Fatamorgana: Spiral Staircases
Namaku Ria Rahmawati.
Dunia telah berubah sejak Dual Eclipse terjadi di akhir tahun 2012.
Error, makhluk-makhluk buas yang lahir dari kegelapan dan mimpi buruk manusia, mendadak muncul di berbagai belahan dunia pada awal tahun 2013. Tidak ada yang tahu pasti darimana mereka berasal dan mengapa mereka muncul di dunia ini, yang pasti mereka berbahaya. Sayangnya senjata modern yang dimiliki manusia saat ini pun tidak bisa membasmi mereka. Satu-satunya senjata yang bisa memusnahkan Error adalah Phantasm, makhluk-makhluk yang lahir dari imajinasi dan khayalan manusia. Kemudian orang-orang yang mampu menghasilkan Phantasm itu disebut sebagai Fantasia.
Sayangnya tidak semua Fantasia sadar dan bertanggung jawab atas kekuatan yang mereka miliki. Banyak juga yang berpikir mereka bisa seenaknya menggunakan Phantasm mereka untuk memenuhi semua keinginan mereka. Oleh karena itu dbentuklah organisasi IMAGE yang terdiri dari para Fantasia berbakat, demi melindungi manusia dari keganasan Error dan ulah para Fantasia yang semena-mena.
Seperti biasanya sore ini aku sedang berpatroli kedua orang temanku, Farhan Abdul Gani dan Lutfi Irwansyah. Mereka berdua juga Fantasia dan anggota IMAGE, sama sepertiku. Seharusnya sore hari yang cerah ini jadi sore yang menyenangkan. Sayangnya itu tidak terjadi karena baru saja seorang Fantasia nekat mengeluarkan Phantasm-nya di tengah keramaian.
Sekarang kami bertiga harus menghentikan ulah nekat Fantasia sinting itu sebelum ada orang yang terluka, atau terbunuh.
“Ria! Dia lari ke arahmu!!!”
Suara seruan Farhan langsung membuat lamunanku buyar, dan ketika aku tersadar, tahu-tahu pandanganku tertutup oleh sosok gorila raksasa berbulu perak. Makhluk itu meraung keras sambil mengayunkan tinjunya yang sama besarnya dengan sebuah wajan penggorengan ke arah kepalaku.
Untung gerak refleksku sudah terlatih, sehingga aku langsung menunduk dan membiarkan tangan raksasa itu melesat diatas kepalaku.
Menyebalkan sekali! Gumamku dalam hati. Aku lalu berguling ke kanan dan berdiri sambil merentangkan sebelah tanganku ke samping.
“Fatima!” seruku dengan tegas.
Sesosok gadis pirang berpakaian ketat berwarna hitam-merah langsung muncul di sampingku diiringi hembusan angin. Gadis itu adalah Fatima, Phantasm milikku. Begitu Fatima muncul, aku langsung memberi perintah pada Phantasm itu untuk menyerang si gorila.
“Terjang dia, Fatima!!” perintahku.
Fatima langsung melesat ke arah Phantasm berwujud gorila itu dan mengayunkan tangannya. Dengan pedangnya yang tidak terlihat, Fatima berhasil memotong sebelah tangan gorila itu, tapi gorila itu langsung mengayunkan sebelah tangannya yang tersisa ke arah Fatima. Tapi Fatima bukan Phantasm biasa, dia jauh lebih kuat dari Phantasm gorila yang dia lawan. Dengan perisai di tangan kirinya, yang juga tidak kasat mata, Fatima menahan pukulan gorila itu dengan mudah. Kemudian berputar dan mengayunkan pedang gaibnya ke arah pinggang si gorila. Tebasan Fatima telak mengenai si Phantasm gorila dan membelah makhluk itu jadi 2 tepat di pinggangnya. Diiringi suara raungan keras, Phantasm gorila itu lalu menghilang menjadi serpihan cahaya.
Begitu melihat lawanku sudah kalah, aku langsung menghembuskan nafas lega.
“Kerja bagus Fatima,” ujarku sambil memandang ke arah Fatima. Gadis pirang itu membungkuk memberi hormat lalu menghilang bersama dengan sebuah pusaran angin.
“Ria! Kau tidak apa-apa?!”
Aku langsung menoleh ke arah Lutfi yang terlihat khawatir. Pemuda itu berjalan menghampiriku didampingi oleh Phantasm-nya, Durandall, seekor centaur berbaju besi lengkap dengan sebuah pedang yang nyaris sama besar dengan tubuh Lutfi. Mereka berdua langsung menghampiriku.
“Aku tidak apa-apa,” balasku.
“Syukurlah,” ujar Lutfi sambil menghembuskan nafas lega.
Kami berdua lalu berpandangan sejenak, sebelum akhirnya aku memalingkan wajah duluan karena malu. Wajah Lutfi yang memang tampan, jadi makin tampan kalau dia sedang serius atau sedang mengkhawatirkan sesuatu. Sialnya itulah yang membuatku menyukainya, meski aku tidak pernah berterus terang padanya.
“Oi! Kalau kalian udah selesai bermesraan, kesini deh!”
Tiba-tiba Farhan berseru dari kejauhan. Pemuda bertampang cuek dengan rambut awut-awutan itu tampak berjongkok di samping seorang pria berjaket kulit yang tidak sadarkan diri. Pria itulah si Fantasia yang tadi memulai semua keributan ini. Anehnya setelah Phantasm-ku, Fatima, mengalahkan Phantasm pria itu, dia langsung jatuh pingsan.
“Kenapa dia?” tanyaku pada Farhan.
“Mana kutahu,” sahut Farhan sambil mencubit lengan si pria berjaket kulit dengan keras, tapi tidak ada respon. “Dia pingsan setelah Phantasm-nya kau bantai, Ria. Jujur nih, ini baru pertama kalinya terjadi....biasanya sih enggak begini.”
“Ngomong-ngomong siapa orang ini?” tanya Lutfi.
“Mana kutahu, emangnya aku ini bapaknya?” balas Farhan dengan nada ketus. Dia lalu merogoh ke dalam saku celana dan jaket yang dikenakan si Fantasia pembuat onar. Tidak lama kemudian Farhan tampaknya menemukan apa yang dicarinya.
“Apa yang kau temukan?” tanyaku penasaran.
Farhan lalu menunjukkan benda-benda yang dia temukan padaku dan Lutfi. Benda pertama adalah secarik kertas kumal yang tampaknya tidak berharga. Tapi begitu aku membuka lipatan kertas itu, aku bersiul karena rupanya kertas itu adalah sebuah peta Bandung. Hanya saja di beberapa tempat di peta itu tampak sebuah tanda lingkaran dan silang.
“Apalagi yang kau temukan?” tanya Lutfi, kini giliran dia yang merasa penasaran.
Farhan lalu melemparkan sebuah koin pada Lutfi. Begitu melihat koin apa itu, Lutfi tampak terkejut.
“Ada apa?” tanyaku begitu melihat perubahan ekspresi di wajah pemuda itu.
Lutfi lalu memberikan koin itu padaku. Koin itu tampak biasa saja, hanya sebuah koin yang disepuh dengan emas. Hanya saja lambang trisula terbalik yang diukir di koin itulah yang membuatku dan Farhan terkejut. Lambang itu adalah lambang milik Persaudaraan Tombak Langit, kelompok aliran sesat pemuja Error yang dibubarkan oleh IMAGE sekitar 3 bulan yang lalu. Kudengar tadinya kelompok itu berniat menggabungkan Error dan Phantasm untuk menciptakan sebuah Phantasm dengan kekuatan setara Dewa. Untungnya rencana mereka digagalkan oleh tim IMAGE yang terdiri dari 4 orang Fantasia yang sangat kuat. Sayangnya sisa-sisa anggota Persaudaran Tombak Langit sekarang sama sekali tidak diketahui keberadaannya, mereka seperti hilang ditelan bumi.
“Peta ini sepertinya menunjukkan lokasi pertemuan atau markas rahasia mereka,” gumam Lutfi sambil berpikir keras sambil memandangi peta kumal di tangannya. “Ini sepertinya masalah serius.....”
“Kalau emang serius, aku ogah terlibat,” balas Farhan sambil mendengus. “Serahkan aja masalah ini pada para elit di IMAGE. Biar mereka yang ngurus, bukan kita.”
Aku merasa agak jengkel dengan sikap Farhan. Kami bertiga memang bukan golongan elit di IMAGE, tapi kami juga tidak lemah. Masing-masing Phantasm kami memiliki level 3, diatas level rata-rata Fantasia lainnya.
Tiba-tiba saja aku mendapat ide gila.
“Hei! Bagaimana kalau kita saja yang pergi menyelidiki salah satu tempat yang di peta itu?” usulku dengan nada bersemangat. “Mungkin kita bisa menemukan sesuatu di tempat itu!”
Farhan tentu saja tidak setuju dan langsung protes.
“Kau gila ya?!” protes pemuda itu sambil berdiri.
“Ayolah! Apa susahnya sih? Kita kan hanya melakukan penyidikan kecil-kecilan,” ujarku lagi.
Farhan baru akan protes lagi, tapi tidak jadi karena Lutfi tiba-tiba menepuk bahunya.
“Ria benar. Tidak ada salahnya kita menyelidiki paling tidak satu diantara banyak tempat di peta ini,” ujar Lutfi sambil tersenyum. “Siapa tahu kita menemukan sesuatu yang berguna untuk penyidikan lebih lanjut oleh para elit di IMAGE.”
Melihat Lutfi juga ikut-ikutan mendukungku, Farhan langsung menepuk dahinya.
“Terserah kalian aja!” balasnya dengan nada muram. Tapi dia lalu menambahkan. “Tapi kalau ada apa-apa, aku yang bakalan kabur duluan.”
Aku dan Lutfi langsung tertawa mendengar ucapan Farhan.
Salah satu tempat yang ditandai dalam peta milik pria Fantasia yang kami kalahkan rupanya adalah sebuah Factory Outlet
besar yang ada di daerah Dago, Bandung. Pada siang hari tempat itu
memang sangat ramai dikunjungi pelanggan, tapi di malam hari tempat itu
sama sekali sepi. Untungnya lagi di sekitar gedung itu tidak ada penjaga
sama sekali, sehingga kami bertiga bisa menerobos masuk dengan mudah.
“Kadang-kadang kupikir kau ini mantan maling Farhan,” celetukku ketika Farhan membuka pintu belakang Factory Outlet itu, hanya berbekal beberapa utas kawat saja. “Kau selalu bisa membuka pintu apapun hanya berbekal kawat atau obeng.”
“Cerewet! Jangan banyak komentar!” balas Farhan sambil membukakan pintu.
Kami langsung masuk ke dalam gedung dan mulai menjelajah seluruh isi gedung Factory Outlet itu. Dengan bekal sebuah senter kecil, aku dan kedua temanku berusaha mencari apapun yang tampak aneh, tidak wajar, dan mencurigakan. Tapi setelah menyusuri jengkal demi jengkal Factory Outlet itu, aku sama sekali tidak menemukan apapun yang mencurigakan, begitu pula dengan Farhan dan Lutfi. Sepertinya gedung ini benar-benar hanya sebuah toko pakaian belaka.
“Aneh.....tidak ada yang aneh disini. Semuanya tampak normal,” ujarku dengan nada kecewa. “Tempat ini sepertinya memang hanya sebuah Factory Outlet...bukan tempat berkumpul rahasia atau semacamnya.”
“Benar. Aku sudah memeriksa hampir semua tempat, tapi tidak ada yang aneh,” timpal Lutfi. Dia juga terdengar kecewa karena tidak menemukan apapun. Hanya Farhan yang terlihat ceria karena tidak jadi menemukan masalah yang ingin dia hindari.
“Nah, kalau emang disini enggak ada yang aneh, gimana kalau kita pulang sekarang?” usul Farhan sambil duduk di atas sebuah batu besar, yang berada di samping kolam buatan di salah satu pojok ruangan. Tapi begitu dia duduk, batu itu langsung melesak beberapa senti. Beberapa detik kemudian terdengar suara derik mekanis, lalu dinding kolam buatan yang dilengkapi air terjun mini, langsung bergeser terbuka. Di balik pintu rahasia itu, terlihat sebuah tangga menuju ke bawah tanah.
Aku langsung terbengong-bengong melihat tangga rahasia itu, begitu pula dengan Lutfi dan Farhan yang masih duduk di atas batu. Kami bertiga memandangi jalan rahasia itu cukup lama sebelum akhirnya Lutfi berbicara.
“Bagaimana sekarang? Kita maju terus atau mundur?” tanya pemuda itu padaku dan Farhan.
“Sebaiknya kita pulang saja,”
“Maju teurs!”
Aku dan Farhan menjawab nyaris bersamaan. Kami berdua lalu saling pandang. Aku langsung mendengus ke arah Farhan. Tadi dia terlihat enggan untuk memeriksa tempat ini, tapi begitu menemukan jalan rahasia ini, dia langsung tampak bersemangat. Sialnya begitu aku memandang ke arah Lutfi, diapun begitu.
“Kali ini aku setuju dengan Farhan,” ujar Lutfi, dia lalu menyorotkan senternya ke arah pintu rahasia di depannya itu. “Ayo kita turun.”
Meski tidak setuju, tapi aku tidak bisa meninggalkan kedua temanku begitu saja. Mau tidak mau aku harus mengikuti mereka berdua, meski instingku terus menjerit memperingatkan kalau tempat yang dituju jalan rahasia itu sangat berbahaya.
Sambil menelan ludah aku berjalang mengikuti kedua temanku itu sambil berdoa.
Semoga tidak ada apa-apa dibawah sana.....
Tangga rahasia itu rupanya terhubung ke sebuah lorong rahasia di
bawah tanah, dan tentu saja lorong itu gelap total. Saking gelapnya
seakan-akan senter yang kami bawa jadi tidak berguna.
“Perasaanku enggak enak...” ujar Farhan ketika kami mulai menyusuri lorong itu. Aku langsung melotot ke arahnya.
Kemana semangatmu yang tadi? Gerutuku dalam hati.
Tapi jujur saja, aku juga merasakan perasaan tidak enak sejak kami bertiga turun ke tempat ini. Rasanya di ujung lorong ini terdapat sesuatu yang menakutkan dan tidak seharusnya kami datangi. Sialnya, sejak tadi aku juga merasa kalau kami sedang diawasi oleh sesuatu. Ketika aku menoleh dan tidak sengaja bertatapan dengan Lutfi, sepertinya dia juga merasakan hal yang sama denganku. Namun kami tetap diam dan tidak ingin meributkan hal itu. Setidaknya untuk saat ini.
Tiba-tiba dari ujung lorong, aku melihat ada cahaya terang. Kami lalu bergegas mendekati sumber cahaya itu dan tertegun. Cahaya terang itu rupanya berasal dari beberapa buah lampu sorot yang diletakkan di sekeliling lubang besar yang ada di tengah ruangan. Di tengah lubang tersebut, terdapat sebuah tangga spiral yang terbuat dari baja yang tampak sudah lapuk. Sebuah jembatan baja tampak menghubungkan antara tangga spiral itu dengan tepian lubang. Aku lihat tangga spiral di tengah lubang itu tampak berputar ke bawah menuju dasar lubang. Anehnya meski lampu-lampu sorot telah diarahkan ke arah dasar lubang, tapi dasar lubang itu sendiri tidak terlihat. Entah saking dalamnya atau karena kegelapan di dasar lubang itu begitu pekat hingga tidak bisa ditembus cahaya.
“Tempat apa ini?” gumam Lutfi sambil berjalan mendekati lubang.
Aku perlahan-lahan berjalan mengikuti Lutfi dan memandang ke arah dasar lubang yang hitam pekat. Tanpa sadar aku gemetar dan memegangi lengan baju Lutfi.
“Tidak perlu takut....” ujar Lutfi sambil memegangi tanganku. Spontan wajahku langsung memerah begitu menyadari kalau tangannya yang besar sudah menggenggam jemariku yang mungil.
“A....aku tidak takut!” bantahku, tapi aku tetap tidak melepaskan genggamanku.
“Lutfi, Ria....kali ini aku serius nih...ayo kita pulang!” ujar Farhan sambil memandang ke segala arah. “Tempat ini jelas enggak beres!”
Kali ini aku dan Lutfi langsung mengangguk bersamaan. Kami juga merasakan hal yang sama, tapi begitu kami bertiga bermaksud kembali, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang.
“Lho? Ada tamu ya? Kenapa kalian buru-buru sekali ingin pulang? Itu kan tidak sopan.”
Spontan kami bertiga langsung berbalik dan mendapati seorang pria sudah berdiri di depan jembatan. Aku terkejut karena tadi aku yakin kalau diatas jembatan itu tidak ada siapa-siapa. Darimana dia muncul?!
“Siapa kau?!” seru Lutfi sambil berdiri di depanku.
“Wah...harusnya aku yang bertanya begitu pada kalian,” balas pria misterius itu dengan nada santai, tapi juga terkesan dingin dan mengancam. “Siapa kalian dan sedang apa kalian disini?”
Kami bertiga langsung terdiam. Tapi tidak lama karena pria itu kembali berbicara.
“Yah...siapapun kalian tidak masalah. Toh kalian tidak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup,” ujar pria misterius itu sambil merentangkan kedua tangannya. “Mayu, keluarlah.”
Begitu dia selesai bicara, seorang gadis kecil langsung muncul begitu saja di depan pria itu. Gadis itu tampak mengenakan armor ringan yang terbuat dari baja di dada, lengan, dan kakinya. Begitu gadis itu muncul aku langsung sadar kalau pria misterius itu adalah seorang Fantasia, dan gadis itu adalah Phantasm-nya.
Tanpa basa-basi, aku langsung berseru memanggil Fatima, Phantasm-ku. Lutfi dan Farhan juga berseru bersamaan denganku.
“Fatima!”
“Durandall!!”
“Marcosias!!”
Ketiga Phantasm kami langsung muncul dan siap bertempur. Fatima dan Durandall langsung maju paling depan, sementara Marcosias berdiri di belakang. Berbeda dengan Fatima dan Durandall yang bertarung dari jarak dekat, Marcosias, Phantasm milik Farhan, adalah petarung jarak jauh. Marcosias berwujud seekor manusia serigala yang di tubuhnya terdapat berbagai macam senjata berat. Mulai dari sepasang gatling gun, deretan mini-launcher, beberapa peluncur micro-missiles dan folding-railgun di punggung.
Melihat sosok Phantasm kami bertiga, bukannya takut, tapi pria misterius di depan kami itu malah tertawa.
“Ahahahahaha.....! Hebat! Kalian punya Phantasm yang menarik sekali....” puji pria itu sambil berjalan dan menepuk pundak Phantasm-nya. Sambil tersenyum, pria itu menunjuk ke arah kami bertiga. “Nah kalau begini, kau boleh pilih yang mana yang mau kau habisi duluan, Mayu.”
Phantasm itu mengangguk, lalu menyilangkan kedua tangannya. Aku terkejut bukan main ketika gadis Phantasm itu menarik keluar sepasang broad-sword dari udara. Kedua bilah pedang besar itu muncul begitu saja. Tanpa peringatan, Mayu tiba-tiba melesat ke arah Marcosias.
Marcosias langsung bereaksi dan mencoba menembak Mayu dengan gatling gun di tangannya, tapi Mayu jauh lebih cepat. Hanya dengan dua-tiga tebasan, Marcosias langsung tumbang dan kemudian hancur jadi serpihan cahaya.
“Yang bener aja?!” seru Farhan kaget setengah mati, tapi gara-gara Phantasm-nya dikalahkan, tubuh pemuda itu langsung lemas.
Begitu selesai dengan target pertamanya, Mayu langsung melesat ke arah Fatima.
“Jangan mau kalah, Fatima!” seruku memberi semangat.
Fatima langsung menangkis serangan pertama Mayu dengan perisai tak kasat matanya, lalu balas menebas tubuh lawannya itu. Tapi Mayu memang bukan Phantasm biasa, dengan mudah dia menghindari serangan Fatima, lalu melancarkan serangan bertubi-tubi hingga Fatima kewalahan.
Di saat genting itu, Durandall, Phantasm milik Lutfi ikut terjun dalam pertarungan. Phantasm itu menerjang ke arah Mayu dengan tombak partisan di tangannya. Tapi serangan Durandall dengan mudah dihentikan oleh Mayu. Gadis Phantasm itu lalu melompat ke atas dan menarik lebih banyak pedang lagi dari udara. Kemudian diiringi suara denting nyaring, 5 buah pedang yang berbeda bentuk langsung menghujam ke tubuh Durandall. Meski tubuh Phantasm centaur itu dilindungi dengan armor tebal, itu tidak menghalangi serangan Mayu sama sekali.
“Tidak mungkin.....Durandall!?” seru Lutfi kaget sambil berlutut karena tubuhnya langsung lemas begitu Durandall hancur jadi serpihan cahaya.
Aku masih terpaku di tempat. Meski Fatima terus berusaha mati-matian melawan Mayu, tapi kekuatan dan kemampuan Phantasm-ku itu tampak tidak sebanding dengan lawannya. Berkali-kali pedang Mayu menebas armor tak kasat mata di tubuh Fatima dan melukainya, sementara itu tidak satupun tebasan pedang Fatima yang berhasil menyentuh tubuh Mayu.
Perbedaan kekuatan diantara kedua Phantasm itu jelas terlalu besar. Tidak perlu waktu lama hingga sebilah nodachi, pedang jepang dengan panjang 2 meter, akhirnya menembus tubuh Fatima. Aku langsung terduduk di atas lantai begitu Fatima menghilang jadi serpihan cahaya. Kedua kakiku baru saja terasa seperti terbuat dari jelly, hingga aku tidak sanggup lagi berdiri.
“Yah...hanya segini saja kemampuan kalian?” ujar pria misterius itu dengan nada kecewa. Dia lalu mengelus kepala Mayu yang kini berdiri di sampingnya. “Kupikir kalian anggota IMAGE memiliki Phantasm yang hebat. Rupanya dugaanku salah ya? Mengecewakan sekali.”
Aku terkejut begitu mendengar kalau pria itu menyebut kata IMAGE. Mustahil pria misterius itu tahu kalau kami anggota IMAGE, karena saat ini kami sama sekali tidak mengenakan atribut IMAGE. Kami bahkan tidak mengenakan band kain berlogo IMAGE di lengan kami.
Siapa dia sebernanya?! Kenapa dia tahu kami ini anggota IMAGE? Gumamku dalam hati.
“Sial....dia terlalu kuat!” gerutu Farhan sambil berusaha berdiri.
“Phantasm itu....levelnya jauh diatas Phantasm kita...” timpal Lutfi, dia juga terlihat berusaha berdiri dengan susah payah.
“Nah, Mayu. Berhubung mereka sudah tidak berdaya lagi, kau bebas memperlakukan mereka semaumu. Mau dicincang, disate, disalib, terserah saja. Aku akan berdiri disini dan menikmati saat-saat terakhir mereka bertiga,” ujar pria itu sambil menepuk pundak Phantasm-nya. Begitu dia melakukan itu, Mayu langsung menarik sebuah pedang yang ukurannya tidak kira-kira. Lebar mata pedang itu bahkan lebih lebar dari tubuh Farhan dan panjang mata pedang itu nyaris 2 kali tinggi tubuh Phantasm itu sendiri.
Mayu tiba-tiba menoleh ke arahku dan mengayunkan pedang raksasa itu ke arah tubuhku. Aku menjerit dan menutup mata. Aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk bergerak, apalagi untuk menghindar. Jadi aku berharap semoga kematianku ini akan berlangsung cepat dan tidak terlalu menyakitkan.
Alih-alih merasakan baja dingin membelah tubuhku, aku justru mendengar suara denting nyaring yang membuat telingaku berdenging. Karena penasaran aku lalu membuka mataku.
Di depanku, berdiri sesosok centaur berbaju logam yang menahan pedang raksasa milik Mayu dengan sebuah perisai tebal yang juga tidak kalah besar. Tapi meski Durandall, Phantasm centaur milik Lutfi itu sudah berusaha keras, tapi entah mengapa kekuatan fisik Mayu masih jauh diatasnya. Pelan tapi pasti, pedang raksasa Mayu mulai memotong perisai milik Durandall.
“Ria! Ayo lari!!” seru Lutfi sambil menarik tanganku.
Kami berdua langsung lari sekuat tenaga ke arah pintu keluar, tapi begitu kami sampai di dekat tangga, tiba-tiba saja sekumpulan Error muncul dan menghalangi jalan. Melihat jumlah Error yang begitu banyak, aku langsung ketakutan.
“Minggir kalian!” seru Farhan dari belakang. Tampak dia sudah bisa mengeluarkan Phantasm-nya lagi, sekaligus siap melibas apapun yang menghalangi jalannya. Marcosias tampak mengarahkan seluruh senjata yang dia miliki ke arah gerombolan Error yang menghalangi jalannya.
“Tunggu dulu!!” seruku dan Lutfi bersamaan, tapi Farhan tidak menggubris peringatan kami.
“TEMBAK!!” seru Farhan pada Phantasm-nya.
Kemudian seluruh lorong itu jadi terang karena serangan-serangan yang dilancarkan oleh Marcosias. Phantasm itu terus menembak membabi-buta dan menghancurkan para Error yang menghalangi jalan kami. Sayangnya serangannya juga membuat pintu rahasia lorong ini ikut hancur, bersamaan dengan itu, beberapa misil dan roket mini yang ditembakkan Marcosias juga merusak bagian dalam Factory Outlet.
“Dasar sintiiiiiing!!!!!” umpatku sambil berlari menghindar, sementara Mayu berlari di sisiku sambil melindungiku dari peluru nyasar Marcosias. Lutfi juga tampak susah payah bergerak dan beberapa kali tersandung. Sepertinya Durandall sekali lagi berhasil dihabisi oleh Mayu, sehingga Lutfi sekarang tampak sempoyongan dan wajahnya terlihat sangat pucat.
Hanya karena keajaiban semata kami bisa keluar dari Factory Outlet terkutuk itu. Sayangnya keajaiban itu hanya berhenti sampai disitu saja, karena di luar Factory Outlet, sudah menunggu rombongan Error yang lebih banyak lagi. Mereka sepertinya tertarik oleh keberadaan rombongan Error di jalan rahasia, sekaligus oleh keberadan Phantasm kami bertiga.
“Oke....ini buruk sekali...” gumamku sambil memandang ke arah Lutfi dan Farhan. Lupakan Lutfi, dia tampak sangat lelah karena sudah tidak mungkin bertempur lagi. Sementara itu Marcosias yang baru saja melepaskan serangan dahsyat tampak kelelahan juga, sama seperti Farhan yang merupakan Fantasia-nya. Dalam kondisi seperti itu, meski masih bisa bertempur, tapi aku yakin Marcosias tidak akan bertahan lama. Begitu pula dengan Fatima, Phantasm-ku. Dia memang terlihat masih cukup segar, tapi dengan kemampuan Fatima saja, tidak mungkin kami keluar hidup-hidup dari serbuan rombongan Error di depan kami ini.
“Lutfi, Ria....kayaknya kita bakal berakhir disini nih....” gumam Farhan dengan nada murung. Dia lalu memandang ke arahku dan Lutfi bergantian, lalu menambahkan lagi. “Senang bisa berteman dengan kalian berdua....”
Aku mendengus mendengar ucapan Farhan, meski aku juga punya pikiran yang sama dengan pemuda itu.
“Ria...” ujar Lutfi sambil memandangku. Aku langsung menoleh dan balas memandang pemuda itu.
“Apa?” balasku.
“Kalau kita bisa keluar hidup-hidup dari kepungan Error ini, apa kau mau jadi kekasihku?” tanya pemuda itu dengan nada serius.
Jantungku nyaris berhenti mendengar ucapan Lutfi. Tidak kusangka dia akan menyatakan perasaannya padaku, dan sialnya dia mengatakan hal itu pada saat yang tidak tepat. Tapi tentu saja aku mau jadi kekasihnya, karena aku juga sejak lama menyukainya.
“Tentu saja aku mau!” sahutku dengan bersemangat. Berkat ucapan Lutfi barusan, semangat juangku kembali berkobar. Kalaupun harus mati, aku tidak akan mati begitu saja. Akan kubawa sebanyak mungkin Error-Error terkutuk itu ke akhirat bersamaku.
“Bersiaplah Fatima, kita akan menerjang ke arah Error-Error itu,” ujarku pada Fatima yang berdiri di depanku. Gadis Phantasm itu mengangguk dan merentangkan kedua tangannya, kali ini dua bilah pedang identik yang kasat mata langsung muncul di tangannya. Pada saat yang sama Marcosias tampak mengisi ulang seluruh senjata di tubuhnya, diiringi suara denting dan ceklikan samar.
Aku dan Farhan sudah siap untuk bertempur sampai mati, ketika tiba-tiba saja sebuah kobaran api dahsyat melumat sebagian Error yang mengepung kami. Kemudian disusul dengan sebuah tembakan energi dahsyat juga menghancurkan hampir seluruh Error yang tersisa. Beberapa Error yang masih selamat langsung panik dan berusaha mencari siapa yang menyerang mereka, tapi sesosok gadis kecil yang membawa gunting raksasa langsung memotong beberapa Error dalam waktu singkat. Melihat hampir seluruh kawanannya dihancurkan dalam waktu singkat, 7 Error terakhir yang masih hidup langsung melarikan diri, tapi pelarian mereka segera dihentikan oleh bilah-bilah logam yang langsung menghujam ke dalam tubuh mereka.
Dalam waktu kurang dari 10 menit, gerombolan Error yang jumlahnya paling tidak 40 ekor, kini sudah tidak bersisa sama sekali.
Di tempat berkumpulnya puluhan Error tadi, kini berdiri 2 orang pemuda dan 2 orang gadis. Jelas mereka bukan pemuda-pemudi biasa, karena di samping mereka terdapat seekor Phantasm yang memiliki wujud berbeda-beda. Phantasm berwujud seperti elang berselimut api, manusia api, bola mata mekanik dan makhluk gendut berwarna pink, tampak berdiri di samping mereka.
“The Walking Disasters....” gumam Farhan tanpa sadar.
Mendengar nama itu, aku langsung mengenali siapa orang-orang itu. Mereka adalah salah satu tim elit di IMAGE dan sepak terjang mereka sangat terkenal, terutama karena mereka selalu menghasilkan kerusakan properti yang cukup parah setiap kali mereka beraksi. Oleh karena itulah mereka dijuluki sebagai The Walking Disaster, atau Bencana Berjalan, sebutan yang cukup pantas bagi keempat orang elit IMAGE itu.
“Seno, Airi, Aya, dan Yoga....” gumamku sambil menyebutkan nama mereka satu persatu. Meski tidak kenal dekat dengan mereka berempat, tapi semua anggota IMAGE kota Bandung pasti mengenal siapa empat orang itu.
“Kalian tidak apa-apa?”
Airi, si gadis berkacamata dengan Phantasm dengan wujud seperti bola mata mekanik berjalan menghampiri kami. Kemudian dia tampak memandangi kami satu persatu, sepertinya dia ingin memastikan kalau kami benar-benar tidak apa-apa.
“Tidak....kami baik-baik saja...” ujarku.
“Bagus kalau begitu,” timpal Seno, si pemuda berjaket hitam dengan lambang IMAGE di punggungnya. “Tadi sepertinya kacau sekali. Tapi semuanya sudah berakhir. Ayo kita pulang ke markas.”
Aku mengangguk, lalu memandang ke arah Farhan yang langsung duduk di tanah. Pandanganku lalu beralih ke arah Lutfi, yang rupanya juga memandangiku.
“Jawabanmu tadi itu....bukan karena kita sedang menghadapi maut kan?” tanya Lutfi padaku, ekspresi wajahnya tampak serius sehingga dia terlihat makin mempesona.
“Tentu saja bukan! Aku benar-benar menyukaimu, Lutfi! Itu adalah perasaanku yang sesungguhnya padamu!!” seruku tanpa pikir panjang, lalu terdiam karena sadar kami tidak sendirian. Tapi aku tidak peduli lagi, aku benar-benar menyukainya dan karena dia ternyata menyukaiku juga. Jadi sepertinya kami memang cocok dan ditakdirkan untuk jadi sepasang kekasih!
“Terima kasih, Ria,” ujar Lutfi dengan tulus.
Dia lalu tersenyum tulus kepadaku. Wajahnya yang sedang tersenyum benar-benar membuatku terpesona, sehingga tanpa sadar wajahku memerah.
“Oke...baiklah....jadi Ria akhirnya jadian sama Lutfi...” gerutu Farhan sambil menepuk dahinya seakan-akan dia merasa kecewa atau menyesal. Tapi kemudian pemuda itu nyengir lebar ke arahku dan Lutfi. “Selamat deh untuk kalian berdua. Sudah kuduga kalian emang cocok jadi pasangan.”
Aku dan Lutfi tersenyum dan saling pandang.
Meski melalui cara yang tidak biasa, tapi peristiwa ini adalah awal yang indah bagi kami berdua. Semoga nantinya aku dan Lutfi bisa mengalami hal-hal menarik lainnya. Tapi tentu saja, hal-hal yang sama sekali tidak berkaitan dengan Error dan Phantasm.
Tuhan....jangan biarkan semua ini cuma mimpi belaka....hidupku sudah cukup gila.....jadi setidaknya biarkan aku menikmati waktu-waktu indah bersama Lutfi lebih banyak lagi.
Aku berdoa semoga kami bisa menjalani kisah kasih yang indah, tanpa ada halangan yang berarti.
Tanpa sadar aku kembali tersenyum ke arah Lutfi, yang langsung balas tersenyum padaku.
Saat itu juga, perasaanku melayang dan aku merasa ada di surga.
[EXTRA]
Aku berjalan menyusuri lorong rahasia di bawah kota Bandung ini dengan perasaan kalut. Baru saja aku mendapat laporan kalau ada beberapa orang tikus dari IMAGE yang berhasil menemukan keberadaan tempat ini. Aku benar-benar tidak menyangka kalau IMAGE akhirnya mengendus lokasi ini. Kalau sudah begini, kami harus pindah lagi.
Setelah menyusuri lorong gelap tanpa cahaya yang menyebalkan ini, aku akhirnya sampai di tempat tujuanku.
Sebuah ruangan dengan lubang besar ditengahnya yang dikelilingi dengan lampu sorot. Di tengah lubang itu terdapat sebuah tangga spiral menuju ke dasar dan jembatan baja yang menghubungkan antara tangga spiral itu dengan tepian lubang.
Aku berkali-kali menelan ludah saat aku berjalan melintasi jembatan penghubung menuju tangga spiral. Tanpa sadar aku berkali-kali memandang ke bawah, ke arah kegelapan pekat yang sama sekali tidak tertembus cahaya. Saat aku berjalan menuruni tangga, menuju dasar lubang, rasanya kegelapan di sekitarku berputar-putar dan berusaha menelan diriku. Aku baru bisa bernafas lega ketika sampai di dasar lubang, karena disini cahaya bisa bersinar, meski temaram.
Aku benci tempat ini...gumamku pada diriku sendiri.
Tapi mau tidak mau aku harus datang kesini. Ini salah satu tugas dan resiko yang kutanggung sebagai ketua dari Persaudaraan Tombak Langit. Meski kami sudah dibubarkan oleh IMAGE beberapa bulan yang lalu, tapi kegiatan kami masih terus berlangsung.
“Aah....akhirnya kau datang juga.”
Terdengar suara seorang pria yang sebenarnya tidak akan kutemui kalau tidak terpaksa. Pria itu tampak berdiri di samping seorang gadis yang mengenakan armor baja ringan di tubuhnya.
“Bagaimana dengan tikus-tikus IMAGE itu, apa mereka sudah mati?!” tanyaku tanpa basa-basi.
Pria itu tertawa tertahan, lalu menjawab dengan santainya. “Belum. Mereka belum mati. Mereka tampak menarik sekali, jadi aku membiarkan mereka kabur.”
“Sialan!!! Kalau IMAGE sampai datang kesini, habis sudah!!! Apa kau lupa mereka sudah menggagalkan rencanaku sebelumnya?!”
Aku langsung membentaknya begitu mendengar jawaban pria itu. Tapi pria itu tampak tidak bergeming sama sekali, dia malah tersenyum lebar.
“Edwin....Edwin....kau tidak perlu khawatir rencana ini akan berakhir seperti rencana Persaudaraan Tombak Langit-mu dulu,” ujar pria itu dengan tenangnya. Dia lalu mengetuk dahinya dengan telunjuknya. “Semuanya sudah kuatur di dalam sini, di dalam otakku. Tapi harus kuakui, kegagalanmu waktu itu sudah membuka peluang bagus bagi para ‘Pedang’ untuk beraksi. Jadi aku harus memujimu karenakau sudah gagal waktu itu.”
Aku mengepalkan kedua tanganku karena jengkel bukan main. Orang ini benar-benar menyebalkan hingga aku tidak sabar untuk mengeluarkan Phantasm-ku dan menghabisinya, tapi dia juga begitu berbahaya sehingga aku tidak berani macam-macam dengannya. Kalau aku nekat melawannya, maka bisa dipastikan mayatku yang akan ditemukan mengambang di sungai kota Bandung. Biarpun Mayu, Phantasm pria itu hanya berwujud seorang gadis kecil ber-armor ringan, tapi dia jauh lebih kuat dari Phantasm manapun yang pernah kutemui.
Sambil menghembuskan nafas panjang, aku berusaha menenangkan diri.
“Oke.....aku percaya padamu. Tapi kau harus menunjukkan hasilnya padaku!” ujarku sambil berbalik dan mulai menaiki tangga spiral lagi.
Sebelum aku naik, sekilas aku melihat pria itu mengelus kepala Phantasm-nya yang berwujud seorang gadis. Dia tampak memandangi kegelapan pekat di depannya, lalu kembali tersenyum lebar dan berkata.
“Meski semua pemainnya sudah berkumpul, belum saatnya ‘Teater Ilusi’ ini dimainkan. Masih banyak yang harus kita lakukan. Tapi percayalah......pada waktunya nanti mereka semua akan berdansa dalam alunan musik kematian, diatas panggung yang sedang kusiapkan. Bersabarlah....”
Seakan-akan memahami ucapannya, kegelapan di depan pria itu tampak bergolak dengan penuh semangat. Hal itu membuatku langsung merinding dan mempercepat langkahku.
Kau memang orang yang berbahaya.....Isono....
Aku bergumam sambil bergegas meninggalkan tempat mengerikan ini. Tapi di dalam benakku, gambaran mengenai rencana yang sempat disinggung Isono kembali terulang.
‘Tombak’ku memang sudah patah, tapi aku masih punya ‘Pedang’ yang bisa kugunakan .Heh! aku jadi tidak sabar lagi......
Aku lalu tersenyum lebar sambil membayangkan betapa briliannya rencana yang disusun oleh Isono itu.
Pada saatnya nanti warga kota Bandung akan melihat isi neraka berkeliaran di sekitar mereka....dan itu akan terjadi tidak lama lagi.....
Dunia telah berubah sejak Dual Eclipse terjadi di akhir tahun 2012.
Error, makhluk-makhluk buas yang lahir dari kegelapan dan mimpi buruk manusia, mendadak muncul di berbagai belahan dunia pada awal tahun 2013. Tidak ada yang tahu pasti darimana mereka berasal dan mengapa mereka muncul di dunia ini, yang pasti mereka berbahaya. Sayangnya senjata modern yang dimiliki manusia saat ini pun tidak bisa membasmi mereka. Satu-satunya senjata yang bisa memusnahkan Error adalah Phantasm, makhluk-makhluk yang lahir dari imajinasi dan khayalan manusia. Kemudian orang-orang yang mampu menghasilkan Phantasm itu disebut sebagai Fantasia.
Sayangnya tidak semua Fantasia sadar dan bertanggung jawab atas kekuatan yang mereka miliki. Banyak juga yang berpikir mereka bisa seenaknya menggunakan Phantasm mereka untuk memenuhi semua keinginan mereka. Oleh karena itu dbentuklah organisasi IMAGE yang terdiri dari para Fantasia berbakat, demi melindungi manusia dari keganasan Error dan ulah para Fantasia yang semena-mena.
Seperti biasanya sore ini aku sedang berpatroli kedua orang temanku, Farhan Abdul Gani dan Lutfi Irwansyah. Mereka berdua juga Fantasia dan anggota IMAGE, sama sepertiku. Seharusnya sore hari yang cerah ini jadi sore yang menyenangkan. Sayangnya itu tidak terjadi karena baru saja seorang Fantasia nekat mengeluarkan Phantasm-nya di tengah keramaian.
Sekarang kami bertiga harus menghentikan ulah nekat Fantasia sinting itu sebelum ada orang yang terluka, atau terbunuh.
“Ria! Dia lari ke arahmu!!!”
Suara seruan Farhan langsung membuat lamunanku buyar, dan ketika aku tersadar, tahu-tahu pandanganku tertutup oleh sosok gorila raksasa berbulu perak. Makhluk itu meraung keras sambil mengayunkan tinjunya yang sama besarnya dengan sebuah wajan penggorengan ke arah kepalaku.
Untung gerak refleksku sudah terlatih, sehingga aku langsung menunduk dan membiarkan tangan raksasa itu melesat diatas kepalaku.
Menyebalkan sekali! Gumamku dalam hati. Aku lalu berguling ke kanan dan berdiri sambil merentangkan sebelah tanganku ke samping.
“Fatima!” seruku dengan tegas.
Sesosok gadis pirang berpakaian ketat berwarna hitam-merah langsung muncul di sampingku diiringi hembusan angin. Gadis itu adalah Fatima, Phantasm milikku. Begitu Fatima muncul, aku langsung memberi perintah pada Phantasm itu untuk menyerang si gorila.
“Terjang dia, Fatima!!” perintahku.
Fatima langsung melesat ke arah Phantasm berwujud gorila itu dan mengayunkan tangannya. Dengan pedangnya yang tidak terlihat, Fatima berhasil memotong sebelah tangan gorila itu, tapi gorila itu langsung mengayunkan sebelah tangannya yang tersisa ke arah Fatima. Tapi Fatima bukan Phantasm biasa, dia jauh lebih kuat dari Phantasm gorila yang dia lawan. Dengan perisai di tangan kirinya, yang juga tidak kasat mata, Fatima menahan pukulan gorila itu dengan mudah. Kemudian berputar dan mengayunkan pedang gaibnya ke arah pinggang si gorila. Tebasan Fatima telak mengenai si Phantasm gorila dan membelah makhluk itu jadi 2 tepat di pinggangnya. Diiringi suara raungan keras, Phantasm gorila itu lalu menghilang menjadi serpihan cahaya.
Begitu melihat lawanku sudah kalah, aku langsung menghembuskan nafas lega.
“Kerja bagus Fatima,” ujarku sambil memandang ke arah Fatima. Gadis pirang itu membungkuk memberi hormat lalu menghilang bersama dengan sebuah pusaran angin.
“Ria! Kau tidak apa-apa?!”
Aku langsung menoleh ke arah Lutfi yang terlihat khawatir. Pemuda itu berjalan menghampiriku didampingi oleh Phantasm-nya, Durandall, seekor centaur berbaju besi lengkap dengan sebuah pedang yang nyaris sama besar dengan tubuh Lutfi. Mereka berdua langsung menghampiriku.
“Aku tidak apa-apa,” balasku.
“Syukurlah,” ujar Lutfi sambil menghembuskan nafas lega.
Kami berdua lalu berpandangan sejenak, sebelum akhirnya aku memalingkan wajah duluan karena malu. Wajah Lutfi yang memang tampan, jadi makin tampan kalau dia sedang serius atau sedang mengkhawatirkan sesuatu. Sialnya itulah yang membuatku menyukainya, meski aku tidak pernah berterus terang padanya.
“Oi! Kalau kalian udah selesai bermesraan, kesini deh!”
Tiba-tiba Farhan berseru dari kejauhan. Pemuda bertampang cuek dengan rambut awut-awutan itu tampak berjongkok di samping seorang pria berjaket kulit yang tidak sadarkan diri. Pria itulah si Fantasia yang tadi memulai semua keributan ini. Anehnya setelah Phantasm-ku, Fatima, mengalahkan Phantasm pria itu, dia langsung jatuh pingsan.
“Kenapa dia?” tanyaku pada Farhan.
“Mana kutahu,” sahut Farhan sambil mencubit lengan si pria berjaket kulit dengan keras, tapi tidak ada respon. “Dia pingsan setelah Phantasm-nya kau bantai, Ria. Jujur nih, ini baru pertama kalinya terjadi....biasanya sih enggak begini.”
“Ngomong-ngomong siapa orang ini?” tanya Lutfi.
“Mana kutahu, emangnya aku ini bapaknya?” balas Farhan dengan nada ketus. Dia lalu merogoh ke dalam saku celana dan jaket yang dikenakan si Fantasia pembuat onar. Tidak lama kemudian Farhan tampaknya menemukan apa yang dicarinya.
“Apa yang kau temukan?” tanyaku penasaran.
Farhan lalu menunjukkan benda-benda yang dia temukan padaku dan Lutfi. Benda pertama adalah secarik kertas kumal yang tampaknya tidak berharga. Tapi begitu aku membuka lipatan kertas itu, aku bersiul karena rupanya kertas itu adalah sebuah peta Bandung. Hanya saja di beberapa tempat di peta itu tampak sebuah tanda lingkaran dan silang.
“Apalagi yang kau temukan?” tanya Lutfi, kini giliran dia yang merasa penasaran.
Farhan lalu melemparkan sebuah koin pada Lutfi. Begitu melihat koin apa itu, Lutfi tampak terkejut.
“Ada apa?” tanyaku begitu melihat perubahan ekspresi di wajah pemuda itu.
Lutfi lalu memberikan koin itu padaku. Koin itu tampak biasa saja, hanya sebuah koin yang disepuh dengan emas. Hanya saja lambang trisula terbalik yang diukir di koin itulah yang membuatku dan Farhan terkejut. Lambang itu adalah lambang milik Persaudaraan Tombak Langit, kelompok aliran sesat pemuja Error yang dibubarkan oleh IMAGE sekitar 3 bulan yang lalu. Kudengar tadinya kelompok itu berniat menggabungkan Error dan Phantasm untuk menciptakan sebuah Phantasm dengan kekuatan setara Dewa. Untungnya rencana mereka digagalkan oleh tim IMAGE yang terdiri dari 4 orang Fantasia yang sangat kuat. Sayangnya sisa-sisa anggota Persaudaran Tombak Langit sekarang sama sekali tidak diketahui keberadaannya, mereka seperti hilang ditelan bumi.
“Peta ini sepertinya menunjukkan lokasi pertemuan atau markas rahasia mereka,” gumam Lutfi sambil berpikir keras sambil memandangi peta kumal di tangannya. “Ini sepertinya masalah serius.....”
“Kalau emang serius, aku ogah terlibat,” balas Farhan sambil mendengus. “Serahkan aja masalah ini pada para elit di IMAGE. Biar mereka yang ngurus, bukan kita.”
Aku merasa agak jengkel dengan sikap Farhan. Kami bertiga memang bukan golongan elit di IMAGE, tapi kami juga tidak lemah. Masing-masing Phantasm kami memiliki level 3, diatas level rata-rata Fantasia lainnya.
Tiba-tiba saja aku mendapat ide gila.
“Hei! Bagaimana kalau kita saja yang pergi menyelidiki salah satu tempat yang di peta itu?” usulku dengan nada bersemangat. “Mungkin kita bisa menemukan sesuatu di tempat itu!”
Farhan tentu saja tidak setuju dan langsung protes.
“Kau gila ya?!” protes pemuda itu sambil berdiri.
“Ayolah! Apa susahnya sih? Kita kan hanya melakukan penyidikan kecil-kecilan,” ujarku lagi.
Farhan baru akan protes lagi, tapi tidak jadi karena Lutfi tiba-tiba menepuk bahunya.
“Ria benar. Tidak ada salahnya kita menyelidiki paling tidak satu diantara banyak tempat di peta ini,” ujar Lutfi sambil tersenyum. “Siapa tahu kita menemukan sesuatu yang berguna untuk penyidikan lebih lanjut oleh para elit di IMAGE.”
Melihat Lutfi juga ikut-ikutan mendukungku, Farhan langsung menepuk dahinya.
“Terserah kalian aja!” balasnya dengan nada muram. Tapi dia lalu menambahkan. “Tapi kalau ada apa-apa, aku yang bakalan kabur duluan.”
Aku dan Lutfi langsung tertawa mendengar ucapan Farhan.
***
“Kadang-kadang kupikir kau ini mantan maling Farhan,” celetukku ketika Farhan membuka pintu belakang Factory Outlet itu, hanya berbekal beberapa utas kawat saja. “Kau selalu bisa membuka pintu apapun hanya berbekal kawat atau obeng.”
“Cerewet! Jangan banyak komentar!” balas Farhan sambil membukakan pintu.
Kami langsung masuk ke dalam gedung dan mulai menjelajah seluruh isi gedung Factory Outlet itu. Dengan bekal sebuah senter kecil, aku dan kedua temanku berusaha mencari apapun yang tampak aneh, tidak wajar, dan mencurigakan. Tapi setelah menyusuri jengkal demi jengkal Factory Outlet itu, aku sama sekali tidak menemukan apapun yang mencurigakan, begitu pula dengan Farhan dan Lutfi. Sepertinya gedung ini benar-benar hanya sebuah toko pakaian belaka.
“Aneh.....tidak ada yang aneh disini. Semuanya tampak normal,” ujarku dengan nada kecewa. “Tempat ini sepertinya memang hanya sebuah Factory Outlet...bukan tempat berkumpul rahasia atau semacamnya.”
“Benar. Aku sudah memeriksa hampir semua tempat, tapi tidak ada yang aneh,” timpal Lutfi. Dia juga terdengar kecewa karena tidak menemukan apapun. Hanya Farhan yang terlihat ceria karena tidak jadi menemukan masalah yang ingin dia hindari.
“Nah, kalau emang disini enggak ada yang aneh, gimana kalau kita pulang sekarang?” usul Farhan sambil duduk di atas sebuah batu besar, yang berada di samping kolam buatan di salah satu pojok ruangan. Tapi begitu dia duduk, batu itu langsung melesak beberapa senti. Beberapa detik kemudian terdengar suara derik mekanis, lalu dinding kolam buatan yang dilengkapi air terjun mini, langsung bergeser terbuka. Di balik pintu rahasia itu, terlihat sebuah tangga menuju ke bawah tanah.
Aku langsung terbengong-bengong melihat tangga rahasia itu, begitu pula dengan Lutfi dan Farhan yang masih duduk di atas batu. Kami bertiga memandangi jalan rahasia itu cukup lama sebelum akhirnya Lutfi berbicara.
“Bagaimana sekarang? Kita maju terus atau mundur?” tanya pemuda itu padaku dan Farhan.
“Sebaiknya kita pulang saja,”
“Maju teurs!”
Aku dan Farhan menjawab nyaris bersamaan. Kami berdua lalu saling pandang. Aku langsung mendengus ke arah Farhan. Tadi dia terlihat enggan untuk memeriksa tempat ini, tapi begitu menemukan jalan rahasia ini, dia langsung tampak bersemangat. Sialnya begitu aku memandang ke arah Lutfi, diapun begitu.
“Kali ini aku setuju dengan Farhan,” ujar Lutfi, dia lalu menyorotkan senternya ke arah pintu rahasia di depannya itu. “Ayo kita turun.”
Meski tidak setuju, tapi aku tidak bisa meninggalkan kedua temanku begitu saja. Mau tidak mau aku harus mengikuti mereka berdua, meski instingku terus menjerit memperingatkan kalau tempat yang dituju jalan rahasia itu sangat berbahaya.
Sambil menelan ludah aku berjalang mengikuti kedua temanku itu sambil berdoa.
Semoga tidak ada apa-apa dibawah sana.....
***
“Perasaanku enggak enak...” ujar Farhan ketika kami mulai menyusuri lorong itu. Aku langsung melotot ke arahnya.
Kemana semangatmu yang tadi? Gerutuku dalam hati.
Tapi jujur saja, aku juga merasakan perasaan tidak enak sejak kami bertiga turun ke tempat ini. Rasanya di ujung lorong ini terdapat sesuatu yang menakutkan dan tidak seharusnya kami datangi. Sialnya, sejak tadi aku juga merasa kalau kami sedang diawasi oleh sesuatu. Ketika aku menoleh dan tidak sengaja bertatapan dengan Lutfi, sepertinya dia juga merasakan hal yang sama denganku. Namun kami tetap diam dan tidak ingin meributkan hal itu. Setidaknya untuk saat ini.
Tiba-tiba dari ujung lorong, aku melihat ada cahaya terang. Kami lalu bergegas mendekati sumber cahaya itu dan tertegun. Cahaya terang itu rupanya berasal dari beberapa buah lampu sorot yang diletakkan di sekeliling lubang besar yang ada di tengah ruangan. Di tengah lubang tersebut, terdapat sebuah tangga spiral yang terbuat dari baja yang tampak sudah lapuk. Sebuah jembatan baja tampak menghubungkan antara tangga spiral itu dengan tepian lubang. Aku lihat tangga spiral di tengah lubang itu tampak berputar ke bawah menuju dasar lubang. Anehnya meski lampu-lampu sorot telah diarahkan ke arah dasar lubang, tapi dasar lubang itu sendiri tidak terlihat. Entah saking dalamnya atau karena kegelapan di dasar lubang itu begitu pekat hingga tidak bisa ditembus cahaya.
“Tempat apa ini?” gumam Lutfi sambil berjalan mendekati lubang.
Aku perlahan-lahan berjalan mengikuti Lutfi dan memandang ke arah dasar lubang yang hitam pekat. Tanpa sadar aku gemetar dan memegangi lengan baju Lutfi.
“Tidak perlu takut....” ujar Lutfi sambil memegangi tanganku. Spontan wajahku langsung memerah begitu menyadari kalau tangannya yang besar sudah menggenggam jemariku yang mungil.
“A....aku tidak takut!” bantahku, tapi aku tetap tidak melepaskan genggamanku.
“Lutfi, Ria....kali ini aku serius nih...ayo kita pulang!” ujar Farhan sambil memandang ke segala arah. “Tempat ini jelas enggak beres!”
Kali ini aku dan Lutfi langsung mengangguk bersamaan. Kami juga merasakan hal yang sama, tapi begitu kami bertiga bermaksud kembali, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang.
“Lho? Ada tamu ya? Kenapa kalian buru-buru sekali ingin pulang? Itu kan tidak sopan.”
Spontan kami bertiga langsung berbalik dan mendapati seorang pria sudah berdiri di depan jembatan. Aku terkejut karena tadi aku yakin kalau diatas jembatan itu tidak ada siapa-siapa. Darimana dia muncul?!
“Siapa kau?!” seru Lutfi sambil berdiri di depanku.
“Wah...harusnya aku yang bertanya begitu pada kalian,” balas pria misterius itu dengan nada santai, tapi juga terkesan dingin dan mengancam. “Siapa kalian dan sedang apa kalian disini?”
Kami bertiga langsung terdiam. Tapi tidak lama karena pria itu kembali berbicara.
“Yah...siapapun kalian tidak masalah. Toh kalian tidak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup,” ujar pria misterius itu sambil merentangkan kedua tangannya. “Mayu, keluarlah.”
Begitu dia selesai bicara, seorang gadis kecil langsung muncul begitu saja di depan pria itu. Gadis itu tampak mengenakan armor ringan yang terbuat dari baja di dada, lengan, dan kakinya. Begitu gadis itu muncul aku langsung sadar kalau pria misterius itu adalah seorang Fantasia, dan gadis itu adalah Phantasm-nya.
Tanpa basa-basi, aku langsung berseru memanggil Fatima, Phantasm-ku. Lutfi dan Farhan juga berseru bersamaan denganku.
“Fatima!”
“Durandall!!”
“Marcosias!!”
Ketiga Phantasm kami langsung muncul dan siap bertempur. Fatima dan Durandall langsung maju paling depan, sementara Marcosias berdiri di belakang. Berbeda dengan Fatima dan Durandall yang bertarung dari jarak dekat, Marcosias, Phantasm milik Farhan, adalah petarung jarak jauh. Marcosias berwujud seekor manusia serigala yang di tubuhnya terdapat berbagai macam senjata berat. Mulai dari sepasang gatling gun, deretan mini-launcher, beberapa peluncur micro-missiles dan folding-railgun di punggung.
Melihat sosok Phantasm kami bertiga, bukannya takut, tapi pria misterius di depan kami itu malah tertawa.
“Ahahahahaha.....! Hebat! Kalian punya Phantasm yang menarik sekali....” puji pria itu sambil berjalan dan menepuk pundak Phantasm-nya. Sambil tersenyum, pria itu menunjuk ke arah kami bertiga. “Nah kalau begini, kau boleh pilih yang mana yang mau kau habisi duluan, Mayu.”
Phantasm itu mengangguk, lalu menyilangkan kedua tangannya. Aku terkejut bukan main ketika gadis Phantasm itu menarik keluar sepasang broad-sword dari udara. Kedua bilah pedang besar itu muncul begitu saja. Tanpa peringatan, Mayu tiba-tiba melesat ke arah Marcosias.
Marcosias langsung bereaksi dan mencoba menembak Mayu dengan gatling gun di tangannya, tapi Mayu jauh lebih cepat. Hanya dengan dua-tiga tebasan, Marcosias langsung tumbang dan kemudian hancur jadi serpihan cahaya.
“Yang bener aja?!” seru Farhan kaget setengah mati, tapi gara-gara Phantasm-nya dikalahkan, tubuh pemuda itu langsung lemas.
Begitu selesai dengan target pertamanya, Mayu langsung melesat ke arah Fatima.
“Jangan mau kalah, Fatima!” seruku memberi semangat.
Fatima langsung menangkis serangan pertama Mayu dengan perisai tak kasat matanya, lalu balas menebas tubuh lawannya itu. Tapi Mayu memang bukan Phantasm biasa, dengan mudah dia menghindari serangan Fatima, lalu melancarkan serangan bertubi-tubi hingga Fatima kewalahan.
Di saat genting itu, Durandall, Phantasm milik Lutfi ikut terjun dalam pertarungan. Phantasm itu menerjang ke arah Mayu dengan tombak partisan di tangannya. Tapi serangan Durandall dengan mudah dihentikan oleh Mayu. Gadis Phantasm itu lalu melompat ke atas dan menarik lebih banyak pedang lagi dari udara. Kemudian diiringi suara denting nyaring, 5 buah pedang yang berbeda bentuk langsung menghujam ke tubuh Durandall. Meski tubuh Phantasm centaur itu dilindungi dengan armor tebal, itu tidak menghalangi serangan Mayu sama sekali.
“Tidak mungkin.....Durandall!?” seru Lutfi kaget sambil berlutut karena tubuhnya langsung lemas begitu Durandall hancur jadi serpihan cahaya.
Aku masih terpaku di tempat. Meski Fatima terus berusaha mati-matian melawan Mayu, tapi kekuatan dan kemampuan Phantasm-ku itu tampak tidak sebanding dengan lawannya. Berkali-kali pedang Mayu menebas armor tak kasat mata di tubuh Fatima dan melukainya, sementara itu tidak satupun tebasan pedang Fatima yang berhasil menyentuh tubuh Mayu.
Perbedaan kekuatan diantara kedua Phantasm itu jelas terlalu besar. Tidak perlu waktu lama hingga sebilah nodachi, pedang jepang dengan panjang 2 meter, akhirnya menembus tubuh Fatima. Aku langsung terduduk di atas lantai begitu Fatima menghilang jadi serpihan cahaya. Kedua kakiku baru saja terasa seperti terbuat dari jelly, hingga aku tidak sanggup lagi berdiri.
“Yah...hanya segini saja kemampuan kalian?” ujar pria misterius itu dengan nada kecewa. Dia lalu mengelus kepala Mayu yang kini berdiri di sampingnya. “Kupikir kalian anggota IMAGE memiliki Phantasm yang hebat. Rupanya dugaanku salah ya? Mengecewakan sekali.”
Aku terkejut begitu mendengar kalau pria itu menyebut kata IMAGE. Mustahil pria misterius itu tahu kalau kami anggota IMAGE, karena saat ini kami sama sekali tidak mengenakan atribut IMAGE. Kami bahkan tidak mengenakan band kain berlogo IMAGE di lengan kami.
Siapa dia sebernanya?! Kenapa dia tahu kami ini anggota IMAGE? Gumamku dalam hati.
“Sial....dia terlalu kuat!” gerutu Farhan sambil berusaha berdiri.
“Phantasm itu....levelnya jauh diatas Phantasm kita...” timpal Lutfi, dia juga terlihat berusaha berdiri dengan susah payah.
“Nah, Mayu. Berhubung mereka sudah tidak berdaya lagi, kau bebas memperlakukan mereka semaumu. Mau dicincang, disate, disalib, terserah saja. Aku akan berdiri disini dan menikmati saat-saat terakhir mereka bertiga,” ujar pria itu sambil menepuk pundak Phantasm-nya. Begitu dia melakukan itu, Mayu langsung menarik sebuah pedang yang ukurannya tidak kira-kira. Lebar mata pedang itu bahkan lebih lebar dari tubuh Farhan dan panjang mata pedang itu nyaris 2 kali tinggi tubuh Phantasm itu sendiri.
Mayu tiba-tiba menoleh ke arahku dan mengayunkan pedang raksasa itu ke arah tubuhku. Aku menjerit dan menutup mata. Aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk bergerak, apalagi untuk menghindar. Jadi aku berharap semoga kematianku ini akan berlangsung cepat dan tidak terlalu menyakitkan.
Alih-alih merasakan baja dingin membelah tubuhku, aku justru mendengar suara denting nyaring yang membuat telingaku berdenging. Karena penasaran aku lalu membuka mataku.
Di depanku, berdiri sesosok centaur berbaju logam yang menahan pedang raksasa milik Mayu dengan sebuah perisai tebal yang juga tidak kalah besar. Tapi meski Durandall, Phantasm centaur milik Lutfi itu sudah berusaha keras, tapi entah mengapa kekuatan fisik Mayu masih jauh diatasnya. Pelan tapi pasti, pedang raksasa Mayu mulai memotong perisai milik Durandall.
“Ria! Ayo lari!!” seru Lutfi sambil menarik tanganku.
Kami berdua langsung lari sekuat tenaga ke arah pintu keluar, tapi begitu kami sampai di dekat tangga, tiba-tiba saja sekumpulan Error muncul dan menghalangi jalan. Melihat jumlah Error yang begitu banyak, aku langsung ketakutan.
“Minggir kalian!” seru Farhan dari belakang. Tampak dia sudah bisa mengeluarkan Phantasm-nya lagi, sekaligus siap melibas apapun yang menghalangi jalannya. Marcosias tampak mengarahkan seluruh senjata yang dia miliki ke arah gerombolan Error yang menghalangi jalannya.
“Tunggu dulu!!” seruku dan Lutfi bersamaan, tapi Farhan tidak menggubris peringatan kami.
“TEMBAK!!” seru Farhan pada Phantasm-nya.
Kemudian seluruh lorong itu jadi terang karena serangan-serangan yang dilancarkan oleh Marcosias. Phantasm itu terus menembak membabi-buta dan menghancurkan para Error yang menghalangi jalan kami. Sayangnya serangannya juga membuat pintu rahasia lorong ini ikut hancur, bersamaan dengan itu, beberapa misil dan roket mini yang ditembakkan Marcosias juga merusak bagian dalam Factory Outlet.
“Dasar sintiiiiiing!!!!!” umpatku sambil berlari menghindar, sementara Mayu berlari di sisiku sambil melindungiku dari peluru nyasar Marcosias. Lutfi juga tampak susah payah bergerak dan beberapa kali tersandung. Sepertinya Durandall sekali lagi berhasil dihabisi oleh Mayu, sehingga Lutfi sekarang tampak sempoyongan dan wajahnya terlihat sangat pucat.
Hanya karena keajaiban semata kami bisa keluar dari Factory Outlet terkutuk itu. Sayangnya keajaiban itu hanya berhenti sampai disitu saja, karena di luar Factory Outlet, sudah menunggu rombongan Error yang lebih banyak lagi. Mereka sepertinya tertarik oleh keberadaan rombongan Error di jalan rahasia, sekaligus oleh keberadan Phantasm kami bertiga.
“Oke....ini buruk sekali...” gumamku sambil memandang ke arah Lutfi dan Farhan. Lupakan Lutfi, dia tampak sangat lelah karena sudah tidak mungkin bertempur lagi. Sementara itu Marcosias yang baru saja melepaskan serangan dahsyat tampak kelelahan juga, sama seperti Farhan yang merupakan Fantasia-nya. Dalam kondisi seperti itu, meski masih bisa bertempur, tapi aku yakin Marcosias tidak akan bertahan lama. Begitu pula dengan Fatima, Phantasm-ku. Dia memang terlihat masih cukup segar, tapi dengan kemampuan Fatima saja, tidak mungkin kami keluar hidup-hidup dari serbuan rombongan Error di depan kami ini.
“Lutfi, Ria....kayaknya kita bakal berakhir disini nih....” gumam Farhan dengan nada murung. Dia lalu memandang ke arahku dan Lutfi bergantian, lalu menambahkan lagi. “Senang bisa berteman dengan kalian berdua....”
Aku mendengus mendengar ucapan Farhan, meski aku juga punya pikiran yang sama dengan pemuda itu.
“Ria...” ujar Lutfi sambil memandangku. Aku langsung menoleh dan balas memandang pemuda itu.
“Apa?” balasku.
“Kalau kita bisa keluar hidup-hidup dari kepungan Error ini, apa kau mau jadi kekasihku?” tanya pemuda itu dengan nada serius.
Jantungku nyaris berhenti mendengar ucapan Lutfi. Tidak kusangka dia akan menyatakan perasaannya padaku, dan sialnya dia mengatakan hal itu pada saat yang tidak tepat. Tapi tentu saja aku mau jadi kekasihnya, karena aku juga sejak lama menyukainya.
“Tentu saja aku mau!” sahutku dengan bersemangat. Berkat ucapan Lutfi barusan, semangat juangku kembali berkobar. Kalaupun harus mati, aku tidak akan mati begitu saja. Akan kubawa sebanyak mungkin Error-Error terkutuk itu ke akhirat bersamaku.
“Bersiaplah Fatima, kita akan menerjang ke arah Error-Error itu,” ujarku pada Fatima yang berdiri di depanku. Gadis Phantasm itu mengangguk dan merentangkan kedua tangannya, kali ini dua bilah pedang identik yang kasat mata langsung muncul di tangannya. Pada saat yang sama Marcosias tampak mengisi ulang seluruh senjata di tubuhnya, diiringi suara denting dan ceklikan samar.
Aku dan Farhan sudah siap untuk bertempur sampai mati, ketika tiba-tiba saja sebuah kobaran api dahsyat melumat sebagian Error yang mengepung kami. Kemudian disusul dengan sebuah tembakan energi dahsyat juga menghancurkan hampir seluruh Error yang tersisa. Beberapa Error yang masih selamat langsung panik dan berusaha mencari siapa yang menyerang mereka, tapi sesosok gadis kecil yang membawa gunting raksasa langsung memotong beberapa Error dalam waktu singkat. Melihat hampir seluruh kawanannya dihancurkan dalam waktu singkat, 7 Error terakhir yang masih hidup langsung melarikan diri, tapi pelarian mereka segera dihentikan oleh bilah-bilah logam yang langsung menghujam ke dalam tubuh mereka.
Dalam waktu kurang dari 10 menit, gerombolan Error yang jumlahnya paling tidak 40 ekor, kini sudah tidak bersisa sama sekali.
Di tempat berkumpulnya puluhan Error tadi, kini berdiri 2 orang pemuda dan 2 orang gadis. Jelas mereka bukan pemuda-pemudi biasa, karena di samping mereka terdapat seekor Phantasm yang memiliki wujud berbeda-beda. Phantasm berwujud seperti elang berselimut api, manusia api, bola mata mekanik dan makhluk gendut berwarna pink, tampak berdiri di samping mereka.
“The Walking Disasters....” gumam Farhan tanpa sadar.
Mendengar nama itu, aku langsung mengenali siapa orang-orang itu. Mereka adalah salah satu tim elit di IMAGE dan sepak terjang mereka sangat terkenal, terutama karena mereka selalu menghasilkan kerusakan properti yang cukup parah setiap kali mereka beraksi. Oleh karena itulah mereka dijuluki sebagai The Walking Disaster, atau Bencana Berjalan, sebutan yang cukup pantas bagi keempat orang elit IMAGE itu.
“Seno, Airi, Aya, dan Yoga....” gumamku sambil menyebutkan nama mereka satu persatu. Meski tidak kenal dekat dengan mereka berempat, tapi semua anggota IMAGE kota Bandung pasti mengenal siapa empat orang itu.
“Kalian tidak apa-apa?”
Airi, si gadis berkacamata dengan Phantasm dengan wujud seperti bola mata mekanik berjalan menghampiri kami. Kemudian dia tampak memandangi kami satu persatu, sepertinya dia ingin memastikan kalau kami benar-benar tidak apa-apa.
“Tidak....kami baik-baik saja...” ujarku.
“Bagus kalau begitu,” timpal Seno, si pemuda berjaket hitam dengan lambang IMAGE di punggungnya. “Tadi sepertinya kacau sekali. Tapi semuanya sudah berakhir. Ayo kita pulang ke markas.”
Aku mengangguk, lalu memandang ke arah Farhan yang langsung duduk di tanah. Pandanganku lalu beralih ke arah Lutfi, yang rupanya juga memandangiku.
“Jawabanmu tadi itu....bukan karena kita sedang menghadapi maut kan?” tanya Lutfi padaku, ekspresi wajahnya tampak serius sehingga dia terlihat makin mempesona.
“Tentu saja bukan! Aku benar-benar menyukaimu, Lutfi! Itu adalah perasaanku yang sesungguhnya padamu!!” seruku tanpa pikir panjang, lalu terdiam karena sadar kami tidak sendirian. Tapi aku tidak peduli lagi, aku benar-benar menyukainya dan karena dia ternyata menyukaiku juga. Jadi sepertinya kami memang cocok dan ditakdirkan untuk jadi sepasang kekasih!
“Terima kasih, Ria,” ujar Lutfi dengan tulus.
Dia lalu tersenyum tulus kepadaku. Wajahnya yang sedang tersenyum benar-benar membuatku terpesona, sehingga tanpa sadar wajahku memerah.
“Oke...baiklah....jadi Ria akhirnya jadian sama Lutfi...” gerutu Farhan sambil menepuk dahinya seakan-akan dia merasa kecewa atau menyesal. Tapi kemudian pemuda itu nyengir lebar ke arahku dan Lutfi. “Selamat deh untuk kalian berdua. Sudah kuduga kalian emang cocok jadi pasangan.”
Aku dan Lutfi tersenyum dan saling pandang.
Meski melalui cara yang tidak biasa, tapi peristiwa ini adalah awal yang indah bagi kami berdua. Semoga nantinya aku dan Lutfi bisa mengalami hal-hal menarik lainnya. Tapi tentu saja, hal-hal yang sama sekali tidak berkaitan dengan Error dan Phantasm.
Tuhan....jangan biarkan semua ini cuma mimpi belaka....hidupku sudah cukup gila.....jadi setidaknya biarkan aku menikmati waktu-waktu indah bersama Lutfi lebih banyak lagi.
Aku berdoa semoga kami bisa menjalani kisah kasih yang indah, tanpa ada halangan yang berarti.
Tanpa sadar aku kembali tersenyum ke arah Lutfi, yang langsung balas tersenyum padaku.
Saat itu juga, perasaanku melayang dan aku merasa ada di surga.
***
Aku berjalan menyusuri lorong rahasia di bawah kota Bandung ini dengan perasaan kalut. Baru saja aku mendapat laporan kalau ada beberapa orang tikus dari IMAGE yang berhasil menemukan keberadaan tempat ini. Aku benar-benar tidak menyangka kalau IMAGE akhirnya mengendus lokasi ini. Kalau sudah begini, kami harus pindah lagi.
Setelah menyusuri lorong gelap tanpa cahaya yang menyebalkan ini, aku akhirnya sampai di tempat tujuanku.
Sebuah ruangan dengan lubang besar ditengahnya yang dikelilingi dengan lampu sorot. Di tengah lubang itu terdapat sebuah tangga spiral menuju ke dasar dan jembatan baja yang menghubungkan antara tangga spiral itu dengan tepian lubang.
Aku berkali-kali menelan ludah saat aku berjalan melintasi jembatan penghubung menuju tangga spiral. Tanpa sadar aku berkali-kali memandang ke bawah, ke arah kegelapan pekat yang sama sekali tidak tertembus cahaya. Saat aku berjalan menuruni tangga, menuju dasar lubang, rasanya kegelapan di sekitarku berputar-putar dan berusaha menelan diriku. Aku baru bisa bernafas lega ketika sampai di dasar lubang, karena disini cahaya bisa bersinar, meski temaram.
Aku benci tempat ini...gumamku pada diriku sendiri.
Tapi mau tidak mau aku harus datang kesini. Ini salah satu tugas dan resiko yang kutanggung sebagai ketua dari Persaudaraan Tombak Langit. Meski kami sudah dibubarkan oleh IMAGE beberapa bulan yang lalu, tapi kegiatan kami masih terus berlangsung.
“Aah....akhirnya kau datang juga.”
Terdengar suara seorang pria yang sebenarnya tidak akan kutemui kalau tidak terpaksa. Pria itu tampak berdiri di samping seorang gadis yang mengenakan armor baja ringan di tubuhnya.
“Bagaimana dengan tikus-tikus IMAGE itu, apa mereka sudah mati?!” tanyaku tanpa basa-basi.
Pria itu tertawa tertahan, lalu menjawab dengan santainya. “Belum. Mereka belum mati. Mereka tampak menarik sekali, jadi aku membiarkan mereka kabur.”
“Sialan!!! Kalau IMAGE sampai datang kesini, habis sudah!!! Apa kau lupa mereka sudah menggagalkan rencanaku sebelumnya?!”
Aku langsung membentaknya begitu mendengar jawaban pria itu. Tapi pria itu tampak tidak bergeming sama sekali, dia malah tersenyum lebar.
“Edwin....Edwin....kau tidak perlu khawatir rencana ini akan berakhir seperti rencana Persaudaraan Tombak Langit-mu dulu,” ujar pria itu dengan tenangnya. Dia lalu mengetuk dahinya dengan telunjuknya. “Semuanya sudah kuatur di dalam sini, di dalam otakku. Tapi harus kuakui, kegagalanmu waktu itu sudah membuka peluang bagus bagi para ‘Pedang’ untuk beraksi. Jadi aku harus memujimu karenakau sudah gagal waktu itu.”
Aku mengepalkan kedua tanganku karena jengkel bukan main. Orang ini benar-benar menyebalkan hingga aku tidak sabar untuk mengeluarkan Phantasm-ku dan menghabisinya, tapi dia juga begitu berbahaya sehingga aku tidak berani macam-macam dengannya. Kalau aku nekat melawannya, maka bisa dipastikan mayatku yang akan ditemukan mengambang di sungai kota Bandung. Biarpun Mayu, Phantasm pria itu hanya berwujud seorang gadis kecil ber-armor ringan, tapi dia jauh lebih kuat dari Phantasm manapun yang pernah kutemui.
Sambil menghembuskan nafas panjang, aku berusaha menenangkan diri.
“Oke.....aku percaya padamu. Tapi kau harus menunjukkan hasilnya padaku!” ujarku sambil berbalik dan mulai menaiki tangga spiral lagi.
Sebelum aku naik, sekilas aku melihat pria itu mengelus kepala Phantasm-nya yang berwujud seorang gadis. Dia tampak memandangi kegelapan pekat di depannya, lalu kembali tersenyum lebar dan berkata.
“Meski semua pemainnya sudah berkumpul, belum saatnya ‘Teater Ilusi’ ini dimainkan. Masih banyak yang harus kita lakukan. Tapi percayalah......pada waktunya nanti mereka semua akan berdansa dalam alunan musik kematian, diatas panggung yang sedang kusiapkan. Bersabarlah....”
Seakan-akan memahami ucapannya, kegelapan di depan pria itu tampak bergolak dengan penuh semangat. Hal itu membuatku langsung merinding dan mempercepat langkahku.
Kau memang orang yang berbahaya.....Isono....
Aku bergumam sambil bergegas meninggalkan tempat mengerikan ini. Tapi di dalam benakku, gambaran mengenai rencana yang sempat disinggung Isono kembali terulang.
‘Tombak’ku memang sudah patah, tapi aku masih punya ‘Pedang’ yang bisa kugunakan .Heh! aku jadi tidak sabar lagi......
Aku lalu tersenyum lebar sambil membayangkan betapa briliannya rencana yang disusun oleh Isono itu.
Pada saatnya nanti warga kota Bandung akan melihat isi neraka berkeliaran di sekitar mereka....dan itu akan terjadi tidak lama lagi.....
***
FIN?
red_rackham 2011
Base: Dream, Coin, Map
Fan-fiction based on indonesian manga, Fatamorgana by Mukhlis Nur & Wing Yudha
(ini sebenarnya cerpen lama....tapi saia baru sadar saia belum posting ini di blog......)
Comments