Everyday Adventure V





Adventure V: Ingatan

Ryouta berdiri di tengah reruntuhan bangunan yang sedang terbakar. Android bertubuh besar itu memandang ke sekelilingnya dan bertatap mata dengan ratusan robot berbagai bentuk yang mengarahkan senjata ke arahnya.
Meskipun dikepung oleh sekian banyak robot bersenjata, Ryouta tidak gentar. Dia adalah Guardia. Robot pelindung. Benteng pertahanan manusia. Bagi sebuah robot sepertinya, gempuran ratusan robot bersenjata maut sama sekali bukan masalah, terlebih karena saat ini dia sedang melindungi sesuatu yang sangat berharga.
Di belakang sosok raksasa Ryouta, terlihat sebuah pesawat luar angkasa yang sedang bersiap mengudara. Di dalam pesawat putih itulah bibit-bibit manusia akan berkelana ke seluruh penjuru galaksi, mencari tempat baru untuk tinggal dan membangun kembali ras mereka yang hampir punah. Sejak terjadinya perang besar yang menyapu sebagian besar manusia, dan bahkan menghancurkan setengah bulan, manusia harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Terlebih karena ternyata masih banyak manusia yang haus darah akan manusia lainnya, dan terus berperang, meskipun tahu itu justru akan mempercepat kepunahan mereka.
“Aku tidak akan membiarkan satu pun dari kalian lewat!”
Ryouta meraung murka sambil membuka semua sistem persenjataannya. Puluhan tabung misil dan belasan katup homing laser langsung tersingkap dari sekujur tubuhnya, membuat sosoknya yang sudah menakutkan menjadi semakin mengerikan. Namun bersamaan dengan itu, robot-robot yang mengepungnya juga melepaskan tembakan dari senjata-senjata mereka.
Seketika itu juga seluruh dunia menjadi putih bersih. Ryouta tidak bisa melihat apapun dan tidak bisa mendengar apapun. Yang dia tahu adalah dia harus terus menembak dan menghancurkan apapun yang berani mencoba melewati pagar pembatas area peluncuran di belakangnya. Hanya berbekal sensor-sensor panas dan gerak di tubuhnya, Ryouta mengamuk dan menembak ke arah apapun yang bergerak di dekatnya. Tidak peduli apakah itu robot, ataukah itu manusia.
Dia tidak tahu berapa lama dia bertarung membabi-buta seperti itu. Yang dia tahu, dia harus bertahan selama mungkin, selagi pesawat di belakangnya itu bersiap meluncur ke angkasa, membawa harapan baru bagi ras manusia.
Di tengah kekacauan yang melanda sekitarnya, Ryouta mendadak mendengar suara deru nyaring dan menoleh sekilas ke belakang. Pesawat putih yang tadi ada di belakangnya, kini sudah mengudara dengan diiringi semburan mesin ion berkekuatan dahsyat, dan suara menggelegar yang menghancurkan semua kaca jendela gedung di sekitarnya. Melihat pesawat itu lepas landas, Ryouta tersenyum lebar dalam hati. Dia tahu tugasnya sudah selesai sekarang dan dia pun akhirnya bisa merasakan kedamaian.
Dan hal terakhir yang di ingat Ryouta adalah sebuah tembakan laser yang dengan telak menembus dadanya.
****

 
Ketika Ryouta terbangun, awalnya dia bingung di mana dia berada. Tapi atap rendah, jendela kecil di seberang tempat tidur, dan jaket hijau lengan buntung yang tergantung di belakang pintu logam membuatnya sadar, dia ada di dalam kamarnya di kota Bravaga.
Perlahan-lahan android bertubuh besar itu bangkit dan memegangi kepala dengan sebelah tangannya.
“Kenapa aku tiba-tiba mengingat kejadian itu ya?” Ryouta bergumam pada dirinya sendiri.
Dia lalu menoleh ke arah cermin tua yang tergantung miring di dinding kamar sempitnya. Di balik cermin itu, dia melihat sosok android kekar bermata satu yang tampak sudah terlalu tua untuk masih bisa hidup dan berjalan. Namun setelah mimpi barusan, dia jadi teringat sosok aslinya dulu, sewaktu robot seperti dirinya masih dinamai dengan nama Guardia, dan ditakuti sebagai sosok android perang yang kokoh bagai benteng tidak tertembus. Di masa itu, Ryouta dijuluki sebagai Benteng Putih dan sempat dianggap sebagai pahlawan.
Tapi itu semua sudah jadi kenangan masa lalu. Kini dia hanya sebuah android yang mendedikasikan dirinya untuk membangun kota Bravaga.
Lupakan soal masa lalumu, Ryouta! Ada hal yang lebih penting sekarang! Gumam Ryouta dalam hati.
“Ryouta~!”
Sebuah seruan nyaring membuat Ryouta langsung menoleh ke arah jendela dan melihat sesosok gynoid berambut hitam berdiri di luar sana. Gynoid itu tersenyum ke arahnya sambil berkacak pinggang, sementara di kusen jendela merayap sesosok robot kecoa yang ukurannya kelewat besar.
“Maria, Buggy? Sedang apa kalian di sini?” tanya Ryouta sambil bangkit dan mengenakan jaket hijau favoritnya. “Kukira kalian hari ini akan sibuk membantu Trisha di perpustakaan?”
Maria dan Buggy saling pandang sejenak, lalu Maria tersenyum lebar ke arah Ryouta.
“Ah! Memang harusnya sih begitu, tapi hari ini ada hal penting yang harus kami lakukan,” jawab Maria, masih sambil tersenyum lebar. “Tapi aku butuh bantuanmu untuk itu.”
Ryouta memicingkan satu-satunya mata yang dia punya ke arah Maria. Sejak gynoid itu menemukan letak perpustakaan kuno kota Bravaga dan berkenalan dengan Trisha, gynoid penjaga perpustakaan itu, Maria jadi sibuk membantu pekerjaan di sana. Bagi Ryouta, itu bagus sekali, soalnya ketika Maria sibuk di perpustakaan, dia jadi lupa untuk membuat masalah. Tapi sepertinya hari ini Maria baru saja menemukan sesuatu yang membuatnya bersemangat, dan firasat Ryouta mengatakan ini ada hubungannya dengan suatu masalah.
“Oke, sebelum aku bilang ‘aku akan membantumu’, kau harus jelaskan dulu apa yang harus kubantu,” ujar Ryouta sambil berjalan menghampiri Maria. “Baru setelah itu aku akan memutuskan mau membantu atau tidak.”
Mendengar ucapan Ryouta, Maria merengut sedikit. Dan itu artinya apapun bantuan yang dibutuhkan Maria, pastinya akan membuat Ryouta kerepotan. 
“Kami dimintai bantuan oleh kakek Tesla dari Central Tower untuk mencari sesuatu di reruntuhan kota kuno. Dan pastinya kami tidak akan sampai di tempat tujuan kalau tidak dibantu olehmu.” Kali ini Buggy yang bicara sambil merayap masuk dan naik ke bahu Ryouta. “Ayolah, kau tahu seberapa bahayanya tempat itu untuk kami berdua.”
Ryouta menghela nafasnya. Tentu saja dia tahu. Soalnya beberapa waktu yang lalu mereka bertiga sempat menjelajah ke bekas kota manusia itu, dan kemudian diserang oleh sebuah robot liar di tengah jalan. Meskipun waktu itu Maria melakukannya demi merayakan ulang tahun Ryouta, tapi dia sudah berpesan pada gynoid itu untuk tidak nekat menjelajahi reruntuhan kota tua itu lagi.
“Ayolah! Kan kali ini juga ada kamu, Ryouta. Jadinya pasti tidak ada masalah!” bujuk Maria sambil memasang tampang memelas.
Ryouta paling tidak suka kalau gynoid itu sudah bersikap seperti itu, karena meskipun berkali-kali menolak, pada akhirnya dia pasti akan menuruti permintaan Maria.
Sambil menepuk wajahnya dengan sebelah tangan, Ryouta mengangguk.
“Baiklah, akan kutemani kalian ke sana,” ujarnya dengan enggan.
“Yey~!” sorak Maria sambil melompat ringan.
“Tapi dengan satu syarat!” ujar Ryouta sebelum Maria sempat mengatakan apapun. “Kalian berdua jangan jauh-jauh dari ku, dan jangan sentuh apapun yang terlihat mencurigakan.”
Maria mengangguk penuh semangat, kemudian tersenyum lebar.
“Tentu saja! Aku akan ingat itu!” serunya bersemangat. “Jangan khawatir!”
Mana bisa aku tidak khawatir. Nanti kau pasti lupa soal nasihatku itu dan seenaknya pergi menjelajah, gerutu Ryouta dalam hati.
****
Ryouta ingat terakhir kali mereka menjelajah reruntuhan kota di selatan Bravaga ini, mereka menghadapi serangan sebuah robot liar. Robot yang sistem cyber-brain-nya sudah tidak lagi berfungsi itu nyaris melumat Maria, kalau saja Ryouta tidak turun tangan dan menghabisi nyawa robot kuno itu. Dan seperti yang terakhir kali diingat olehnya, kondisi kota yang dulu sekali dipenuhi oleh manusia itu tidak banyak berubah. Masih saja terlihat kosong dan menakutkan sejak ras penguasa bumi itu punah, lebih dari 500 tahun yang lalu. 
Deretan gedung-gedung kosong masih berdiri tegak dan semakin dipenuhi oleh tumbuhan yang kini merajai kota. Beberapa kali Ryouta melihat sosok-sosok backpacker atau tumbuhan berjalan yang melintasi sela-sela gedung yang kosong. Tapi kali ini dia tidak melihat atau mendeteksi adanya robot liar atau semacamnya.
“Aman?” tanya Maria sambil berjalan di samping Ryouta.
Ryouta mengangguk.
“Sejauh ini sih aman,” jawabnya sambil memandang berkeliling. “Sebenarnya apa sih yang kalian cari kali ini?”
Maria saling pandang dengan Buggy sejenak.
“Potongan sejarah kuno ras manusia,” sahut Maria singkat. Dia lalu mengambil sepotong kertas tebal dari tas kain yang dia bawa. “Coba lihat ini.”
Ryouta terkejut melihat gambar yang tercetak di atas potongan kertas itu. Potongan kertas yang dibawa Maria itu merupakan sebuah poster bergambar sebuah kompleks bangunan mewah, dan sebuah pesawat luar angkasa besar berwarna putih yang menghiasi bagian belakang bangunan itu. Di bagian bawah poster kuno itu, tercetak sebuah tulisan yang sudah pudar hingga agak sulit dibaca.
“Project Starchild,” gumam Ryouta sambil membaca tulisan kabur di poster itu. “Di mana kau temukan ini?”
“Di gudang perpustakaan kuno Trisha. Kami menemukan itu teronggok bersama ratusan kertas-kertas lainnya,” sahut Maria dengan entengnya. “Memangnya kenapa?”
Ryouta diam sejenak. Tiba-tiba di dalam kepalanya, dia bisa melihat dengan jelas gambaran gedung putih yang dipenuhi oleh ribuan manusia, yang sebagian besarnya adalah anak-anak. Dia juga bisa melihat jelas deretan sosok android-android raksasa yang memiliki bentuk mirip dengan dirinya. Sejenak Ryouta bisa mendengar seruan kekaguman anak-anak manusia itu ketika mereka menghampiri dan mengamati dirinya yang berdiri kokoh menjaga sebuah pesawat putih raksasa yang menjulang ke langit. Dia lalu mengingat satu kata yang diucapkan oleh seorang anak perempuan yang memandanginya dengan tatapan kagum saat itu: Kalau aku besar nanti, aku ingin jadi pelindung seperti dia.
“Ryouta? Kau tidak apa-apa?”
Suara Maria membuat Ryouta kembali sadar. Android besar itu menggelengkan kepalanya dan menatap ke arah gynoid di sampingnya itu.
“Apa?” tanyanya.
“Kau terlihat aneh akhir-akhir ini. Apa kau tidak apa-apa?” tanya Maria dengan nada khawatir. “Apa kau perlu pergi menghadap Mother untuk diperiksa?”
Ryouta menggelengkan kepalanya, kemudian menepuk pelan kepala Maria.
“Aku tidak apa-apa,” ujarnya sambil mendorong punggung Maria dengan lembut. “Sana, kau bisa jalan duluan. Tapi ingat, jangan jauh-jauh dari ku!”
Maria langsung tersenyum lebar dan melompat-lompat ringan di antara reruntuhan tembok dan bangkai mobil yang berserakan di jalan. Sementara gynoid itu menjelajah dengan riang, Ryouta memegangi kepalanya dan terdiam sejenak.
“Sepertinya diinjak-injak oleh backpacker benar-benar bikin kepala terasa tidak enak ya?”
Tiba-tiba Buggy berkomentar sambil terbang melingkar di sekitar Ryouta, kemudian mendarat di atas kepala android besar itu.
“Benar kau tidak perlu pergi ke Mother untuk diperiksa? Aku punya firasat kau mengalami kerusakan fisik juga waktu itu,” ujar Buggy sambil mengetuk-ngetukkan kakinya ke kepala Ryouta. “Ingat loh, kalau ini sampai rusak, kau pasti mati.”
Ryouta mendengus sambil meraih tubuh Buggy dan memindahkan robot kecoa itu ke bahunya.
“Aku tahu itu,” sahut Ryouta. “Toh aku sudah pernah mati sekali.”
Buggy mengetuk pipi Ryouta dengan salah satu kaki kurusnya.
“Kalau gitu jangan sampai mati lagi,” ujarnya sambil memandang ke arah Maria yang semakin jauh melompat-lompat ke ujung jalan. “Nanti Maria sedih.”
“Aku tahu itu,” sahut Ryouta singkat.
****
Perjalanan menembus reruntuhan kota kuno terasa semakin berat, terutama ketika Ryouta, Buggy, dan Maria semakin dekat ke sisi terjauh dari kota. Wilayah yang dulu merupakan pusat kota itu kini dipenuhi dengan reruntuhan gedung yang roboh semasa Catastrophy dulu. Jalanan utama yang membelah kota itu kini tidak terlihat lagi, dan ini membuat Maria kebingungan.
“Aduh! Ke mana lagi nih?” serunya sambil memperhatikan peta kumal yang jadi satu dengan poster tua yang dipegangnya. Tapi percuma saja. Peta itu menunjukkan rute jalan yang sudah tidak ada lagi sekarang. Jadi rasanya percuma saja dia masih berkutat untuk menemukan lokasi bangunan yang tertera di peta itu dengan kondisi kota saat ini. Menyadari hal itu Maria lalu mendongak ke arah Buggy yang melayang jauh di atas sana.
“Ketemu tidak?” serunya pada robot kecoa yang terbang tinggi di udara itu.
Buggy melayang turun dan mendarat di pundak Maria, kemudian menggoyangkan tubuhnya.
“Maaf ... ini seperti mencari sepotong besi di antara tumpukan reruntuhan beton,” sahut Buggy. Dia lalu balik memandang ke arah Ryouta yang kini berdiri di atas sebuah rongsokan tank berkarat. “Menemukan sesuatu?”
“Lewat sini.”
Ryouta menghiraukan pertanyaan Buggy dan mulai berjalan melintasi kerimbunan semak tumbuhan berjalan, yang langsung menyingkir melihat sosok besar yang tiba-tiba menghampiri mereka. Maria dan Buggy sempat bingung sejenak, tapi mereka lalu berjalan mengikuti Ryouta.
Selama beberapa saat, tiga robot itu berjalan melintasi semak dan pepohonan tumbuhan berjalan, yang tampak protes ketika seenaknya diterabas. Beberapa sulur dan ranting tumbuhan mutan itu sempat membelit atau menampar tubuh ketiganya, tapi Ryouta dan Maria dengan mudah membebaskan diri dari tumbuhan-tumbuhan itu. Hanya Buggy yang sesekali tersangkut dan harus dibantu oleh kedua temannya untuk melepaskan belitan tumbuhan berjalan dari tubuhnya.
“Kau mau ke mana sih?” tanya Maria penasaran.
“Iya, benar. Mau ke mana kau?” timpal Buggy, sambil sekali lagi berusaha membebaskan diri dari sulur tumbuhan yang kembali membelit tubuhnya.
Tapi Ryouta tidak menjawab. Android bertubuh besar itu terus melangkah maju tanpa ragu sedikit pun, seolah-olah dia benar-benar mengenal daerah kota kuno ini. Dan itu memang benar, bagi Ryouta, berjalan di daerah ini adalah sesuatu yang dulu sekali dia lakukan setiap hari. Hanya saja kini sudah tidak ada lagi manusia yang memandang kagum atau hormat kepadanya. Yang ada hanya kerimbunan tumbuhan berjalan dan kawanan backpacker mungil yang sesekali menampakkan diri karena penasaran.
Rasanya benar-benar janggal, gumam Ryouta dalam hati. Lebih dari 500 tahun yang lalu, tempat ini begitu ramai. Sekarang semuanya nyaris sunyi senyap. Jejak-jejak manusia juga sudah nyaris hilang ditelan kerimbunan tumbuhan. Semuanya sudah berubah ...
Setelah bersusah payah selama beberapa jam, akhirnya Ryouta, Maria, dan Buggy sampai di sebuah lapangan terbuka. Ketika akhirnya sampai di tempat itu, Maria dan Buggy langsung berseru kagum.
Saat ini ketiganya sedang berada di sebuah lapangan luas yang dikelilingi oleh bekas bangunan pencakar langit, yang dulunya pasti terlihat begitu megah, meskipun sekarang hanya tinggal reruntuhan saja. Di depan mereka tampak sebuah jalan lebar yang aspalnya sudah hancur, namun masih menyisakan kemegahan masa lalunya. Jalan itu mengarah lurus ke arah sebuah gerbang tinggi yang pintunya sudah tidak ada lagi. Satu hal yang membuat tempat ini begitu menakjubkan adalah kerimbunan tumbuhan liar berbunga yang menutupi sebagian besar reruntuhan bangunan.
“Tempat apa ini?” tanya Maria pada Ryouta. “Ini indah sekali!”
“Ini tempat yang kau cari,” sahut Ryouta singkat. Dia lalu menunjuk ke arah sebuah gedung bundar yang setengahnya sudah runtuh. “Coba cocokkan bentuk dasar bangunan itu dengan gambar di poster.”
Tanpa basa-basi, Maria menarik keluar poster tuanya dan mengamati bentuk gedung yang ditunjuk Ryouta. Dia terkesiap melihat kalau temannya itu benar! Ini adalah lokasi kompleks yang dia cari-cari.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Maria heran bercampur kagum.
“Ayo, lewat sini,” ujar Ryouta tanpa menghiraukan pertanyaan Maria.
Android besar itu lalu melangkah melewati pintu depan gedung, kemudian mulai membersihkan jalan yang akan dia lewati dari puing-puing bangunan. Setelah berusaha selama beberapa saat, dia lalu sampai di sebuah ruangan luas yang masih cukup utuh. Di sisi ruangan itu terdapat puluhan meja meja resepsionis yang sudah setengah hancur karena dimakan usia. Tapi cukup jelas terlihat ruangan luas ini adalah lobi utama dari kompleks gedung ini.
“Wow! Tempat apa ini?” Maria bertanya sambil mulai berjalan mengelilingi ruangan. Dengan segera gynoid itu tertarik pada benda-benda kecil yang berserakan di lantai. Sebagian besar benda logam itu langsung hancur ketika dia sentuh karena begitu lapuk. Tapi beberapa masih bertahan dan menunjukkan bentukan sebuah bintang, dengan hiasan sebuah pesawat luar angkasa di depannya. Setelah mengamati benda itu beberapa saat, dia lalu berdiri dan mengacungkan benda yang dia pegang itu tinggi-tinggi di udara. “Ryouta, kau tahu apa ini?”
Ryouta memandangi benda kecil yang dipegang Maria selama beberapa saat.
“Itu pin dengan logo Project Starchild,” sahutnya dengan nada agak muram. “Dulu sekali orang-orang yang mengikuti proyek itu mendapatkan pin spesial, yang memberi mereka kebebasan untuk mengakses seluruh tempat ini.”
Begitu mendengar penjelasan Ryouta, Maria langsung terbelalak. Dia baru menyadari bahwa rekannya itu sepertinya begitu mengenal tempat ini. Walaupun wajah Ryouta tidak bisa menunjukkan ekspresi apapun, tapi Maria nyaris yakin kalau temannya itu sedang sedih. Seolah-olah seluruh tempat ini membawa kenangan yang tidak ingin diingatnya.
“Ryouta, kau tahu ini tempat apa kan?” tanya Maria sambil berjalan menghampiri android bertubuh besar itu. “Kulihat sejak tadi kau tampak tahu segala sesuatu tentang kompleks bangunan ini.”
Ryouta mengangguk perlahan.
“Ya, aku tahu,” jawabnya singkat.
“Kalau begitu, ceritakan padaku tempat apa ini!” seru Maria dengan penuh semangat. “Benarkah ini dulu tempat manusia bersiap untuk pergi ke bulan? Benarkah mereka dulu bisa terbang lebih cepat dari cahaya? Ayo, beri tahu aku! Kan tujuan kita ke sini untuk itu.”
Ryouta menepuk kepala Maria dengan lembut. Dia lalu menatap ke arah Buggy yang sedang menyusup ke dalam tumpukan kotak logam yang teronggok di sudut ruangan.
“Buggy! Aku dan Maria akan pergi ke belakang, kau periksalah tempat ini, mungkin ada sesuatu yang bisa kau bawa pulang,” ujar Ryouta.
“Hah?! Apa? Itu tidak adil!” protes Buggy sambil merayap keluar dari sebuah kotak. Tapi begitu dia melihat tatapan mata Ryouta, dia langsung berbalik sambil menggerutu. “Ah ... dasar Ryouta suka pilih kasih!”
Ryouta mengabaikan protes Buggy dan menggiring Maria melewati koridor panjang yang setengah runtuh. Beberapa kali Ryouta harus menggunakan tenaganya untuk menyingkirkan potongan tembok atau atap yang menghalangi jalan. Tapi dalam waktu singkat, keduanya berhasil keluar dari gedung dan berhadapan dengan sebuah hutan, yang dulunya adalah sebuah lapangan luas. Beberapa gedung tinggi yang terbuat dari logam masih berdiri kokoh di sana-sini, dan sebuah menara aneh tampak menjulang di kejauhan.
“Wow! Tempat apa ini?” tanya Maria penasaran.
Ryouta memandangi menara tinggi di kejauhan dengan tatapan sedih.
“Itu adalah menara peluncuran pesawat luar angkasa yang membawa anak-anak manusia pergi meninggalkan bumi. Pada jaman dahulu kala, manusia yang putus asa dengan kondisi bumi memutuskan untuk mengirim generasi baru mereka ke luar sana, demi mencari tempat tinggal baru,” ujar Ryouta sambil terus memandangi menara peluncuran yang sudah berkarat itu. “Itu sebabnya proyek ini disebut sebagai Project Starchild, atau proyek anak-anak bintang.”
Maria memandangi Ryouta dengan tatapan tidak percaya. Sejak pertama mengenal Ryouta beberapa belas tahun yang lalu, dia tahu kalau android bermata satu itu sudah berumur sangat tua. Tapi dia tidak pernah tahu seberapa tua umur Ryouta sebenarnya, tapi sekarang dia sadar kalau temannya itu sudah ada sejak jaman sebelum Catastrophy terjadi. Meskipun rasanya mustahil ada mesin yang bertahan selama itu, tapi itulah kenyataannya.
“Jadi ... kau ini ...”
“Mesin sepertiku ini disebut Guardia,” potong Ryouta. “Kau sudah pernah dengar nama itu disebut sebelumnya kan?”
Maria mengangguk. Memang Mother, kakek Tesla, dan Dokter yang ditemuinya setelah insiden dengan kawanan Backpacker pernah menyebutkan nama itu. Tapi dia tidak pernah tahu apa artinya.
“Apa itu Guardia?” tanya Maria penasaran.
“Mesin perang kuno yang dirancang sebagai benteng pelindung umat manusia dari serbuan senjata penghancur massal yang disebut dengan nama ... Machina,” ujar Ryouta sambil mulai berjalan menembus hutan. “Dulu ada banyak mesin seperti ku. Tapi hanya aku yang masih bertahan sampai sekarang.”
Maria baru akan bertanya, tapi Ryouta sudah keburu bicara lagi.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Guardia lainnya,” ujar Ryouta, seolah bisa membaca pikiran Maria. “Mungkin mereka sudah lama mati. Tidur. Atau ... yah ... berubah menjadi robot liar. Biar bagaimanapun, tidak ada mesin yang bisa bertahan tanpa perawatan rutin selama ratusan tahun, terlebih lagi dengan adanya Catastrophy, rasanya sudah tidak ada lagi Guardia di tanah ini. Aku beruntung masih hidup samai sekarang.”
Sembari bicara, tanpa sadar cyber-brain Ryouta memutar ulang rekaman kejadian masa lalunya. Saat-saat ketika dia pertama kali bangun di pabrik pembuatan Guardia. Saat-saat ketika pertama kali dia terjun ke medan perang. Dan saat-saat menyedihkan ketika dia beberapa kali gagal menjalankan tugasnya melindungi manusia dari serbuan Machina. Yang membuat Ryouta tidak tahan bukanlah ingatannya akan kengerian medan perang, melainkan ingatannya akan wajah-wajah gembira dan penuh harap dari orang-orang yang dulu bergantung pada dirinya. Wajah-wajah yang kini tidak akan pernah dia lihat lagi selamanya.
“Ryouta? Kau tidak apa-apa?”
Lagi-lagi suara Maria membangunkan Ryouta dari ingatan masa lalunya.
“Tidak,” sahut Ryouta. “Hanya saja berada di tempat ini membuat cyber-brain ku mengulang kembali rekaman masa lalu. Dan itu ... membuatku merasa ... sedih. Dulu aku pernah gagal melindungi tempat ini dan aku masih menyesalinya sampai hari ini.”
Maria memandangi sosok besar Ryouta dengan tatapan kagum. Dibalik balutan rangka neo-titanium yang sangat kokoh itu, terdapat jiwa lembut yang sudah berumur begitu tua, hingga sulit dibayangkan sudah berapa banyak peristiwa yang disaksikan oleh Guardia kuno itu.
Tanpa sadar Maria langsung berlari memeluk Ryouta dari belakang.
“Ryouta ... maafkan aku,” ujar Maria. “Aku selalu saja membuatmu merasa kesulitan. Bahkan sekarang, aku masih membuatmu mengingat kembali kesedihanmu.”
Ryouta membelai lembut kepala Maria. Inilah yang membuat Ryouta begitu menyayangi Maria. Meskipun gynoid itu suka sekali membuat masalah, tapi sebenarnya Maria adalah robot yang baik. Hanya saja dia belum mengerti di mana tempatnya dalam tatanan masyarakat robot di Bravaga. Itulah yang membuat Maria senang mengganggu robot lain dan membuat kekacauan. Maria tidak lebih dari seorang anak kecil, sama seperti anak-anak manusia yang dulu memenuhi fasilitas Project Starchild ini.
“Sudahlah, ayo kita pergi ke menara peluncuran. Kurasa masih ada beberapa artifak kuno peninggalan manusia yang ditinggalkan disana,” ujar Ryouta sambil melepaskan pelukan Maria dengan lembut.
“Iya, ayo,” sahut Maria sambil tersenyum.
 ****
Seperti ingatan Ryouta lebih dari 500 tahun yang lalu, kondisi menara peluncuran itu tidak banyak berubah. Bangunan yang sepenuhnya terbuat dari campuran neo-titanium dan logam nanokarbon itu masih bertahan menghadapi beratnya cuaca bumi setelah Catastrophy terjadi. Struktur utama bangunan itu masih utuh, hanya saja dinding-dindingnya kini sudah dipenuhi dengan tumbuhan menjalar. Di masa lalu ini adalah bangunan yang sangat megah, tapi kini menara itu tidak lebih dari sebuah bangunan tua yang menjadi saksi bisu kejayaan manusia di masa lampau.
“Ini menakjubkan!” seru Maria sambil berdiri dan mendongak ke atas. “Aku bingung, gimana bisa manusia membayangkan untuk membuat sesuatu seperti ini?”
Ryouta mengangkat kedua bahunya.
“Manusia punya kekuatan imajinasi, sesuatu yang sampai generasimu tidak juga dimilik oleh ras robot. Berkat itu mereka bisa menciptakan bangunan-bangunan hebat seperti ini, dan mesin-mesin menakjubkan seperti diriku,” ujar Ryouta. Dia lalu menambahkan dengan muram. “Sayangnya karena imajinasi itu juga mereka punah.”
Maria menepuk punggung Ryouta untuk memberi semangat.
“Ayo! Kita jelajahi menara ini. Pastinya ada sesuatu yang bisa kita bawa pulang!” seru Maria sambil melangkah masuk ke dalam menara.
Kondisi ruangan di dalam menara nyaris gelap total, tapi berkat sistem pandangan inframerah yang dimiliki Ryouta dan Maria, kegelapan seperti itu bukan masalah. Dengan segera kedua robot itu menjelajahi ruangan-ruangan yang dulu digunakan untuk persiapan peluncuran. Namun tidak banyak yang tersisa. Mesin-mesin canggih yang dulu mengatur seluruh menara ini sudah lama hancur, dan tidak mungkin lagi berfungsi. Barang-barang yang sepertinya dulu digunakan manusia untuk hidup, kini juga sudah nyaris tidak berbentuk karena dimakan usia.
“Rasanya tidak ada apa-apa di sini,” ujar Ryouta sambil membalik sebuah kotak logam berkarat dan menumpahkan isinya yang sudah menjadi pasir. “Ayo kita kembali ke gedung utama saja. Mungkin Buggy menemukan sesuatu yang menarik.”
Maria memandangi Ryouta dengan perasaan kecewa. Tapi dia lalu melihat sebuah pintu yang sedari tadi luput dari pandangannya, karena pintu itu setengah tertutup oleh reruntuhan langit-langit yang terbuat dari beton. Sekilas dia bisa membaca tulisan ‘Ruang Dokumentasi’ di pintu logam berkarat itu.
“Hei, itu pintu apa?” seru Maria sambil menunjuk ke arah pintu yang dia maksud.
Ryouta langsung menoleh dan menyadari kalau masih ada satu tempat yang belum mereka jelajahi. Tanpa berkata apapun, dia langsung bertindak dan menyingkirkan reruntuhan yang menghalangi jalannya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk melakukan itu.
“Nah, ayo kita buka pintunya,” ujar Ryouta sambil mengulurkan tangan dan menjebol pintu logam berat itu dengan satu sentakan kuat. Begitu pintu di depannya sudah terbuka, dia lalu mundur dan membiarkan Maria masuk terlebih dahulu.
“Ryouta! Ini hebat!”
Ryouta mendengar seruan Maria dari dalam ruangan dan bergegas masuk mengikuti gynoid itu. Begitu sampai di dalam, dia tertegun melihat deretan rak-rak berisi ratusan buku dan kristal memori yang masih tersimpan begitu raih. Rupanya sejak ditinggalkan oleh manusia ratusan tahun yang lalu, ruangan ini tertutup rapat dan kedap udara, sehingga apapun yang ada di dalamnya masih bertahan dari ganasnya iklim bumi saat Catastrophy melanda.
“Ini ... luar biasa,” gumam Ryouta sambil mengambil sebuah kristal memori dari dalam sebuah kotak logam. “Aku tidak menyangka benda-benda seperti ini masih utuh.”
Maria memandangi kristal mungil di tangan Ryouta dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Apa isinya?” tanya Maria.
“Aku tidak tahu,” jawab Ryouta jujur. Dia lalu memandang ke segala arah dan menemukan sebuah komputer kuno, yang bisa membaca isi kristal memori yang dia pegang. “Kuharap komputer kuno itu masih bisa dipakai.”
“Kalau begitu, tunggu apalagi?”
Tanpa menunggu persetujuan Ryouta, Maria tahu-tahu sudah membongkar mesin kuno itu dan memeriksa bagian-bagiannya. Sepertinya komputer kuno, yang masih lengkap dengan unit proyeksi layar holografisnya itu, masih benar-benar utuh. Hanya saja tidak ada sumber energinya, hingga tidak bisa dinyalakan. Masalah itu tentu saja mudah diatasi saat Ryouta mengeluarkan kabel energi dari tubuhnya dan menyambungkannya ke catu daya komputer itu.
Butuh waktu beberapa menit sampai komputer berusia ratusan tahun itu untuk menyala kembali. Tapi penantian Ryouta dan Maria terbayarkan ketika melihat komputer kuno itu masih berfungsi dengan baik.
“Ayo! Ayo! Masukkan kristalnya!” Maria berseru penuh semangat selagi Ryouta memasukkan kristal memori yang dia pegang ke slot khusus di komputer tua itu.
Selama beberapa menit, komputer kuno itu berjuang membaca data yang tersimpan dalam kristal memori yang terhubung ke mesin pembacanya. Kemudian, sebuah rekaman video muncul di salah satu layar holografis yang melayang di atas unit komputer. Awalnya hanya satu, tapi kemudian layar-layar itu bertambah hingga jumlahnya puluhan buah. Masing-masing layar itu memutar rekaman video yang berbeda-beda, tapi ada kesamaan di antara rekaman-rekaman kuno itu, yaitu semuanya menampilkan sosok anak manusia yang sedang bicara dengan berbagai bahasa manusia. Mereka semua tampak gembira dan beberapa tidak henti-hentinya tertawa selagi bicara di hadapan kamera yang merekam perkataan dan ekspresi wajah mereka.
“Ini ... luar ... biasa ...” Maria nyaris tidak bisa berkata-kata ketika menyaksikan rekaman-rekaman video itu.

 
(Illustration by Sinlaire)


Dia lalu menoleh ke arah Ryouta dan melihat android besar itu berdiri mematung sambil memandangi salah satu layar holografis yang melayang di hadapannya. Berbeda dengan video lainnya, video yang ini menampilkan sosok seorang anak yang berada di pangkuan seorang wanita. Di belakang wanita itu, berdiri seorang pria yang juga tersenyum ke arah kamera.
“Ryouta, kalau kau melihat rekaman ini, mungkin kami berdua sudah tidak ada.” Sang wanita dalam rekaman meraih wajah sang pria yang berdiri membungkuk di belakangnya. Dia lalu ganti menunduk dan membelai lembut rambut anak perempuan di pangkuannya. “Tapi mungkin ... mungkin saja anak kami ini masih bertahan hidup, dan mungkin berhasil sampai di bintang baru, dan menempati rumah barunya. Dan kalau harapan kami memang terwujud, kami merasa perjuangan kami selama ini sama sekali tidak sia-sia.”
Selama beberapa saat, pasangan di dalam rekaman video itu terdiam dan saling pandang.
“Kami tidak pernah sempat berterima kasih kepadamu. Berkat dirimu dan Guardia lainnya, kami dan semua anak-anak yang menjadi harapan masa depan kami bisa bertahan sampai sekarang.” Sejenak wanita di dalam rekaman video itu kembali terdiam. “Kami juga harus minta maaf karena dengan seenaknya, kami meninggalkanmu sendirian di bumi. Kami juga minta maaf karena selama ini telah bergantung pada perlindunganmu dan selalu berharap kau berdiri di depan kami sebagai benteng pertahanan.”
Tiba-tiba percakapan terputus karena di dalam rekaman itu terdengar suara ledakan keras, dan seluruh rekaman terlihat berguncang keras. Menyadari mereka dalam bahaya, sang lelaki dalam rekaman mengambil alih kamera dan mengarahkannya ke wajahnya.
“Ryouta, aku tidak tahu kapan para Machina itu akan sampai ke tempat ini. Yang jelas tidak lama lagi mereka akan menembus baris pertahanan akhir, dan akhirnya sampai ke menara peluncuran. Kalau itu sampai terjadi, maka semuanya akan sia-sia,” ujar sang lelaki sambil sesekali menoleh ke arah sang wanita dengan tatapan khawatir. “Untuk itu, sekali lagi kami akan bergantung pada perlindunganmu. Aku yakin tanpa kami minta, kau pasti akan terjun ke hadapan mereka dan melindungi kami.”
Segera setelah mengatakan itu, sang lelaki meletakkan kameranya kembali ke tempatnya. Rekaman video kuno itu kini menunjukkan sosok sang lelaki dan wanita yang sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan mereka bawa, entah ke mana. Tapi selagi keduanya sibuk berkemas, sang anak perempuan berjalan mendekati kamera dan menatap ke arah kamera dengan tatapan heran.
“Halo?” ucapnya dengan polos. “Halo robot putih? Kata mama dan papa kita mau pergi ke bulan. Tapi aku sedih karena robot putih tidak bisa ikut. Papa bilang robot putih enggak muat masuk roket, jadi robot putih harus tinggal di rumah.”
Sejenak anak kecil itu berhenti bicara, kemudian menunjukkan sebuah boneka yang wujudnya mirip sekali dengan sosok Ryouta di masa lalu.
“Tapi biar aku ingat terus dengan robot putih, mama ngasih aku ini,” ujarnya sambil tersenyum lebar ke arah kamera. “Jadinya biar robot putih enggak ikut, aku jadi enggak kesepian. Robot putih juga biar enggak kesepian, kukasih ini ya.”
Anak kecil itu lalu ganti menunjukkan sebuah boneka anak perempuan di tangannya yang lain, kemudian menggoyangkan benda itu di depan kamera. Tapi sebelum anak itu sempat bicara lagi, kamera sudah berpindah mengarah kembali ke wajah sang lelaki.
“Kami harus pergi sekarang. Barusan ada kabar beberapa Machina berhasil menembus gerbang timur dan akan sampai di sini sebentar lagi. Sudah tidak ada waktu lagi,” ujar lelaki itu dengan nada terburu-buru. “Maafkan kami dan selamat tinggal, Ryouta.”
Dan rekaman video itu pun putus sampai di situ.
“Ryouta ...” Maria bergumam lirih sambil meraih sebelah tangan Ryouta dan menggenggamnya dengan erat. Dia tahu temannya itu sangat mengenal sosok manusia-manusia yang terekam dalam video barusan. Meskipun tidak bisa menampakkan ekspresi apapun, tapi Maria yakin Ryouta sedang mengalami kesedihan yang mendalam.
“Ryouta, apa kau baik-baik saja?” ujar Maria lagi.
Ryouta menoleh ke arah gynoid itu dan mengelus kepalanya dengan lembut.
“Aku tidak apa-apa,” ujarnya sambil memandang sekilas ke arah layar-layar holografis yang masih memutar berbagai rekaman video di sekitarnya. “Ini sepertinya rekaman video kenangan dari anak-anak yang dikirim ke luar angkasa. Aku tidak tahu benda-benda seperti ini masih utuh sampai sekarang. Kupikir semuanya sudah musnah waktu ...”
Ucapan Ryouta terputus ketika melihat sesuatu dalam kotak tempat dia menemukan kristal memori barusan. Benda itu tidak lain adalah sebuah boneka kain kecil yang setengah tertimbun oleh tumpukan kristal-kristal memori lainnya. Ketika mengangkat benda mungil itu, mata Ryouta terbelalak lebar karena menyadari itu boneka yang sama seperti yang baru saja terlihat di rekaman video barusan.
Melihat boneka itu, Ryouta kembali terdiam. Dia tidak mampu berkata apapun. Cyber-brain canggihnya mendadak seperti baru saja kena hubungan arus pendek. Berbagai ingatan akan sang anak yang dia lihat di rekaman video barusan kembali terulang dalam benak Ryouta. Dalam ingatannya yang begitu jelas itu, Ryouta menyaksikan sebuah pesawat luar angkasa yang harusnya dia lindungi, berubah menjadi bola api membara saat sebuah Machina menembak jatuh pesawat itu. Saat itu juga, sang Guardia tua jatuh berlutut di lantai dengan suara keras. Saat itu juga sang pelindung tua ingin sekali dirinya dibekali kemampuan untuk menangis seperti Maria, supaya dia bisa menunjukkan betapa dia telah kehilangan terlalu banyak hal.
“Maafkan aku! Aku telah gagal melindungi kalian!” seru Ryouta sambil meringkuk di lantai. “Maafkan aku!”
Menyaksikan sosok besar Ryouta yang meringkuk sambil memeluk boneka kecil di tangannya membuat Maria terkejut. Tanpa sadar dia langsung menghampiri temannya itu dan memeluknya dengan lembut.
“A ... aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi yang kutahu, kau tidak perlu sedih. Itu semua sudah berlalu,” ujar Maria sambil terus memeluk tubuh besar Ryouta. “Aku tidak tahu seperti apa masa lalumu, tapi aku yakin dulu Ryouta sama seperti Ryouta saat ini, seorang pelindung. Tanpa dirimu, mungkin aku sudah lama mati. Sudah tidak terhitung berapa kali kau menyelamatkanku, Ryouta.”
Maria kembali mengingat-ingat sejak pertama kali dia bertemu Ryouta, dia selalu membuat masalah dan segalanya hampir selalu berakhir dengan sosok android bermata satu yang berlari menyelamatkan dirinya. Maria tidak tahu apa yang ada dalam benak Ryouta saat ini, tapi yang dia tahu, android itu begitu menyayangi sosok-sosok yang dilihatnya dalam video tadi hingga dia begitu sedih saat menyadari mereka semua sudah lama sekali tiada.
Saat itu Maria membayangkan kesedihan yang akan melandanya, bila suatu hari kelak Ryouta ataupun Buggy sudah tidak ada bersamanya lagi. Perasaan itulah yang membuat Maria merasa dia memahami apa yang dirasakan Ryouta saat ini.
Tanpa sadar Maria meneteskan air matanya dan mulai menangis bersama Ryouta. 
****
“Hei! Kalian ini ke mana saja sih? Tidak tahu aku sedang sibuk sendirian di tempat seluas ini?”
Buggy berseru protes saat melihat Ryouta dan Maria akhirnya muncul setelah menghilang cukup lama. Awalnya dia mau marah, tapi melihat tumpukan kotak yang dibawa keduanya, rasa penasarannya langsung muncul seketika.
“Apaan tuh?” tanyanya sambil merayap mendekati Ryouta dan Maria.
“Kristal-kristal memori,” sahut Maria sambil tersenyum lebar. “Ada entah berapa banyak benda seperti ini di menara peluncuran di belakang sana. Pokoknya tempat ini penuh dengan harta karun sejarah ras manusia!”
Mendengar perkataan Maria, kedua mata Buggy langsung berbinar-binar.
“Benarkah?” ujarnya kagum, kemudian seperti anak kecil, Buggy melompat-lompat kegirangan. Sesuatu yang sebenarnya terlihat absurd, mengingat robot itu memiliki bentuk seperti seekor serangga raksasa. “Ayo! Ayo kita ke sana lagi! Tunjukkan padaku tempatnya!”
Maria balas tersenyum, kemudian menyodorkan kotak-kotak yang dia bawa ke arah Ryouta.
“Nih pegang dulu, aku mau menunjukkan tempat tadi pada Buggy,” ujarnya dengan riang. Tapi sebelum pergi, Maria berbisik pelan ke arah Ryouta. “Kau tidak perlu sedih lagi, ada aku sekarang di sisimu.”
Segera setelah seesai bicara, Maria berlari pergi disusul oleh Buggy yang terbang di samping gynoid berambut hitam itu. Keduanya dengan cepat menghilang dibalik kerimbunan hutan yang membatasi jalan menuju menara peluncuran, dan meninggalkan Ryouta yang berdiri seorang diri.
Ryouta menghela nafas panjang kemudian mendongak menatap langit biru berawan jauh di atas sana.
Aku tidak tahu di mana kalian berada sekarang, tapi kalau kalian berhasil selamat dan mencapai rumah baru, kuharap kalian semua hidup dengan damai, gumam Guardia tua itu dalam hati. Dan sampai generasi baru penerus kalian kembali, aku akan terus menunggu kalian di sini.
****
-Fin?-

red_rackham 2013


Comments

Unknown said…
Saya mau nangis habis baca ini...