Naga Terakhir


Pemandangan di sekitarku kabur karena lajuku yang begitu cepat. Seluruh dunia tampak melebur jadi satu dalam bayang-bayang dunia berkecepatan tinggi. Suara hembusan angin, raungan kemarahan, jerit kematian dan pekik kemenangan jadi berbaur jadi satu.
Aku tidak bisa berpikir dan membiarkan instingku mengambil alih segalanya. Darahku bergejolak. Campuran antara takut, semangat, marah dan dendam. Terutama marah dan dendam. Marah karena dunia yang begitu aku cintai dihancurkan begitu saja. Dendam karena mereka yang menghancurkan duniaku masih hidup di dunia ini.
Raungan kemarahan kulepaskan sembari menjulurkan kedua cakarku ke depan. Derak dan dentum mengerikan bergema ketika seranganku mengenai sasarannya. Tanpa ampun aku berputar dan merobek tubuh lawanku jadi dua, menumpahkan darah terkutuknya ke tanah di bawah sana.
Masih belum puas, aku menarik nafas dalam-dalam kemudian melepaskan semburan api dahsyat untuk memanggang makhluk terkutuk yang baru saja kubunuh. Tubuh burung logam itu lumer dan terbakar habis selagi dia jatuh terhempas ke tanah.
Aku lalu memandang ke sekelilingku. Langit masih dipenuhi burung-burung logam yang melesat kesana-kemari, membunuhi teman-temanku, bangsaku, kaumku. Aku meraung sambil mengepakkan sayapku, membawa tubuhku membumbung tinggi jauh diatas awan. Tapi segera aku menemukan diriku dikepung oleh puluhan burung logam dengan berbagai ukuran. Mereka berputar-putar ragu di sekeliling tubuhku, seakan sedang menunggu reaksiku sebelum mulai menyerang.
Aku menyeringai dan memperlihatkan deretan gigi-gigi tajam yang berderet rapi di rahangku. Raungan kemarahan sekali lagi kulepaskan untuk menunjukkan kalau aku tidak sedang main-main. Akan kurobek dan kupanggang burung manapun yang nekat mendekatiku!
Ancamanku rupanya manjur. Burung-burung logam itu tiba-tiba saja menyebar dan melesat tinggi ke atas sana, meninggalkanku sendiri di angkasa. Aku menyeringai puas. Ketakutan mereka adalah kepuasanku. Tapi untuk memastikan mereka tidak kembali lagi ke duniaku, aku akan mengejar dan memburu mereka sampai tidak ada lagi burung logam yang tersisa di langit ini.
Sayangnya aku tidak sempat melakukan apapun. Seluruh dunia tiba-tiba saja berubah jadi serba putih dan hal terakhir yang kurasakan adalah sensasi panas luar biasa yang menyengat kulitku.
Setelah itu aku hilang ditelan kegelapan.
****



“Atagra! Bangun!! Atagra!!!”
Suara itu membuat kesadaranku perlahan-lahan pulih, tapi hal pertama yang kurasakan adalah rasa perih menyengat di sekujur tubuhku. Aku mendongak dan menatap wajah yang begitu akrab bagiku.
“Oigen? Apa yang terjadi?”
Oigen menghembuskan nafas lega.
“Kau jatuh dari langit dengan tubuh terbakar,” sahut Oigen. Dia lalu menengadah ke arah langit. “Aku tidak tahu apa yang terjadi barusan, tapi sepertinya para burung logam itu punya senjata baru. Ada bola api raksasa di muncul langit dan banyak dari teman-teman kita mati terbakar seketika. Kau beruntung bisa selamat.”
Aku ikut mendongak dan tertegun. Jumlah bangsa kami yang masih gigih berjuang di langit sana sudah tinggal setengahnya, sementara jumlah burung logam yang menyerang mereka hampir dua kali lebih banyak.
Aku menggeram marah sambil memukulkan ekorku ke tanah. Burung-burung logam itu memang tidak bisa dimaafkan!
Setahun yang lalu mereka tiba-tiba saja muncul dari angkasa dan mulai menyerang bangsa kami. Kami tidak tahu apa alasannya, yang pasti tiba-tiba saja mereka mulai menghabisi siapapun yang mereka lihat. Walaupun tidak punya cakar untuk mencabik dan rahang untuk menggigit atau menyembur, tapi burung-burung logam itu bisa meluncurkan tongkat-tongkat aneh yang bisa meledak. Bahkan ada beberapa jenis burung logam penyembur sinar mematikan yang bisa membakar apapun yang dilewatinya. Meski enggan mengakuinya, tapi kami bukan lawan mereka. Selain tangguh dan berbahaya, jumlah mereka juga banyak. Jauh lebih banyak daripada kami.
“Sial! Berapa banyak yang tersisa?” tanyaku pada Oigen.
“Dua ratus? Mungkin kurang,” sahut Oigen geram. “Ini tidak bagus Atagra. Kita kalah jumlah dan jelas kalah kuat. Kalau begini terus kita bisa kalah lagi!”
Oigen benar. Selama setahun perjuangan kami, belum sekalipun kami benar-benar menang melawan burung-burung logam itu. Hampir setiap perlawanan kami berhasil mereka redam. Terlalu banyak teman dan keluarga kami yang terbunuh ketika berusaha melawan burung-burung logam itu. Akibatnya banyak dari kami yang putus asa. Mereka pasrah ketika burung-burung terkutuk itu menukik dari langit dan mengambil nyawa mereka. Tapi tidak denganku, Oigen, dan banyak temanku yang lainnya. Kami masih gigih berjuang melawan para pembantai itu, meskipun dengan resiko kehilangan nyawa.
“Kau masih bisa terbang, Atagra?”
Oigen bertanya padaku sambil mengembangkan sayapnya yang lebar dan kuat. Aku tidak menjawab tapi ikut mengembangkan sayapku sendiri.
“Ya. Kurasa aku masih bisa terbang.”
“Bagus. Ayo kita mulai ronde selanjutnya! Jangan menyerah! Ini tidak akan berakhir sampai mereka semua mati!” seru Oigen sambil melesat ke angkasa.
Aku mengangguk lalu mengikutinya. Dia benar. Aku tidak boleh menyerah sekarang! Perjuangan kami tidak akan berakhir sampai burung-burung terkutuk itu mati..........atau sampai kami semua mati.
****
Segala sesuatunya berputar tidak karuan ketika aku terjatuh dari udara. Tubuhku yang besar dan berat membentur tanah dengan sangat keras, membuat hutan tempatku terjatuh jadi hancur berantakan. Pohon-pohon tumbang dan berserakan di sekitarku. Hewan-hewan hutan berlarian ke segala arah dengan panik dan ketakutan.
Aku terbaring lemah di atas tanah sambil memandangi langit. Darah mengalir pelan dari luka-luka disekujur tubuhku, membuat sungai di dekatku jatuh jadi berwarna merah terang. Aku sudah tidak berdaya lagi. Kami kalah. Perjuangan kami sudah berakhir. Kami tidak bisa menang.
Aku menoleh dan mendapati sosok Oigen yang sudah tidak bernyawa, terkapar di lereng gunung dekat tempatku terbaring. Separuh tubuhnya hilang akibat ditelan bola api raksasa yang kembali dilancarkan lawan kami. Tiba-tiba saja aku merasa iri karena dia sudah terlebih dahulu beristirahat dengan tenang, sementara aku masih hidup dan menderita.
Aku kembali menatap langit. Kini sudah tidak ada lagi teman-temanku yang mengudara di atas sana. Yang ada hanya kumpulan burung-burung logam yang terbang berputar dalam formasi teratur, seolah-olah mereka sedang merayakan kemenangan mereka.
Tiba-tiba sebuah burung logam melayang turun dengan perlahan. Melalui sebelah mataku yang tersisa, aku menyaksikan burung terkutuk itu menapakkan kaki-kakinya ke tanah. Dengan marah aku menggeram dan berusaha untuk bangkit. Sayangnya aku sudah tidak punya tenaga lagi, akhirnya aku hanya pasrah melihat makhluk berkilau itu menatapku dengan penuh kemenangan.
Dengan kaget aku melihat perut burung logam itu terbuka dan ada sosok-sosok kecil keluar dari dalamnya. Aku sama sekali tidak tahu makhluk apa yang keluar dari burung terkutuk itu, yang pasti mereka kecil sekali. Tinggi tubuh mereka kira-kira hanya seukuran telapak tanganku dan mereka berjalan dengan dua kaki. Tubuh mungil mereka tidak dilengkapi sisik, sayap ataupun ekor, tapi kulit mereka tampak berwarna-warni hingga membuatku nyaris tertawa. Masing-masing dari mereka membawa sesuatu yang terbuat dari logam dan mengacungkan benda itu ke arahku. Dari tatapan mata dan sikap tubuh mereka, aku tahu mereka takut padaku.
Aku menyeringai dan memperlihatkan deretan taringku yang tajam, membuat makhluk-makhluk mungil itu melangkah mundur karena ketakutan. Tapi diantara mereka rupanya ada satu makhluk yang justru dengan berani melangkah ke arahku.
Kemudian....tanpa terduga sama sekali....makhluk itu bicara dalam bahasaku.
“Halo? Apa bisa kau memahami ucapanku?”
Aku tersentak kaget. Logat bicara makhluk asing itu memang aneh dan sama sekali belum pernah kudengar sebelumnya. Tapi, ya. Aku memahami ucapannya.
“Siapa kau?” geramku.
“Namaku Moriyuki Enma dan ini adalah teman-temanku,” ujar si makhluk asing. “Apa kau punya nama?”
Aku terdiam sejenak. Aku kagum dengan sikapnya yang tenang, padahal meski sedang sekarat seperti ini, jelas-jelas aku bisa menghabisinya dengan mudah. Hanya dengan satu sentakan ekor saja, riwayat makhluk bernama Moriyuki Enma itu akan tamat. Tapi aku memutuskan untuk tidak membunuhnya dan menjawab pertanyaannya. “Atagra. Keluarga dan teman-temanku menyebutku dengan nama Atagra.”
“Salam kenal, Atagra. Sebelumnya aku harus benar-benar meminta maaf karena kami telah membuatmu jadi seperti ini. Maafkan kami. Kami tidak punya pilihan.” Moriyuki Enma tiba-tiba menundukkan kepalanya. Aku tidak paham apa maksud gerakan itu, tapi sepertinya itu gerakan meminta maaf.
Tentu saja aku tidak akan memaafkannya. TIDAK AKAN PERNAH!
Aku meraung sekuat tenaga sambil berusaha berdiri, meskipun tindakanku itu membuat lukaku bertambah lebar. Sambil menahan rasa sakit, aku melangkah maju. Hebatnya Moriyuki Enma sama sekali tidak takut dan masih berdiri di tempatnya dengan tegap.
“Aku paham kau murka karena kami sudah melakukan banyak hal yang kejam pada rasmu. Tapi kau harus mengerti. Ini satu-satunya cara bagi kami untuk bisa hidup di planet ini. Keberadaan kaummu terlalu berbahaya bagi kami.” Moriyuki Enma kembali bicara tanpa sedikitpun menunjukkan rasa takut padaku. Padahal aku jelas siap melahap atau mencabik tubuhnya.
“Kenapa kami harus mengerti?! Kalian gila!! Kalian kejam!!!” Aku meraung lagi sambil menunjukkan deretan gigi-gigiku yang besar dan tajam. “Memangnya kalian ini siapa?! Tahu-tahu datang ke dunia kami dan membunuhi bangsa kami!!! Keparat!!!”
Aku ingin sekali menerjang ke depan dan menghabisi makhluk-makhluk mungil di depanku itu, tapi tiba-tiba aku limbung dan jatuh ke tanah dengan suara berdebam nyaring. Seluruh tubuhku terasa lemas. Aku tahu aku terlalu banyak kehilangan darah, sehingga aku hampir tidak punya tenaga lagi.
“Atagra. Kami, Manusia, tidak punya pilihan lain kalau kami mau bertahan hidup di planet ini. Ras kalian, ras para Naga, adalah makhluk yang berbahaya bagi kelangsungan hidup ras kami,” ujar Moriyuki Enma lagi. “Kau bisa lihat sendiri. Kami ras yang kecil dan lemah. Kami tidak punya cakar dan taring yang tajam, tidak punya sisik yang keras, tidak punya sayap untuk terbang, dan tidak bisa menyemburkan api. Kami lemah dan takut pada keberadaan kalian yang begitu kuat dan perkasa.”
“Tapi itu bukan alasan tepat untuk menghabisi seluruh bangsa kami!!”
Moriyuki Enma diam sejenak, kemudian kembali bicara, kali ini dengan suara lirih.
“Aku tahu itu. Aku mengerti sekali kalau ketakutan kami bukan alasan tepat untuk menghabisi ras lainnya. Tapi kami tidak punya pilihan. Kalau kami tidak memusnahkan ras kalian, ras kalianlah yang akan memusnahkan kami.”
Aku menggeram marah, tapi kemudian terbatuk-batuk. Ada darah yang keluar ketika aku batuk dan kepalaku langsung terasa berputar tidak karuan. Seketika itu juga aku tahu ajalku sudah nyaris tiba. Aku tidak akan bertahan hidup terlalu lama.
“Terkutuklah kalian semua!” umpatku marah.
“Kami memang terkutuk, tapi aku ingin mengubah itu semua,” balas Moriyuki Enma, tanpa terpengaruh ucapanku. “Atagra. Aku akan menyelamatkan nyawamu asal kau mau membantuku mengawasi dan mengendalikan kaummu. Kami sudah menyiapkan tempat tinggal baru untuk kalian. Sebuah tanah luas di timur benua ini. Sebuah tempat dimana kau dan kaummu bisa tinggal dengan damai, tanpa terganggu kehadiran kami.”
Aku melotot ke arahnya dengan satu-satunya mataku yang masih tersisa. Tawarannya itu memang terdengar sangat bagus sekali. Tapi aku tidak akan percaya pada manusia itu, pada makhluk mungil dari perut burung logam yang telah membantai kaumku itu. Apa dia kira tawaran muluk seperti itu bisa membuat kemarahan dan dendam membara dalam tubuhku ini padam?! Apa kami mau menyingkir dari tanah ini? Tentu tidak!!
Tanah ini adalah tanah kami. Tanah tempat kami tinggal. Tanah tempat kami akan dikubur dan menjadi satu dengan alam. Tidak ada satu makhluk pun yang berhak untuk mengusir kami dari tanah ini. Bahkan jika itu berarti ras kami harus musnah!
“HAHAHAHAHAHAHA!!!”
Tawaku terdengar membahana menembus kerimbunan hutan dan kesunyian pegunungan. Moriyuki Enma tampak terkejut mendengar tawaku yang menggelegar.
“Omong kosong! Aku tidak akan percaya dengan ucapanmu! Daripada menyerahkan tanah ini pada kalian dan pergi, lebih baik aku membunuh kalian semua lalu mati dengan tenang!!”
Tanpa mempedulikan luka-lukaku, aku bangkit dengan tiba-tiba dan menerjang maju ke depan. Manusia-manusia di hadapanku langsung berhamburan menyelamatkan diri, termasuk Moriyuki Enma. Dengan marah aku mengatupkan rahangku dan menghabisi nyawa beberapa makhluk mungil itu, lalu mengayunkan ekorku dan memastikan lebih banyak lagi Manusia yang mati karena ulahku.
Mati! Mati! Mati! MA.....
Tiba-tiba aku merasakan sensasi luar biasa panas dan menyakitkan dari pinggangku. Sekilas aku sempat melihat seberkas cahaya melesat ke arahku dari burung logam yang mendarat di dekatku. Dengan ngeri aku menyadari kalau tubuhku telah terbelah tepat di pinggang. Darah segar menyembur ke segala arah, membuat hutan di sekelilingku dihiasi dengan warna merah cerah.
Seharusnya kini aku sedang menderita karena rasa sakit yang teramat dahsyat, tapi anehnya itu tidak terjadi. Yang ada justru perasaan damai. Di saat-saat terakhirku, aku melihat sosok mungil Moriyuki Enma berjalan menghampiriku. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku tahu dia terlihat sangat sedih karena terpaksa membunuhku.
“Kenapa kau nekat menyerang kami? Padahal aku benar-benar ingin menyelamatkanmu dan kaummu!” seru Moriyuki Enma.
Aku menyeringai pada makhluk mungil yang dinamakan Manusia itu.
“Ini adalah tanah leluhur kami. Kami lahir, besar, dan mati di tanah ini. Tidak ada satupun makhluk yang berhak dan bisa memaksa kami meninggalkan tanah ini....” ujarku lirih. Perlahan-lahan kesadaranku mulai memudar dan aku tahu kalau aku akan segera mati. Sambil menyeringai lebar, aku melanjutkan perkataanku. “Kau tidak akan mengerti....tapi keturunanmu nanti mungkin akan mengerti.....”
Sejenak tidak terdengar apapun, kemudian samar-samar aku mendengar Moriyuki Enma, si makhluk mungil terkutuk berbicara lagi kepadaku. “Kau adalah Naga yang luar biasa, Atagra. Kau benar-benar pantang menyerah hingga akhir hayatmu.”
Aku mendengus kesal dan menatap langit. Samar-samar aku bisa melihat sosok Oigen, teman-temanku, dan keluargaku menatap ke arahku dari atas sana. Aku tahu ini sudah saatnya aku pergi. Sambil menutup mata, aku biarkan jiwaku melayang tinggi, pergi menuju tempat peristirahatan terakhirku yang jauh lebih tinggi dari awan diatas sana.
****
Aku terdiam memandangi sosok reptil raksasa yang sudah tidak bernyawa dihadapanku. Sapuan sinar laser dari Kapal Tempur yang kunaiki sudah menghabisi nyawanya. Sesuatu yang terpaksa kuperintah untuk dilakukan karena dia telah menyerang kami.
 “Kapten Moriyuki, anda tidak apa-apa?”
Salah seorang anak buahku bertanya dengan nada cemas.
“Tidak. Aku tidak apa-apa,” sahutku. Kemudian aku berseru memberikan perintah pada anak buahku itu. “Panggil Kapal Medis! Ada banyak orang yang terluka parah disini!”
Setelah melihat anak buahku mulai bekerja, aku lalu menghela nafas panjang. Perang antara ras Manusia dan para Naga sudah berakhir, tapi aku benar-benar tidak suka dengan hasil akhirnya. Dengan penuh penyesalan, aku mengepalkan kedua tanganku begitu erat.
Atagra, naga yang baru saja tewas di hadapanku ini, adalah yang terakhir dari kaumnya. Kini Naga benar-benar punah dari planet ini dan akulah Manusia yang secara tidak langsung telah membunuhnya.
****
~FIN~
red_rackham 2012

Comments