6th Spiral: Lady of The Trees
Setiap kali aku melihat jalan protokol yang menjadi
halaman depan kota Jakarta, aku tidak pernah berhenti untuk merasa takjub
dengan pemandangan yang kulihat. Deretan gedung-gedung tinggi berdiri kokoh
menentang langit, seolah-olah benar-benar ingin menggapai awan jauh di atas
sana. Jalanan lebar yang tidak pernah lengang dari berbagai jenis kendaraan
yang melintas, dan tidak jarang, berhenti total selama berjam-jam karena
kepadatan lalu lintas yang luar biasa. Kalau terus berjalan menyusuri jalanan
ini, aku pasti akan sampai ke sebuah tanah lapang yang dihiasi sebuah monumen
dengan puncak emas.
Monas.
Salah satu ikon ibukota negara ini. Di hari-hari biasa,
tempat itu tidak terlalu ramai dikunjungi orang. Tapi begitu memasuki akhir
pekan atau hari libur nasional, bisa ratusan orang tiba-tiba tumpah ruah memadati
lapangan itu.
Aku pun demikian.
Hampir setiap akhir pekan aku datang ke lapangan Monas
untuk berolahraga, kemudian duduk-duduk santai menyaksikan keramaian di
sekitarku. Terkadang aku membawa buku untuk kubaca sambil bersantai, bersama
sedikit camilan atau bekal makan siang yang sengaja kubawa dari rumah.
Itu kalau cuacanya bagus. Tapi kalau sedang hujan, tentu
saja aku tidak akan repot-repot berkendara dari rumahku di Bekasi sampai ke
sini. Hari ini sih seharusnya cuacanya bagus, sebab tadi pagi kulihat matahari
bersinar dengan gembira di langit. Selain itu tidak ada awan yang terlihat di
atas sana. Jadinya kupikir hari ini akan jadi hari yang cerah.
Tapi nyatanya dugaanku salah.
Tidak lama setelah aku sampai ke lapangan Monas, cuaca
berubah dengan kecepatan yang nyaris sulit dipercaya. Awan gelap dengan cepat
menutupi langit, suhu udara pun menurun, dan tidak lama kemudian hujan pun
turun dengan derasnya.
Sialnya aku sedang tidak bawa payung atau jas hujan.
Jadi mau tidak mau aku sekarang harus mencari tempat
berteduh dari hujan. Masalahnya, satu-satunya tempat berteduh terbaik bagiku
saat ini adalah di kawasan perkemahan yang berada tidak jauh dari tempatku
duduk tadi. Tidak ada bangunan tempat berlindung di sana, tapi setidaknya
pohon-pohon rindang yang tumbuh di kawasan itu bisa mengurangi jumlah tetesan
air hujan yang mengenai tubuhku.
Dan di sanalah aku sekarang ini. Seorang pria bertampang
memelas yang setengah basah kuyup karena hujan.
“Aduh! Kok tiba-tiba saja hujan deras begini sih?!”
Aku menggerutu sambil bersandar pada pohon di belakangku.
Untung saja pohon ini kanopinya tertutup lapisan dedaunan yang cukup lebat,
sehingga tetesan air hujan tidak sampai ke tubuhku dengan kekuatan penuh. Tapi
tetap saja aku jadi semakin basah kuyup. Parahnya lagi, aku tidak bawa pakaian
ganti. Tentu saja tidak, soalnya aku kan tidak berniat untuk basah-basahan
seperti ini.
Kalau cuaca tidak segera berubah jadi cerah, mau tidak
mau aku terpaksa pulang dengan pakaian basah kuyup. Aku tahu itu bukan ide
bagus. Soalnya berkendara dengan baju basah sama saja mengundang penyakit.
Terutama paru-paru basah. Aku pernah mengalaminya sekali dan tidak mau lagi
kena penyakit yang sama untuk kedua kalinya. Tapi kalau dilihat dari
situasinya, kemungkinannya cukup besar aku akan sakit kalau mencoba pulang
sekarang.
“Sungguh sial!”
Aku menggerutu lagi sambil memandangi langit yang dihiasi
awan gelap, dan petir yang menyambar di langit dengan diiringi suara
menggelegar. Kalau melihat kondisinya sih hujan ini tidak akan berhenti sampai
setidaknya satu jam ke depan.
“Hoi langit, jangan plin-plan dong! Kalau cerah, ya
harusnya cerah!”
Aku menggerutu sambil memandang ke arah langit gelap,
yang sesekali dihiasi kilatan halilintar. Sulit dipercaya kalau tadi pagi
langitnya begitu cerah dan matahari sungguh-sungguh bersinar dengan teriknya.
Jujur saja. Aku terlonjak kaget. Aku sama sekali tidak
mengira akan ada orang yang mengomentari ucapanku. Spontan aku langsung menoleh
ke belakang, lalu ke samping kanan-kiri. Tapi aku sama sekali tidak melihat siapa
pun di sekitarku.
“Di sini! Di atas sini!”
Mendadak aku mendengar suara itu lagi. Kali ini aku
mengikuti petunjuknya dan menengadah ke atas, tepatnya ke cabang pohon di
atasku.
Kejutan!
Di atas cabang pohon itu duduk seorang gadis berambut
hitam sebahu yang sedang tersenyum lebar ke arahku. Kedua matanya yang berwarna
hijau terang terlihat selalu memancarkan keceriaan, tapi di saat yang sama, aku
menyadari ada kilau kebijaksanaan di dalam sana. Sesuatu yang rasanya tidak pas
terlihat di wajahnya yang masih terlihat seperti anak ABG. Sementara itu
senyumnya yang lebar membuat wajahnya jadi semakin imut. Aku lihat dia
mengenakan pakaian yang cukup modis, yah, setidaknya untuk usianya yang
terlihat masih seperti gadis remaja belasan tahun.
Masalahnya cuma satu ... aku yakin seribu persen kalau
gadis yang sedang duduk di atas pohon itu bukan manusia.
Bukan!
Bukan karena tubuhnya transparan atau punggungnya bolong,
tapi karena tidak ada gadis waras yang mau bertengger di atas pohon di tengah
hujan lebat seperti ini.
Itu.
Atau gadis itu memang agak kurang waras.
“Kaget ya? Maaf deh kalau begitu.” Gadis pohon itu
kembali bicara dengan nada geli. Sepertinya dia tahu kalau aku nyaris kena
serangan jantung ketika melihat sosoknya yang sedang asyik nangkring di atas
dahan pohon seperti itu. “Kau tidak apa-apa?”
Aku menarik nafas panjang, berusaha menenangkan jantungku
yang masih berdebar kencang tidak karuan. Tapi sepertinya gadis ini tidak
bermaksud buruk, jadi setidaknya aku bisa agak tenang sedikit.
“Tidak,” sahutku. “Tapi aku nyaris kena serangan jantung
tadi.”
“Ahaha~! Maaf ya~!”
Gadis pohon itu mendadak melompat turun dan mendarat
dengan suara lembut tepat di depanku. Saking dekatnya, aku bisa mencium bau
harum tubuhnya, yang anehnya agak mirip dengan aroma beri liar yang dulu sering
kutemukan di hutan pegunungan. Tanpa sadar aku melangkah mundur dan hingga punggungku
menyentuh pohon yang ada di belakangku.
“Sedang apa kau di sini?” Si gadis pohon bertanya lagi
padaku, masih dengan senyum lebar yang terkembang di wajahnya. “Jarang sekali
ada orang yang mau datang ke sini.”
“Kenapa?” Aku balas bertanya padanya.
“Soalnya tempat ini terkenal angker.”
Yap!
Dengan entengnya gadis pohon itu mengakui kalau sudut
kawasan perkemahan tempatku berlindung sekarang ini adalah tempat yang
menyeramkan.
Terima kasih!
“Tapi tidak usah takut. Ada aku di sini~!”
Sebelum aku sempat mengucapkan apapun, dan sebelum aku
sempat mengambil ancang-ancang untuk jurus langkah-seribu, si gadis pohon sudah
bicara lagi.
“Yang lainnya tidak akan macam-macam kok kalau ada aku.
Percaya deh!”
Biarpun dia bilang begitu, sekarang aku punya dua alasan
untuk benar-benar takut. Pertama, gadis pohon ini jelas bukan manusia. Kedua,
pastinya ada alasan bagus bagi makhluk-makhluk lainnya untuk menghindari kontak
dengan gadis pohon ini.
Yang jelas, ini pertanda tidak bagus!
Aku harus segera pergi dari sini secepatnya!
“Eh. Kalau begitu maaf sudah mengganggu, aku ...”
“Loh, kok buru-buru pergi?”
Tiba-tiba si gadis pohon menarik lenganku dan
menghentikan langkahku. Anehnya tidak seperti yang kuduga, genggaman tangannya
hangat. Tidak dingin seperti yang kukira. Aku tidak tahu itu pertanda bagus
atau tidak.
“Eeh ... aku ... aku masih punya urusan lain!” ujarku
sambil berusaha terlihat wajar, meski tentu saja ekspresiku tampak aneh.
“Hujan-hujan begini? Jangan bohong ah.” tanya si gadis
pohon sambil tersenyum lebar. Tapi tiba-tiba dia terdiam dan ekspresinya
seolah-olah menunjukkan kalau dia baru menyadari sesuatu yang penting. “Ah! Aku
tahu!”
Seiring dengan ucapannya, dia melepaskan genggaman
tangannya kemudian melangkah mundur. Ekspresinya sekarang terlihat serba salah.
“Maaf. Sudah lama aku tidak bertemu orang seperti mu. Aku
jadi terlalu bersemangat,” ujarnya dengan wajah agak memerah. “Kau pasti takut
denganku ya?”
Kali ini jantungku kembali berdetak kencang. Kali ini aku
bingung apa sebabnya. Soalnya sulit ditebak apakah itu karena aku masih takut
dengan sosok gadis ini atau aku terpesona melihat kecantikannya.
Akhirnya aku mengakui kalau alasan sebenarnya adalah yang
kedua.
“Ti ... tidak. Aku tidak takut. Hanya kaget saja,”
ujarku. “Tidak tiap hari aku bertemu dengan ... eeh ... penunggu pohon?”
Tiba-tiba sang gadis pohon tertawa lepas. Suara tawanya
terdengar jernih, sejernih suara desiran dedaunan yang tertiup angin
sepoi-sepoi. Pokoknya suara tawanya itu membuatku merasa nyaman dan lebih
tenang.
“Penunggu pohon ya?” ujarnya geli. “Yah, bisa dibilang
begitu sih. Soalnya kalau ada yang bertanya apa aku ini, aku juga sudah lupa. Masalahnya
sudah lama sekali tidak ada yang ingat denganku sih.”
Aku mengamati sosoknya sekali lagi. Kalau dilihat sekilas
sih gadis di hadapanku ini mirip seperti manusia, bahkan pakaiannya juga cukup
modis mengikuti jaman. Tapi tetap saja semua instingku menyatakan kalau gadis
ini bukan manusia. Yah ... dia juga mengakui sih kalau dirinya bukan manusia.
“Eh ... apa kau ini ... hantu?” tanyaku ragu-ragu, aku
masih takut kalau pertanyaanku ternyata menyinggungnya.
“Hantu? Wah! Tentu saja bukan. Penunggu pohon yang kamu
maksud itu sih antara wewe gombel atau sundel bolong,” sahutnya sambil
mendengus kesal. “Aku lebih dari sekedar itu. Aku menjaga semua pohon di daerah
ini, dan kau harusnya merasa beruntung. Tidak setiap hari aku muncul di hadapan
manusia seperti ini loh!”
Sekali lagi aku memandangi sosoknya yang mungil. Yah,
harus kuakui wewe gombel atau sundel bolong tidak mungkin ada yang seimut ini.
Aku sudah pernah lihat satu, dan itu saja sudah cukup untuk membuat jantungku
nyaris lompat ke kerongkongan.
“Terus ... kenapa kau tiba-tiba muncul?”
Gadis pohon itu mengangkat bahunya.
“Entah ya. Aku lihat kau ada di bawah pohon favoritku,
jadi kusapa saja,” ujarnya sambil kembali nyengir lebar. “Dan untung saja kau
tidak langsung lari terbirit-birit seperti yang lainnya.”
Aku menghela nafas panjang, kemudian memandang ke
sekelilingku. Selain diriku dan gadis-bukan-manusia ini, tidak ada lagi orang
lain di sekitar kami. Tentu saja begitu, soalnya tempat ini memang agak
remang-remang, bahkan di siang hari seperti ini. Pepohonan yang tumbuh rapat,
semak belukar, dan jalan setapak yang tidak terawat terlihat menghiasi
pemandangan sekitarku. Sepertinya sudah lama areal perkemahan ini tidak
dipergunakan.
Entah apa alasannya.
“Ngomong-ngomong kau sendirian?”
Aku bertanya tanpa pikir panjang, dan pertanyaanku
sepertinya membuat si gadis pohon merasa sedih. Ekspresi ceria di wajahnya
tiba-tiba berubah jadi muram. Dia pun ikut memandang ke sekelilingnya, ke
kerimbunan hutan kecil yang secara ajaib masih tersisa di tengah kepungan hutan
beton kota Jakarta.
“Dulunya yang seperti ku ada banyak. Dulu sekali. Tapi
sekarang sudah tidak ada lagi.”
Gadis pohon itu berhenti sejenak.
“Aku tidak tahu ke mana perginya yang lain. Yang jelas
sebelum aku benar-benar menyadarinya, tahu-tahu hutanku sudah tidak ada lagi.
Pohon-pohon yang dulu berdiri tegak sejauh mata memandang, sudah hilang,
berganti dengan bangunan-bangunan beton. Jalan setapak di antara semak
belukarnya juga sudah tidak ada lagi, berganti dengan jalanan berlapis aspal
yang selalu dipenuhi kotak-kotak besi berjalan. Dan hewan-hewannya ... yah ...
entah mereka semua lari ke tempat lain atau malah sudah diburu sampai punah.”
Gadis pohon itu menghela nafas panjang, kemudian
tersenyum tipis ke arahku. Ekspresi wajahnya begitu sedih sehingga dadaku jadi
sesak dibuatnya. Wajah gadis pohon itu masih dipaksakan untuk terlihat ceria,
tapi ada kesedihan mendalam dibalik kedua matanya yang berwarna hijau cerah
itu. Jelas dia sudah kehilangan terlalu banyak hal yang sangat berarti baginya,
sementara dia sendiri tidak bisa melakukan apapun untuk mencegahnya.
“Yah, apa boleh buat. Kami sudah tidak dibutuhkan lagi di
sini,” ujar si gadis pohon lagi. Dia lalu menepuk batang pohon yang kupakai
untuk bersandar tadi. “Tempat ini juga begitu. Tidak lama lagi mereka akan
hilang dan berganti dengan sesuatu yang baru. Aku tidak tahu akan jadi apa
tempat ini, tapi yang jelas pohon, semak, dan tanah ini akan segera hilang dan
berganti rupa.”
Aku membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak
jadi. Rasanya apapun yang kukatakan nantinya tidak lebih dari sekedar ucapan
kosong yang tidak berarti apa-apa. Aku juga tidak tahu harus berkata apa untuk
menghiburnya. Soalnya apa yang dikatakan gadis penunggu pohon itu memang benar.
Kalau dilihat dari kondisi tempat ini yang tidak terawat,
cepat atau lambat pemerintah kota pasti akan melakukan sesuatu. Yang terburuk
adalah mengubah tempat ini jadi tempat parkir, ruko, atau malah mall kecil.
Kalau saja orang-orang kota ini menyadari pentingnya
keberadaan lahan hijau seperti ini, pastinya hutan kecil ini tidak akan hilang
begitu saja. Coba kalau hutan ini dirawat sedikit, pastinya tidak akan terlihat
angker lagi. Minimal tidak terlihat seperti tempat jin buang anak, atau tempat
para psikopat mengubur korbannya.
Kalau saja tempat ini adalah sebuah taman bermain maka
...
Tunggu!
Itu dia!
“Aku tidak bisa janji, tapi aku akan melakukan sesuatu agar
tempat ini tidak hilang begitu saja.”
“Eh?! Serius?”
Ekspresi wajah si gadis pohon mendadak jadi cerah begitu
mendengar ucapanku.
Aku mengangguk.
“Aku punya ide. Tapi aku tidak tahu apakah ideku ini akan
berhasil atau tidak,” ujarku lagi.
“Oh! Tidak masalah!” sahut si gadis pohon dengan mata
berbinar-binar. “Ide apa itu?”
Aku menjelaskan ideku pada si gadis pohon. Aku tidak
benar-benar yakin kalau ideku ini akan berhasil, tapi setidaknya aku akan
berusaha. Tidak akan kubiarkan tempat seperti ini hilang begitu saja ditelan
perkembangan kota Jakarta yang kelewat pesat.
****
Ideku waktu itu sederhana.
Bagaimana kalau hutan kecil tidak terawat itu diubah
menjadi semacam taman kota?
Memang tempat itu tetap akan banyak berubah, tapi
setidaknya ideku itu akan membuat hutan kecil itu bertahan di tengah desakan
pembangunan kota yang semakin tidak terarah.
Caranya?
Memang tidak mudah. Tapi aku kenal beberapa orang di kelompok
masyarakat yang peduli dengan hal-hal semacam itu. Jadi yang bisa kulakukan
adalah menyuarakan ideku mengubah hutan kecil di pojok kawasan Monas itu
menjadi sebuah taman kota kepada mereka. Kemudian biar kelompok-kelompok itu
yang akan melakukan kampanye, petisi, dan semacamnya.
Perlahan tapi pasti, ideku ini akan sampai ke telinga
para penguasa kota. Dan ketika saat itu tiba, aku berharap mereka yang duduk di
singgasana pemerintahan masih punya otak, atau sedikit nurani, untuk melindungi
apa yang tersisa dari hutan yang dulu pernah menyelimuti daerah ini. Aku
berharap mereka melihat bahwa kota ini butuh ruang hijau, tidak hanya untuk
bernafas dan menyerap air hujan, tapi juga sebagai arena bermain bagi anak-anak
kota metropolitan ini.
Awalnya aku agak pesimis ini akan berhasil, soalnya ...
yah ... perkembangan kota ini terkadang kelewat tidak terkendali. Uang dan
keuntungan jadi raja, sehingga bangunan apapun yang menghasilkan uang, pasti
akan segera berdiri meskipun kerugian sebenarnya bisa jauh lebih menakutkan dari
sekedar kebangkrutan. Tapi kadang orang-orang yang punya kekuasaan di kota ini
sudah terbutakan oleh uang, oleh karena itu asalkan menghasilkan keuntungan,
apapun pasti dilakukan. Proyek yang tidak menguntungkan seperti yang tertuang
dalam ideku itu rasanya tidak mungkin akan lolos sebagai bagian dari program
pembangunan kota Jakarta.
Oleh karena itu aku nyaris tidak bisa percaya kalau ideku
itu ternyata benar-benar membuahkan hasil!
Memang butuh waktu sampai dua bulan hingga ideku sampai
didengar oleh dewan kota, dan butuh waktu tiga bulan lagi sampai ada keputusan
untuk mengubah hutan kecil itu jadi taman kota. Tapi yang jelas, aku
benar-benar melakukan sesuatu sebisaku, untuk menjaga agar rumah terakhir si
gadis penjaga pohon itu tidak musnah begitu saja.
Dan pada akhirnya, di sinilah aku, di bawah pohon rindang
yang menaungi tempat yang kini ramai dikunjungi oleh anak-anak dan orang tuanya
di akhir pekan. Tempat yang dulunya hanyalah hutan kecil tidak terawat yang
terancam hilang tergusur hutan beton di sekitarnya.
“Aku tidak percaya ini benar-benar nyata!”
Aku mendengar suara si gadis pohon dari dahan pohon di
atas kepalaku.
“Aku juga tidak percaya kalau ideku itu benar-benar akan
terwujud,” ujarku mengakui. “Yah, tapi maaf kalau hutanmu ini jadi ... yah ...
ramai seperi ini.”
Aku memandang ke depan, ke arah sekelompok anak kecil
yang sedang bermain kejar-kejaran di sela-sela pepohonan rindang yang menaungi
mereka. Di sekitar mereka tampak beberapa orang pasangan muda sedang asyik
bermesraan, sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan di depan umum, apalagi
di depan anak-anak. Tapi yang jelas, tempat yang dulunya sepi dan angker ini,
sekarang jadi ramai dikunjungi banyak orang.
Terlalu ramai malah, sehingga kesunyian hutan ini kini
benar-benar hilang sepenuhnya.
“Tidak. Tidak masalah kok kalau begini. Sejujurnya aku
malah senang.” Si gadis hutan kembali bicara sambil bergantung terbalik dari
dahan pohon tempatnya duduk tadi. “Setidaknya dengan begini aku tidak kesepian
lagi.”
Dia lalu tersenyum dan melambaikan tangan ke arah seorang
anak kecil yang berdiri terbengong-bengong. Aku menyadari kalau tatapan matanya
terarah ke sosok si gadis pohon yang masih bergantung terbalik di dahan.
Alih-alih lari ketakutan, anak itu malah balas tersenyum dan melambaikan
tangannya. Tidak lama kemudian dia berbalik dan bergegas bergabung bersama
teman-temannya.
Sebenarnya aku tidak begitu yakin, tapi sepertinya anak
tadi bisa melihat sosok gadis pohon. Entah apa yang dia lihat, tapi sepertinya
di mata anak kecil itu, si gadis pohon bukan sosok yang perlu dia takuti.
“Terima kasih.”
“Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya tidak ingin
tempat seperti ini hilang begitu saja ditelan kota yang semakin buas” ujarku
sambil bersandar di pohon. “Kurasa ak ...”
Ucapanku berhenti karena si gadis pohon mendadak mengecup
keningku.
Seketika itu juga jantungku serasa meloncat keluar dari
kerongkonganku.
Aku sama sekali tidak bisa mengucapkan apapun selain
terdiam sambil terbelalak menatap seorang gadis yang sedang bergantung terbalik
di depan mataku. Senyuman lebar menghiasi wajahnya yang kini terlihat begitu
cantik. Kedua matanya yang berwarna hijau cerah terlihat begitu jernih,
sekaligus begitu tua dan begitu penuh akan kenangan masa lalu.
“Sayang sekali ya kau ini manusia~!”
Sang gadis pohon lalu menghilang, meninggalkan suara
tawanya yang polos, nyaring, dan jernih bagaikan aliran air sungai di
pegunungan. Bersamaan dengan kepergiannya, angin lembut dan hangat mendadak
berhembus di antara pepohonan di sekitarku. Suara gemeresik dedaunan terdengar
bersahut-sahutan, seolah-olah pohon-pohon di taman kota ini ingin mengucapkan
sesuatu yang tidak bisa kupahami.
Sambil menarik nafas panjang dan menenangkan diri, aku
berbalik dan menatap pohon beringin tertua di area taman kota baru ini.
Benar ... sayang sekali ya ...
****
End of 6th Spiral
Move on to the next
story
Comments
terharu baca ceritanya