Everyday Adventure VII
Everyday Adventure VII
(Tersesat)
“Ini amat sangat tidak bagus ... !”
Buggy berseru sambil berpegangan erat di punggung Maria, sementara hembusan
angin disertai debu partikel nano-material bertiup kencang di sekitar kedua
robot itu. Saking kuatnya tiupan angin itu, langkah Maria berkali-kali oleng
karena tidak kuat menahan terjangannya.
“Kau benar! Ini tidak bagus!” sahut Maria sambil berjalan maju dengan susah
payah. Meskipun sudah mengerahkan semua tenaga yang dia punya, tapi gynoid itu
tetap saja kesulitan untuk melangkah maju melawan arah angin. Dia lalu
memicingkan mata, berusaha untuk melihat menembus kabut tebal berlapis debu
nano-material berwarna keperakan dan kilatan listrik yang sesekali muncul di
udara. Sayangnya pandangannya nyaris tertutup total oleh debu keperakan yang
menerpa wajahnya.
“Kau tidak apa-apa, Buggy?!” Maria berteriak pada Buggy yang masih berusaha
berpegangan di bajunya.
“Tidak! Semua sistem navigasi dan komunikasiku mati dengan sukses, tapi
selain itu aku baik-baik saja!” balas Buggy dengan suara agak gemeresik.
Sepertinya serbuan medan elektromagnet yang mengikuti fenomena Kabut Elektrik
ini juga mengganggu sistem pengeras suaranya.
Robot-robot berteknologi cyber-brain, seperti Maria dan Buggy, memang dirancang
untuk dapat bertahan menghadapi gelombang elektromagnetik dahsyat. Namun tetap
saja kekuatan alam jauh lebih dahsyat lagi. Meskipun belum terlalu parah, tapi semua
sistem navigasi dan komunikasi yang dimiliki Maria ataupun Buggy sekarang mati
total. Karena itulah, kini mereka berdua benar-benar tersesat. Belum lagi
ditambah fakta bahwa badai yang membawa debu nano-material itu benar-benar
menutupi pandangan mereka. Bagi Maria dan Buggy, berjalan di tengah kabut
seperti ini, sama seperti berjalan menembus badai salju tebal. Bedanya, dalam
badai salju sedahsyat apapun, robot dengan teknologi navigasi canggih seperti
Buggy tetap bisa menemukan arah yang benar.
“Apa kau tahu ke mana kita harus pergi?” Maria bertanya pada Buggy yang
bergelantungan di belakang punggungnya. “Semua sistem navigasiku mati total!”
“Mana kutahu!” balas Buggy putus asa. “Kan sudah kubilang tadi, semua
sistem navigasiku juga mati total! Entah ada di mana kita sekarang! Semuanya
keliatan sama saja... putih mengerikan!”
Andai saja aku tadi tidak berlama-lama pergi keluar di
cuaca seperti ini...
Maria kini menyesali keputusannya untuk pergi jauh dari Bravaga hari ini,
padahal Ryouta sudah melarangnya. Namun kepergiannya itu bukan tanpa alasan, Maria
sengaja keluar kota demi menyaksikan kemunculan sebuah ‘pesawat hantu’
legendaris. Konon hari ini pesawat itu akan melintasi bekas pangkalan tua yang
berada jauh di timur kota Bravaga. Tidak ada yang tahu pasti benda apa itu
sebenarnya, bahkan robot-robot kuno seperti kakek Tesla atau Ryouta juga tidak
tahu. Yang pasti pesawat itu berwarna putih bersih, nyaris transparan, serta memiliki
rentang sayap lebih lebar daripada sebuah stadion olahraga. Meskipun pesawat raksasa
itu melintas cukup dekat dengan daratan, sama sekali tidak ada suara yang
terdengar. Seolah pesawat itu hanya terbuat dari bayangan atau sekedar ilusi
belaka.
Walau akhirnya Maria bisa melihat pesawat hantu itu dengan kepalanya
sendiri, tapi sekarang dia malah terjebak Kabut Elektrik. Padahal badai itu
memang diramalkan akan turun gunung hari ini.
“AWAS! Menunduk!”
Seruan Buggy membuat Maria tersentak dari lamunannya. Tanpa pikir panjang, dia
merunduk tepat ketika sebuah potongan metal melesat cepat di atas kepalanya.
Telat sedikit saja, benda itu pasti membentur wajah Maria. Benda tebal dan
berat itu baru saja terbang dengan kecepatan yang sulit dipercaya, kemudian
membentur sesuatu di kejauhan. Dengan ngeri, Maria membayangkan apa jadinya
kalau potongan logam itu tadi menghantam kepalanya. Pastinya itu akan terasa
sakit sekali.
“Maria! Berbahaya nih kalau kita jalan tanpa arah kayak begini. Sebaiknya
kita buru-buru cari tempat berlindung yang aman!” Buggy kembali berseru dari
balik punggung Maria. “Aku enggak mau jadi besi rongsokan gara-gara badai ini!”
Maria mengangguk setuju.
“Setuju!” serunya.
Masalahnya sekarang... di mana mereka bisa menemukan tempat berlindung yang
aman dalam cuaca seperti ini? Bagi Maria, rasanya hanya sebuah keajaiban mereka
menemukan bisa gedung atau ruang berlindung bawah tanah, yang setidaknya aman
dari terjangan angin.
Namun sepertinya keajaiban itu memang ada.
“Oi, Maria! Kau lihat tidak? Di sebelah sana ada bangunan!”
Buggy mendadak berseru sambil mati-matian merayap ke pundak Maria. Robot
kecoa itu kemudian menunjuk ke arah bangunan yang samar-samar terlihat di sela-sela
angin dan kabut tebal. Memang bentuknya tidak jelas, tapi sekilas bangunan itu
terlihat utuh dan bisa dipakai berlindung dari badai mengerikan ini.
“Tunggu apa lagi!”
Maria menyahut sambil berusaha keras berjalan menerobos angin. Namun
kekuatan angin, terjangan debu-debu nano-material, dicampur badai
elektromagnetik, sepertinya membuat sistem tubuh Maria mulai bertingkah aneh.
Kesadarannya mulai goyah dan dia pun seolah-olah sedang berjalan dalam alam
mimpi. Langkahnya terasa ringan dan dia pun jadi sulit berpikir jernih.
Bagi Maria saat ini, segalanya mendadak terasa tidak nyata... setidaknya
sampai seluruh sistem tubuhnya mendadak menyerah dan mati begitu saja.
****
Entah berapa lama Maria tidak sadarkan diri. Ketika sistem tubuh dan
pandangannya pulih, hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit tinggi
bercat putih kusam, lengkap dengan sebuah kipas angin yang berputar perlahan.
“Di mana ini?” tanyanya bingung sambil berusaha bangkit. Dia lalu sadar
kalau dirinya sedang berbaring di sebuah sofa empuk berlapis kulit berwarna
kecoklatan.
“Mariaaa~!!” Tiba-tiba Buggy melesat di udara dan menabrak dada Maria,
nyaris membuat gynoid itu terjungkal jatuh dari sofa tempatnya berbaring.
“Syukurlah kau selamat! Waktu kau tiba-tiba jatuh tadi, kupikir kau rusak atau
apa! Untung saja kau tidak apa-apa!”
“Aku tidak apa-apa kok, jangan khawatir,” jawab Maria. Dia tersenyum geli
melihat animasi air mata muncul di kedua mata Buggy yang besar dan bulat.
“Ngomong-ngomong tempat apa ini?”
“Oh, kau sudah sadar?”
Tiba-tiba Maria mendengar ada yang menyapanya. Dia pun berbalik dan
berhadapan dengan sosok tinggi besar bermata satu. Ketika melihat mata besar
yang bersinar kekuningan di kepala sosok itu, tanpa pikir panjang Maria
menyapanya.
“Ryouta!” serunya gembira.
“Siapa Ryouta?” sahut sosok besar itu. “Namaku Raj!”
Maria mengedipkan matanya. Ternyata dia salah lihat. Sosok berbadan kekar
di hadapannya itu ternyata bukan Maria, melainkan robot lain yang agak mirip
dengan temannya itu. Bedanya, robot bernama Raj ini bertubuh lebih gempal,
tampak lebih kokoh, lebih berat, dan lebih menakutkan. Lampu-lampu indikator,
serta berbagai goresan, penyok, dan bekas terbakar di sekujur badan Raj jelas
menunjukkan kalau dia bukan sekedar robot biasa.
“Kenapa jadi diam saja? Tidak ada yang rusak kan?” tanya Raj lagi.
Maria menggelengkan kepalanya.
“Enggak. Aku tidak apa-apa! Sungguh!” sahutnya. “Eeh ... ini di mana?”
“Ini tempat perlindungan yang aman,” sahut Raj singkat. “Selagi ada di
sini, kau aman dari bahaya di luar. Kau benar-benar tidak apa-apa?”
“Aku baik-baik saja,” sahut Maria sembari mengangguk, kemudian memandang ke
sekelilingnya.
Saat ini dia dan Buggy sepertinya berada di dalam sebuah kafe, atau rumah
makan, terutama karena banyak meja-meja bulat dan kursi yang ditata rapi di
sekelilingnya. Hanya saja, ruangan tempatnya berada saat ini, terlihat sengaja
ditata dengan desain yang begitu kuno. Saking kunonya, Maria hanya pernah
melihat desain seperti ini di buku-buku tua yang disimpan di perpustakaan kota
Bravaga. Di satu sisi Maria melihat ada sebuah meja bartender kayu, sementara
di sejauh mata memandang, ada meja bundar lengkap dengan kursi-kursi kayu.
Bukan hanya itu saja, di dinding kafe dipenuhi berbagai hiasan bergaya koboi,
yang benar-benar sudah ketinggalan jaman.
Selain desain kafe yang kelewat kuno, Maria mendapati ada beberapa robot
yang janggal, serta sosok-sosok lain yang mengenakan pakaian-pakaian aneh. Di
salah satu sudut, dia melihat sosok yang menggunakan pakaian yang dinamakan
hazmat suit, atau hazardous material suit, sejenis pakaian yang dulu konon
digunakan manusia kalau berhadapan dengan bahan beracun. Tapi di sisi lain kafe
itu, dia melihat sebuah android dengan desain tubuh yang begitu anggun dan
elegan, seolah-olah dia bukan berasal dari zaman ini.
“Selamat datang di Shelter 19. Namaku Glibert. Ada yang bisa kubantu?”
Kali ini yang menyapa adalah seorang android dengan wajah ditutupi masker.
Anehnya masker itu dilengkapi dengan sistem re-breather untuk bernafas, padahal
seharusnya sebuah android tidak membutuhkan alat seperti itu. Tapi dari
penampilannya, Maria menduga sepertinya android aneh ini adalah pelayan, atau
malah pemilik kafe misterius ini.
“Eh... kami tersesat gara-gara Kabut Elektrik dan tidak sengaja sampai di
sini.” Maria menjawab setelah terdiam beberapa saat. Dia lalu tersenyum tipis.
“Maaf karena tadi aku sempat pingsan dan membuat repot.”
Glibert tertawa ringan. “Tidak perlu minta maaf, itu tidak seberapa
dibanding waktu Raj datang ke sini. Dia dan tank-nya menerobos dinding kafe dan
nyaris meratakan sepertiga bangunan sebelum akhirnya berhenti.”
Raj mendengus.
“Apa boleh buat. Mana kutahu di depan ada bangunan. Soalnya waktu itu yang
bisa kulihat cuma badai pasir radioaktif!” gerutu Raj sambil berjalan melewati
Maria, tanpa peduli dengan tatapan heran gynoid itu. “Lupakan soal itu, dan
beristirahatlah sesukamu. Di sini kalian aman.”
Maria memperhatikan Raj yang berjalan dengan langkah berat, kemudian duduk
di sofa besar di sisi lain ruangan. Sosok besar itu lalu menghela nafas
panjang, kemudian mengambil semacam komputer tablet tipis dan mulai membaca
apapun yang tampil di layarnya. Sesekali Maria bisa mendengar Raj menggerutu
tentang sesuatu, dan sikapnya itu benar-benar mirip seseorang yang dikenal baik
Maria.
“Melihat sikapnya, aku jadi ingat
Ryouta,” ujar Maria sambil tertawa geli. “Mereka berdua mirip.”
“Ho? Jadi kalian juga kenal anggota tentara khusus United Asian Nation
seperti Raj?” tanya Glibert penasaran. “Kalian ini dari mana sebenarnya?”
“Bravaga!”
“Kota Bravaga!”
Maria dan Buggy menyahut nyaris bersamaan.
“Bravaga? Di mana itu?” tanya Glibert sambil mengetuk sebelah helmnya.
“Baru pertama dengar.”
Jawaban Glibert membuat Maria dan Buggy langsung bertukar pandang. Rasanya
nama Bravaga sudah dikenal oleh begitu banyak robot, termasuk para pendatang
dan pengembara yang kebetulan mampir di kota itu. Mengingat keduanya baru saja
pergi ke tempat yang tidak jauh dari Bravaga, rasanya mustahil ada robot-robot yang
tidak mengenal kota nama itu.
“Masa sih? Ayolah, jangan main-main deh. Kota Bravaga yang itu loh! Kota
dengan menara tinggi dan besar di tengah-tengahnya!” ujar Maria lagi. “Itu kota
robot paling besar di dataran ini. Masa sih kalian tidak tahu?”
Glibert mengangkat bahunya, kemudian menoleh ke arah sebuah robot bertubuh langsing,
yang sejak tadi asyik bermain catur melawan hologramnya sendiri.
“Oi Vinctus, kau tahu kota Bravaga?” seru Glibert pada robot itu.
Vinctus berhenti memainkan permainannya, kemudian dia dan hologramnya
menoleh ke arah Glibert.
“Bravaga yang mana? Kota terbesar di dataran ini sudah lama hancur waktu
perang. Sisanya pasti sudah lama tenggelam ke dasar lautan sekarang,” balas
Vinctus dengan nada acuh. “Kalau yang kau maksud itu distrik di kota Narval,
terakhir kali aku kabur dari sana, sedang ada serangan Machina. Kupikir
sekarang kota itu juga sudah rata dengan tanah...”
Maria semakin kebingungan. Dia tidak percaya kalau robot-robot ini tidak
ada yang mengenal kota Bravaga. Rasanya semakin janggal lagi karena Maria tahu,
kota Narval adalah kota satelit yang berada di sisi timur Bravaga. Masalahnya,
kota kecil itu kini hanya tinggal sebuah danau kawah besar. Konon di akhir
Perang Bulan Kedua, sebuah pecahan meteorit yang berasal dari bulan jatuh
kesana.
Buggy yang juga menyadari itu, langsung berbisik pada Maria melalui
jaringan komunikasi pribadi.
<Eh, Maria, rasanya kok makin aneh saja ya?> ujarnya kebingungan. <Kok
tidak ada satu pun yang mengenal nama kota kita?>
Maria mengangkat bahunya, tapi tidak mengatakan apapun.
“Yah, lupakan saja deh. Sekarang lebih baik kalian berdua istirahat dulu
sampai benar-benar pulih. Lagi pula, badai di luar sana masih terlalu kuat
untuk ditembus.” Glibert kembali bicara sambil berjalan ke arah meja bartender.
“Nah, kalau kalian ingin pesan sesuatu, jangan malu-malu. Bilang saja padaku.”
Maria dan Buggy saling pandang, kemudian gynoid itu tersenyum lebar.
“Kalau begitu kami berdua mau 1 paket baterai Sol tipe Z-32!” serunya
sambil nyengir.
“Sama!” timpal Buggy.
Gliber tertawa ringan, “oke, oke! Tunggu sebentar ya,” sahutnya sambil
berjalan masuk ke ruangan di seberang barisan meja bartendernya.
Sementara Glibert pergi mengambil pesanan Maria dan Buggy, keduanya kembali
duduk di sofa.
“Berapa lama kita akan di sini?” tanya Maria pada temannya yang berwujud
mirip kecoa raksasa itu.
Buggy menggelengkan tubuhnya, kemudian memandang ke arah jendela. Di luar sana
kabut tebal diiringi angin kencang masih saja bertiup tanpa henti. Kekuatan
badai nano-material bercampur gelombang elektromagnetik dahsyat itu masih saja
terlihat mengerikan. Maria nyaris merasa kalau badai itu sepertinya enggan
untuk mengurangi kekuatannya, walau sedikit pun, meski badai itu telah bertiup
selama berjam-jam.
“Entahlah,” sahutnya. “Kuharap Kabut Elektrik ini cepat berlalu. Aku sudah
tidak sabar ingin segera pulang.”
Maria mengangguk.
“Ya, aku juga,” sahutnya sambil ikut memandang keluar jendela.
****
Semakin lama Maria dan Buggy berada di Shelter 19 itu, mereka menyadari ada
banyak hal yang janggal.
Beberapa robot yang mereka temui di dalam kafe bergaya kuno itu,
seolah-olah berasal dari jaman lain. Raj misalnya, sempat mengeluh pada Maria
kalau dirinya tersesat setelah melarikan diri dari sergapan pasukan aliansi
Union. Cerita Vinctus tidak kalah janggal. Robot nyentrik itu beberapa kali
bercerita soal dirinya yang terlempar keluar dari pesawat angkasanya dalam
pertempuran di orbit Mars melawan Mid-Eastern League of Nation, atau MELON. Kemudian
ada robot berkuping kelinci tanpa lengan, yang mengaku dirinya sebenarnya
Machina, meskipun saat ini dia kehilangan kekuatannya setelah dikalahkan dalam
duel dengan Machina lain. Semua yang diceritakan oleh robot-robot itu terdengar
tidak masuk akal, karena bagi Maria, semua itu hanyalah sejarah dari masa-masa
yang sudah berlalu ratusan tahun. Anehnya, bagi Raj, Vinctus, dan si Machina,
kejadian itu seolah-olah baru saja terjadi.
<Maria, kok rasanya tempat ini jadi semakin aneh ya?> Buggy bertanya
melalui sambungan komunikasi nirkabel, agar tidak didengar oleh robot lainnya.
Maria mengangguk mengakui, <Iya nih, beberapa dari mereka sepertinya
memiliki spesifikasi mirip denganmu, atau Ryouta,> balas Maria. <Mereka terlihat…
kuno.>
Secara tidak sengaja tatapan Maria bertemu dengan Vinctus, yang kembali
bermain catur dengan hologram tubuhnya sendiri. Dia kemudian mengalihkan
pandangannya ke arah Glibert yang sibuk mengelap meja di sudut lain ruangan.
Meskipun Maria merasa kalau tempat ini aneh dan tidak normal, tapi ada
perasaan lain yang diam-diam menyelinap masuk. Perasaan damai. Seolah-olah
tempat ini begitu aman dan nyaman. Jauh dari berbagai bahaya yang ada di luar
sana. Baginya, kafe aneh ini nyaris terasa seperti rumahnya sendiri. Tentu itu
sebuah perasaan yang aneh, mengingat dia baru berada di tempat ini selama
beberapa jam saja. Namun perlahan-lahan Maria juga mulai merindukan kamar
apartemennya yang sempit dan penuh sesak oleh berbagai barang rongsokan.
“Kenapa kau terlihat seperti itu?”
Tiba-tiba Glibert bertanya sambil duduk di depan Maria.
Maria mengangkat bahunya.
“Aku rindu rumah,” ujarnya sambil melihat ke arah luar jendela, ke arah
badai yang masih saja mengamuk di luar sana. “Ryouta pasti khawatir setengah
mati kalau aku tidak segera kembali. Aku takut dia nekat menerobos badai itu
demi mencariku. Aku tidak mau dia terluka lagi gara-gara diriku.”
“Seperti apa Ryouta itu?” tanya Glibert dengan suara lembut.
Maria tersenyum lebar. Seketika itu juga dia membayangkan sosok Ryouta yang
berdiri sambil melotot ke arahnya. Sesuatu yang selalu dilakukannya setiap kali
menemukan Maria berbuat onar di kota Bravaga.
“Ryouta itu dulunya robot perang, katanya sih dari jaman sebelum
Catastrophy. Dia itu putih, besar, bermata satu, dan suka menggerutu. Agak
mirip dengan Raj,” ujarnya sambil melirik sekilas ke arah Raj. “Tapi biarpun
begitu, dia selalu datang setiap kali aku dapat masalah. Kali ini pun...
kupikir dia juga sedang berjuang menembus badai itu demi menemukanku... aku...
harus pulang.”
Glibert beralih menatap ke arah Buggy, yang sibuk memainkan dua batang
sendok di tangannya. Menyadari dia sedang diperhatikan. Buggy balas menatap ke
arah Glibert dengan kedua mata besarnya.
“Bagaimana denganmu? Kau mau pulang juga?” tanya Glibert.
“Tentu saja!” balas Buggy tanpa basa-basi. “Tempat ini memang enak, tapi
aku harus pulang. Besok aku harus mengecek pipa-pipa bawah kota di sisi selatan
kota. Teman-temanku bisa mengamuk kalau aku seenaknya bolos kerja.”
Glibert mengangguk, kemudian berdiri.
“Tunggu sebentar ya.”
Selama beberapa saat, android pemilik kafe itu pergi ke ruangan di balik
meja kasirnya. Tidak lama kemudian dia kembali sambil membawa sebuah benda
metalik di tangannya. Glibert menghampiri Maria, lalu meletakkan benda yang
dibawanya itu di atas meja.
“Apa ini?” tanya Maria penasaran.
“Ini...” Glibert menghentikan ucapannya, kemudian menekan bagian atas benda
bundar itu. Sedetik kemudian sebuah anak panah hologram muncul dan sebuah suara
senandung mengalun merdu. “...adalah sebuah kompas.”
Maria memiringkan kepalanya karena bingung. Memang benda yang ada di
hadapannya itu terlihat seperti sebuah kompas dengan penunjuk arah holografis.
Tapi suara nyanyian yang terdengar dari benda itu, sepertinya tidak asing bagi
Maria. Ketika mendengarkan suara itu, mendadak dia merasakan suatu kerinduan
akan sesuatu, tapi dia tidak tahu apa itu.
“Cantiknya...” gumam Maria sambil menutup mata dan menikmati alunan
nyanyian itu.
“Iya,” timpal Buggy, yang ikut-ikutan menutup kedua matanya.
“Ini kuberikan pada kalian agar kalian tidak tersesat lagi,” ujar Glibert
sambil menekan bagian atas kompas itu, dan menghentikan fungsinya.
“Benarkah?!” Kedua mata Maria langsung berbinar-binar ketika mendengar
ucapan android di depannya itu. “Kau mau memberikannya padaku?!”
Glibert mengangguk. “Benar. Dulu aku mendapat benda ini dari Verne. Katanya
kompas ini hanya akan selalu menunjuk ke arah tempat yang kau anggap sebagai
rumah. Tidak peduli di mana pun kau berada, kompas ini akan menuntunmu pulang. Aku
yakin kompas ini akan sangat berguna bagi kalian berdua.”
Maria memperhatikan benda itu sejenak, kemudian teringat kalau di luar
sana, masih ada badai elektromagnetik yang menghadang. Benda seperti ini tidak
akan banyak berguna selagi badai dahsyat itu masih bertiup.
Sepertinya Glibert bisa membaca kekhawatiran itu dari ekspresi wajah Maria.
“Jangan khawatir, coba lihat, badainya sudah tidak sekuat yang tadi kan?”
ujar Glibert sambil menunjuk ke arah jendela kafenya. “Kurasa sekarang kalian
sudah bisa pulang.”
Maria segera memandang ke arah jendela, kemudian terkejut melihat kalau
ucapan android itu benar. Kabut Elektrik sudah berhenti bertiup dengan kekuatan
penuh dan hanya menyisakan kabut tebal saja. Meski kabut itu masih menutupi
pandangan, setidaknya sudah tidak ada hembusan angin kencang yang dapat
menerbangkan tubuh Maria atau Buggy.
“Kau benar!” seru Maria gembira sambil berdiri. “Kok bisa?!”
Glibert mengangkat bahunya.
“Entahlah,” sahutnya dengan nada geli. “Mungkin memang sudah saatnya badai
itu reda?”
Tanpa basa-basi, Maria meraih tangan Glibert dan menggenggam erat tangan
pemilik kafe itu selama beberapa saat.
“Terima kasih atas bantuan dan hadiahnya. Aku ingin sekali main di sini
lebih lama lagi, tapi kami harus segera pulang,” seru Maria dengan penuh
semangat. Dia lalu menoleh ke arah Buggy. “Ayo!”
Tanpa basa-basi, Buggy melompat dari atas meja ke pundak Maria.
“Siap!” sahut robot kecoa itu dengan mantap.
Sekali lagi Maria menatap ke arah Glibert, kemudian ke arah Raj, dan
Vinctus yang masih sibuk bermain catur di sudut ruangan.
“Terima kasih semuanya. Meski cuma sebentar, tapi aku senang berada di
sini!” seru Maria sambil membungkuk sekilas. “Semoga suatu saat kita bisa
bertemu lagi di kafe ini!”
Raj balas melambaikan tangannya dengan acuh, sementara Vinctus dan
hologramnya langsung tersenyum ke arah Maria. Beberapa pengunjung lainnya juga
tersenyum atau melambaikan tangan ke arah gynoid itu.
Sambil tersenyum lebar, Maria berjalan menuju pintu kafe dan membukanya
tanpa basa-basi. Di balik pintu itu, terhampar gumpalan kabut putih yang
mengaburkan pandangan. Meskipun efek gelombang elektromagnet masih terasa, tapi
setidaknya tidak ada lagi hembusan angin kuat yang bisa menerbangkan berbagai
macam benda berat. Selain itu, entah kenapa Maria benar-benar percaya bahwa
kompas yang diberikan Glibert akan memandunya kembali ke Bravaga. Ada sesuatu
yang membuatnya merasa yakin kalau benda mungil itu akan membawanya dan Buggy
kembali ke rumah mereka.
“Kau siap?” tanya Maria pada Buggy yang bertengger di pundaknya.
“Tentu saja!” sahut robot kecoa itu.
Maria kembali menatap ke depan, kemudian tersenyum sambil melangkahkan
kakinya. Namun sebelum Maria sempat benar-benar melangkah keluar kafe,
tiba-tiba Glibert menyerukan sebuah pesan kepadanya.
“Maria! Kalau suatu hari kau bertemu dengan gadis Machina berwarna biru,
berikan kompas mu padanya! Dia tahu apa yang harus dilakukan dengan benda itu!”
“Hah?! Ap...”
Maria baru saja bermaksud menoleh untuk bertanya, tapi mendadak seluruh
sistem tubuhnya kembali mematikan dirinya sendiri. Tubuh gynoid itu langsung
terjatuh seketika ke atas tanah.
Sesaat sebelum pandangannya gelap, dia seperti melihat Glibert membuka
masker re-breather yang dikenakannya. Saat pemilik kafe misterius tersenyum
lebar, pandangan Maria pun akhirnya gelap total.
****
Ketika sadar kembali, tahu-tahu Maria sudah berada di punggung android
putih besar yang mengenakan jaket hijau lengan buntung. Selama beberapa detik dia
kebingungan, namun Maria segera mengenali siapa yang sedang menggendongnya itu.
“Ryouta?” tanya Maria ragu.
“Oh! Kau sudah sadar? Syukurlah!” Ryouta langsung menyahut tanpa menoleh.
“Kupikir tadi kau sudah tidak akan bangun lagi...”
“Di mana kita?” tanya Maria bingung, terutama karena pemandangan
sekelilingnya tampak berkelebat cepat. Dia masih belum sepenuhnya menyadari
bahwa saat ini Ryouta sedang berlari dengan kecepatan tinggi, demi membawa
Maria kembali ke Bravaga.
“Mana Buggy?” tanya Maria lagi.
Ryouta mengangkat sebelah tangannya, yang sedang memegangi kaki-kaki mungil
Buggy. Sama seperti Maria tadi, Buggy juga tidak sadarkan diri. Hanya saja
robot berbentuk serangga itu sepertinya butuh waktu lebih lama untuk memulihkan
kembali sistemnya. Meskipun kasihan, melihat sosok mirip kecoa raksasa, yang
baru saja kena semprot anti-serangga itu, membuat Maria geli. Namun kegeliannya
itu segera sirna karena dia mengkhawatirkan kondisi temannya itu. Sepertinya
Kabut Elektrik sudah membuat mereka berdua tidak sadarkan diri, entah berapa
lama.
“Berapa lama aku hilang?” tanya Maria.
“Hampir seminggu. Nyaris seisi kota kupaksa untuk mencari kalian berdua
begitu Kabut Elektrik mereda. Untunglah kalian berhasil kutemukan dengan cepat,”
sahut Ryouta muram. Dia lalu berhenti sejenak, sebelum melanjutkan
perkataannya. “Waktu melihat kalian berdua tergeletak tidak sadarkan diri, aku
langsung berpikir yang tidak-tidak.”
Dari nada bicaranya, Maria tahu kalau android besar itu benar-benar
mengkhawatirkan keselamatannya. Dia bisa membayangkan sosok kekar Ryouta yang
nekat menembus dahsyatnya badai nano-material dan kilatan elektromagnetik demi
menyelamatkan dirinya.
“Maaf... lagi-lagi aku membuatmu repot...” gumam Maria lirih.
Sejenak Ryouta terdiam sambil melompati bangkai sebuah tank yang
menghalangi jalannya.
“Lupakan saja,” jawab Ryouta singkat. “Yang penting sekarang kau dan Buggy
sudah selamat. Nanti sampai di Central Tower, pokoknya aku mau kalian berdua diperiksa
total oleh Mother. Dan kau tidak boleh kabur lagi!”
Maria hanya tersenyum dan merebahkan kepalanya ke punggung Ryouta. Segera
setelah itu, gynoid itu kembali tertidur pulas.
****
Ingatan Maria selanjutnya agak kabur. Pasalnya setiap kali dia diperiksa
total oleh Mother, ada sesuatu yang membuat sistem memorinya tidak bekerja
dengan benar. Jadinya dia tidak pernah benar-benar ingat apa saja yang
dilakukan Mother pada tubuhnya.
Mungkin itu lebih baik, soalnya Maria merinding memikirkan kalau tubuhnya
benar-benar dibongkar total. Dia nyaris bisa melihat tangan dan kakinya ada di
satu meja, sedangkan bagian lain tubuhnya ada di meja lain. Tapi yang jelas,
setelah diperiksa total selama seminggu, dia dan Buggy akhirnya diperbolehkan
pulang, tentu saja setelah keduanya menerima wejangan panjang lebar dari kakek
Tesla.
Saat ini Maria sedang duduk merenung di atas atap apartemen tempatnya
tinggal. Sebelah tangannya tidak berhenti memainkan kompas aneh yang dia terima
di kafe bernama Shelter 19. Semakin lama, kafe itu yang rasanya seperti berada
di dunia lain saja, sehingga Maria mulai meragukan kalau tempat itu benar-benar
ada.
Ada banyak yang membuat Maria berpikiran seperti itu, salah satunya adalah
reaksi kakek Tesla dan Ryouta saat mendengar ceritanya. Keduanya mengatakan
kalau robot seperti Raj, adalah jenis robot perang yang sudah lama sekali punah
dari Bumi. Ryouta bahkan bilang kalau dirinya pernah menghadapi serbuan
batalyon terakhir dari seri Rakshasa milik United Asian Nation pada masa
setelah Perang Bulan Kedua. Sementara itu, robot seperti Vinctus harusnya tidak
mungkin ada di Bumi, sebab itu robot-robot yang khusus diciptakan untuk program
Mars Terraforming, lebih dari satu milenium yang lalu. Belum lagi Machina yang
juga ditemui Maria di kafe bernama Shelter 19 itu. Menurut kakek Tesla, senjata
pemusnah massal itu harusnya juga sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Konon
katanya Catastrophy juga telah melenyapkan para Machina yang tersisa di dunia
ini.
Ryouta juga mengatakan bahwa tidak pernah ada kafe semacam itu di sekitar
Bravaga. Setidaknya, tidak ada setelah Catastrophy melanda seluruh dunia,
mengubah wajah bumi, dan memusnahkan peradaban manusia. Tempat Maria dan Buggy ditemukan
terbaring waktu itu, ratusan tahun yang lalu memang merupakan sebuah kota yang
cukup ramai. Namun Perang Bulan Kedua telah meratakan, bahkan membuat tempat
itu jadi danau kawah besar, yang konon dihuni seekor mutan buas berumur ratusan
tahun.
Mendengar penjelasan dari dua robot kuno itu, Maria jadi semakin bertanya-tanya.
Mungkinkah kafe aneh bernama Shelter 19 itu hanya mimpi
akibat efek Kabut Elektrik?
Tapi kalau itu hanya mimpi... Maria tidak bisa menjelaskan bagaimana dia
bisa membawa pulang sebuah kompas aneh bersuara merdu di tangannya ini. Benda itulah
satu-satunya bukti nyata yang meyakinkan Maria kalau pertemuannya dengan para
robot aneh di Shelter 19 itu benar-benar terjadi, bukan sekedar mimpi atau
halusinasi semata. Meskipun hanya sejenak, tapi Maria sedikit banyak merindukan
suasana nyaman dan sensasi aman yang dia rasakan saat itu. Rasanya seperti dia
sedang berada di dalam rumahnya sendiri.
“Shelter 19...” Maria bergumam sambil mengingat-ingat suasana kafe
misterius itu. Dia lalu tersenyum dan mengarahkan kompasnya itu ke arah
matahari yang bersinar terik di atas sana. Tiba-tiba saja dia bangkit dan
memandang lurus ke arah kerimbunan hutan yang berada jauh di luar batas kota
Bravaga.
“Aku tidak tahu tempat apa itu sebenarnya, tapi suatu saat nanti, aku akan pergi
mencarinya, dan benda inilah yang akan menuntunku ke sana!”
Maria berseru penuh semangat pada dirinya sendiri, sembari menyunggingkan
senyum khasnya. Dan Ryouta yang tidak sengaja melihat sosok gynoid itu dari
kejauhan, langsung menghela nafas panjang.
Mulai lagi deh! Gerutunya
dalam hati.
~FIN?~
red_rackham 2014
Comments