Everyday Adventure IV



Adventure IV: Backpacker

 “Bosan~!” gerutu Maria.
Tadinya seperti biasa, dia berniat untuk mengganggu Ryouta yang sedang bekerja di lokasi proyek pembangunannya. Tapi hari itu Ryouta sedang tampak sangat sibuk sehingga Maria akhirnya tidak jadi mengganggu temannya itu. Gagal menggoda Ryouta, Maria tadinya ingin berbuat onar dengan mencuri atau mengerjai robot lainnya. Tapi niat itu juga dia urungkan karena dia sedang tidak mood untuk berbuat jahil. Pada akhirnya dia memutuskan untuk berjalan-jalan di kota.
“Aah~! Daripada mati bosan, lebih baik hari ini aku menjelajah kota saja!” Maria berseru pada dirinya sendiri, sambil menepukkan tangannya.
Dengan santai Maria berjalan menyusuri salah satu jalan utama yang membelah kota Bravaga. Gynoid itu tampak mengamati situasi di sekitarnya sambil sesekali berhenti di depan toko yang menjual asesoris dan suku cadang tubuh. Maria juga sesekali mengamati berbagai sosok robot yang berjalan lalu-lalang di sekitarnya. Mereka semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing, meskipun ada juga beberapa robot yang seperti Maria, hanya berjalan mengitari kota untuk menghabiskan waktu.
Dia lalu berpikir sejenak.
“Dipikir-pikir ... kota ini luas sekali ya.”
Maria bergumam pada dirinya sendiri sambil memandang ke arah ujung jalan utama kota Bravaga. Jalan lebar itu tampak membentang hingga puluhan kilometer, hingga menghilang di batas kota yang juga berbatasan dengan kota megapolitan kuno di selatan Bravaga. Kota Bravaga sendiri setidaknya memiliki luas lebih dari 3000 kilometer persegi dan kota itu terus tumbuh ke arah utara dan timur, hingga membuat ukuran kota jadi jauh lebih luas lagi. Saking luasnya kota itu, masih banyak tempat yang tidak diketahui oleh Maria, padahal dia adalah salah satu robot yang paling gemar menjelajahi pelosok kota Bravaga.
Sambil terus berjalan, Maria teringat kata-kata yang pernah dia dengar dulu.
Kota ini sudah tua dan ada banyak lagi bangunan-bangunan dan tempat-tempat yang jauh lebih tua daripada kota ini.
Mother, ibu dari sebagian besar robot di Bravaga, pernah memberitahu Maria soal itu. Namun Mother tidak mau memberitahu Maria di mana saja letak bangunan-bangunan dan tempat-tempat kuno itu. Sikap Mother justru memicu rasa ingin tahu Maria yang memang sangat besar dan membuatnya menjadi penjelajah kota.
Tiba-tiba saja Maria berhenti berjalan. Kedua mata android itu terpaku pada sebuah gedung berkubah yang tampak menjulang di sela-sela bangunan tinggi yang berdiri di sisi jalan.
“Tempat apa itu?” gumam Maria.
Dia lalu memicingkan matanya dan menyadari kalau bangunan itu terlihat jauh lebih tua dari bangunan di sekitarnya. Sekilas dia melihat cat di dinding bangunan itu sudah terkelupas dan noda-noda jamur serta tanah terlihat menghiasi permukaannya. Dari bentuknya, sepertinya bangunan itu sudah ada sebelum kota Bravaga berkembang sampai sejauh ini. Dan yang pasti, Maria belum pernah pergi ke bangunan itu. Begitu menyadari itu, dia langsung tersenyum lebar.
Jangan-jangan itu salah satu bangunan kuno yang dimaksud Mother waktu itu! Seru Maria dalam hati. Kalau begitu, aku harus ke sana!
Maria berjalan mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan langsung melompat tinggi ke atap gedung terdekat. Tanpa basa-basi, gynoid
 itu segera berlari ke arah gedung tua yang menjadi tujuannya itu.
Jantungnya berdebar karena bersemangat dan senyum lebar menghiasi wajahnya.
Semoga tempat itu adalah tempat yang menarik!

****


“Wow~! Aku tidak pernah tahu ada tempat seperti ini di kota!”
Maria berjalan melewati gerbang besar dan masuk ke dalam gedung. Begitu masuk, dia segera disapa oleh ratusan rak kayu yang berisi entah berapa puluh ribu buku berbagai ukuran, bentuk dan warna. Semuanya tampak disusun dengan rapi dan teratur, serta tampak terawat.
“Selamat datang. Ada yang bisa kubantu?”
Tiba-tiba Maria mendengar ada yang menyapanya, gynoid itu segera berbalik dan menemukan seorang gynoid berdiri di depannya. Berbeda dengan Maria yang wujudnya nyaris serupa dengan manusia, robot di hadapannya itu tidak terlalu mirip manusia. Terutama karena kedua mata gynoid itu terbuat dari kristal berwarna biru jernih.
“Selamat datang di Perpustakaan Bravaga. Ada yang bisa kubantu?” Gynoid itu mengulangi perkataannya lagi sambil tersenyum ke arah Maria.
“Ini yang namanya perpustakaan itu ya?” tanya Maria dengan penuh semangat. “Tempat manusia menyimpan cetakan dari pengetahuan yang mereka punya?”
Sang gynoid bermata kristal mengangguk.
“Benar sekali,” jawabnya. “Siapa namamu?”
“Maria. Gynoid serba guna, Maria!” sahut Maria sambil tersenyum lebar. “Salam kenal!”
“Maria? Nama yang bagus sekali. Dulu sekali nama itu sangat terkenal di antara para manusia,” ujar si gynoid sambil ikut tersenyum. “Namaku Trisha. Akulah penjaga perpustakaan ini. Salam kenal juga.”
Untuk beberapa detik, kedua android itu saling bertukar senyum, sebelum akhirnya Maria mengalihkan pandangannya ke arah salah satu rak buku terdekat.
“Jadi ... informasi apa saja yang ada di dalam kertas-kertas itu?” tanya Maria dengan nada penasaran. “Aku ingin tahu.”
Trisha tersenyum sambil berjalan ke arah salah satu rak dan mengambil sebuah buku tebal yang tampak lapuk. Dengan hati-hati dia membuka lembaran buku itu dan menunjukkan isinya kepada Maria. Halaman buku yang dibuka Trisha menunjukkan foto sebuah kapal luar angkasa yang sedang bersandar di pelabuhan angkasa. Begitu melihat foto itu, kedua mata Maria langsung berbinar-binar.
“Waah~! Apa ini?” seru Maria penuh semangat.
“Ini merupakan catatan dari seorang kapten kapal luar angkasa di jaman awal penjelajahan angkasa dulu,” jawab Trisha dengan lembut. “Seluruh isi buku ini bercerita mengenai berbagai pengalaman sang kapten selama dia memimpin kapal luar angkasanya itu.”
 Maria memandangi foto buram di lembaran buku itu dengan takjub.
“Jadi memang ini cara manusia mengabadikan memori dan pengetahuan mereka?” ujar Maria. “Dulu aku pernah melihat foto dan lukisan seperti ini di sebuah menara tua. Kata temanku Ryouta, membuat foto dan lukisan adalah cara manusia untuk mengabadikan apa yang mereka lihat dan mereka ketahui.”
Trisha menoleh ke arah Maria.
“Menara tua? Ah, pasti yang kau maksud itu Menara Memori. Ya. Memang begitulah cara manusia menyimpan pengetahuan, pengalaman, dan memori mereka. Itu juga cara mereka menurunkan informasi itu pada generasi selanjutnya,” ujar Trisha sambil menutup buku yang dia pegang. “Berbeda dengan kita para robot, kemampuan manusia untuk mengingat sesuatu sangat terbatas. Mereka terlalu mudah lupa. Selain itu mereka juga tidak bisa memindahkan ingatan, pengetahuan dan pengalaman secara langsung ke dalam otak manusia lain. Jadi satu-satunya cara bagi manusia adalah menciptakan cetakan seperti ini.”
“Tidak praktis sekali,” celetuk Maria.
Trisha tersenyum geli mendengar ucapan Maria. Kemudian dia berjalan ke arah rak lain dan mengambil sebuah buku lain yang jauh lebih tipis. Meskipun sampul buku itu tampak kusam karena dimakan usia, tapi warna sampulnya tampak cerah dan berwarna-warni.
“Apa itu?” tanya Maria penasaran.
“Ini adalah salah satu kehebatan yang dimiliki manusia dan tidak kita miliki,” jawab Trisha. Android itu lalu mendorong bahu Maria dengan lembut ke arah sebuah meja panjang di salah satu sudut perpustakaan. Dia lalu meletakkan buku tua itu di atas meja dan memberi isyarat agar Maria membaca buku yang ada di atas meja itu.
“Kau ingin aku membaca buku ini?” tanya Maria. Dari nada bicaranya, jelas dia semakin penasaran.
Trisha mengangguk.
“Ya. Nanti kau akan paham apa maksudku,” ujar Trisha sambil tersenyum penuh arti.
Tanpa banyak tanya lagi Maria langsung duduk dan mulai membuka buku yang ada di depannya. Dan begitu melihat isinya, gynoid itu berseru tertahan. Buku yang dia buka lebih tipis dari buku-buku sebelumnya, tapi isinya membuat Maria kagum.
Buku yang dia baca itu berisi gambar-gambar penuh warna dan narasi sederhana yang menceritakan tentang hidup seekor naga yang kesepian, serta seorang putri kerajaan yang diam-diam mencintainya.
“Apa ini?” tanya Maria bingung bercampur kagum. “Aku tidak pernah tahu kalau manusia itu bisa bicara pada makhluk-makhluk bersisik seperti ini. Luar biasa!”
Trisha tertawa tertahan mendengar seruan polos Maria.
“Tidak, tidak. Manusia tidak bisa bicara dengan para naga,” sahutnya sambil menunjuk ke arah gambar seekor reptil raksasa di buku. “Ini adalah salah satu kehebatan manusia ... imajinasi. Mereka bisa memikirkan hal-hal tidak logis semacam ini dan membuatnya menjadi sesuatu yang menarik, dan konon imajinasi jugalah yang pada akhirnya menciptakan ras kita. Yang jelas, kemampuan itu tidak kita miliki. Kita bisa berpikir logis dan memecahkan masalah, tapi program dasar di cyber-brain kita tidak dirancang untuk berkhayal seperti manusia.”
Trisha diam sejenak untuk mengambil sebuah buku lain dari rak buku terdekat.
“Masih ada banyak buku-buku cerita khayalan seperti itu di sini. Kalau kau mau, kau bisa ...” Ucapan Trisha terputus ketika melihat kalau ternyata Maria sudah menghilang bersama buku cerita yang dibacanya tadi. Gynoid penjaga perpustakaan itu lalu hanya mengangkat kedua bahunya, kemudian berbalik untuk mengembalikan buku yang dia ambil ke tempatnya semula.
“Dasar anak-anak ...” ujar Trisha sambil tersenyum.

****

Matahari sudah tinggi di langit ketika Ryouta akhirnya menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Android bertubuh besar dan bermata satu itu baru saja duduk santai di depan tempat kerjanya, ketika dia tiba-tiba mendengar suara gemuruh dari kejauhan. Tepatnya dari arah hutan lebat yang berada tidak jauh dari kota Bravaga.
“Huh? Apa itu?” ujarnya sambil berdiri dan memandang ke arah datangnya suara. Ternyata rekan-rekan kerjanya juga mendengar suara itu dan berdiri menghadap arah yang sama.
“Suara apa tuh?” tanya seorang android bertubuh langsing di belakang Ryouta.
“Seperti suara guntur. Apa hari ini akan hujan?” sahut seorang android lagi sambil memandang lurus ke atas, ke arah matahari yang bersinar terik di langit.
Mendengar komentar kedua rekannya Ryouta ikut memandangi langit. Tapi langit hari ini benar-benar cerah, nyaris tidak ada awan sama sekali di atas sana, jadi rasanya mustahil ada suara guntur di langit. Anehnya, ketika dia mendengar suara gemuruh itu lagi, Ryouta tiba-tiba saja mendapat firasat buruk.
“Ryoooouuuuutttaaaa ~ !”
Mendadak seekor robot berbentuk kecoa raksasa terbang melesat masuk ke dalam areal konstruksi dan menubruk tubuh kekar Ryouta. Sambil mengabaikan fakta bahwa dia baru saja menabrak salah satu robot terkuat di Bravaga, Buggy langsung melompat dan menempel di wajah Ryouta.
“Ryouta! Gawat! Ini gawat!” seru Buggy panik. “Backpacker! Mereka! Banyak! Besar! KACAU!!”
“Hei! Tenang dulu. Ada apa ini?” Ryouta menyahut sambil melepaskan cengkraman kaki-kaki kurus Buggy dari wajahnya. “Backpacker? Kadal-kadal mutan jinak itu? Ada apa dengan mereka?’
“Jinak? Tidak! Tidak! Mereka tidak jinak. Yah ... setidaknya yang kali ini tidak,” jawab Buggy terburu-buru. Dia lalu berhenti sejenak dan mengatur sistem cyber-brain-nya agar tidak meracau lagi, kemudian mengucapkan satu kata yang langsung membuat rahang Ryouta terbuka lebar.
“Maria!”
Tanpa pikir panjang, Ryouta menyambar tubuh Buggy dan melesat keluar dari tempat kerjanya dengan kecepatan tinggi. Android tempur itu sama sekali mengabaikan seruan para robot yang terkejut dengan kemunculan sosok besarnya yang tiba-tiba. Begitu mendengar nama Maria disebut oleh Buggy yang datang dengan tergesa-gesa seperti itu, Ryouta tahu kalau gynoid temannya itu pasti dalam masalah. Sambil berlari, Ryouta sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari arah datangnya suara guntur yang didengarnya tadi.
“Apa yang terjadi dengannya?” tanya Ryouta sambil melompat tinggi, kemudian mendarat dengan suara keras di atap sebuah toko suku-cadang gynoid. “Lebih tepatnya ... masalah apa yang dia buat sekarang?”
Buggy terdiam sejenak dan terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan temannya itu.
“Buggy!” desak Ryouta sambil menghindari robot terbang yang tiba-tiba saja muncul di sisi gedung tempatnya berlari.
“Eeeh ... tadi pagi Maria menemukan buku cerita bergambar dari ... entah perpustakaan mana di kota. Dan sepertinya dia mau mencoba sesuatu yang diceritakan di buku itu,” jawab Buggy.
“Apa itu?” tanya Ryouta lagi.
“Maria mau belajar bicara dengan backpacker terbesar di hutan hidup seberang kota Bravaga. Jadi dia lalu pergi ke sarang kadal raksasa itu.” Buggy langsung menutup kedua mata besarnya ketika melihat Ryouta melotot ke arahnya. “Jangan melotot begitu! Aku sudah berusaha mencegahnya. Tapi kau tahu bagaimana Maria. Kalau dia sudah ingin sesuatu, dia enggak akan mau mundur!”
Ryouta langsung mengumpat pelan mendengar penjelasan Buggy. Dia benar-benar tidak habis piker sebenarnya apa yang diperbuat Maria dengan para backpaker, hingga mereka mengejarnya. Backpacker sebenarnya tergolong mutan yang sangat jinak dan biasanya tidak akan menyerang para robot ... kecuali kalau mereka merasa terganggu. Dan sepertinya itulah yang dilakukan Maria. Gynoid itu pastinya sudah membuat para backpacker merasa terancam.
Dasar! Dia benar-benar harus belajar untuk berhenti membuat masalah! gerutu Ryouta dalam hati.
Tahu bahwa Maria sedang dalam masalah besar, Ryouta mempercepat larinya dan dalam waktu cukup singkat, android itu sudah sampai di tepian hutan hidup yang membatasi salah satu sisi kota Bravaga.
Hutan yang sebagian tumbuhannya bisa bergerak dan berpindah itu tampak begitu lebat dan menakutkan, sehingga tidak banyak robot yang mau berkeliaran di dalam sana. Terlebih karena hutan itu dihuni oleh berbagai jenis mutan yang ganas, atau para robot liar yang siap menyerang siapa pun. Hanya robot gila, atau yang seperti Maria saja, yang mau masuk ke dalam hutan itu dan menghampiri sarang para backpacker.
“Di mana terakhir kali kau meninggalkan Maria?” tanya Ryouta pada Buggy, sambil melepaskan robot kecoa itu dari tangannya.
“Itu ...”
Sebelum Buggy sempat melanjutkan perkataannya, terdengar lagi suara gemuruh di kejauhan.
“... di sana,” lanjut Buggy sambil menunjuk ke arah datangnya suara. “Mudah-mudahan saja Maria masih utuh begitu kita sampai. Soalnya tadi ukuran para backpacker yang mengejarnya lumayan ... besar ...”
Mendengar ucapan Buggy, Ryouta semakin khawatir lagi. Tanpa pikir-pikir lagi dia langsung berlari menerobos kerimbunan hutan, sambil sesekali menepis sulur atau ranting pohon berjalan yang berusaha membelit tubuhnya. Sementara itu Buggy terbang zig-zag menghindari tumbuhan-tumbuhan yang mendadak bergerak liar itu. Namun naas, sebuah tanaman menjalar berhasil membelit tubuh Buggy dan menghentikannya seketika.
“Buggy?!” seru Ryouta kaget.
Dia baru bermaksud membantu temannya itu, tapi Buggy justru berseru ke arahnya.
“Jangan pedulikan aku! Sekarang pergi ke tempat Maria, sebelum dia terluka!” seru Buggy sambil meronta-ronta untuk melepaskan diri.
Meskipun ragu, Ryouta akhirnya berlari meninggalkan Buggy yang masih terbelit sulur-sulur tanaman berjalan. Tidak perlu waktu lama bagi Ryouta untuk bisa menyusul jejak Maria, soalnya jejak kerusakan yang ditimbulkan kawanan backpacker yang mengejar gynoid itu begitu mudah dilihat. Pepohonan tumbang, semak-semak rata dengan tanah, dan ada jejak-jejak hewan yang tidak terhitung jumlahnya di lantai hutan. Sama sekali tidak sulit untuk mengikuti Maria dan kawanan backpacker itu. Tapi melihat kerusakan yang ditimbulkan kawanan kadal mutan itu, Ryouta langsung khawatir setengah mati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ryouta langsung berlari mengikuti jejak kehancuran di depannya. Dengan segera dia berhasil menemukan kerumunan kadal raksasa yang berlari liar mengejar sesosok gynoid berambut hitam, yang melompat ke sana ke mari dengan panik.
“MARIA!” Ryouta berseru nyaring ketika akhirnya berhasil menyusul temannya itu. Seruannya itu langsung membuat Maria menoleh dan wajah gynoid itu jelas-jelas menunjukkan kelegaan yang luar biasa, ketika melihat penyelamatnya telah datang.
“RYOUTA~!!” serunya sambil melompat menghindari terkaman seekor backpacker bertubuh tambun. Dia lalu berseru dengan nada riang. “OW~! Nyaris saja!”
Melihat Maria yang masih saja bisa santai walaupun sedang dikejar-kejar segerombolan kadal raksasa yang tampak marah, Ryouta mau tidak mau merasa kagum dengan gynoid itu. Walaupun pada saat yang sama dia juga marah karena gadis robot itu terlihat tidak merasa bersalah karena telah membuat keributan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah sifat Maria yang tidak bisa jauh-jauh dari masalah.
Tanpa mengucapkan apapun lagi, Ryouta melompat tinggi dan menyusul Maria yang berlari menerobos semak belukar di depannya. Begitu sampai di dekat Maria, Ryouta langsung menyambar tubuh gynoid itu dan berlari sekuat tenaga dari kejaran setidaknya 10 ekor backpacker, yang masing-masing berukuran lebih besar dari dirinya.

 
(Art by Mukhlis Nur / Sinlaire)

Melihat kedatangan sosok Ryouta yang tiba-tiba, para backpacker yang tadi mengejar Maria langsung berpindah sasaran dan justru berlari semakin cepat. Kecepatan kadal-kadal raksasa itu sungguh sulit dipercaya, mereka mampu berlari menembus kerumunan hutan dengan mudah dan mengejar Ryouta, yang sedang berlari dengan kecepatan tinggi.
Adegan kejar-kejaran maut itu berlangsung selama beberapa menit, hingga akhirnya Ryouta memutuskan untuk mencoba menakut-nakuti para backpacker yang mengejarnya.
Secara tiba-tiba, Ryouta mengerem lajunya, berbalik, kemudian menghentakkan sebelah kakinya ke lantai hutan begitu keras hingga menimbullkan suara dentum nyaring. Karena terkejut, para backpacker yang mengejarnya langsung berhenti mendadak dan nyaris saling bertabrakan satu sama lainnya.
Sepertinya berhasil! ujar Ryouta dalam hati.
Sayangnya dia terlalu cepat gembira. Meski pada awalnya kawanan backpacker itu terlihat bingung dan kaget, tapi kemudian kadal-kadal mutan raksasa itu mulai membuat pola lingkaran, bermaksud menjebak Maria dan Ryouta di tengah kepungan mereka.
“Oke ... ini tidak bagus.” Maria berkomentar meronta turun dari dekapan Ryouta. “Tadi mereka hanya terlihat marah ...”
Ryouta menoleh dan melotot ke arah Maria.
“Kau gila ya?!” seru android bermata satu itu. “Untuk apa kau masuk ke sarang Backpacker? Apa kau tidak tahu mereka itu juga bisa ganas?! Dan ka ...”
Seruan Ryouta terhenti ketika mendengar suara rintihan pelan dari arah Maria.
“Maria? Kau tidak apa-apa?” tanya Ryouta khawatir kalau-kalau gynoid itu sebenarnya teruka. Tapi dia langsung terdiam melihat sosok mungil yang sejak tadi dipeluk Maria. Sekilas makhluk kecil yang dipeluk oleh Maria tidak berbeda dengan seekor kadal berkulit hijau pucat. Hanya saja itu bukan kadal biasa, karena kadal itu berkaki enam dan bermata empat. Kadal itulah yang barusan mengeluarkan suara rintihan pelan.
“Maria ...” ujar Ryouta sambil melirik ke arah sekelilingnya, kemudian kembali memandangi sosok backpacker mungil yang dipeluk Maria. “Itu apa?”
“Backpacker kecil,” sahut Maria dengan entengnya. “Aku menemukan si mungil itu terluka waktu aku mau pergi ke sarang mereka. Aku sudah berusaha menolong, tapi waktu kubawa ke sarang, eh ... yang besar-besar malah mengejarku.”
Ryouta menepuk wajahnya dengan keras.
Pantas saja para backpacker ini mengejarmu! Mereka pasti mengira kau sudah melukai anak mereka! Bentak Ryouta dalam hati. Meskipun biasanya backpacker itu sangat jinak dan ramah pada makhluk lain, tapi kalau anak mereka sampai diganggu, mereka pastinya akan mengamuk.
Ryouta baru akan marah pada Maria, tapi suara geraman keras membuatnya berpaling dan berhadapan dengan seekor backpacker terbesar yang pernah dia lihat selama hidupnya. Panjang kadal mutan itu nyaris dua kali lebih besar dari sebuah bis kota, dan tingginya nyaris setinggi sebuah rumah. Keempat mata makhluk melata itu berkilat menakutkan dan berkali-kali pandangannya teralih dari sosok besar Ryouta, dan sosok mungil Maria yang sedang memeluk seekor backpacker kecil. Ketika berhadapan dengan sosok raksasa itu, sang backpacker kecil merintih pelan. Suara itu ditanggapi dengan geraman marah dari sang backpacker raksasa yang kini berdiri dengan sikap mengancam di Hamdan Ryouta dan Maria.
“Maria ...” ujar Ryouta dengan suara pelan.
“Ya?” sahut Maria, juga dengan suara pelan, nyaris berbisik.
“Lepaskan backpacker di pelukanmu itu sebelum kita dihajar sampai hancur,” bisik Ryouta, tanpa mengalihkan pandangan dari kadal raksasa di hadapannya itu.
Maria mengangguk dan perlahan-lahan melangkah maju sambil membuka pelukannya. Tapi sebelum gynoid itu sempat melakukan apapun, tiba-tiba saja si backpacker raksasa meraung keras dan membuat Maria jatuh terjengkang ke belakang.
Sikap mengancam yang mendadak ditunjukkan sang backpacker membuat Ryouta langsung bereaksi. Guardia kuno itu langsung mengerahkan seluruh kemampuan generator nuklirnya dan menerjang maju, tepat ketika sang backpacker berusaha menerkam Maria.
Tadinya Ryouta mengira kekuatannya sebagai android tempur mampu mengimbangi kekuatan sang backpacker. Ternyata dia salah. Backpacker itu jauh lebih kuat dari dugaannya, dan terjangan makhluk besar itu membuat tubuh Ryouta melayang jauh dengan sukses, kemudian menghantam sebatang pohon hingga patah. Kekuatan benturan yang diterimanya membuat sistem tubuhnya mengalami black-out sesaat, sebelum akhirnya aktif kembali.
Sayangnya sebelum Ryouta sempat melakukan apapun, seekor backpacker menerjang ke arahnya dan menginjak-injak tubuhnya, hingga membuat android itu tidak bisa bergerak. Diluar dugaan, backpacker yang baru menyerangnya ini, juga tidak kalah kuat dengan backpacker terbesar di kawanannya.
OKE! INI GAWAT! Ryouta berseru panik dalam hati. Sebenarnya dia bisa saja mengerahkan kekuatan aslinya, tapi kemampuannya itu bisa menyebabkan terjadinya badai EMP dahsyat, yang kekuatannya bahkan sanggup memanggang cyber-brain robot canggih seperti Maria.
“MARIA, LARI~!!” Karena tidak ada pilihan lain, Ryouta hanya bisa melakukan satu hal. Selagi para backpacker sibuk meremukkan tubuhnya, dia harus bisa memberi waktu bagi Maria untuk melarikan diri. “Cepat! Selagi mereka sibuk menyerangku!”
Sialnya alih-alih lari, Maria justru menggelengkan kepalanya.
“Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu di sini!” serunya sambil melangkah maju ke arah backpacker raksasa yang berdiri di hadapannya. Gynoid itu lalu membuka pelukannya dan mengangkat sang backpacker mungil tinggi-tinggi di udara.
“Ini anak yang kalian cari!” seru Maria tanpa memperdulikan geraman marah dari kerumunan backpacker di sekelilingnya. “Aku akan mengembalikannya pada kalian, jadi berhenti menyakiti temanku!!”
“Maria!” seru Ryouta sambil meronta dan berusaha melarikan diri dari injakan backpacker yang menyerangnya. “Apa yang kau lakukan?! Lari!”
“Tidak akan!” balas Maria. Dia lalu kembali menatap lurus ke arah empat mata backpacker raksasa yang berdiri diam di hadapannya. “Nah. Kalau kalian mau marah, marahlah padaku. Aku yang seenaknya mengambil anak kalian dan seenaknya merawat lukanya. Kalau itu membuat kalian tidak suka, hancurkan saja aku. Tapi lepaskan Ryouta!”
Seolah memahami perkataan Maria, pandangan si backpacker raksasa perlahan teralih ke arah balutan kain di tubuh si backpacker mungil. Selama beberapa saat, kadal raksasa itu memperhatikan dengan serius, selagi si backpacker mungil berdecit ke arahnya, seolah sedang memberitahu sesuatu.
“Maria ... lari!” Ryouta masih berusaha menyuruh Maria agar melarikan diri, meskipun kini dia sudah pasrah untuk menghindar dari amukan backpacker yang menyerangnya.
Tiba-tiba saja, backpacker raksasa yang berdiri di hadapan Maria meraung keras. Seketika itu juga, backpacker yang sejak tadi menyerang Ryouta langsung terdiam dan mundur teratur.
Dengan perasaan tidak percaya, Maria melihat kerumunan backpacker yang mengepungnya perlahan-lahan melangkah mundur. Amarah yang tadi berkilat di mata kadal-kadal mutan itu kini menghilang dan berubah menjadi tatapan ramah.
“Ada apa ini?” tanya Maria bingung, ketika melihat sikap para backpacker di sekitarnya berubah drastis.
Ryouta yang akhirnya terbebas dari serangan berat yang menimpanya, perlahan-lahan berdiri sambil bertumpu pada potongan pohon di sampingnya. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Para backpacker yang mengepung Maria itu tampaknya paham bahwa gynoid itu bukanlah makhluk yang telah melukai seekor anak mereka, melainkan yang telah mencoba merawat luka kadal kecil itu. Dan sepertinya barusan backpacker terbesar, yang merupakan pimpinan kawanan, telah menjelaskan hal itu pada yang lainnya dengan satu raungan singkat. Meskipun sulit dipercaya, tapi Ryouta yakin itulah yang terjadi.
“Kurasa mereka memahami perkataanmu,” ujar Ryouta pelan. Sambil memandang ke sekelilingnya, dia memulai pemeriksaan terhadap kondisi tubuhnya. Meskipun tidak ada kerusakan fisik yang terlihat, tapi android itu merasa kalau sistem keseimbangannya terganggu, sehingga dia jadi sulit untuk berdiri tegak. “Ugh ... tidak kusangka backpacker itu kuat sekali ...”
“Ryouta! Kau tidak apa-apa?”
Maria berseru dari kejauhan. Gynoid itu masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, karena dia masih dikelilingi oleh kawanan backpacker bertubuh besar. Tapi sikap mereka kini sudah berubah menjadi jinak seperti biasa. Alih-alih mengepung, kini kawanan backpacker itu mulai sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Tidak. Sistem keseimbanganku masih kacau, tapi sebentar lagi pasti membaik,” jawab Ryouta sambil berjalan terhuyung-huyung ke arah Maria.
Dia lalu terdiam melihat sosok backpacker mungil yang diselamatkan Maria, kini bertengger di pundak gynoid itu sembari menggosokkan tubuhnya, tanda bahwa makhluk mungil itu kini merasa nyaman berada dekat Maria. Dan Maria sendiri kini sudah tidak merasa takut dengan sosok raksasa backpacker yang kini bergulung di hadapannya. Makhluk yang tadi bersikap ganas itu, kini terlihat jinak, meskipun backpacker itu masih menjaga jarak dari Maria.
“Lihat, Ryouta! Mereka sudah tidak marah padaku!” seru Maria dengan riang. “Kurasa mereka benar-benar bisa mengerti bahasa kita! Berarti buku itu memang benar! Para backpacker ini benar-benar cerdas!”
Ryouta yang kini berdiri di samping Maria, langsung menepuk lembut kepala gynoid bertubuh ramping itu.
“Untung kau tidak apa-apa,” ujar Ryouta.
“Kau juga,” sahut Maria sambil mengelus tubuh backpacker mungil yang masih bertengger di pundaknya. Dia lalu menatap ke arah Ryouta dengan wajah penuh penyesalan. “Maafkan aku. Lagi-lagi aku membuat masalah ...”
“Tidak apa-apa. Sudah biasa,” ujar Ryouta. “Kau ...”
Ucapan Ryouta terputus begitu saja ketika tiba-tiba seluruh sistem tubuhnya berhenti bekerja. Tubuh logam android itu langsung ambruk ke tanah dengan suara berdebam keras, dan membuat Maria menjerit ketakutan. Gynoid itu langsung menggoyang-goyangkan tubuh Ryouta dengan panik, tapi android besar itu tetap saja diam.
“Ryouta!! RYOUTA!!!” jerit Maria dengan sekuat tenaga.

****

 “Dia tidak apa-apa. Sepertinya hantaman kuat di kepala sudah membuat sistemnya melakukan reboot secara paksa. Kalau dibiarkan sebentar, nanti juga dia akan pulih.”
Dengan cemas Maria mengangguk setelah mendengarkan perkataan dari sebuah android yang mengenakan jas lab putih dan berkepala televisi. Saat ini dia sedang duduk di samping sosok besar Ryouta, yang terbaring dengan tubuh terhubung dengan berbagai macam mesin canggih. Keduanya sekarang berada di dalam sebuah ruangan kecil yang penuh sesak dengan berbagai macam rongsokan mesin.
“Jadi dia tidak akan mati, Dokter?” tanya Maria, masih dengan nada cemas.
“Tidak. Guardia seperti dia itu dirancang sangat tahan banting. Hanya diinjak-injak oleh backpacker yang beratnya cuma beberapa ton saja tidak akan membuatnya hancur,” jawab android berkepala televisi, yang dipanggil dengan nama Dokter itu. “Jangan khawatir. Lagi pula dia sudah ada di tangan yang tepat. Kau tenang saja.”
Baru saja Maria ingin bicara lagi, Ryouta tahu-tahu sudah membuka mata besarnya. Selama beberapa saat android itu hanya menatap kosong ke langit-langit ruangan, sebelum akhirnya beralih menatap ke arah Maria.
“Maria? Ada apa ini?” tanyanya kebingungan. Dia lalu menatap ke arah Dokter dan terdiam sejenak. “Dokter?”
“Benar,” jawab Dokter singkat. “Kau beruntung dirimu adalah sebuah Guardia. Kalau kau cuma robot biasa, kau pasti sudah hancur berkeping-keping sekarang. Meskipun para backpacker itu biasanya jinak, tapi kalau marah mereka itu sangat menakutkan loh.”
Ryouta perlahan duduk dan teringat bahwa dia tadi baru saja selesai diinjak-injak oleh kadal mutan raksasa. Meski rasanya tidak ada suku cadang tubuh yang rusak, tapi serangan para backpacker itu sempat membuat sistem tubuhnya mengalami kekacauan.
“Terima kasih karena sudah menolongku,” ujar Ryouta.
“Lupakan. Aku tidak melakukan apa-apa kok, hanya memeriksa tubuhmu saja,” jawab Dokter dengan santai. “Kalau mau berterima kasih, berterima kasihlah pada para backpacker yang menyerangmu. Merekalah yang membawamu kemari.”
Ryouta menoleh ke arah Maria yang langsung mengangguk mengiakan.
“Itu benar! Waktu kau roboh dan aku kebingungan, tiba-tiba seekor backpacker mengangkat tubuhmu dengan mulutnya, kemudian membawamu pergi. Tadinya kupikir kau akan dimakan, tapi ternyata mereka justru membawamu ke tempat ini,” ujar Maria sambil memandang ke sekelilingnya. Dia lalu kembali menatap ke arah Ryouta dengan ekspresi sedih.
“A ... aku benar-benar minta maaf. Aku hanya ingin mencoba melakukan apa yang diceritakan dalam buku ini.” Maria kembali bicara sambil menunjukkan sebuah buku bergambar yang terlihat sudah sangat tua. “Tapi tidak kusangka jadinya akan seperti ini dan gara-gara aku, kau jadi terluka.”
Ryouta menepuk kepala gynoid itu dengan lembut.
“Sudahlah. Yang penting semuanya sudah selesai dan kita berdua baik-baik saja,” ujar Ryouta sambil duduk. Android itu lalu menggerakkan kedua tangannya dan melakukan pemeriksaan singkat terhadap seluruh sistem tubuhnya. Sepertinya sudah tidak ada masalah.
“Sekali lagi terima kasih karena telah membantuku dan Maria,” ujar Ryouta sambil menoleh ke arah Dokter. “Aku berhutang padamu.”
Dokter mengangkat kedua tangannya.
“Kau tidak perlu berhutang padaku. Lagi pula kalau kau sampai rusak, aku benar-benar tidak tahu cara memperbaiki Guardia seperti mu. Aku hanya tahu cara memperbaiki Machina saja,” ujar sang Dokter sambil berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar. “Nah, kalau kau sudah merasa lebih baik, kau boleh pulang. Kalau tidak, kau bisa istirahat sebentar lagi di sini. Aku tidak keberatan kok.”
Ryouta dan Maria saling pandang sejenak.
“Tidak perlu, kami akan pergi sekarang,” ujar Ryouta sambil berdiri dan menepuk bahu Maria. “Ayo pulang. Sudah cukup masalah yang kau buat hari ini.”
Sambil membungkuk singkat ke arah Dokter, Ryouta dan Maria melangkah keluar dari ruangan. Tidak lama kemudian, kedua robot itu sudah berada di luar sebuah gedung tua yang dulu sepertinya merupakan sebuah bangunan rumah sakit atau klinik. Sesampainya di luar, Ryouta terkejut ketika melihat para backpacker raksasa masih berkeliaran di sekitar tempat itu.
Melihat Ryouta dan Maria berjalan keluar dari klinik, seekor backpacker raksasa langsung menghampiri mereka, dan itu membuat Ryouta langsung siaga.
“Tenang saja. Mereka sudah tidak ganas kok,” ujar Maria sambil berjalan ke arah sang backpacker, kemudian mengelus kepala kadal raksasa itu. “Katanya mereka menyesal karena sudah menyerang dan melukaimu.”
Bagaikan mengerti apa yang dikatakan Maria, backpacker yang ada di hadapan gynoid itu menggeram pelan. Makhluk itu kemudian menggesekkan kepalanya yang besar ke pipi Maria, dan membuat gynoid itu tertawa geli.
Menyaksikan pemandangan seperti itu membuat Ryouta benar-benar ingin tersenyum lebar.
“Menakjubkan ya?”
Tiba-tiba Ryouta mendengar suara Buggy dan melihat robot berbentuk mirip kecoa itu sudah bertengger di sebuah bangkai mobil tua.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Ryouta.
“Ooh~! Aku baik-baik saja. Walaupun harus kuakui melepaskan diri dari belitan tumbuhan berjalan itu tidak mudah,” sahut Buggy dengan nada riang. “Bagaimana denganmu sendiri? Aku tahu kau sebuah Guardia, tapi kau juga harus ingat kalau tubuhmu sudah tidak seperti dulu lagi.”
Ryouta mengangguk mendengar ucapan Buggy.
“Aku tahu itu,” jawab Ryouta singkat. Dia lalu menatap ke arah buku bergambar yang jadi sumber segala masalah ini.
Tadi Maria sempat bilang dia menemukan buku yang berjudul ‘Aku dan Sahabatku’ itu di perpustakaan tua yang ada di salah satu sudut kota Bravaga. Dilihat dari tahun terbitannya, buku ini dibuat jauh sebelum masa Catastrophy terjadi. Ketika membuka buku itu, Ryouta mau tidak mau tersenyum dalam hati. Di salah satu halaman buku yang sudah kusam itu, tergambar sosok seorang anak perempuan sedang mengelus wajah seekor kadal raksasa berkulit merah membara yang tampak menakutkan. Dan di halaman buku itu, tertulis sebuah kalimat singkat.
“Walaupun tahu kami berdua berbeda, tapi pada akhirnya kami bisa memahami satu sama lainnya, karena ... kini kami adalah teman.”
Ryouta membaca kalimat yang tertulis di halaman buku itu, kemudian mendongak dan menatap ke arah Maria yang sedang sibuk bermain dengan kawanan backpacker yang ukurannya jauh lebih besar darinya. Melihat sosok Maria yang seperti itu, Ryouta menghela nafas panjang dan menutup buku yang baru dibacanya.
Dasar Maria, bisa-bisanya dia membayangkan dirinya melakukan hal yang seharusnya hanya sebuah imajinasi manusia ini, gumam Ryouta dalam hati.
Meskipun sering membuatnya kesal, tapi Maria juga sering membuat Ryouta kagum. Terutama karena gynoid itu sering kali bertingkah lebih manusiawi dari para manusia yang dulu pernah dia temui sebelum Catastrophy terjadi ratusan tahun lalu. Dalam hati, dia mempertanyakan apakah ini tujuan Mother melahirkan generasi-generasi baru seperti Maria? Generasi-generasi robot yang lebih manusiawi? Generasi penghuni Bumi yang selanjutnya?
Namun apapun pertanyaan yang muncul dalam benak Ryouta, kini dia tahu satu hal yang pasti. Masa depan ras robot ada di tangan generasi baru seperti Maria, generasi robot yang memiliki imajinasi dan penuh rasa ingin tahu. Robot-robot kuno seperti Ryouta dan Buggy hanya bisa memandu generasi baru seperti Maria, dan memastikan mereka tidak membuat masalah yang sama seperti ras manusia dulu.
“Ayo kita ajak Maria pulang, sebelum dia mulai membuat masalah lagi,” ujar Ryouta pada Buggy.
“Setuju!” sahut robot kecoa itu sambil melayang dan mendarat di pundak Ryouta. “Dan kalau sudah sampai di rumah, apa yang pertama kali ingin kau lakukan?”
Kalau dia bisa nyengir lebar, Ryouta pasti sudah melakukannya sekarang.
“Tentu saja aku akan menasihati Maria sampai dia mati bosan!”
****
-FIN?-

By: red_rackham 2013

Author's Note:
Akhirnya saia putuskan untuk posting semua chapter dari Everyday Adventure di blog ini. Menurut saia semakin banyak yang baca, semakin bagus, karena memori akan Ryouta, Maria, dan Buggy (mudah-mudahan) akan tertanam dalam memori semakin banyak manusia.

Bagi yang berminat untuk mendapatkan versi cetak dari LN Everyday Adventure ini, dapat menghubungi saia melalui email: 
kaminariayato@gmail.com
dengan mencantumkan format sebagai berikut:
- Nama :
- Alamat/ no hp :
- Jumlah barang :
Pembayaran nanti melalui rekening Mandiri (nomornya akan saya berikan melalui email).

Comments