Agustusan 2011: Pahlawan Dibalik Jeruji Besi

Agustusan 2011: Pahlawan Dibalik Jeruji Besi

 

Tanggal tujuh belas Agustus.....

Tanggal yang bersejarah bagi bangsa Indonesia.

Tanggal yang bahkan dianggap sakral oleh sebagian orang dan disebut-sebut memiliki banyak makna selain sebagai Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Tanggal yang merepresentasikan hasil perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan yang telah direnggut oleh bangsa asing selama lebih dari 3,5 abad.

Tanggal yang menandakan bahwa pada akhirnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang bebas, lepas dari tekanan para penjajah rakus yang bercokol bagai parasit di atas bumi pertiwi.

Setidaknya itulah makna tanggal 17 Agustus bagi hampir seluruh warga yang tinggal di zamrud khatulistiwa ini.

Tapi tidak bagiku.

Bagiku tanggal 17 Agustus adalah momok menakutkan yang ingin sekali kuhindari. Kalau bisa, aku ingin sekali menghapuskan angka 17 dari kalender bulan Agustus, meski aku sadar itu tidak mungkin terjadi. Kecuali kalau aku pergi ke masa lalu dan membunuh atau mengancam siapapun yang membuat kalender itu agar menghapus tanggal 17 dari bulan Agustus. Tapi sekali lagi aku menyadari itu hanyalah khayalan belaka. Tidak mungkin jadi kenyataan.

Aku menghela nafas lagi sambil memandang langit di balik batang-batang baja yang kokoh membatasi antara diriku dan dunia luar.

Sudah hampir 3 bulan ini aku tinggal di tempat ini. Tempat yang bagi sebagian orang merupakan sebuah momok menakutkan, hingga mereka bersedia menghalalkan segala cara untuk menghindari tempat ini. Tapi tempat ini juga merupakan semacam ‘villa pribadi’ bagi sebagian orang yang punya cukup uang untuk menikmati fasilitas tidak masuk akal yang seharusnya tidak ada disini.

Ya.

Tempat ini bernama penjara.

Dan karena aku ada disini, tentu saja itu artinya aku adalah seorang narapidana. Tapi aku bukan seorang narapidana biasa....aku adalah seorang terpidana mati.

MATI.

Kata-kata yang menakutkan bagi setiap orang, termasuk diriku.

Memang semua orang pada akhirnya akan mati, tapi akan lebih tidak menakutkan kalau kita tidak tahu kapan kita akan mati. Kalau kita sudah tahu kapan kita akan mati....yah......rasanya luar biasa menakutkan.

Mati.

Ya.

Pada tanggal 17 Agustus nanti nyawaku akan berakhir.

Berhubung di Indonesia tidak ada hukuman gantung, sudah bisa dipastikan aku tidak akan berakhir di tiang gantungan. Mungkin nyawaku nanti akan berakhir di tangan regu tembak atau dokter yang akan menyuntik mati diriku.

Kalau bisa sih...aku pilih mati disuntik karena sepertinya aku tidak perlu lama-lama merasa sakit....atau mungkin aku tidak akan merasakan sakit sama sekali.

Sayangnya aku tidak bisa memilih jalan kematianku sendiri. Pengadilan yang akan memutuskan bagaimana aku mati nantinya.

Untuk kesekian kalinya hari ini, aku kembali menghela nafas panjang.

Kalau sudah begini...rasanya hidup juga sia-sia. Apapun yang kulakukan sekarang rasanya percuma saja karena toh 5 hari lagi, aku akan mati.

Sekilas aku melirik ke arah kalender yang tergantung di sel tahananku yang kecil dan gelap.

Tanggal 12 Agustus....ya.....hidupku tinggal 5 hari lagi.

Kalau berita acara pengadilan yang kuterima itu benar....maka aku akan mati pada tanggal 17 Agustus 2011, tepatnya pada pukul 18.00, tidak lama setelah matahari terbenam.

Hah....lucu sekali kalau nyawaku harus berakhir akibat suatu perbuatan yang tidak pernah kulakukan.

Terorisme....teroris....

Itulah stigma yang dilekatkan pada diriku ketika mereka menyerbu rumahku dan memenjarakan diriku. Kemudian tidak lama kemudian...mereka memutuskan untuk menghukum mati diriku.

Hanya karena sebuah paket nyasar yang sampai di rumahku 3 bulan yang lalu. Harusnya sejak awal aku langsung mengembalikan paket itu ke perusahaan jasa pengiriman barang yang mengirimnya. Tapi apa boleh buat....kemalasanku waktu itu berakibat fatal.

Aku sama sekali tidak tahu paket nyasar itu berisi ratusan butir amunisi dan beberapa kilogram bahan peledak berdaya ledak tinggi.

Gara-gara menerima paket itu, aku jadi dikait-kaitkan dengan jaringan terorisme yang sedang marak menjalankan aksinya di Indonesia. Memang wajar orang berpikiran seperti itu, tapi jadi tidak wajar kalau aku tiba-tiba saja dituduh menjadi dalang dibalik peristiwa pemboman yang mengakibatkan nyawa puluhan orang melayang beberapa bulan yang lalu.

Media massa juga tidak membantu. Mereka mengipasi berita dan rumor-rumor yang beredar di masyarakat mengenai diriku hingga pada akhirnya orang-orang mengenalku sebagai seorang teroris ahli bom.

Hah! Padahal aku sama sekali tidak tahu menahu soal bom dan alat-alat pembunuh semacam itu. Toh aku ini hanya tamatan SMA yang bekerja sebagai buruh pabrik. Tahu apa aku soal bom, terorisme, radikalisme, dan semua isme-isme lainnya? Kalaupun aku tahu, aku tidak peduli. Yang kupedulikan tiap hari adalah bagaimana aku bisa makan besok tanpa diusir dari rumah kosku.

Sekali lagi aku menghela nafas panjang.

Menggerutu, mengumpat, mengomel, atau berargumen sendiri sudah tidak ada gunanya. Apapun yang kulakukan dan kukatakan, hukuman itu sudah ditetapkan. Kecuali ada suatu keajaiban....aku hampir pasti tidak akan bisa melihat matahari terbit pada tanggal 18 Agustus nanti.

“Kenapa murung?”

Aku menoleh karena ada yang memanggil dan berhadapan dengan teman sesama narapidana di penjara tempatku dikurung.

Diantara semua narapidana di penjara ini, dialah satu-satunya orang yang menyapaku dan mau berbicara denganku. Semua narapidana yang lain berusaha menghindar dan enggan berinteraksi dengan orang yang nyawanya tinggal kurang dari seminggu ini. Hanya narapidana bernama Alvin ini yang sering berbicara denganku.

“Gimana ga murung? Bentar lagi gue bakalan mokat....” balasku sambil bersandar ke pintu sel yang dingin dan keras. “Emangnya enak mikirin nyawa gue bakal dicabut 5 hari lagi?”

“Yah....aku bisa paham sih....tapi kan masih ada waktu 5 hari lagi. Siapa tahu pengadilan berubah pikiran dan akhirnya membebaskanmu,” balas Alvin dengan santainya. Kadang-kadang aku ingin sekali menghajar orang ini karena sifatnya yang santai dan cengengesan itu. Lagipula...waktu 5 hari itu akan terasa berlalu cepat sekali kalau kau ada dalam posisiku.

“Loe kira gue ini tajir mampus sampe bisa nyuap hakim dan jaksa pengadilan?!” bentakku sambil memukul jeruji besi di belakangku. “Cuma duit yang bisa bikin gue bebas dari semua fitnah ga masuk akal ini!! Dan GUE INI KAGAK PUNYA DUIT, TAHU!!!!”

Alvin mengangkat kedua tangannya dan tersenyum kecut mendengar seruanku.

Tapi apa yang kukatakan ini tidak salah. Sejak awal aku ditahan, pengadilan seakan-akan berusaha memastikan kalau aku adalah seorang teroris, seorang jenius gila pelaku pemboman, seorang bajingan yang seharusnya mati di tiang gantungan....atau di lapangan tembak.....Apapun yang kukatakan, saksi apapun yang dihadirkan, fakta apapun yang ditampilkan, sama sekali tidak membuat putusan pengadilan goyah. Tentu saja kecuali aku punya cukup uang untuk memutar balikkan fakta pengadilan dan menggoyahkan putusan absolut mereka.

Tapi berhubung aku tidak punya uang....semua perjuanganku sia-sia saja. Seakan-akan aku ini cuma tumbal untuk memuaskan rasa ‘keadilan’ masyarakat atau segelintir orang saja. Sama sekali tidak ada keadilan untukku.

“Yah...kalau sudah begini sih kamu cuma bisa berdoa saja,” ujar Alvin lagi sambil duduk di lantai, tepat di sampingku. Pria bertampang menyebalkan itu lalu mendongak ke arahku. “Setidaknya kau sudah sempat berusaha mati-matian untuk membela diri. Kalau itu semua tidak berhasil...yah...apalagi yang bisa kau lakukan selain berdoa pada Tuhan?”

Aku menggeram lagi dan ingin sekali mengamuk. Tapi aku juga sadar Alvin benar.

Kekuatan apalagi yang kumiliki untuk mempertahankan nyawa dan kemerdekaanku kalau sudah begini? Tidak ada. Satu-satunya kekuatan yang bisa kuandalkan saat ini hanyalah kekuatan dari Tuhan dan mentalku sendiri.

Kalau kupikir-pikir....hebat juga aku tidak jadi gila atau memutuskan bunuh diri setelah semua yang kulalui ini. Aku baru tahu sekarang kalau aku bermental baja. Mungkin daripada buruh pabrik, dari dulu aku sebaiknya melamar jadi tentara saja.

Yah......tapi itu lagi-lagi hanyalah angan-angan kosong.

Toh sekali lagi aku mengingatkan diriku sendiri.....nyawaku tinggal 5 hari lagi.

“Tapi aku tetap berpendapat kalau kau belum boleh menyerah hingga tiba waktu eksekusi itu.”

Tiba-tiba Alvin berbicara lagi sambil berdiri dan memandang keluar jendela sel yang dilapisi jeruji baja yang kokoh dan tebal. Ketika melakukan itu, sekilas dia terlihat begitu sedih, aku sempat penasaran kenapa. Tapi ucapannya berikutnya membuat rasa penasaranku menguap begitu saja.

“Sifat pantang menyerah, gigih, dan percaya pada kekuatan Tuhan adalah 3 sifat yang dulu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka. Bukankah begitu?” tanya Alvin sambil nyengir lebar. “Sebagai bangsa Indonesia harusnya kau juga punya sifat seperti itu dong! Mau jadi apa bangsa ini kalau orang-orangnya sepertimu semua? Apa kata dunia?”

Aku mendengus kesal dan menyikut pinggang pria itu.

“Jiaaah! Emangnya loe kira lo siapa? Bung Karno? Sok banget loe nyeramahin gue kayak gitu!” balasku sambil tertawa pelan. “Loe harusnya kagak jadi napi ‘vin! Loe harusnya jadi jendral atau politisi kalo loe jago ngomong kayak gitu!”

Alvin lalu tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku dan aku ikut tertawa bersamanya. Dia lalu berdiri dan pergi meninggalkanku sambil melambaikan tangannya dengan riang.

Aku tersenyum tipis.

Seperti kata Alvin tadi. Aku belum boleh menyerah kecuali kalau aku sudah berdiri di lapangan tembak dengan regu penembak mati ada di depanku. Sampai saat itu tiba...masih ada harapan....meski harapan itu sangat kecil sekali.

Tuhan....jangan biarkan aku mati begitu saja!

****

Hari berikutnya kulalui seperti biasanya.

Aku berusaha melakukan aktivitasku di penjara seperti biasanya, tanpa memikirkan kalau jatah hidupku sudah berkurang 1 hari lagi.

Kalau sudah begini...aku jadi sangat paham bahwa setiap hari itu berharga. Sekarang aku jadi heran sendiri kenapa dulu kulihat ada banyak orang yang menyia-nyiakan hari-harinya yang berharga itu dengan berbuat jahat. Seakan-akan jatah hidup mereka itu tidak terbatas.....padahal mereka bisa saja mati sewaktu-waktu.

Seperti biasanya, aku memilih aktivitas berkebun sebagai bagian dari ‘program rehabilitasi’ di penjara. Meski tahu kalau ini semua sia-sia saja karena keahlian yang kupelajari ini akan kubawa ke liang kubur, aku tetap melakukannya dengan tekun dan sungguh-sungguh.

Setidaknya kalaupun aku mati nanti, aku sudah membantu memberikan kehidupan pada tanaman-tanaman hias dan herbal yang kutanam ini.

Sambil bersenandung pelan, aku menyirami tanaman-tanaman yang kurawat dengan hati-hati sejak 3 bulan yang lalu. Beberapa tanaman sudah mulai tumbuh dengan baik, meski akan makan waktu beberapa bulan lagi sampai ada yang berbunga atau ada yang bisa dipanen. Tapi aku senang.

Tidak disangka pekerjaan remeh seperti ini bisa sangat menyenangkan, karena hanya disaat inilah aku merasa seperti orang bebas.....orang merdeka.

“Hm?”

Tiba-tiba aku bergumam pada diriku sendiri ketika menyadari ada yang tidak biasa. Aku lalu berdiri dan memandang ke sekelilingku.

Kecuali beberapa orang napi yang menekuni program yang sama denganku, aku tidak melihat sosok Alvin. Pria itu juga memilih program rehabilitasi yang sama denganku dan dia biasanya selalu ada di kebun sebelum aku datang. Tapi hari ini aku tidak melihatnya sama sekali.

“Heran....kemana tuh orang?” tanyaku pada diriku sendiri. Tapi aku tidak terlalu memikirkannya dan meneruskan pekerjaanku.

Berbeda denganku yang masuk penjara karena fitnah...Alvin dipenjara karena suatu perbuatan kriminal kelas berat. Sayangnya dia sendiri tidak mau menceritakan perbuatan kriminal macam apa yang sudah dia lakukan. Yang pasti dia sudah ada di penjara ini cukup lama akibat perbuatannya itu.

Kadang-kadang aku heran dengan sikap napi lain yang terkesan menghindari Alvin. Aku sih tidak tahu apa alasannya karena baik Alvin maupun napi lainnya enggan bicara padaku. Kalau aku paksa dia bercerita, Alvin selalu mengatakan kalimat yang sama.

“Ah. Aku tahu yang kulakukan dulu itu benar-benar salah dan aku siap menanggung akibat dari perbuatanku itu. Aku bahkan siap menebus nyawaku untuk membayar akibat perbuatanku dulu.”

Tapi pria itu tidak pernah menceritakan perbuatannya padaku dan hanya tersenyum kecut setelah mengucapkan kalimat itu.

Orang yang aneh....

Aku bergumam sendiri kalau mengingat-ingat sikap Alvin yang terkadang terasa sangat misterius itu.

****

Peristiwa itu datang begitu saja tanpa kuduga sama sekali.

Hanya 2 hari sebelum aku dihukum mati, tiba-tiba saja datang surat panggilan dari pengadilan untukku.

Tadinya aku hampir yakin kalau itu adalah panggilan pengadilan yang pada akhirnya akan memutuskan bagaimana nyawaku akan diakhiri.

Apakah di tangan regu tembak atau di tangan seorang dokter?

Aku sudah pasrah saja ketika aku digiring keluar penjara dengan pengawalan super-ketat dan duduk di kursi terdakwa dengan kawalan pasukan khusus bersenjata lengkap.

Tadinya aku sudah membayangkan wajah hakim dengan tenangnya mengetuk palu kematian untukku dan berkata. “Hukuman mati saudara adalah hukuman tembak!”

Tapi alih-alih kalimat yang menentukan akhir nyawaku, aku malah mendengar sebuah kalimat yang benar-benar membuatku melongo. Sebenarnya sih hakim sudah bicara panjang lebar mengenai pasal-pasal dan sebagainya, tapi aku abaikan semuanya karena aku hanya mendengar kalimat akhirnya.

“.....dengan ini pengadilan memutuskan untuk menangguhkan hukuman mati saudara sampai ada bukti-bukti lebih lanjut mengenai keterlibatan saudara dengan....”

Kalimat selanjutnya tidak kudengar sama sekali dan kuanggap tidak penting.

Hanya sepotong kalimat saja yang kudengar dengan jelas.

“...pengadilan memutuskan untuk menangguhkan hukuman mati saudara....”

Hanya sepenggal kalimat yang bagi orang lain terdengar sangat sederhana, tapi bagiku sepotong kalimat itu berarti segalanya.

Spontan aku langsung turun dari kursi terdakwa yang kududuki sejak tadi dan bersujud pada Tuhan.

Kekuatan Tuhan itu memang ada!!

Alvin benar! Aku belum boleh menyerah sampai titik darah penghabisan untuk memperjuangkan nyawa dan kebebasanku.....kemerdekaanku! Sama seperti para penjuang kemerdekaan pada jaman dahulu!

Tapi aku lalu sadar kalau aku belum boleh bergembira berlebihan.

Pengadilan hanya menangguhkan hukuman matiku. Memang itu artinya aku tidak jadi mati di hari kemerdekaan Indonesia, tapi tetap saja aku masih terancam hukuman mati.

Hanya saja keputusan ini memberikanku peluang dan harapan untuk bisa hidup.....dan aku sudah tidak peduli lagi meski aku harus menghabiskan lebih banyak waktu di penjara. Yang penting nyawaku tidak jadi dicabut 3 hari lagi!

Dengan perasaan gembira, aku bangkit dan kembali duduk di kursi terdakwa dengan tenang.

****

Ketika aku kembali ke penjara aku langsung mencari-cari sosok Alvin.

Tapi anehnya aku tidak bisa menemukan dimana dia berada.

Karena penasaran, aku berjalan ke blok sel lain, tempat pria itu ditahan. Harus kuakui, selama 3 bulan berada disini aku tidak banyak berkeliaran ke blok-blok lain. Bukan hanya karena aku merasa itu tidak perlu, tapi juga karena aku takut dengan napi lain di penjara ini. Yah...mau bagaimana lagi...sebagian dari mereka bertampang sangar dan jelas terlihat tidak bersahabat.

Tapi setelah berputar-putra cukup lama dan tidak menemukan sosok Alvin, aku jadi memberanikan diri dan bertaya pada seorang napi di blok itu. Kebetulan sekarang ini jam bebas dan para napi boleh keluar dari selnya.

“Ma...maaf...apa ada napi yang bernama Alvin di blok ini?” tanyaku pada seorang napi botak bertato yang duduk di depan pintu selnya.

Napi itu memandangiku dengan tatapan heran, lalu menoleh ke arah teman-temannya di dalam sel.

Aku langsung mendapat kesan kalau dia enggan bicara denganku.

“Emangnya loe ga tau ya?” tanya teman pria botak itu dari dalam sel.

“Tau apa?” balasku bingung.

“Alvin udah ga disini lagi,” jawab napi itu.

“Eh? Yang bener? Emangnya dia udah bebas?” tanyaku lagi.

“Bebas?” tanya si napi botak. Dia lalu menghela nafas panjang sambil menatapku dengan tatapan sedih. “Dia ga bebas. Dia udah mati.”

Aku seakan-akan mendengar suara gelegar guntur dalam kepalaku.

“Ma...mati? Ko...kok bisa?” tanyaku dengan nada terbata-bata.

“Emangnya loe ga tau? Alvin itu sama kayak loe, terpidana mati. Cuman dia ga dapet perpanjangan nyawa kayak loe. Emangnya lo bener-bener ga tau siapa dia? Dia itu Alvin ‘Si Tukang Potong’, pembunuh berantai yang udah bunuh orang selusin lebih!” ujar si napi botak. “Udah lama gue denger dia bakalan dihukum mati, tapi ga tau kapan. Baru sebulan yang lalu gue denger hukuman matinya itu udah pasti dan bener aja..... dia mati ditembak algojo 3 hari yang lalu, kalo ga salah sih dia ditembak pas tengah malam.”

Ketika aku mendengar ucapannya, aku terdiam.

Selama aku mengenalnya....tidak sekalipun Alvin mengeluh soal hukuman matinya. Aku bahkan tidak tahu kalau dia itu juga seorang terpidana mati seperti diriku. Terlebih soal Alvin yang ternyata adalah seorang pembunuh berantai.

Alvin yang kukenal adalah orang yang santai, periang, cengengesan, dan terkadang menyebalkan. Tapi meski demikian, dia adalah orang yang selama ini berusaha meringankan beban pikiranku. Dia juga yang selalu memberiku semangat untuk tetap menjalani sisa hidupku dengan tegar dan tenang, meski sebenarnya nyawanya sendiri juga tidak lama lagi akan hilang.

Sambil berjalan meninggalkan blok sel tempat Alvin dulu ditahan, aku terus terdiam.

Itu artinya pertemuanku dengan Alvin 3 hari yang lalu itu adalah pertemuan terakhirku dan hari itu juga adalah hari terakhirnya bisa melihat matahari.

Aku lalu berhenti berjalan.

Ucapan terakhir Alvin kembali terngiang di telingaku.

“Sifat pantang menyerah, gigih, dan percaya pada kekuatan Tuhan adalah 3 sifat yang dulu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka. Bukankah begitu? Sebagai bangsa Indonesia harusnya kau juga punya sifat seperti itu dong! Mau jadi apa bangsa ini kalau orang-orangnya sepertimu semua? Apa kata dunia?”

Aku terdiam dan tersenyum miris dalam hati.

Bagi orang lain Alvin hanya seorang pembunuh berantai terpidana mati, yang nyawanya berakhir di lapangan eksekusi.

Tapi bagiku dia adalah seorang pahlawan yang keberadaannya tidak tergantikan.

Dialah orang yang membuatku menyadari betapa berharganya arti hidup, ketika mengetahui kalau hidup ini akan berakhir.

Dia juga orang yang dengan semangat 45-nya, terus memberiku semangat agar tegar menghadapi cobaan yang sedang kualami ini.

Aku lalu memandang ke langit, kearah Sang Saka Merah Putih yang berkibar di langit biru.

Dengan sepenuh hati aku memberi hormat, bukan untuk sepotong kain merah-putih yang ada di tiang itu, tapi untuk jiwa tegar seorang pahlawan yang telah gugur di bumi pertiwi.

Alvin! Kau adalah seorang pahlawan!

****

~FIN~

Comments