2nd Spiral: Old Man on The River Bank
Matahari bersinar terik dengan sepenuh tenaga,
seolah-olah sedang berusaha memanggang apapun yang berada di bawahnya. Udara
panas bergelombang menghiasi jalanan kota Jakarta yang dilalui berbagai
kendaraan bermotor tanpa henti. Meskipun demikian, frekuensi kendaraan yang
melintas tampak lebih rendah dari biasanya. Kemacetan yang biasanya mengular di
hampir sebagian besar jalanan protokol ibukota negara itu, siang ini tidak
banyak terlihat.
Salahkan serangan udara panas yang baru-baru ini melanda
Indonesia. Konon katanya sih karena efek pemanasan global atau semacamnya. Yang
jelas hanya orang gila yang mau keluar di jalanan kota Jakarta yang sedang
panas membara seperti sekarang ini.
Sialnya aku termasuk dalam golongan orang gila itu.
Sembari terengah-engah karena kepanasan, aku memacu
motorku melintasi jalanan yang cukup sepi untuk ukuran kota metropolitan
seperti Jakarta. Tentu saja sepi, sebab sebagian orang yang lebih waras akan
memilih untuk berteduh sampai udara panas siang hari ini mereda.
Kalau lebih panas dari ini ... otakku bisa matang!
Aku menggerutu sambil mendahului sebuah bus kota yang
melaju santai di sisi kiri jalan. Tapi berkat udara panas ini, pekerjaanku
mengantar paket jadi sedikit lebih cepat. Kemacetan yang biasanya menghiasi
jalanan sepanjang kanal raksasa ini hilang bagaikan di sihir oleh tukang sulap
kawakan.
Udara terasa semakin panas saja, terutama karena aku
mengenakan balutan jaket kulit yang sengaja kupakai untuk menghindari masuk
angin dan penyakit paru-paru basah. Sayangnya dalam kondisi semacam ini, jaket
itu justru malah membuatku merasa semakin terpanggang. Rasanya aku ingin sekali
melepaskan semua pakaianku dan berkendara dalam keadaan telanjang bulat.
Tapi tentu saja aku tidak akan melakukan itu!
Hanya saja dorongan itu semakin kuat hingga akhirnya aku
tidak tahan lagi dan memutuskan untuk menepi di jalur sepeda yang dibangun di atas
tanggul kanal. Beberapa pepohonan berbatang kerempeng karena kurang nutrisi
terlihat menghiasi jalan kecil tersebut. Meski kurang rindang, tapi naungan
dedaunannya lumayan bisa mengurangi efek hujan cahaya matahari yang kelewat
kuat dari atas sana.
Tanpa pikir panjang, aku memarkir sepeda motor,
melepaskan helm dan jaket, kemudian berbaring telentang di atas rumput, tepat
di bawah sebatang pohon yang paling rindang.
Entah karena kebetulan atau memang karena karunia Sang
Pencipta, angin sepoi-sepoi tiba-tiba berhembus dan menyegarkan tubuhku yang
basah kuyup karena keringat. Rasanya begitu nyaman hingga aku langsung menutup
mataku dan menikmati kesegaran yang datang tiba-tiba itu.
“Segarnya ~ ! Coba kalau anginnya lebih sejuk lagi,
pastinya enak sekali!”
Aku berkomentar pada diriku sendiri sambil meregangkan
tubuh.
“Wah, kalau anginnya dingin, nanti malah masuk angin
loh.”
Komentar yang datang tiba-tiba itu langsung membuatku
membuka mata dan menatap ke arah sesosok kakek tua yang membawa sepasang alat
pancing dan sebuah bubu bambu. Tubuh kakek itu terlihat bungkuk karena beban
usianya, rambutnya juga sudah memutih semua, tapi aku berani sumpah kalau kakek
ini seolah seperti memiliki semangat hidup yang tidak pernah padam.
“Mau memancing, Kek?” Aku membalas komentar itu sambil
duduk dan menegakkan tubuhku.
Kakek tua itu tersenyum dan menunjukkan deretan giginya
yang sudah tidak lengkap lagi.
“Iya, nak. Lumayan kalau dapat bisa buat lauk nanti
malam,” sahutnya dengan nada riang. “Mau ikut?”
Aku menatap kakek tua itu sejenak, lalu mengangkat bahu.
Apa salahnya? Toh pekerjaanku hari ini juga sudah selesai
dan habis ini aku hanya tinggal pulang saja. Daripada bengong atau nonton
tayangan televisi yang makin aneh saja akhir-akhir ini, mungkin tidak ada
salahnya aku ikut kakek ini memancing.
“Boleh?” tanyaku.
Kakek itu hanya mengangguk dan kembali tersenyum lebar.
Dia lalu membalikkan badan dan berjalan turun ke arah sungai yang berada cukup
jauh di bawah tanggul kanal. Setelah memastikan motorku aman dan terkunci dengan
baik, aku buru-buru menghampiri si kakek yang sudah membuka alat-alat
pancingnya.
“Pernah mancing, nak? Tahu caranya tidak?” Si kakek
bertanya sambil menyiapkan umpan di ujung kail pancingnya.
Aku berpikir sejenak. Terakhir kali aku memancing itu
waktu dulu aku masih tinggal di desa, dan itu pun sudah belasan tahun lalu.
“Sudah lama sekali aku tidak memancing, Kek,” ujarku
polos.
“Gampang kok, nak,” balas si Kakek sambil memutar tongkat
pancingnya. “Tinggal lempar kayak begini aja.”
Dengan satu gerakan mulus bagaikan air mengalir, kail
pancing di tongkat bambu yang dipegang kakek tua itu meluncur nyaris setengah
lebar sungai yang mengalir tenang di hadapannya.
Aku memang nyaris tidak tahu apa-apa soal memancing, tapi
aku yakin kalau gerakan si kakek tadi itu benar-benar hebat! Terutama karena
usahaku melempar kail hampir saja berakhir dengan bencana, karena aku nyaris
jatuh ke sungai.
Tidak lama kemudian, kami berdua duduk berdampingan dalam
diam.
Aneh tapi nyata, udara kota Jakarta mendadak jadi lebih
bersahabat. Meskipun matahari masih bersinar terik di atas sana, tapi suhu
udara terasa jadi lebih sejuk dan angin pun bertiup sepoi-sepoi nyaris tanpa
henti.
Suasana sekitar tempat kami memancing pun seolah-olah
mengikuti mood dan berusaha untuk jadi lebih tenang. Nyaris tidak terdengar
suara deru kendaraan yang melaju di jalanan di atas sana. Padahal jarak antara
tempat kami memancing dan jalanan utama hanya beberapa puluh meter saja.
Aneh... tapi suasananya jadi nyaman sekali.
Aku melirik ke arah si kakek yang duduk diam, namun
dengan mata yang awas memperhatikan gerakan pelampung pancing yang menyembul di
atas air. Dia pun selalu waspada dengan berbagai riak di permukaan sungai keruh
yang mengalir tenang.
“Sudah sering mancing di sini, Kek?” Aku bertanya sambil
meluruskan punggung. Ternyata duduk diam seperti ini cukup membuat tubuh jadi
terasa kaku.
“Iya. Sudah dari dulu, nak,” jawab si Kakek, masih tanpa
melepaskan pandangannya dari tali dan pelampung pancingnya. “Dari sejak sebelum
sungainya jadi seperti ini, kakek sudah ada di sini dan memancing setiap hari.”
Aku mengangguk dan kami pun kembali terdiam.
Nyaris tidak ada suara yang terdengar selain desir lembut
angin yang bertiup sepoi-sepoi, serta suara aliran air yang mengalir di sungai.
Alunan suara yang terdengar begitu lembut hingga kesadaranku pun mulai
berkurang.
Tidak.
Aku tidak mengantuk.
Aku hanya merasa begitu tenang sehingga waktu bagaikan
melambat.
Rasanya seperti aku dan pancing bambu yang kugenggam
dengan kedua tangan ini menjadi satu. Aku bahkan nyaris bisa merasakan aliran air
sungai di depanku. Aku juga seolah-olah tahu kapan harus menarik dan mengulur
benang tipis yang terikat di alat pancingku.
Kalau benangnya mulai tegang, aku langsung rileks dan
membiarkannya terulur jauh mengikuti aliran air. Tapi kalau sudah agak jauh,
sebelah tanganku dengan refleks menggulung benang itu dengan cekatan.
Seolah-olah aku adalah seorang pemancing profesional.
Hal itu terus kuulangi berkali-kali, hingga
lama-kelamaan, aku sudah tidak lagi merasa kalau aku sedang memegang sebatang
alat pancing.
Semuanya terasa begitu alami ...
Tarik ... ulur ... tarik ... ulur ...
Aku.
Pancing.
Kail.
Rasanya tidak penting memisahkan ketiganya, karena kami
seperti menjadi satu.
Ah. Mungkin ini hanya ilusi karena efek sengatan sinar
matahari, tapi lama-kelamaan air sungai yang biasanya berwarna cokelat keruh
karena polusi, seolah-olah baru saja disulap jadi transparan. Seakan-akan
sungai besar di depanku itu mendadak teringat kembali akan wujud aslinya yang
telah lama dilupakan oleh semua orang.
Selain itu aku jadi seperti bisa melihat jelas
bayangan-bayangan ikan yang berenang bebas di bawah air. Ikan-ikan itu berenang
berputar di sekitar kail pancingku, seolah-olah ingin mencari tahu apakah benda
di depan mereka itu bukan sesuatu yang berbahaya.
Sesekali aku melihat seekor ikan yang menyentuh umpan
pancingku, namun kemudian berenang menjauh. Ada lagi yang sejak tadi hanya berputar
memperhatikan ikan yang lain, seolah bingung dengan ulah rekan-rekannya itu.
Awalnya mereka bergerak tidak beraturan, namun semakin
lama, gerakan bayangan ikan yang kulihat itu jadi semakin halus. Kini mereka
semua bergerak dalam lingkaran tanpa henti.
Berputar.
Mengalir.
Berputar.
Mengalir.
Berputar.
Mengalir.
Bagaikan hidup ini.
Semuanya selalu berputar dalam lingkaran tanpa henti yang
mengalir mulus seperti aliran sungai ini. Tenang dan damai, namun sesekali bisa
menderu deras dan penuh gejolak.
Sulit ditebak.
“Nak, sungainya dalam loh!”
Suara peringatan si kakek bagaikan alarm yang
membangunkanku dari kondisi setengah sadar. Aku terkejut bukan main ketika
menyadari kalau aku sudah melangkah masuk ke dalam sungai yang mengalir tenang.
ASTAGA!
Aku menjerit panik dalam hati dan buru-buru melangkah
mundur. Jantungku berdebar kencang begitu menyadari kalau hanya beberapa
langkah lagi, aku bakal tercebur ke dalam sungai dan hanyut. Meski terlihat
tenang, tapi aliran air di Kanal Banjir Timur ini terkenal menyesatkan dan
tanpa ampun akan menyeret apapun yang masuk ke dalamnya.
“Enggak kenapa-kenapa kan, Nak?”
Si kakek kembali bertanya sambil menepuk bahuku. Aku
menoleh dan terkejut melihat bubu yang di bawanya tadi sudah penuh dengan ikan.
Beberapa ikan di dalam anyaman sangkar bambu itu bahkan ukurannya tidak masuk akal,
terutama untuk ikan yang tinggal di sungai penuh polusi kota metropolitan seperti
ini.
Sepertinya si kakek menyadari kalau aku terus-terusan
memandangi bubunya. Sambil tersenyum lebar, kakek tua itu mengangkat bubu bambu
itu dan menggoyang-goyangkannya di depan wajah penuh keriputnya.
“Ha ha ha ha! Banyak kan ikannya? Tapi ini enggak
seberapa loh, kalau pas musim hujan, dapatnya bisa lebih banyak lagi,” ujar si
kakek sambil tertawa lepas.
Melihat senyuman dan mendengar tawanya, aku ikut-ikutan
tersenyum. Aku tidak tahu apa kakek itu masih punya keluarga, tapi kalau
ikannya sebanyak itu, artinya mereka semua bisa makan kenyang malam ini. Dan
karena itu, aku turut bersyukur dalam hati.
“Ini, kakek kasih satu buat dibawa pulang.”
Tiba-tiba si kakek menyodorkan kantung plastik berisi
seekor ikan dengan sisik hitam yang berkilau di bawah terik matahari.
“Kakek enggak bisa ngasih ikan di bubu, tapi kalau yang
ini bisa dibawa pulang, nak.”
“Tidak usah repot-repot, Kek,” tolakku dengan halus.
“Ah, enggak repot kok. Sudah, terima saja, hitung-hitung
biar kita sama-sama enggak pulang dengan tangan kosong,” desak si Kakek lagi. “Enggak
usah sungkan sama kakek, nak.”
Meskipun dengan enggan, akhirnya aku menerima pemberian
kakek itu. Sejenak aku memandangi ikan mungil yang berenang-renang dengan penuh
semangat dalam kantung plastik yang kupegang. Ulahnya itu membuatku merasa
geli, terutama karena ikan itu beberapa kali berusaha menerobos dinding kantung
plastik yang mengungkungnya.
Ngapain sih ikan ini? Harusnya dia tahu plastik ini tidak
akan jebol kalau cuma disundul-sundul seperti itu. Bodoh, ah!
Tiba-tiba ikan itu juga balas menatapku dengan kilau
kecerdasan yang mustahil ada pada seekor ikan. Seolah-olah menyatakan kalau dia
sebenarnya tahu usahanya itu sia-sia. Seolah-olah dia jengkel karena aku baru
saja mengejeknya dalam benakku.
Jangan menghina deh! Kamu juga
tadi nyaris masuk sungai, padahal orang kayak kamu kan enggak bisa bernafas
dalam air!
Aku berani sumpah ... kalimat itu bergema begitu nyaring dalam
kepalaku, hingga aku seperti mendengarkan seseorang bicara menggunakan sebuah
pengeras suara. Pada saat yang sama suara itu terdengar begitu jernih, sejernih
suara gemericik air yang mengalir dari mata air pegunungan jauh di atas sana.
“HAH?!”
Karena terkejut, aku melangkah mundur dan tiba-tiba
menyadari kalau kakek tua yang tadi memancing bersamaku itu sudah tidak ada.
Aku memandang ke segala arah tapi sosoknya sudah tidak terlihat lagi. Kakek tua
misterius itu tiba-tiba saja menghilang bagaikan sebuah ilusi.
Karena bingung, aku mencubit pipiku begitu keras, hingga
aku kesakitan sendiri.
“Ini bukan mimpi kan?”
Aku bertanya pada diriku sendiri, kemudian menyadari
kalau aku masih memegangi kantung plastik berisi seekor ikan bersisik hitam
berkilat. Kalau ini mimpi, kan tidak mungkin barang yang kudapat dalam mimpi
terbawa ke dunia nyata.
Iya kan? Atau ... jangan-jangan hal semacam itu memang mungkin
terjadi?
****
Aku tidak pernah benar-benar tahu apakah pengalaman aneh
dengan kakek misterius waktu itu hanya sekedar efek dehidrasi akibat sengatan
panas matahari, atau memang waktu itu aku sungguh-sungguh mengalami peristiwa
supranatural.
Yang jelas, ikan hitam yang kuterima dari kakek itu
benar-benar nyata, dan ikan itu sekarang sedang berenang-renang di dalam
akuarium yang kubuat khusus untuknya.
Mungkin suara yang waktu itu kudengar juga bagian dari
halusinasiku. Yang jelas sampai sekarang aku belum pernah mendengar ikan ini
bicara lagi dalam benakku. Tapi aku berani sumpah! Sesekali aku seperti melihat
kilat kecerdasan dalam mata ikan aneh ini.
Aku menghela nafas.
Sejak pertemuanku dengan si kakek waktu itu, aku berusaha
kembali ke sekitar area kanal sambil berharap aku akan bertemu dengannya lagi.
Sayangnya tidak sekalipun aku menemukan sosoknya, dan tidak satu pun orang yang
kutemui di sana pernah melihat sosok kakek tua seperti yang kujumpai waktu itu.
Tapi satu hal yang akhirnya aku ketahui, yaitu bahwa
kanal besar ini dulunya adalah sebuah sungai yang airnya jernih, dalam, namun
juga sulit ditebak perangainya. Konon pada jaman jauh sebelum Belanda datang ke
tempat ini, sungai yang membelah salah satu sisi kota Jakarta ini dulunya
adalah tempat yang dianggap keramat dan dihormati oleh orang-orang yang tinggal
di sekitarnya.
Sayangnya seiring dengan berjalannya waktu, orang-orang
yang menetap di sekitarnya menjadi lupa dan berhenti menghormatinya. Jadilah
sungai itu menjadi kotor dan menyedihkan seperti sekarang ini. Yah ... walaupun
begitu sepertinya perangai aslinya yang sulit ditebak tetap bertahan dan sering
membuat masalah di kota Jakarta. Entah apa itu memang alami terjadi, atau itu
karena sungai itu merasa jenuh dengan perlakukan buruk manusia pada dirinya.
“Aku penasaran, apakah suatu saat nanti sungai itu akan
terlihat bersih seperti dulu?”
Aku bergumam pada diriku sendiri sambil menatap ikan
hitam yang berenang-renang memutari akuarium.
“Dan kalau itu terjadi, apa aku bisa bertemu dengan kakek
itu lagi ya?”
Tiba-tiba aku menyadari kalau ikan bersisik hitam di
depanku itu berhenti berenang memutari akuarium dan sedang menatap lurus ke
arah kedua mataku. Tanpa pikir panjang, aku bertanya pada makhluk mungil itu.
“Bagaimana menurutmu?”
Mungkin saja.
Dan suara jernih bagaikan aliran air sungai pegunungan
itu pun mendadak bergaung dalam benakku.
****
End of 2nd Spiral
Move on to the next
story
Comments