[Tantangan Kencan Fantasi]: Cinta Tak Kenal Batas
Gie
Yume berlari dengan langkah ringan menyusuri lorong istana. Gadis
bertubuh mungil itu sedang merasa sangat gembira hari ini. Senyum manis
terus tersungging di wajahnya yang cantik, meski terlihat kekanakan.
Ekor Gie yang panjang dan berbulu lembut tidak henti-hentinya bergoyang
ketika dia berlari.
Ketika
Gie berlari menyusuri lorong istana, semua yang berpapasan dengannya
langsung memberi hormat sambil menyapa dengan sopan. Gie segera membalas
hormat mereka dengan senyuman manisnya, tapi dia sama sekali tidak mau
memperlambat langkahnya.
Dia tidak mau sampai melewatkan salah satu saat-saat terbaik yang sudah tidak tunggu-tunggu selama beberapa hari ini.
Tidak
butuh waktu lama sampai putri Kerajaan Gilvana itu tiba di pintu
gerbang istananya. Di tempat itu rupanya sudah berkumpul para prajurit
dan ksatria kerajaan yang mengenakan armor
lengkap, serta memegang panji-panji kerajaan. Mereka semua berbaris
berjajar di sisi kiri dan kanan jalan utama kastil. Diantara barisan
itu, terlihat pula beberapa orang ksatria elit kerajaan yang duduk
dengan gagah di atas kuda perang mereka.
Ketika Gie datang, seorang ksatria elit bertubuh besar tampak menghampiri gadis itu.
“Apa mereka sudah datang?” seru Gie pada ksatria itu.
“Belum. Anda datang tepat waktu, tuan putri,” ujar ksatria itu sambil menundukkan kepalanya dengan penuh hormat.
Gie langsung bersorak gembira.
“Bagus!”
Dia lalu memandangi barisan ksatria dan prajurit di hadapannya, kemdian
gadis itu bertanya lagi pada si ksatria. “Ehm....dimana tempat aku bisa
melihat iring-iringan nanti?”
Sang ksatria elit langsung melambaikan tangannya ke arah sebuah kuda perang yang tampak tanpa penunggang.
“Saya
sudah mempersiapkan tunggangan untuk anda, tuan putri,” ujar ksatria
elit itu sambil tersenyum ramah. “Anda pasti bisa melihat sosok yang
anda kagumi lebih jelas, kalau anda menunggangi kuda saya.”
“Terima kasih!”
Gie
segera berlari menghampiri kuda perang itu dan langsung menaikinya,
tentu saja dengan dibantu oleh seorang prajurit yang memegangi tali
kekang kuda tersebut.
Tepat
ketika sang putri menaiki kuda perangnya, suara terompet kerajaan
bergema di seluruh istana. Gie langsung menoleh ke arah gerbang istana
dan melihat iring-iringan prajurit dan ksatria datang memasuki istana.
Mereka semua tampak lelah dan beberapa bahkan terluka, tapi wajah para
prajurit dan ksatria itu tetap terlihat tegar. Bahkan ekspresi lega,
gembira dan bangga terlukis di masing-masing wajah mereka karena telah
berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik.
Pasukan
itu adalah pasukan yang dikirim untuk menumpas gerombolan bandit gunung
yang sudah meresahkan warga di sisi Utara Kerajaan Gilvana. Tapi kini
gerombolan bandit itu sudah tinggal sejarah karena Satuan Silveria,
pasukan elit Kerajaan Gilvana, telah menghabisi sebagian besar dari
mereka.
Sambil
mengamati iring-iringan pasukan itu, Gie mencari-cari sosok yang telah
dia tunggu-tunggu selama beberapa hari. Tidak sulit bagi putri itu untuk
menemukannya, karena sosok yang dia cari itu adalah seorang ksatria
muda yang mengenakan armor berwarna hitam.
Sosok ksatria muda itu terlihat gagah diatas kuda perangnya, yang juga mengenakan armor
serba hitam. Sebilah pedang tampak terselip di sabuk pinggangnya,
sementara sebuah kapak perang tergantung di sisi kiri kuda perang sang
ksatria. Ekspresi wajah ksatria muda itu memang terlihat keras, tapi
tatapan matanya tampak lembut.
“Bing~!!”
Gie
berseru pada sang ksatria muda sambil melambaikan tangannya. Ketika Gie
berseru, kuping kucing sang ksatria muda itu langsung bergerak. Dia
lalu tersenyum tipis ke arah Gie, tapi ksatria bernama Bing itu terus
berderap dengan kudanya menuju ke arah halaman aula utama.
Ketika
melihat sosok Bing yang tampak sehat, tanpa luka sedikitpun, Gie
langsung bersyukur pada para Dewa. Dia bersyukur karena sosok ksatria
yang dia kagumi, dan dia cintai itu, kembali dari medan pertempuran
dengan selamat.
Perlahan-lahan Gie menyentuh liontin yang dia kenakan di balik gaunnya.
Syukurlah kau kembali dengan selamat, Bing, ujar Gie dalam hati.
Bing
Babyshark berlutut di hadapan Raja Kerajaan Gilvana. Ksatria muda itu
baru saja kembali dari misi yang diberikan kepadanya, untuk mengamankan
wilayah Utara kerajaan dari para bandit gunung. Tentu saja dia berhasil
menjalankan misinya dengan baik, terutama berkat bantuan rekan-rekan
terlatihnya yang gagah berani.
“Jadi...kau berhasil menumpas mereka semua?” tanya sang Raja pada Bing.
Kuping kucing ksatria muda itu sempat menegak sejenak, lalu terkulai lagi.
“Maafkan
hamba paduka. Hamba berhasil menumpas sebagian besar anggota bandit
gunung itu beserta pimpinannya. Namun...” Bing berhenti sejenak karena
ragu, tapi akhirnya dia memberanikan diri untuk melanjutkan
perkataannya. “....namun hamba gagal menghabisi beberapa orang penting
dari kelompok bandit itu. Hamba sudah menyuruh beberapa orang pemburu,
penjaga hutan dan ksatria elit untuk memburu mereka. Tapi sampai
sekarang kami belum bisa menemukan mereka.”
Sang Raja yang sudah berumur cukup tua langsung mengelus janggut hitamnya.
“Begitu?
Tidak masalah. Mereka akan tertangkap dan berakhir di panggung eksekusi
tidak lama lagi. Hanya masalah waktu saja,” ujar sang Raja sambil
berdiri dari singgasananya. Dia lalu berjalan turun dan menghampiri Bing
sambil menepuk bahu ksatria itu. “Berdirilah! Kau sudah menjalankan
misimu dengan baik. Kabarkan pada rekan-rekanmu. Mereka akan diberi
imbalan yang pantas dan diperbolehkan bersenang-senang sampai 2 minggu
ke depan. Nah. Sekarang kau boleh beristirahat.”
Ksatria Bing segera berdiri perlahan-lahan dan menatap wajah sang Raja yang berdiri di hadapannya.
“Terima
kasih banyak, Yang Mulia!” ujar Bing. Dia lalu memberi hormat kepada
sang Raja, kemudian berbalik dan meninggalkan ruang singgasana raja.
Tapi
ksatria itu baru saja berjalan keluar ruangan beberapa langkah, ketika
seseorang menubruknya dari belakang. Tentu saja karena dia sedang
mengenakan baju baja, orang yang telah menabraknya itulah yang
kesakitan.
“Aduuuh~~!”
Bing
langsung berbalik dan mendapati sosok yang begitu dia kenal, sedang
duduk di lantai. Sosok itu tidak lain adalah Gie Yume, putri Kerajaan
Gilvana. Melihat sang putri tampak sedang kesakitan, Bing langsung
khawatir.
“Anda tidak apa-apa tuan putri?” tanya Bing.
Pertanyaan
Bing justru membuat Gie langsung merengut. Begitu melihat ekspresi
wajah sang putri, Bing sang ksatria muda langsung tersenyum.
“Kamu tidak apa-apa, Gie?” tanya Bing lagi.
Kali
ini ucapan Bing langsung membuat Gie balas tersenyum lebar. Putri itu
segera berdiri dan memeluk tubuh ksatria yang ada di hadapannya.
“Bing! Syukurlah kau kembali dengan selamat!” seru Gie dengan penuh rasa lega.
“Aku pulang, Gie,” balas Bing dengan lembut sambil menepuk kepala sang putri.
Gie
tersenyum girang dan mengibaskan ekornya. Gadis itu lalu melepaskan
pelukannya dan memandangi sosok Bing yang masih mengenakan baju
perangnya. Selama beberapa detik, dia terdiam.
“Bing. Apa besok kau ada waktu luang?” tanya Gie dengan penuh harap.
“Tentu
saja. Yang Mulia memberi kami waktu istirahat sampai 2 minggu ke depan.
Jadi tentu saja aku ada cukup waktu luang,” balas Bing. Dia lalu
menambahkan sambil mengedipkan sebelah matanya. “Dan tentu saja aku akan
selalu punya waktu luang untukmu.”
Wajah
Gie langsung memerah karena malu dan gadis itu meninju dada Bing, tapi
dia langsung mengaduh kesakitan karena tinjunya menghantam baju baja
sang ksatria. Tapi putri bertubuh mungil itu lalu berjalan mundur
menjauhi Bing.
“Kalau
begitu, aku akan menemuimu besok pagi di Aula Ksatria. Jangan lupa
kenakan pakaian terbaikmu!” seru sang putri sebelum berbalik dan berlari
kecil meninggalkan Bing sendirian. Ekor Gie yang berbulu lembut tidak
henti-hentinya bergoyang ketika dia berlari.
Bing
hanya bisa tersenyum melihat tingkah sang putri. Tapi senyuman Bing
perlahan-lahan memudar. Gie memang sosok yang bisa membuat semua orang
terpana dan terpikat, termasuk dirinya. Sejak Bing diangkat menjadi
Ksatria Elit di Satuan Silveria dan ditempatkan di istana, dirinya sudah
jatuh cinta pada sang putri. Hanya saja ada masalah yang membuat
ksatria muda itu tidak berani menyatakan cintanya pada Gie, selain
statusnya tentu saja.
Masalah
itu pula yang membuat Bing merasa tidak pantas untuk dicintai oleh Gie.
Tapi sayangnya dia tidak bisa menipu dirinya sendiri. Dia sangat
mencintai Gie dan bahkan rela mengorbankan nyawanya sendiri bagi sang
putri.
Apa yang sebaiknya kulakukan, Gie....gumam Bing dalam hati.
****
“Bing!” Gie berseru dengan nada jengkel. Kuping dan ekornya terangkat tegak menandakan kalau dia memang sedang kesal.
“Apa?” balas Bing singkat.
“Kan
aku sudah menyuruhmu memakai pakaian terbaikmu! Kenapa kau malah
berpakaian seperti itu?” seru Gie lagi sambil menunjuk ke arah Bing.
“Ini kan salah satu pakaian terbaik yang aku punya,” kilah Bing.
Sebenarnya perkataan Bing tidak salah juga. Saat ini dia sedang mengenakan setelan baju dilengkapi armor
ringan yang biasa dia kenakan sehari-hari. Penampilan Bing sebenarnya
cukup untuk membuat para gadis berseru kagum, tapi tidak dengan Gie.
Putri itu malah jengkel karena Bing tetap berkeras mengenakan baju
bajanya, lengkap dengan pedang kebanggannya. Padahal Gie sendiri sudah
mengenakan salah satu setelan baju favoritnya demi menyenangkan Bing.
“Ya
sudahlah! Ayo kita pergi!” ujar Gie pada akhirnya. Dia lalu menarik
tangan Bing dan memaksa ksatria muda itu untuk mengikutinya.
Keduanya
lalu berjalan menuruni bukit, tempat istana Kerajaan Gilvana berdiri,
menuju ke arah kota yang terletak tidak jauh dari sana. Langkah Gie yang
ringan dan cepat membuat Bing terpaksa mempercepat langkahnya juga
untuk mengimbangi sang putri.
Suasana
kota pagi itu sama seperti biasanya. Ramai. Jalanan utama kota Tiernog
seperti biasanya dipenuhi oleh berbagai macam orang yang lalu lalang.
Kereta kuda dan karavan sesekali melintas di jalanan ibukota Kerajaan
Gilvana itu. Deretan pertokoan tampak berjejer rapi di sisi jalan dan
berbagai jenis pedagang asongan sesekali terlihat menggelar dagangannya
di tepi jalan.
Wajah
Gie tampak gembira dan putri kerajaan itu sesekali berhenti di depan
toko atau gerobak pedagang asongan yang ada di sisi jalan. Dia tampak
tertarik dengan berbagai macam barang yang ditawarkan oleh para
pedagang.
“Bing!
Coba lihat ini!” Gie berseru sambil mengangkat sebuah benda yang dijual
di sebuah kios kecil. Bing mengernyit ketika melihat benda itu. Benda
yang diangkat putri Gie adalah awetan kepala troll yang diciutkan hingga hanya sebesar kepalan tangan.
“Ugh....jelek sekali...” celetuk Bing.
“Benarkah?
Menurutku ini cukup keren,” balas Gie sambil mengamati barang
mengerikan itu tanpa rasa takut sama sekali. “Kata penjualnya ini bisa
membawa keberuntungan bagi yang menyimpannya.”
Yang benar saja, celetuk Bing dalam hati, sambil melirik ke arah penjual benda mengerikan itu dengan tatapan tidak percaya.
Bing
mendesah. Putri Gie memang adalah sosok yang cantik, menawan, ceria dan
baik hati. Hanya saja selera sang putri memang tidak wajar. Gie selalu
menyukai benda-benda eksotis yang seringkali tampak sangat mengerikan di
mata orang lain.
Kamar
putri Kerajaan Gilvana itu saja dipenuhi oleh terlalu banyak
benda-benda menyeramkan, hingga daripada kamar seorang putri, kamar Gie
lebih mirip kamar seorang Necromancer. Dan harus Bing akui, beberapa barang yang disimpan di kamar Gie memang peralatan ritual Necromancer atau Warlock sungguhan. Tentu saja para Necromancer dan Warlock
kerajaan sudah menyegel atau menghapus kekuatan sihir di benda-benda
ritual itu, sebelum merelakan benda-benda itu diminta oleh putri Gie.
Mereka sangat menyayangi putri kerajaan mereka itu dan tidak mau sesuatu
yang buruk terjadi padanya, terutama dikarenakan selera sang putri yang
memang tidak normal.
“Bing! Sudah kuputuskan!”
Tiba-tiba Gie berseru dan membuat Bing terkesiap.
“Aku akan memberikan ini sebagai hadiah karena kau sudah pulang dengan selamat!”
Gie tersenyum lebar sambil menyodorkan awetan kepala troll
yang dia pegang ke arah Bing. Meski sambil mengernyitkan dahi, Bing
terpaksa menerima hadiah mengerikan itu. Dia tidak mau mengecewakan sang
putri dengan menolak pemberiannya.
“Terima
kasih tuan putri....hamba tersanjung sekali....” ujar Bing sambil
menunduk hormat. Sekilas mata ksatria muda itu melirik ke arah awetan di
tangannya, sementara kuping kucing dan ekor panjangnya terkulai lemas.
Selama beberapa detik, Bing mengendus awetan itu dengan hidungnya yang
peka, berusaha mencium kalau-kalau ada sesuatu yang salah dengan benda
itu. Tapi dia tidak mencium apapun selain wangi rempah-rempah bercampur
balsam yang digunakan untuk mengawetkan kepala troll itu.
Jangan sampai benda ini hidup nanti malam dan mencoba menggigit leherku! Bing menggerutu dalam hati.
Dia
memang pernah mengalami hal semacam itu, ketika Gie memberinya awetan
hewan besar yang mirip seekor macan kumbang, hanya saja dengan tubuh
dipenuhi duri tajam. Awetan hewan itu tiba-tiba saja jadi hidup suatu
malam dan nyaris menghabisi nyawa Bing, kalau saja dia tidak sengaja
terbangun malam itu.
Selesai
memberi Bing hadiah yang cukup mengerikan, Gie lalu mengajak ksatria
muda itu berkeliling kota. Seperti layaknya seorang gadis, Gie
berkali-kali berhenti di toko aksesoris dan pakaian. Gadis itu terlihat
bahagia sekali karena bisa menghabiskan waktunya bersama sosok yang dia
kagumi, dan dia cintai. Bing juga begitu. Dia juga sangat menikmati
saat-saat seperti ini, ketika dia dan Gie menghabiskan waktu bersama.
Tapi
karena terlalu gembira, Bing tidak menyadari kalau putri Gie sudah
mengajaknya berjalan melalui wilayah berbahaya di kota Tiernog. Meskipun
ibukota kerajaan itu pada dasarnya adalah tempat yang damai dan aman,
tapi seperti halnya semua kota di dunia, selalu saja ada satu-dua bagian
kota yang sebaiknya tidak dikunjungi. Bing segera menyadari hal itu
ketika melewati sebuah bar yang terlihat kumuh.
“Gie!” seru Bing sambil menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Gie kebingungan.
“Tempat
ini tidak aman untukmu. Sebaiknya kita pergi secepatnya dari sini,”
ujar Bing sambil berjalan cepat mendekati Gie. Kedua kupingnya tampak
sibuk bergerak-gerak untuk menangkap suara apapun yang terdengar
mencurigakan.
“Kenapa memangnya dengan tempat ini?” tanya Gie lagi.
“Tempat
ini berbahaya. Ini adalah daerah ‘hitam’ di kota Tiernog. Ada banyak
penjahat berkeliaran di tempat ini. Bahkan para ksatria enggan masuk
sendirian ke daerah ini,” ujar Bing dengan nada tinggi. “Ayo!”
Tapi
sebelum keduanya sempat berjalan terlalu jauh, tiba-tiba sesosok pria
berwajah mirip gorila dan berlulu lebat menghalangi jalan. Begitu
melihat pria itu, Bing langsung tahu kalau dirinya sedang dalam masalah.
Bing
segera berbalik dan menarik tangan Gie, tapi jalan lainnya juga sudah
dihadang oleh para pria bertampang sangar. Total ada 6 orang yang
menghadang Bing dan Gie dan jelas mereka sama sekali tidak bermaksud
baik. Di tangan masing-masing orang itu sudah tergenggam sebilah pedang.
Bing sendiri sedari tadi sudah mencabut pedangnya dan mengacungkannya
di depan wajahnya.
“Minggirlah!
Aku tidak ingin ada masalah disini!” seru Bing dengan nada tegas kepada
orang-orang yang mengepungnya. “Apa kalian tidak tahu aku adalah
Ksatria dari Satuan Silveria? Kalau kalian tidak mau mati, menyingkirlah
sekarang dan sarungkan pedang kalian!”
Alih-alih ketakutan, orang-orang yang mengepung Bing dan Gie justru tertawa terbahak-bahak.
“Justru
karena tahu kau adalah Ksatria Satuan Silveria kami mengepungmu,” geram
salah seorang dari pada pengepung Bing dan Gie. “Kau pikir kau bisa
bebas begitu saja setelah kau menghancurkan kelompok kami?! Kami akan
memburumu sampai ke ujung dunia kalau perlu!”
Bing
memicingkan matanya dan mengubah kuda-kudanya. Dia tahu sekarang
dirinya sedang berhadapan dengan siapa. Orang-orang ini sepertinya
adalah sisa-sisa bandit gunung yang baru-baru ini berhasil dia tumpas
bersama satuannya. Rupanya mereka mengejar Bing dan satuannya hingga ke
ibukota untuk membalas dendam.
Gawat....ini tidak bagus! ujar Bing dalam hati.
“Jadi
kalian berniat balas dendam?” ujar Bing sambil sekilas melirik ke arah
Gie. Putri kerajaan itu tampak ketakutan dan bersembunyi di balik Bing.
“Biar kuperingatkan. Sebelum kepala kalian menggelinding di tanah, lebih
baik kalian semua pergi, lalu berhentilah menjadi penjahat!”
“Mengancam
kami? Hah! Itu tidak akan berhasil!” seru si manusia berwajah gorila
sambil mengangkat pedang besarnya. “Bunuh ksatria sial ini, lalu kita
bisa jual wanitanya ke pasar budak!”
“Bing!!” Gie berseru ketakutan ketika melihat lawan-lawannya menerjang maju.
Bing
sendiri langsung melompat maju ke arah salah satu lawannya dan
mengayunkan pedangnya. Darah langsung menyembur ketika pedang Bing
menebas tubuh lawannya itu. Tanpa berhenti, Bing melanjutkan
serangannya. Bagaikan menari, Bing mengayunkan pedangnya dan menebas
lawan-lawannya. Dalam waktu singkat tiga orang bandit gunung yang
mengepungnya sudah terkapar tidak bernyawa di tanah.
Tapi
karena terlalu sibuk menyerang dan mempertahankan diri, Bing melupakan
sosok Gie yang ada di dekatnya. Akibatnya seorang lawannya berhasil
menyelinap dan menjadikan sang putri sebagai sandera.
“Jangan bergerak atau leher wanita ini akan kugorok!” seru bandit yang menyandera Gie.
Bing
langsung menoleh ke arah Gie dan terkejut bukan main. Tapi gara-gara
itu dia jadi lengah. Salah seorang lawannya memanfaatkan kesempatan itu
dan berhasil menahan pedang Bing, lalu menendang tubuh ksatria muda itu
cukup keras hingga dia terlempar ke dinding.
“Agh!!”
jerit Bing kesakitan. Ksatria itu berusaha bangkit dengan segera,
sayangnya salah seorang bandit gunung yang menyerangnya segera
mengacungkan pedangnya ke leher Bing.
“Kena
juga kau!!” seru bandit yang mengacungkan pedangnya. Pria bertubuh
kekar itu tampak gembira karena telah berhasil memojokkan lawannya.
“Tenang saja. Aku tidak akan membunuhmu cepat-cepat. Aku ingin kau
menderita dulu sebelum mati!”
Bing
memandangi lawannya itu dengan tatapan tajam. Dia sebenarnya tidak
takut dengan ancaman sang bandit, hanya saja ksatria itu tidak mau Gie
yang sedang disandera mengalami luka karena perlawanannya.
“Bing! Hajar dia! Jangan khawatirkan aku!”
Putri
Gie berseru nyaring tanpa memperdulikan posisinya yang sedang terjepit.
Bing terkejut karena melihat sang putri tampak tidak takut dengan bilah
pedang yang menempel di lehernya.
“Tapi!” balas Bing ragu.
“Jangan
macam-macam!! Kau mungkin bisa lolos, tapi wanitamu tidak akan lolos!”
ancam bandit yang memojokkan Bing. “Sekarang jatuhkan pedangmu atau
temanku akan menggorok leher wanita itu!”
Bing
mengepalkan tangan karena geram, tapi akhirnya dia menyerah. Biar
bagaimanapun lebih baik dia mati daripada membiarkan Gie terluka. Bing
baru saja akan menyerah ketika hembusan angin lembut tiba-tiba saja
bertiup berputar di sekitarnya. Dengan heran ksatria muda itu mengikuti
arah datangnya angin dan terkejut bukan main, ketika melihat tubuh putri
Gie bercahaya.
Bandit
yang menyandera Gie tampak kaget dan bingung setengah mati. Tapi berkat
itu, pedang yang tadinya tertempel di leher sang putri, kini bergeser
sedikit. Kesempatan itu dimanfaatkan Gie dengan sebaik-baiknya.
“Wahai angin! Jadilah sekutuku dan hempaskan musuh-musuhku!!”
Gie
berseru nyaring dalam bahasa yang tidak dikenal Bing. Sedetik kemudian
tubuh sang putri diselimuti tornado mini yang membuat semua bandit yang
ada disekitarnya beterbangan bagaikan dedaunan. Tubuh mereka terhempas
ke segala arah dan semuanya langsung tidak sadarkan diri ketika mendarat
dengan keras. Meski dahsyat, tapi anehnya angin tornado itu tidak
membuat Bing ikut terlempar. Angin itu justru berputar lembut di sekitar
tubuh sang ksatria sebelum akhirnya menghilang begitu saja.
Sihir?! Seru Bing kaget dalam hati. SIHIR?!
Bing
hanya bisa terpaku melihat kejadian itu. Dia sama sekali tidak mengira
kalau Gie, yang selama ini dia sangka hanya seorang putri yang lemah,
ternyata menguasai sihir hingga tingkat seperti itu.
“Ayo Bing! Kita lari sekarang!” seru putri Gie sambil menarik tangan Bing.
Bing
yang masih kebingungan hanya bisa pasrah dan membiarkan Gie menarik
tangannya. Keduanya lalu lari secepat mungkin, meninggalkan wilayah
berbahaya kota Tiernog. Sambil berlari Bing terus bertanya-tanya dalam
hati.
Sejak kapan Gie menguasai sihir seperti itu?! ujar Bing dalam hati.
****
Setelah
berhasil melarikan diri, Bing dan Gie akhirnya sampai di sebuah taman
yang berada tidak jauh dari pusat kota Tiernog. Gie tampak kelelahan
setelah berlari cukup lama. Putri Kerajaan Gilvana itu tampak berbaring
di atas rumput sambil terengah-engah.
“Akhirnya kita lolos juga!” ujar Gie sambil tersenyum lebar, sementara Bing masih memandanginya dengan tatapa tidak percaya.
Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Bing melontarkan pertanyaan pada Gie.
“Gie....sejak kapan kau....”
“Sejak
setengah tahun yang lalu,” potong Gie sebelum Bing sempat menyelesaikan
kalimatnya. “Aku belajar sihir elemental dari Rhendie, sang Seal Master. Yah....harus kuakui aku juga belajar sedikit sihir hitam dari Smith, sang Death Bringer. Tapi yang barusan itu sihir elemental kok.”
Bing
semakin terkejut lagi mendengar pengakuan Gie. Dia sama sekali tidak
menyangka kalau Gie rupanya benar-benar mempelajari sihir dari seorang Warlock dan Necromancer istana.
“Untuk
apa?!” seru Bing dengan kedua kuping tegak karena kesal bercampur
kaget. “Untuk apa kau belajar sihir? Itu...itu tidak pantas! Seorang
putri pewaris kerajaan tidak pantas menggunakan sihir! Apalagi kalau itu
sihir hitam!”
Gie
langsung merengut mendengar seruan Bing. Putri itu langsung berdiri di
hadapan sang ksatria muda. Kuping anjing dan ekornya tampak tegak karena
emosi.
“Memangnya
kenapa kalau aku belajar sihir untuk melindungi diriku sendiri dan....”
Gie berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya lagi. “...dan untuk
melindungi dirimu! Ya! Aku belajar sihir demi kau!!”
Bing semakin terkejut lagi mendengar pengakuan dari Gie.
“A....apa?” tanya Bing tergagap.
“A....aku
harus mengakui sesuatu....” ujar Gie dengan suara lirih. “Setiap kali
kau pergi bertugas, aku merasa sangat khawatir karena tidak bisa
melakukan apapun untuk dirimu. Setiap kali kau mengangkat pedangmu demi
negeri ini, aku hanya bisa diam di dalam istana dan menunggumu pulang.
Aku tidak mau itu! Aku ingin bersamamu! Aku ingin bersama dirimu
menempuh tugas-tugas berbahaya demi Kerajaan Gilvana! Aku tidak ingin
terpisah darimu walau sedetikpun!!”
Bing
makin terkejut ketika mengetahui perasaan Gie kepadanya. Rupanya putri
itu juga mencintainya. Bing sebenarnya merasa gembira sekali ketika
mendengar hal itu, tapi dengan segera dia kembali murung karena teringat
satu masalah yang menghalangi cintanya.
Ksatria muda itu lalu menyentuh pundak Gie dengan kedua tangannya.
“G...Gie....aku
ingin mengakui sesuatu....aku....aku....” Kata yang ingin diucapkan
Bing terasa berat di tenggorokannya. Dia ingin mengakui bahwa dirinya
sudah cukup lama menyimpan rahasia dari sang putri. Tapi dia sulit
sekali mengatakan kebenaran itu.
“Apa?” tanya Gie penasaran.
Bing lalu membulatkan tekadnya dan menatap lurus ke arah mata Gie yang berbinar-binar.
“Gie...aku
juga tidak ingin terpisah dari dirimu! Aku ingin selalu bersamamu!
Hanya saja...” Bing berhenti sejenak. “Aku tidak pantas bersamamu.”
Gie langsung tersentak dan berseru marah.
“Kenapa?! Karena perbedaan status kita? Itu tidak pernah menjadi masalah bagiku!” seru Gie emosi.
“Bukan itu!” balas Bing.
“Lalu apa?!” sahut Gie dengan nada tinggi.
“Gie!
Aku ini sebenarnya adalah seorang wanita!” seru Bing dengan nada penuh
penyesalan. “Maafkan aku karena telah menipumu dan seluruh istana. Tapi
itu adalah kenyataan. Aku sebenarnya adalah seorang wanita! Aku
berpakaian seperti ini supaya orang-orang tidak memandang rendah diriku!
Maafkan aku....sekali lagi maafkan aku.....”
Bing
langsung tertunduk lesu. Dia sudah mengakui kalau dirinya sudah menipu
semua orang di istana, termasuk Gie, orang yang dia cintai. Ksatria muda
itu merasa begitu malu hingga dia ingin sekali mencabut pedangnya dan
menusuk perutnya sendiri. Tapi dia tidak melakukan itu dan hanya
terdiam. Air mata tanpa sadar bergulir di pipi Bing.
“Bing....”
Sentuhan
lembut Gie di kepala Bing membuat ksatria muda itu menegakkan tubuhnya
dan menatap ke arah Gie. Putri pewaris Kerajaan Gilvana itu tampak
sedang tersenyum lembut ke arahnya.
“Aku
sudah tahu sejak cukup lama kalau kau sebenarnya adalah seorang wanita.
Maafkan aku karena aku tidak pernah memberitahumu, kalau aku sebenarnya
sudah mengetahui rahasiamu,” ujar Gie dengan lembut. “Biarpun kau
seorang wanita, tapi kau tetap orang yang paling berarti bagiku.”
Bing
kembali terkejut dengan ucapan Gie. Dia sama sekali tidak menyangka
kalau sang putri sudah mengetahui rahasianya. Tapi tetap saja ksatria
muda itu merasa dirinya tidak pantas untuk bersama dengan sang putri.
“Tapi....ini
tidak pantas!” seru Bing lagi. “Seorang putri kerajaan tidak seharusnya
jatuh cinta pada seorang ksatria muda...yang juga sesama wanita!! Gie!!
Aku.....”
Seruan
Bing terhenti ketika bibir Gie menempel di bibirnya. Kedua mata ksatria
muda itu terbelalak lebar. Kejadian itu hanya berlangsung beberapa
detik, tapi bagi Bing itu rasanya bagaikan beberapa jam. Putri Gie lalu
mundur beberapa langkah sambil tetap tersenyum manis ke arah Bing, sang
ksatria muda.
“Aku
sudah bilang meskipun kau wanita, aku tetap tidak akan berhenti
menganggapmu sebagai orang yang paling berarti bagiku,” ujar Gie dengan
lembut. Senyuman tulus dari putri cantik itu benar-benar bisa membuat
siapapun jatuh hati seketika. Senyuman itulah yang membuat Bing jatuh
cinta pada sang putri.
“Gie....” gumam Bing.
“Lagipula.....”
Gie
tiba-tiba menghentikan ucapannya lalu terdiam dan menunduk sejenak.
Tapi tiba-tiba saja putri pewaris Kerajaan Gilvana itu kembali
mengangkat wajahnya. Anehnya kini senyuman Gie sudah digantikan dengan
sebuah cengiran lebar.
“Gie?” tanya Bing heran.
“Lagipula......aku ini sebenarnya seorang laki-laki,” ujar Gie dengan riang. “Jadi tidak masalah kan kalau kau tetap bersamaku?”
Kali
ini Bing tidak mampu berkata apapun. Ksatria muda itu hanya terbelalak
lebar sambil melongo ketika mendengar pengakuan dari sang putri. Tadinya
Bing mengira kalau itu hanya akal-akalan Gie untuk membuatnya shock.
Tapi tatapan mata Gie begitu serius sehingga membuat Bing menelan
ludahnya.
“G....Gie? Kau hanya bercanda kan?” ujar Bing terbata-bata.
“Tidak!
Aku serius!” balas Gie, masih sambil nyengir lebar. “Maafkan aku karena
aku tidak pernah memberitahukannya padamu. Tapi ini memang rahasia
kerajaan sih.”
Kali ini Bing langsung jatuh pingsan ketika mendengar pengakuan dari Gie.
****
~FIN~
red_rackham_2012
Comments