robot setengah laba-laba itu selama beberapa saat. Dia terkejut mendengar
ucapan Gyamtso barusan, ditambah bahwa sosok humanoid setengah laba-laba itu
baru saja memberi petunjuk tentang sesuatu yang mengejutkan.
“Gyamtso ... kau ini
... bukan robot ya?” tanya Maria sambil menunjukkan ekspresi terkejut ketika
mengucapkan kalimat itu.
Mendengar pertanyaan
itu, ‘robot’ yang bernama Gyamtso itu pun menunjukkan senyuman tipis di
wajahnya yang memang agak mirip manusia. Dia jelas-jelas terlihat senang karena
Maria sepertinya sudah bisa menebak siapa dirinya sebenarnya.
“Oh~! Ternyata Anda
menyadari itu,” ujarnya dengan nada geli. “Betul sekali. Saya adalah Automa.
Jadi secara teknis, dulunya saya ini manusia. Tapi itu sudah lama sekali ...
sejak ... yah ... sejak era Catastrophy. Dan say ...”
Ucapan Gyamtso
berhenti mendadak karena salah satu kaki laba-labanya tiba-tiba saja berkedut
dan bergerak tidak terkendali. Hanya beberapa detik, tapi itu cukup untuk
membuat Automa bertubuh setengah laba-laba itu limbung. Dia pasti akan jatuh ke
tanah kalau saja Maria tidak buru-buru menahan tubuhnya.
“Hei~! Kamu enggak
apa-apa?!” seru Maria kaget. Dia jelas-jelas terlihat panik setelah menyaksikan
kejadian barusan. “Apa aku perlu menghubungi Ryouta atau Arslan atau yang
lainnya?”
Gyamtso memandangi
Maria dengan tatapan takjub selama beberapa saat, sebelum akhirnya
menggelengkan kepalanya. Perlahan-lahan Automa itu berdiri tegak dan
menyeimbangkan tubuhnya.
“Saya tidak apa-apa.
Hanya saja ... yah ... tubuh tua ini terkadang memang bermasalah,” ujar Gyamtso
sambil menggerakkan kakinya yang baru saja membuat masalah. Dia lalu
melanjutkan perkataannya dengan nada getir. “Biar pun sudah pindah ke tubuh
mesin seperti ini, ternyata masih saja ada masalah, dan kami tetap tidak akan
bertahan selamanya. Konon katanya sih ... Automa seperti saya ini lama kelamaan
akan ‘hilang’ dan kami akan jadi ... yah ... sekedar mesin tanpa kesadaran ...
atau lebih buruk dari itu.”
Maria memandangi
Gyamtso dengan tatapan khawatir, dan tentu saja hal itu disadari oleh Gyamtso.
“Ah. Anda tenang
saja. Ini bukan apa-apa,” ujar Gyamtso sambil menepuk kakinya. “Sama sekali
tidak ada masalah.”
“Tapi ... sebaiknya
kau enggak usah memaksakan diri deh,” balas Maria, masih sambil memegangi tubuh
Gyamtso.
“Maria benar. Kalau
kamu sedang tidak ‘sehat’, sebaiknya kamu istirahat saja,” timpal Buggy, yang
kini bertengger di pundak Maria. “Biar aku yang mengantar Maria. Toh aku pernah
ke sana sebelumnya.”
Gyamtso menggelengkan
kepalanya, kemudian menunjuk ke arah lorong yang ada di depan jalan yang sedang
dilaluinya.
“Sebentar lagi kita
akan sampai di tempat tujuan. Anda sekalian tidak usah khawatir,” ujar Gyamtso
sambil tersenyum. “Begitu sampai di sana, saya akan istirahat sementara Anda
bisa berkeliling.”
Seperti lorong dan
jalanan lainnya di Outpost, tempat Maria, Gyamtso, dan Buggy berada sekarang
juga diapit oleh bangunan yang dibangun dengan asal dan tanpa perencanaan. Itu
artinya ... tempat apa pun yang ingin ditunjukkan oleh Gyamtso kemungkinan juga
memiliki kondisi yang serupa, dan mungkin saja tidak menarik untuk dilihat. Itu
sebabnya dia mengurungkan niatnya untuk menjelajahi kota lebih jauh lagi dan
ingin segera kembali ke tempat Ryouta, di mana pun mantan Guardia itu berada
saat ini.
Setidaknya itu yang
ada di pikiran Maria sekarang. Sebab kini dia lebih mengkhawatirkan kondisi
Automa tua di hadapannya itu ketimbang ingin memuaskan rasa penasarannya.
Maria dan Buggy
saling pandang sejenak, kemudian mengangguk nyaris bersamaan.
“Yah ... kalau memang
kau masih sanggup berjalan lagi ... ayo kita jalan lagi sekarang,” ujar Maria,
masih dengan nada yang bercampur dengan kekhawatiran. “Pokoknya kalau kakimu,
atau tubuhmu ada yang enggak beres. Langsung bilang aja ya~! Enggak usah
sungkan. Kalau perlu, nanti aku gendong. Begini-begini aku ini cukup kuat loh!”
Gyamtso terdiam
sejenak dan terlihat takjub melihat respons dan ekspresi Maria yang kelewat
humanis. Selama beberapa saat Automa itu hampir lupa kalau dia sedang
berhadapan dengan sebuah gynoid, sebuah robot, bukan seorang manusia. Seketika
itu juga Gyamtso tertawa lepas, dan itu adalah sesuatu yang hampir tidak pernah
dia lakukan selama belasan, atau bahkan, puluhan tahun. Dan ketika melakukan
itu, Automa tua itu merasakan ada sensasi hangat yang sudah lama sekali tidak
dia rasakan di dalam dadanya.
“Tenang saja,” ujar
Automa itu dengan nada geli. “Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita lagi.
Sebentar lagi kita akan sampai dan saya yakin Anda akan suka dengan apa yang
akan saya tunjukkan.”
Segera setelah
mengatakan itu, Gyamtso mulai berjalan lagi, dengan diikuti Maria, dan Buggy,
yang masih bertengger di pundak gadis robot itu.
Tidak lama kemudian, ketiganya pun sampai di sebuah
lapangan luas yang berbentuk lingkaran. Namun berbeda dengan jalanan dan
lorong-lorong yang tadi mereka lewati, tempat mereka berada saat ini sangat
bersih dan dikelilingi oleh dinding melingkar yang dicat putih. Seluruh lantai
tempat aneh ini dilapisi keramik dengan pola yang indah, serta terdapat deretan
keramik berbeda warna yang membentuk cincin-cincin melingkar.
Namun bukan itu yang
paling menarik perhatian Maria, melainkan keberadaan sebuah kubus berwarna
hitam pekat yang dibangun tepat di pusat lingkaran. Sebenarnya tidak ada yang
istimewa dari kubus itu, namun tanpa sadar, Maria tahu-tahu sudah berjalan
mendekati benda misterius itu, kemudian mengelus permukaannya yang mengkilap
dan tampaknya terbuat dari batu yang digosok sedemikian rupa hingga nyaris
seperti sebuah kaca berwarna hitam.
Ketika Maria
menyentuh permukaan bangunan hitam itu, tiba-tiba saja dia merasakan sensasi
menggelenyar di dalam tubuhnya. Seolah-olah komponen-komponen elektronik di
tubuh gynoid itu baru saja dialiri energi yang terasa janggal dan berbeda dari
energi listrik yang mengalir dari baterai Sol-nya. Tentu saja itu membuat Maria
terkejut dan buru-buru menarik tangannya, kemudian berbalik ke arah Gyamtso
yang sedang berdiri sembari tersenyum ke arahnya.
“Selamat datang di
Rumah Kuno,” ujar Gyamtso dengan lembut sembari menatap lurus ke arah kedua
mata Maria. “Satu dari sedikit artifak paling penting dalam sejarah peradaban
Manusia yang berhasil diselamatkan dari Catastrophy.”
“Rumah Kuno?” tanya
Maria bingung. “Rumahnya siapa?”
Gyamtso tersenyum
lembut kemudian berjalan mendekati kubus hitam yang berdiri tegak seolah
menantang jaman itu.
“Tidak tahu,” ujar
Automa tua itu sambil mengelus permukaan bangunan di hadapannya itu. “Ada yang
bilang ini rumah Sosok Yang Menciptakan kami, para Manusia. Tapi entahlah. Aku
tidak percaya soal yang begituan dan mereka yang lebih paham soal ini sudah ...
yah ... mungkin tidak banyak yang tersisa. Dan aku juga tidak tahu apa di dalam
Colony ada yang tahu soal sejarah benda ini. Yang jelas, benda ini dulu selalu
dikunjungi puluhan juta orang setiap tahunnya dan kami cukup beruntung bisa
menyelamatkannya sebelum dataran tempatnya berada tenggelam di dasar laut pada
awal era setelah Catastrophy.”
“Begitu ya?” tanya
Maria dengan nada agak kecewa. “Sayang sekali. Padahal aku ingin tahu lebih
banyak soal Rumah Kuno ini, karena firasatku mengatakan ini adalah sebuah
bangunan yang sangat penting dan ...”
Ucapan Maria mendadak
terputus karena begitu dia menyentuh permukaan Rumah Kuno itu untuk kedua
kalinya, mendadak pemandangan di sekitarnya berubah dan gynoid itu tiba-tiba
saja berada di tengah sebuah gurun pasir yang disinari oleh matahari yang
begitu terik dan menyengat. Dan di depan Maria, tampak seorang pria tua dan
seorang anak muda yang berdiri membelakanginya. Kedua manusia itu tampak
mengangkat sebongkah balok batu berwarna kehitaman, kemudian meletakkannya di
atas sebuah fondasi yang terbuat dari campuran lempung dan pasir.
Maria baru ingin
memanggil kedua orang itu, tapi tahu-tahu dia sudah kembali lagi ke
tengah-tengah kompleks Rumah Kuno yang ada di salah satu sudut kota Outpost.
Sejenak Maria tampak kebingungan dan tentu saja Buggy yang sedari tadi
bertengger di atas kepala gynoid itu langsung menyadarinya.
“Ada apa? Kok kamu
kayak kebingungan?” tanya Buggy sambil merayap turun ke pundak Maria. “Kamu
enggak apa-apa?”
Maria memandangi
Buggy selama beberapa saat, kemudian beralih ke arah Gyamtso, yang kini tampak
bingung. Menyadari kalau dia mulai membuat dua temannya itu khawatir, Maria pun
nyengir lebar.
“Tidak apa-apa. Aku
hanya sedang membayangkan apa yang ada di pikiran manusia-manusia pertama yang
membangun bangunan ini. Apa yang membuat mereka melakukan itu dan untuk apa,”
ujarnya sambil berjalan menjauhi Rumah Kuno, kemudian bergantian memandangi
Gyamtso dan Buggy, yang masih bertengger di pundaknya. “Nah, kurasa aku sudah
puas melihat-lihat tempat ini nih. Apa ada tempat lain yang bisa kita
kunjungi?”
Gyamtsto tersenyum
lebar.
“Tentu saja!” ujarnya
bersemangat. “Kita masih punya waktu beberapa jam sampai proses bongkar-muat
dan perizinan masuk kalian selesai. Jadi masih ada kesempatan untuk
melihat-lihat tempat menarik lain di Outpost. Biar begini-begini, masih ada
beberapa tempat bersejarah dan tidak biasa di kota persinggahan ini.”
“Oke~! Tunggu apa
lagi? Ayo~!” seru Maria sambil melangkah riang meninggalkan Rumah Kuno yang
masih berdiri tegak, meski sudah berhadapan dengan Catastrophy itu. Namun
sebelum pergi, entah apa sebabnya, gynoid itu membungkukkan badannya sejenak,
sebelum akhirnya berlari kecil menyusul Gyamtso dan Buggy yang sudah pergi
terlebih dahulu.
****
“Ke mana saja
kalian?”
Ryouta langsung
protes ketika Maria, Buggy, dan Gyamtso datang menghampiri stasiun kereta
khusus yang akan membawa mereka semua ke Colony. Mantan mesin perang dari era
Perang Bulan Kedua itu tampak berdiri di depan sebuah rangkaian kereta yang
melayang di atas relnya, atau dengan kata lain, kereta magnetic levitation atau MagLev.
“Hehehe ~! Maaf ya. Kami keasyikan~!” ujar Maria sambil
nyengir lebar. Dia lalu memandang berkeliling karena tidak menemukan di mana
Arslan berada.
“Arslan?” tanya
Ryouta, seolah bisa membaca apa yang dipikirkan gynoid itu. “Dia tidak bisa
masuk ke Colony.”
“Karena dia Machina?”
tanya Maria. Ryouta pun mengangguk mengiyakan. “Kalau begitu di mana dia
sekarang?”
Ryouta mengangkat
bahunya.
“Entahlah,” jawabnya
singkat. “Bagaimana Outpost?”
Maria pun langsung
nyengir lebar.
“Seru~!” ujarnya
riang. “Gyamtso membawaku ke Rumah Kuno dan beberapa monumen dan artifak kuno
yang dipindahkan para Automa dari berbagai kota di seluruh penjuru dunia
sehabis Catastrophy terjadi.”
“Iya~! Gara-gara itu
kita jadi lupa waktu deh~!” timpal Buggy yang bertengger di atas kepala
Gyamtso.
Ryouta menghela nafas
panjang, sambil tersenyum dalam hati. Dia lalu menatap ke arah Gyamtso, yang
balas tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.
“Nah, Maria, sekarang
kau dan Buggy bisa naik ke MagLev bersama Gyamtso. Dia akan memandumu lagi
selagi kalian berada di dalam Colony,” ujar Ryouta sambil menepuk kepala gynoid
itu dengan lembut.
“Hah? Memangnya kamu
enggak ikut?” tanya Maria kebingungan. “Kenapa?”
Ryouta menepuk
dadanya dengan sebelah tangan.
“Guardia,” ujarnya
dengan nada getir. “Automa tidak mengizinkan semua jenis mesin perang untuk
masuk ke dalam Colony, dan Guardia juga termasuk mesin perang. Jadi ...
begitulah.”
Maria baru saja akan
protes, tapi Ryouta keburu memeluk gynoid itu dengan erat, dan langsung
membuatnya salah tingkah.
“Pergilah. Ini
kesempatan bagus bagimu untuk bertemu dengan lebih banyak lagi ‘manusia’ dan
belajar dari mereka. Aku dan Arslan akan menunggumu di sini,,” ujar Ryouta
sambil memandangi Maria dengan mata besarnya. “Nah, jangan nakal ya.”
Maria pun mengangguk,
namun sambil nyengir lebar.
“Bagaimana ya?”
serunya riang.
Dan tentu saja itu
membuat Ryouta langsung menghela nafas panjang.
****
Arslan melangkah
mendekati Ryouta, yang masih berdiri memandangi kereta MagLev yang meluncur
tanpa suara di kejauhan. Kedua bekas mesin perang mematikan di era Perang Bulan
Kedua itu pun berdiri berdampingan cukup lama tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ryouta sebenarnya menyadari kedatangan Arslan, tapi mantan Guardia itu memilih
untuk diam saja dan membiarkan Arslan memulai pembicaraan terlebih dahulu.
“Setelah sekian lama,
kau akhirnya membiarkan Maria masuk ke Colony dan bertemu dengan ... kau tahu
siapa kan?” ujar Arslan dengan nada datar. “Kenapa baru sekarang?”
“Apanya?” balas
Ryouta singkat, sama-sama dengan nada datar seperti mantan musuh bebuyutannya
itu.
“Kenapa baru sekarang
kau membawa Maria ke hadapan para Automa di Colony?” tanya Arslan lagi. Namun
sebelum Ryouta sempat menjawab, Arslan sudah bicara lagi. “Dan tidak usah pakai
alasan karena ‘Maria belum siap’. Dia sudah siap.”
Kali ini ucapan
Arslan membuat Ryouta menoleh ke arah mantan Machina itu dan melotot dengan
satu-satunya mata yang dia miliki.
“Aku tahu itu ...
tapi ...”
“Bukan alasan,”
potong Arslan. “Kau sudah menunda terlalu lama untuk menunjukkan kebenaran pada
Maria, dan dia berhak tahu untuk apa dia diciptakan dan apa peranannya di dunia
ini.”
Ryouta masih terdiam
dan enggan menanggapi perkataan Arslan. Dan itu membuat Arslan jengkel. Dia
lalu meninju lengan Ryouta, tentu saja tidak sungguh-sungguh, karena dia tidak
mau berkelahi lagi dengannya. Namun itu sudah lebih dari cukup untuk menarik
perhatian mantan Guardia itu.
“Hei~! Dengarkan aku.
Kau terlalu memanjakan Maria dan aku yakin seratus persen kalau dia jauh lebih
siap dari yang kau perkirakan. Percayalah padanya,” ujar Arslan. “Seperti dia
selalu percaya padamu.”
Ryouta memandangi
Arslan selama beberapa saat, kemudian akhirnya mengalihkan pandangan ke arah
pegunungan tinggi yang menjulang di hadapannya. Di balik pegunungan tinggi yang
berdiri menantang langit itu, tersembunyi rumah terakhir bagi ‘manusia’ yang
tersisa di planet ini, dan Ryouta hanya bisa berharap kalau Maria nantinya
tidak merasa kecewa atau trauma dengan pengalamannya hari ini.
“Semoga tidak terjadi
apa-apa padanya ...” gumam Ryouta pada dirinya sendiri.
****
~FIN?~
red_rackham
2018
Comments