[FdC-JU] Para Pemburu Maut
Aku melangkah masuk ke dalam area TKP sambil menutup
hidung dengan sebelah tangan. Bau anyir darah selalu membuatku tidak nyaman.
Meski tidak sampai membuatku mual dan ingin muntah, tetap saja aku tidak suka
mencium bau itu. Tapi apa boleh buat. Ini bagian dari pekerjaanku sebagai
anggota tim penyidik di kepolisian.
“Bagaimana kondisinya?”
Aku menyapa seorang polisi yang berjongkok sambil
menutupi sesuatu dengan kain hitam. Dia langsung menoleh dan mencermati sosokku
sejenak, sebelum memberi hormat singkat, kemudian menjawab pertanyaanku.
“Buruk, kolonel Dika. Aku belum pernah lihat yang seperti
ini sebelumnya,” ujarnya dari balik masker bedah yang dia kenakan. “Ada tiga
korban dan semuanya mati karena mutilasi. Tapi jujur saja, selama 10 tahun jadi
petugas olah TKP, aku belum pernah melihat situasi seperti ini. Beberapa
juniorku yang datang tadi langsung sibuk menguras isi perut mereka di pojokan
sana.”
Aku memandang ke segala arah. Wajar saja kalau ada
petugas yang sampai muntah-muntah begitu datang ke tempat ini, karena gang lebar
tempat terjadinya pembunuhan sadis ini sudah berubah jadi neraka. Darah dan
potongan daging korban ada dimana-mana, membuat dinding dan tanah berlapis
beton menjadi berwarna merah gelap. Pandanganku lalu teralih ke
potongan-potongan besar tubuh korban yang sudah ditutupi dengan kain hitam.
“Jadi...kira-kira siapa pelakunya?” tanyaku lagi pada si
petugas olah TKP.
“Monster,” sahutnya singkat. “Setidaknya itu yang ada di
pikiranku begitu sampai disini. Semua korban mati mengenaskan dengan cara
dikoyak sampai hancur, kemudian potongan tubuh mereka dihempaskan ke segala
arah, hingga membuat darahnya menghiasi dinding dan tanah. Kecuali ada beruang atau
gorila raksasa kebun binatang Ragunan lepas di tengah kota Jakarta, aku tidak
percaya ada makhluk lain yang bisa membuat kekacauan seperti ini.”
Masuk akal, gumamku.
“Yah...tapi tentu saja makhluk seperti itu tidak
sungguh-sungguh ada dan berkeliaran di tengah kota kan?” ujar si petugas lagi
sambil mengangkat bahunya. “Itu cuma pendapatku saja, pak. Jangan terlalu
dipikirkan.”
Sambil tersenyum, aku menepuk ringan bahunya. “Benar.
Tentu saja mereka tidak ada,” ujarku. “Lanjutkan tugasmu. Hubungi aku kalau ada
perkembangan lain.”
Sang petugas tidak menjawab dan hanya memberi salam
hormat singkat, kemudian kembali sibuk dengan pekerjaannya. Sambil
memperhatikan dengan seksama, aku menghampiri potongan tubuh salah satu korban
dan menyingkapkan kain hitam yang menutupinya.
Aku mengernyit jijik melihat kondisi potongan tubuh yang
terkoyak itu. Seperti kata petugas olah TKP tadi, korban sepertinya dikoyak
oleh sesosok makhluk yang sangat kuat. Tidak ada bekas potongan, artinya
makhluk itu tidak merobek tubuh korban dengan cakar, melainkan dengan kekuatan
fisik semata.
Makhluk apa yang bisa melakukan ini? Aku bergumam dalam hati sambil memeriksa potongan tubuh
lainnya. Hasilnya sama. Semua korban memang disobek sampai mati oleh sang
pelaku.
“Kolonel Dika.”
Aku mendengar ada yang menyapaku, jadi aku langsung
berbalik dan berhadapan dengan kapten Bayu dari tim olah TKP kepolisian. Ekspresi
wajahnya jelas-jelas menunjukkan kalau dia tidak mau lama-lama di tempat ini.
“Kapten Bayu, senang bertemu anda,” ujarku sambil
berjabat tangan dengannya. “Ada saksi mata?”
Kapten muda itu menggaruk kepalanya sejenak, kemudian
mengangkat buku saku yang dia pegang sejak tadi. “Ada...tapi rasanya
keterangannya tidak bisa dipercaya,” ujarnya ragu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Yah...soalnya saksi mata itu mengaku dia melihat sesosok
makhluk tinggi-besar-berotot dan bermata tiga, membunuh ketiga korban dengan
merobek tubuh mereka...katanya semudah merobek roti dengan tangan kosong...”
jawab kapten Bayu sambil membaca catatannya. “Ada dua saksi mata yang
menyebutkan hal serupa...tapi rasanya itu mustahil...makhluk seperti itu tidak
mungkin berkeliaran di tengah kota metropolitan seperti ini kan?”
Mungkin saja, pikirku
sambil menghela nafas panjang.
Mendengar keterangan kapten Bayu, kini aku tahu siapa,
atau lebih tepatnya, apa yang kuhadapi sekarang. Dan dengan begitu, aku
membutuhkan bantuan seseorang.
Sebenarnya aku lebih memilih tetap tinggal dan bekerja
bersama tim olah TKP untuk mengumpulkan potongan tubuh korban, daripada bertemu
orang itu. Tapi aku tidak punya banyak pilihan...
Semoga dia tidak langsung menembakku begitu melihatku muncul di depan pintu
rumahnya...gumamku dalam hati.
****
Aku selalu
membenci rumah ini. Setiap kali aku datang ke depan pintu depannya, setiap
sudut rumah tua ini seakan menjerit untuk minta direnovasi total. Tapi
sebenarnya penampilan rumah ini kurang lebih menggambarkan siapa yang tinggal
di dalamnya.
Cukup lama aku berdiri di depan pintu kayu tua yang
tampak rapuh ini. Sebagian diriku ingin aku segera berbalik dan pulang, tapi
sebagian lagi terus menyuruhku untuk mengangkat jari dan menekan tombol bel di
samping pintu.
Oke...sekarang atau tidak sama sekali!
Sambil membulatkan tekad, aku menekan tombol bel. Suara
dentang lonceng segera terdengar nyaring dan bergema di dalam rumah.
Selama beberapa menit tidak ada yang terjadi, tapi
kemudian aku mendengar suara orang berlari tergopoh-gopoh di dalam rumah,
diikuti suara denting logam yang begitu aku kenal.
Sialan! Aku mengumpat dan
buru-buru melompat minggir dari pintu depan karena sudah tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya.
Keputusanku sangat tepat, karena sedetik kemudian pintu
depan rumah langsung hancur jadi serpihan kayu, ketika sesuatu meledak dari
dalam rumah. Telat sedikit saja, tubuhku pasti sudah dipenuhi oleh potongan
kayu jati...dan tentu saja itu akan sangat sakit sekali...
Gawat! Ini tidak baik!
Aku berseru panik sambil berdiri dan mencabut sepucuk pistol dari balik jaket
yang kukenakan, kemudian mengarahkannya ke pintu rumah yang kini sudah tidak
ada. Dari balik debu yang masih mengepul di udara, tiba-tiba saja seorang gadis
berambut putih panjang melompat keluar, berguling di tanah, kemudian
menodongkan sepucuk pistol besar yang kalibernya setara dengan sebuah senapan
anti-tank.
“Berani juga kau datang kemari...bocah!” geram gadis itu
sambil membidik ke arah kepalaku. “Sudah bosan hidup ya?!”
“Tunggu!!” Aku buru-buru berseru dan mengangkat kedua
tanganku ke atas kepala. “Sebentar! Jangan tembak!”
Gadis itu menyeringai sambil memiringkan kepalanya.
Jemarinya sudah melingkar di pelatuk dan siap untuk menariknya kapan saja.
“Beri aku satu alasan bagus kenapa aku tidak bisa
mengubah kepalamu jadi bubur,” ujarnya sambil mengangkat telunjuknya.
“Satu...alasan...BAGUS!”
Aku menelan ludah dan berharap alasanku datang kemari
sudah cukup untuk menghentikannya menembakkan senjata mautnya ke kepalaku.
“Ada kasus pembunuhan sadis yang terjadi di tengah kota
Jakarta kemarin malam. Tiga orang jadi korban. Mereka semua mati dikoyak-koyak
oleh sesuatu...” Aku berhenti sejenak dan membiarkan kalimatku menggantung di
udara, kemudian melanjutkan perkataanku dengan nada se-dramatis mungkin “...aku
percaya mereka dibunuh oleh Sang Maut.”
Bingo!
Begitu mendengarku menyebutkan kata ‘Sang Maut’, ekspresi
wajah si gadis langsung berubah. Kedua matanya terbelalak, sementara seringai
di bibirnya jadi semakin lebar.
“Sang Maut?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Di Jakarta?” tanya gadis itu sekali lagi. Dan sekali
lagi aku mengangguk.
“Tidak salah lagi. Tidak ada makhluk yang bisa merobek
manusia jadi potongan-potongan kecil,” jawabku. Kemudian aku segera
menambahkan. “Kecuali ada beruang atau gorila ganas yang lepas dari kebun
binatang dan berkeliaran di tengah kota.”
“Omong kosong!” sahut si gadis sambil berdiri tegak dan
merapikan pakaiannya yang dipenuhi debu bekas ledakan. “Itu pasti Sang Maut! Tidak
salah lagi!”
Sambil menurunkan pistol raksasanya, gadis berambut putih
itu langsung tersenyum lebar ke arahku. Sepertinya berita yang kubawa sudah
membuatnya melupakan amarah besarnya kepadaku...dan aku benar-benar bersyukur
untuk itu. Soalnya pada perburuan kami yang terakhir, aku membiarkannya nyaris
tewas tertusuk cakar Sang Maut. Dan itu membuatnya berang bukan main dan ingin
membalas dendam padaku. Untung saja sepertinya sekarang dia sudah melupakan
masalah itu.
“Bagaimana pendapatmu, Millia?” tanyaku sambil ikut
berdiri dan mengembalikan pistolku ke tempatnya semula. “Apa kita diamkan saja
dan biarkan polisi yang mengambil alih masalah ini?”
Masih sambil tersenyum lebar, gadis bernama Millia itu
langsung mengepalkan sebelah tangannya di depan wajah. Kedua matanya yang
berwarna keemasan langsung dipenuhi kobaran api semangat.
“Jangan konyol!” serunya penuh semangat. “Tentu saja kita
buru dan kembalikan dia ke lubang neraka tempatnya merangkak naik!”
****
Berburu Sang Maut tidak pernah menjadi pekerjaan yang
mudah, meskipun aku sudah melakukannya selama 5 tahun sebagai pekerjaan lain,
selain menjadi seorang penyidik di kepolisian. Bahkan bagi Millia, yang telah
memburu makhluk-makhluk kegelapan itu selama lebih dari 100 tahun, baginya
pekerjaan itu sama sulitnya.
Yang jelas, pertama-tama kami harus mencari petunjuk
mengenai apa jenis Sang Maut yang kami hadapi, dan dimana kira-kira kami bisa
menemukan makhluk itu. Dan tentu saja, untuk yang pertama kali, aku harus
membawa Millia ke tempat kejadian perkara.
“Berantakan...kacau...bleh! Selera Sang Maut yang ini
buruk sekali.”
Aku mendengar Millia berkomentar sambil berjalan di
tengah gang sempit tempat terjadinya peristiwa pembantaian. Saat ini petugas
olah TKP sudah membawa semua potongan tubuh korban untuk di autopsi dan
diselidiki. Untungnya mereka tidak membersihkan percikan dan genangan darah
yang tersisa, kalau tidak pekerjaan kami akan jadi lebih sulit lagi.
“Bagaimana? Kali ini apa yang kita hadapi?”
Sambil menoleh ke arah dua orang petugas polisi yang
memandangi kami dengan tatapan bingung, aku bertanya pada Millia, yang sekarang
sedang menyentuh dinding rumah yang terkena percikan darah korban.
“Brute?”
sahutnya singkat, tanpa menoleh ke arahku. “Mungkin juga Berserker. Tapi aku tidak begitu yakin. Baunya tercampur aduk
dengan bau bak pembuangan sampah di seberang rumah sana, jadi aku tidak bisa
mencium dengan jelas apa tipenya. Yang jelas kita butuh senjata besar untuk
menghabisinya.”
Aku menatap sejenak ke arah pistol semi-otomatis yang
tergantung di holster di balik
jaketku. Tentu saja senjata seperti ini tidak akan berguna melawan Sang Maut.
Aku butuh senjata khusus yang dinamakan Death
Order, atau Perintah Maut, untuk membunuh Sang Maut.
“Praxis?”
tanyaku lagi sambil menyebutkan nama salah satu Death Order favoritku.
“Tidak. Terlalu kecil,” bantah Millia. “Dunames lebih cocok. Walaupun benda itu
selalu membuatku terlihat konyol.”
“Jangan Dunames!”
Aku mengerang protes.
Dunames adalah salah satu
tipe Death Order yang paling kuat,
tapi juga paling berat dan paling sulit digunakan. Daripada Dunames, aku lebih senang menangani Tempestas atau Triton, meskipun sebenarnya kedua senjata itu hampir sama
menjengkelkannya dengan Dunames.
“Apa yang kau harapkan?” ujar Millia sambil menunjuk ke
arah dadaku. “Kau adalah seorang Pemburu, dan seorang Pemburu harus selalu
menggunakan senjata yang tepat untuk memburu mangsanya. Jangan banyak mengeluh.
Kita tidak punya banyak waktu. Sang Maut ini sepertinya sudah makan terlalu
banyak, kalau dibiarkan terlalu lama, dia akan naik tingkat dan itu akan
membuat pekerjaan kita jadi amat sangat berat.”
Ucapan Millia ada
benarnya. Sang Maut yang dibiarkan memangsa terlalu banyak manusia akan berubah
ke bentuk yang lebih kuat, dan kalau itu terjadi, maka pekerjaan kami sebagai
Pemburu akan jadi lebih sulit. Terutama karena Sang Maut itu jadi lebih pintar
dan jauh lebih sulit dibunuh dari sebelumnya.
“Apa boleh buat,” ujarku pasrah. “Apa kau tahu kemana
makhluk itu pergi, atau dimana dia bersembunyi?”
Sambil menepuk dadanya, Millia berkata dengan penuh
percaya diri.
“Hei! Kau pikir kau sedang bicara dengan siapa?” ujarnya
sambil tersenyum lebar. “Aku Millia The
Witch, Millia Sang Penyihir! Aku bisa melacak keberadaan Sang Maut selama
dia meninggalkan secuil jejak. Dan disini, makhluk konyol itu meninggalkan
banyak sekali jejak yang bisa kulacak dengan mudah!”
Aku balas tersenyum ke arahnya. Aku tahu dia selalu bisa
diandalkan.
“Bagus! Sekarang ayo kita ambil perlengkapan kita!”
Aku berseru sambil berjalan pergi meninggalkan TKP,
menuju ke tempat kami menyembunyikan semua senjata dan perlengkapan berburu
kami.
****
Mengikuti jejak Sang Maut yang sudah berumur dua hari
bukan perkara mudah. Bahkan Millia yang memiliki indra penciuman yang sangat
tajam, beberapa kali harus menebak arah perginya makhluk dari neraka itu. Meskipun
demikian, usaha perburuan kami sama sekali tidak sia-sia, ketika melewati
sebuah pabrik kosong di kawasan Jakarta Selatan, aku melihat sekelebat bayangan
raksasa bergerak diantara tumpukan mesin-mesin yang berkarat. Ketika turun dari
mobil, Millia langsung mengkonfirmasi bahwa itu adalah Sang Maut yang kita
buru, dan ternyata makhluk itu bertipe Brute.
Aku bersyukur bahwa makhluk itu bukan Berserker seperti yang kami duga
sebelumnya. Brute lebih mudah dibunuh,
meskipun secara fisik mereka lebih kuat dan besar daripada Berserker, tapi mereka lebih bodoh dan hanya bisa mengamuk saja.
“Bersiaplah, Dika. Walaupun yang kita hadapi ini Brute, tapi kita tidak boleh lengah.”
Millia bicara sambil mengambil Dunames
dari bagasi mobilku. Senjata yang lebih mirip basoka itu membuatnya terlihat
canggung, karena ukuran benda itu nyaris sama tinggi dengan tubuhnya. “Kau
dengar aku?”
“Iya!” sahutku enggan. Selama beberapa detik aku
memandangi Dunames milikku yang
tergeletak di bagasi mobil. Sambil mengerang, aku mengangkat senjata itu.
Berat! keluhku dalam
hati.
Setelah mempersiapkan Dunames,
aku melangkah melewati pintu gerbang pabrik dan segera memandang ke segala
arah. Kemudian aku menoleh ke arah Millia.
“Ke arah mana?”
“Berpencar,” jawab Millia. “Baunya pekat sekali di
seluruh area pabrik ini, jadi aku tidak tahu pasti dimana dia berada. Yang
jelas makhluk ini sudah tinggal di dunia ini lebih lama dari yang kuperkirakan
sebelumnya. Kita tidak boleh gegabah. Mungkin saja Sang Maut ini sudah jauh
lebih kuat dari seharusnya.”
Aku mengangguk, kemudian mulai berjalan menyusuri sisi
timur areal pabrik, sedangkan Millia pergi menjelajahi sisi barat. Sambil
berjalan menenteng senjata beratku, aku menajamkan seluruh indraku dan berusaha
menangkap suara atau gerakan sedikit apapun. Tapi setelah menyisir area timur
pabrik cukup lama, rasanya janggal karena aku belum menemukan sesuatu. Dengan
gelisah aku memandang ke arah langit yang semakin gelap.
Bagaimana disana? Apa kau menemukan sesuatu? Aku berpikir keras untuk mengirimkan telepati pada
Millia.
Masih nihil. Aku mendengar
suara Millia dengan jelas dalam kepalaku. Kurasa
kita harus bergerak lebih cepat lagi. Sebentar lagi matahari terbenam dan Sang
Maut itu akan jadi lebih kuat.
Setuju! Balasku lagi.
Setelah itu kembali sunyi ketika Millia memutuskan hubungan telepatinya
denganku.
“Kemana dia?” gerutuku sambil memasuki sebuah gudang tua
yang ada di dekatku.
Gudang itu gelap gulita, tapi itu tidak menghalangiku
karena aku bisa melihat dalam gelap dengan mudah. Meskipun begitu, aku gagal
melihat sosok Sang Maut yang mendadak muncul dari balik kegelapan dan menerjang
ke arahku.
Gara-gara serangan mendadak itu, aku tidak sempat berbuat
apapun dan hal terakhir yang kutahu adalah...tubuhku sudah melayang tinggi ke
udara dan kemudian jatuh ke lantai beton...kepala terlebih dahulu.
****
Sakit!
Hal pertama yang kusadari waktu kesadaranku kembali
adalah fakta bahwa leherku patah. Serangan Sang Maut tadi membuatku mendarat
dengan posisi yang sangat salah, sehingga leherku dipaksa menahan seluruh beban
tubuh. Beruntung kepalaku tidak pecah dan otakku tidak berhamburan kemana-mana,
karena itu pasti sangat menjijikkan sekali.
Sambil mengembalikan leher ke posisi semula, perlahan aku
bangkit dan mengerang kesakitan. Tidak setiap hari lehermu patah dan tentu saja
rasanya sakit sekali. Begitu kondisiku sedikit lebih baik, aku langsung
memandang ke segala arah dan menyadari kalau Sang Maut sudah tidak ada. Tapi
dari kejauhan aku bisa mendengar suara dentuman nyaring dan raungan bernada
tinggi.
Tanpa buang-buang waktu lagi, aku berdiri dan
mencari-cari dimana Dunames berada.
Tapi sialnya benda itu sudah tidak ada didekatku. Aku tidak tahu dimana senjata
itu berada, tapi mungkin saja Dunames
terlepas dari peganganku ketika aku terbang di udara, lalu jatuh entah dimana.
Sial! Umpatku sambil
mengambil Lumix dari sabuk di balik
pinggang. Pistol kecil itu tidak akan efektif melawan sebuah Brute, tapi setidaknya aku punya sebuah
senjata.
Masih sambil terhuyung-huyung, aku berlari ke arah
datangnya suara. Ketika sampai, aku tidak terlalu terkejut melihat Millia sudah
terbaring dengan posisi tubuh yang terlihat sangat janggal, sedangkan Sang Maut
berdiri sambil memegangi Dunames
seperti sebuah tongkat kasti. Makhluk bermata tiga itu langsung mengarahkan
pandangannya ke arahku, sebelum meraung keras sambil berlari mendekat.
Spontan aku menembakkan senjataku ke arah Sang Maut.
Sayangnya peluru-peluru yang ditembakkan Lumix
gagal menembus kulit dan ototnya yang keras, alih-alih kesakitan makhluk itu
justru terlihat semakin buas. Sambil meraung sekuat tenaga, Sang Maut
mengayunkan Dunames yang dia pegang
ke arah kepalaku. Merasa sudah cukup tadi leherku patah, aku tidak mau
membiarkan basoka logam itu memecahkan batok kepalaku. Dengan cepat aku
menunduk dan menembak selangkangan makhluk neraka itu dari jarak dekat.
Meskipun peluru Lumix kembali gagal
menembus kulitnya, tapi tembakan itu sepertinya terasa cukup sakit, karena Sang
Maut kembali meraung marah sambil mengayunkan sebelah tangannya yang berotot ke
arahku.
Sekali lagi makhluk itu gagal menyentuh tubuhku, karena
aku sudah melompat tinggi dan menembakkan satu peluru lagi tepat ke salah satu
mata Sang Maut. Kali ini peluru itu sukses menembus mata Sang Maut dan membuatnya
melompat mundur kesakitan, sambil menutupi lukanya dengan kedua tangan. Pada
saat yang sama Dunames terlepas dari
genggamannya, dan itu tentu saja tidak ku sia-siakan. Dengan segera aku
menyambar senjata maut itu dan membidik ke arah Sang Maut yang masih meraung
kesakitan.
“Makan nih!”
Sambil berseru nyaring, aku menarik pelatuk dan sebutir
peluru energi murni yang ditembakkan Dunames
langsung menghancurkan tubuh Sang Maut hingga berkeping-keping. Tapi sentakan
balik yang dihasilkan tembakan barusan juga membuat pundakku langsung patah,
sehingga Dunames terlempar jauh ke
belakang dan mendarat dengan suara keras di atas pelataran parkir. Meskipun pundakku
kini terasa sakit bukan main, tapi aku puas karena buruanku sudah hancur.
Satu-satunya yang tersisa dari Sang Maut tadi adalah telur kristal seukuran
telur ayam yang tergeletak di tanah.
Aku langsung mengambil telur itu dan mengamatinya
sejenak. Di tanganku, telur kristal itu berpendar lembut dengan cahaya merah
pucat. Setelah puas dengan apa yang kudapat, aku berjalan menghampiri Millia
yang masih berusaha pulih dari luka-lukanya. Suara derak dan gemeretak yang
membuat ngilu mengiringi proses penyembuhannya. Tidak lama kemudian dia sudah
kembali sadar dan perlahan bangkit sambil mengerang kesakitan.
“Dimana Brute
itu?” tanya Millia sambil memegangi pinggangnya, yang masih bengkok dengan
posisi tidak wajar.
“Mati. Aku meledakkan makhluk itu dengan Dunames,” jawabku. “Tapi sebelah
tanganku patah gara-gara menembakkan Death
Order itu.”
Millia menggeram dan memutar pinggangnya. Dengan diiringi
suara derak nyaring, pinggang gadis itu kembali seperti semula. Dia lalu
berdiri sambil berpegangan pada sebelah tanganku.
“Kerja bagus...” gumamnya. “Dapat sesuatu?”
Aku menunjukkan telur kristal yang tersisa dari Sang Maut
kepada Millia.
“Telur Keputusasaan,” jawabku ringan. “Cukup untuk
menghapuskan niat bunuh diri sekitar 20 orang, atau bisa menghilangkan hawa muram
yang menggantung di area penjara atau rumah sakit selama sebulan penuh.”
“Cukup bagus. Kita bisa letakkan telur itu di bangsal
perawatan pasien yang mengidap kanker. Itu seharusnya cukup untuk membuat
semangat hidup mereka terjaga, paling tidak selama sebulan berikutnya,” balas
Millia sambil tersenyum. “Bagaimana menurutmu?”
Aku mengangguk setuju. Untuk hal-hal yang terkesan sepele
seperti itulah aku terjun ke dalam dunia lain dibalik ingar-bingar kota
Jakarta. Artifak magis yang kadang muncul setelah aku membunuh Sang Maut inilah
yang membuatku membuang sisi manusiaku dan menjadi bagian dari Para Pemburu.
Meskipun itu artinya aku jadi harus berhadapan dengan makhluk-makhluk buas dari
neraka, tapi rasanya itu sebanding dengan hasilnya. Kalau bukan karena jasa
orang-orang sepertiku dan Millia, mungkin kota Jakarta telah lama tenggelam
dalam kegelapan dan kekacauan.
“Lakukan saja. Sudah agak lama kita tidak mendapat benda
seperti ini,” jawabku sambil menyerahkan Telur Keputusasaan pada Millia.
“Oke. Akan
kubuatkan ritualnya nanti,” sahut Millia sambil menepuk punggungku. “Ayo kita
pulang.”
Tanpa bicara lagi, kami berdua berjalan meninggalkan area
pabrik, tempat kami berburu tadi. Saat ini matahari sudah sepenuhnya tenggelam
dan bulan sabit yang cantik sudah menghiasi langit kota Jakarta. Sambil
memandang ke arah bulan yang baru terbit diantara gedung-gedung pencakar langit,
aku tersenyum getir.
Kota Jakarta. Dibalik gemerlapnya suasana kota di malam
hari, ada makhluk-makhluk dari dasar neraka yang mengancam kehidupan manusia.
Dan suatu hari nanti, mungkin jumlah mereka akan jauh lebih banyak daripada yang
bisa dibunuh oleh kami, Para Pemburu. Kalau itu terjadi...mungkin itu artinya
kiamat bagi kota Jakarta.
Hembusan angin malam Jakarta yang bercampur dengan aroma
asap knalpot kendaraan tiba-tiba saja membuatku merasa lebih baik. Itu menjadi
pertanda bahwa kehidupan manusia di kota ini akan bertahan, setidaknya untuk
malam ini...
Tapi untuk seterusnya?
Entahlah...
~FIN?~
red_rackham 2013
*note: Ini adalah hasil menjawab tantangan cerpen Jakarta Undercover yang di Sub-Forum Fiction IDWS. Lihat selengkapnya di: Tantangan Jakarta Undercover IDWS
Comments