12th Spiral: Me and My New (Old) Motorbike
Bagi kebanyakan orang, sebuah sepeda motor itu tidak
lebih dari kendaraan beroda dua yang meminum bensin jenis premium atau
pertamax. Hanya sekedar alat untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain.
Alat untuk membawa barang, atau alat untuk bisa terlihat keren di hadapan teman
dan pacar.
Tapi bagiku, sepeda motor tua yang sudah kumiliki selama
bertahun-tahun itu lebih dari sekedar alat transportasi belaka.
Motor ini adalah temanku.
Partnerku.
Itu sebabnya aku hampir tidak bisa menahan air mataku
ketika melihat sosoknya yang begitu mengenaskan di hadapanku ini. Sekujur tubuh
motor hitamku itu hancur berantakan akibat kecelakaan beruntun yang nyaris merenggut
nyawaku beberapa minggu lalu. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sungguh sebuah keajaiban
aku masih selamat dari kecelakaan itu, meskipun aku sempat mati suri. Soalnya
waktu aku melihat-lihat foto-foto kecelakaan itu di media online, aku merinding
sendiri. Terlebih karena konon katanya aku terjepit diantara mobil Ferarri yang
jadi biang kecelakaan, dan sebuah truk tanah. Satu-satunya yang menyelamatkanku
dari jepitan maut itu adalah motorku, yang melintang menahan seluruh bobot
mobil sport itu dan membuatku tubuhku masih cukup utuh.
“Terima kasih banyak ...”
Aku bergumam sambil berjongkok di samping bangkai
motorku. Rasanya sedih melihat partner yang telah menemaniku selama
bertahun-tahun ini kini bernasib malang seperti ini. Tanpa sadar jariku
mengelus sisa jok motor berwarna hitam, yang dilapisi sarung kulit dengan pola
tribal yang dulu kubeli waktu berkendara lintas Jawa. Kemudian aku mengetuk
mesin motor yang berubah jadi luar biasa efisien sejak diperbaiki di sebuah
kafe misterius beberapa waktu lalu. Pandangan mataku kemudian terpaku ke arah
beberapa stiker yang kubeli waktu aku berpetualang dengan motor hitam ini
bertahun-tahun yang lalu.
Begitu banyak kenangan bersama motor tua ini dan rasanya
sedih sekali melihat partnerku itu kini bernasib seperti ini.
“Parah sekali ya.”
Aku menoleh ke arah seorang pria paruh baya yang membawa
seperangkat alat pertukangan. Wajahnya yang dihiasi kumis tebal memang terlihat
penuh kerutan, tapi kedua matanya masih menunjukkan nyala api penuh semangat.
“Pak Andika,” sapaku. Kemudian buru-buru meralat ucapanku
karena melihat wajahnya merengut. “Ehm ... maksudku, paman Andika.”
Saat ini aku sedang berada di sebuah bengkel motor yang
jadi langgananku, dan pak Andika ini adalah montir terbaik se-Bekasi. Konon
katanya pria berkumis tebal itu dulunya montir di tim balap motor kelas dunia,
sebelum akhirnya pensiun dan membuka waralaba bengkel motor sendiri.
Keahliannya dalam memperbaiki dan memodifikasi kendaraan bermotor nyaris tidak
ada tandingannya di kota ini. Kebetulan saja pak Andika ini adalah paman dari
keluarga ayahku, jadi bisa dibilang aku hampir selalu mendapatkan perlakuan
istimewa kalau datang ke bengkelnya.
“Yo. Sudah sehat?” tanya pak Andika sambil menepuk-nepuk
pundakku dengan ramah. “Sudah boleh jalan-jalan keluar nih?”
Aku mengangguk.
“Ya. Begitulah,” balasku sambil mengetukkan salah satu
kruk-ku ke lantai. “Tapi aku belum kuat berdiri sendiri. Kakiku masih sakit
kalau dipakai berjalan.”
Memang baru seminggu sejak aku diperbolehkan untuk pulang
dan menjalani rawat-jalan, tapi sepertinya kondisiku sudah cukup baik sehingga
aku sudah bisa berjalan. Walaupun aku masih harus bertopang pada dua bilah
kruk, atau alat bantu jalan. Tapi selain itu, aku merasa sudah jauh lebih
sehat.
“Dibawa santai saja ya. Tidak usah terlalu memaksakan
diri,” ujar pak Andika lagi. “Jadi ini motormu?”
“Apa yang bisa diperbaiki?” tanyaku sambil berdiri
memandangi partnerku yang rusak parah. “Lebih tepatnya ... apa masih bisa
diperbaiki?”
“Wah, gimana ya?”
gumam pak Andika sambil memeriksa kondisi motorku. “Rangkanya sih jelas rusak
parah dan kurasa mustahil dipakai lagi. Aku enggak ngerti kondisi mesinnya ya,
soalnya waktu terakhir kali kamu bawa kemari, aku bahkan tidak bisa membuka
satu pun bagian dari mesin aneh motormu ini. Terus, enggak usah tanya gimana
nasib fairing motormu ini, soalnya
udah tidak berbentuk lagi. Kurasa sudah saatnya kamu beli motor baru.”
Seketika itu juga aku langsung menghela nafas panjang.
Sesuai dugaanku, motor tua ku itu sudah benar-benar mati ... Kalau
kuingat-ingat lagi kejadian dalam ‘mimpiku’ waktu aku mati suri, aku kan memang
meninggalkan motorku di seberang sungai, yang menurut Irvan adalah sungai Styx. Kalau legenda soal sungai dunia
kematian itu memang benar, maka waktu itu aku tidak membawa ‘motorku’ kembali
ke dunia.
“Benar-benar tidak bisa diperbaiki?” tanyaku sekali lagi.
Pak Andika mengangkat bahunya.
“Aku benar-benar tidak menyarankan kau menggunakan lagi
rangka motormu ini. Sudah terlalu parah rusaknya. Kalau mesinnya ... yah ...
mungkin saja bisa dipakai lagi. Kelihatannya sih blok-blok utama mesinnya masih
utuh,” jawab pamanku itu. “Tapi entah ya, aku tidak bisa jamin sih.”
“Tidak masalah,” sahutku. “Walau pun cuma mesinnya, aku
ingin bagian dari motorku yang lama dipakai lagi untuk motor baruku nanti.
Kuserahkan semuanya pada paman ya.”
Mendengar ucapanku, pak Andika lalu berdiri dan
menepuk-nepuk bahuku.
“Serahkan saja padaku!” balasnya penuh semangat, sembari
memainkan kunci pas besar di tangannya. “Kali ini bakal kubongkar mesin aneh di
motormu itu!”
Mendengar ucapan pak Andika perasaanku bercampur antara
lega dan ngeri.
Mudah-mudahan saja tidak terjadi hal-hal aneh pada
pamanku ini.
****
Ternyata tidak mudah untuk menemukan motor baru yang
‘cocok’ denganku.
Aku sudah berkeliling ke beberapa showroom di sekitar Bekasi, namun tidak ada satu pun motor yang
rasanya cocok denganku. Meskipun jelas sekali kalau motor-motor modern yang
dijual sekarang ini jauh lebih canggih dan lebih nyaman dikendarai ketimbang
motor tuaku. Tapi tetap saja rasanya ada yang aneh. Seolah-olah motor-motor
baru yang dipajang di toko-toko yang kukunjungi itu terasa begitu dingin dan
mati.
“Anda yakin tidak tertarik dengan motor ini?” tanya salesman yang sedari tadi berusaha
menarik perhatianku untuk membeli sebuah motor keluaran terbaru di tokoknya.
“Dibanding merek sebelah, motor ini mesinnya lebih halus, lebih irit, dan
mesinnya juga awet. Kalau soal harganya, gampang deh, nanti saya kasih cicilan
yang enteng.”
Aku memandangi motor bebek berteknologi terbaru di
depanku ini. Tapi tetap saja aku tidak tertarik. Memang kalau melihat dari
spesifikasinya, motor ini cocok untuk kebutuhanku, tapi entah kenapa aku tetap
tidak tertarik untuk membelinya.
“Biar kupikirkan sebentar,” ujarku sambil mengabaikan si salesman yang kini mengangkat bahunya.
“Oke. Silahkan dilihat-lihat dulu, mas, nanti kalau sudah
ada cocok, panggil saya ya,” ujar si salesman
itu sambil berjalan mendekati calon pembeli lainnya.
Aku tidak menjawab dan berjalan mengitari showroom motor yang cukup luas ini.
Dibanding toko-toko lainnya, ini adalah toko otomotif paling besar dan paling
tua yang ada di Bekasi. Plus, menurut Ivan, toko ini menjual kendaraan baru dan
bekas dengan harga paling kompetitif di kota ini. Karena itulah, aku akhirnya
mencoba datang dan melihat-lihat toko ini. Tapi sepertinya sama saja, tidak ada
motor yang kelihatan cocok denganku ... setidaknya sampai aku melihat sebuah
rangka motor tua yang disandarkan di pojok ruangan.
Dengan segera aku menghampiri motor tua itu. Kondisinya
sih memang sudah tidak terlalu bagus, ada banyak sekali karat disana-sini, dan
kalau melihat bentukan mesinnya, ada beberapa bagian yang sudah hilang. Meskipun
demikian, ada sesuatu yang membuatku tertarik dengan motor ini. Berbeda dengan
kawan-kawannya yang masih berkilat, motor tua berkarat ini justru terasa
‘hidup’. Ditambah lagi bentuk motor itu begitu unik dan sepertinya berasal dari
tahun 60an ... atau lebih tua lagi.
“Tertarik dengan barang antik ini?”
Aku menoleh dan melihat seorang pria berjenggot yang mengenakan
jas rapih. Aku langsung mengenali sosok yang tidak lain adalah pemilik showroom besar ini.
Kenapa aku bisa tahu?
Yah, soalnya fotonya dipajang besar-besar di papan iklan
yang diletakkan di depan pintu utama toko. Plus, dia sempat muncul juga beberapa
kali di televisi sebagai bintang iklan salah satu merk motor yang dia jual di
tokonya ini. Intinya pria berjenggot yang menyapaku itu adalah orang terkenal,
dan konon sangat kaya ...
“Iya,” jawabku singkat sambil memeriksa kondisi
perseneling motor tua di depanku ini. “Rasanya ini lebih cocok denganku.”
Sang pemilik showroom
tertawa pelan.
“Seleramu aneh, nak,” ujarnya. “Malah tertarik dengan
motor antik karatan ini ketimbang yang baru.”
Aku pun membalas ucapannya sambil mengangkat bahu.
“Temanku juga bilang begitu.”
“Tapi itu tidak jelek sih. Kamu punya mata yang bagus,”
ujar pria tua itu lagi sambil ikut berjongkok di sampingku. Dia lalu bertanya
dengan nada serius. “Apa yang membuatmu tertarik dengan barang rongsokan ini?
Motor ini sudah ada di sini waktu aku membeli bangunan ini dari pemiliknya yang
lama puluhan tahun lalu. Kondisinya juga sudah seperti itu sejak pertama kali
aku melihatnya. Dulu aku sempat terpikir untuk me-restorasinya, tapi sampai
bertahun-tahun kemudian pun, motor itu tetap tidak tersentuh jaman sama
sekali.”
Aku memandangi milyuner dan pengusaha sukses di sampingku
itu.
“Aku tidak tahu,” balasku jujur. “Aku hanya merasa motor
ini lebih ‘hidup’ ketimbang motor-motor baru di sini. Yah, bukan dalam artian
motor ini lebih bagus dari yang lain, tapi ... entahlah. Selain itu, harus
kuakui aku agak senang dengan barang-barang vintage.”
“Kalau mau, aku bisa menjual motor ini padamu,” ujar sang
pemilik showroom sambil berdiri.
“Daripada motor itu dibiarkan hancur sendiri dimakan waktu, lebih baik dipakai
orang yang memang benar-benar tertarik dan mau merawatnya.”
Aku terdiam sejenak. Tapi kemudian, aku langsung bertanya
tanpa basa-basi lagi.
“Kira-kira harganya mahal tidak?” tanyaku dengan
polosnya.
Pria tua pemilik showroom
itu pun tertawa lepas.
“Tenang saja, itu bisa dibicarakan,” ujarnya geli sambil
menepuk bahuku. “Ayo kita ke kasir, nanti kita nego soal pembayarannya.”
****
Diluar dugaanku, harga yang ditawarkan si pemilik showroom
ternyata amat sangat murah. Terlebih karena dia sekaligus memberiku sepasang
ban dan velg, yang konon menurutnya,
adalah komponen asli motor tua yang baru kubeli itu. Gratis. Dengan syarat aku
harus kembali menemuinya kalau motor kuno itu sudah selesai direstorasi dengan
sukses.
Sehari setelah aku membeli motor kuno itu, kini rangka
motor tua itu pun sudah berdiri tegak di samping bangkai motor tuaku. Tidak
perlu ditanya lagi, sudah jelas komponen motor tuaku tidak ada yang bisa
dipasang ke motor kuno yang baru kubeli kemarin itu. Bahkan pak Andika saja
terang-terangan berkata kalau aku baru saja membeli sebuah rongsokan, kemudian menerangkan
kalau motor yang kubeli itu kemungkinan berasal dari jaman perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Itu artinya umur motor antic yang kubeli itu sudah lebih
dari 70 tahun. Tentu saja itu artinya sulit sekali mencari komponen asli, atau
pun komponen yang sesuai. Terutama untuk mesinnya.
“Kamu sepertinya benar-benar senang dengan motor ini sih.
Jadi ... apa boleh buat,” ujar pak Andika, setelah dia gagal meyakinkanku untuk
mengurungkan niat merestorasi motor kuno yang kubeli kemarin itu. “Tapi aku
tidak jamin komponen-komponennya pakai yang asli. Paling cuma cari yang paling
kompatibel. Aku juga tidak jamin motor ini mesinnya masih bisa dipakai.
Kemungkinan terburuknya, aku harus bikin komponen khusus buat mesin, dan tentu
saja itu gak murah.”
“Kalau memang masih bisa diperbaiki, lakukan saja, paman.
Soal biayanya, itu urusanku,” ujarku keras kepala. “Pakai komponen KW juga
tidak masalah. Asal motornya bisa dipakai.”
Pak Andika tertawa keras mendengar ucapanku.
“Serahkan saja padaku!” ujarnya bersemangat.
Meskipun terdengar tidak masuk akal, tapi sepertinya
keputusanku ini memang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Aku benar-benar ingin
melihat motor tua di depanku ini kembali berfungsi seperti seharusnya, dan bisa
jadi pengganti motor tuaku yang rusak berat akibat kecelakaan. Selain itu, aku
sudah tidak sabar ingin mengendarai motor antik yang baru kubeli itu. Semoga
saja motor ini sesuai dengan harapanku dan ‘se-hidup’ motor lamaku.
Dengan sabar, aku duduk di pojok bengkel sambil melihat
pak Andika dan beberapa montir andalannya perlahan-lahan membongkar kedua
motorku. Mereka tampak bekerja keras berusaha memahami fungsi bagian-bagian
dari kedua motor tua milikku itu. Tapi jelas pekerjaan mereka tidak mudah. Seperti
kata pak Andika, motor tua yang baru kubeli itu umurnya sudah setengah abad
lebih, jadi komponennya sudah sangat langka. Kemungkinan besar ada beberapa
komponen yang malah harus dibuat secara khusus. Sementara motor tuaku yang
rusak karena kecelakaan, punya blok mesin yang sampai sekarang tidak bisa
dibongkar sama sekali.
Mudah-mudahan
semuanya berjalan lancar.
Aku bergumam sambil memejamkan mata. Tapi belum sempat
aku tertidur, tahu-tahu aku mendengar namaku dipanggil oleh seseorang. Dengan
segera aku membuka mata dan langsung terdiam.
Kenapa?
Soalnya dunia di sekitarku baru saja berhenti bergerak.
Seolah-olah ada yang baru saja menekan tombol pause, dan semua gerakan berhenti begitu
saja. Semua orang yang ada di bengkel tempatku berada sekarang benar-benar diam
dalam aksi yang tengah mereka lakukan. Bahkan udara terasa stagnan dan mati,
selain itu sama sekali tidak ada suara yang terdengar di sekelilingku.
Sunyi total.
Setelah mengambil nafas panjang beberapa kali, aku
kemudian memandang berkeliling. Ini sepertinya satu dari sekian banyak kejadian
aneh yang belakangan ini kerap sekali terjadi padaku. Karena itu, aku tidak
lagi merasa panik atau ketakutan.
“Kok enggak panik?”
Aku langsung berbalik begitu mendengar pertanyaan itu dan
kemudian berhadapan dengan seorang wanita cantik yang mengenakan setelan jaket
dan celana kulit berwarna hitam. Aku tidak perlu tanya lagi. Wanita di
hadapanku ini jelas bukan manusia, soalnya kedua matanya bersinar dengan warna
biru terang, dan dia satu-satunya ‘orang’ yang bisa bergerak di tengah waktu
yang sepertinya baru saja berhenti bergerak ini.
“Sudah biasa,” jawabku santai sambil memperhatikan wanita
misterius di hadapanku ini. “Kamu siapa?”
Wanita itu mendadak tertawa lepas.
“Enggak sadar? Serius?!” tanyanya sambil tertawa dan
berjalan mendekati kedua motor tuaku. Dia lalu duduk di atas jok motor lamaku
yang bentuknya sudah tidak karuan. “Kamu benar-benar enggak tahu aku ini
siapa?”
Aku menggelengkan kepalaku.
“Tidak,” jawabku jujur. “Siapa memangnya?”
Tanpa menjawab, wanita itu memutar tubuhnya dan
memperlihatkan motif tribal berwarna biru yang dibordir di belakang jaket kulit
yang dia kenakan. Seketika itu juga, aku terbelalak lebar. Motif di punggung
jaket wanita itu begitu kukenal karena hampir setiap hari aku duduk diatasnya.
Dan itu berarti wanita ini ...
“Kamu ...!”
“Yak. Tepat sekali,” potong wanita itu sambil tersenyum
lebar. “Halo. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu.”
“Kamu ini ap ...”
“Hmm ... entah ya. Aku bukan arwah penasaran sih, tapi bukan
juga jin atau sebangsanya,” potong wanita
di hadapanku itu lagi. “Mungkin bisa dibilang aku ini semacam penunggu ... hmm tunggu
dulu ... itu tidak pas juga. Ah, anggap saja aku ini jelmaan motormu.”
Dia lalu menyadari kalau wajahku mulai memerah.
“Ha~! Malu ya!” ujar jelmaan motorku itu sambil nyengir
lebar. “Baru sadar kalau motormu ini sebenarnya peremuan? Malu karena sudah
menunggangiku selama ini ya?”
Aku memalingkan
wajah, sebagian karena malu saat menyadari kalau setiap hari aku sudah
‘mengendarai’ wanita itu, sebagian karena melihat balutan pakaian kulit yang
menonjolkan bentuk tubuhnya.
Yah ... kalau aku boleh membela diri, mana aku tahu kalau
ada motor yang punya penunggu laki-laki dan perempuan. Soalnya motor bebek tua
seperti milikku itu jelas bisa dipakai siapa pun, tanpa peduli dia itu lelaki
atau perempuan.
“Lupakan dulu soal itu,” ujar jelmaan motorku sambil
mengelus tubuh aslinya yang berantakan. Kali ini raut wajahnya tampak sedih.
“Tidak kusangka akhirnya jadi begini ya. Tadinya kukira aku bisa bersamamu
lebih lama lagi. Kupikir aku bisa membawamu pergi lebih jauh lagi ke
tempat-tempat yang tidak biasanya dikunjungi orang lain. Tapi apa boleh buat
... takdir berkata lain ... ”
“Maafkan aku,” ujarku lirih. “Gara-gara aku, tubuh aslimu
jadi hancur seperti itu.”
Wanita jelmaan motorku itu menoleh ke arahku dan
tersenyum lebar.
“Tidak perlu minta maaf,” ujarnya sambil menghampiri
motor tua yang baru kubeli. “Justru aku yang harus berterima kasih. Kamu sudah
merawatku dengan baik dan memperlakukanku seperti seorang teman. Itu sudah
lebih dari cukup bagiku. Lagipula, aku benar-benar bersyukur karena aku bisa
menyelamatkan nyawamu waktu itu. Aku bahkan tidak menyangka tubuh besiku itu
sanggup menahan benturan sebuah mobil sport yang melaju kencang. Untung saja
aku ternyata jauh lebih kuat dari yang terlihat. Biar sudah tua, tapi rangka
tubuhku itu ternyata masih kokoh!”
Mendengar itu aku pun semakin merasa bersalah. Soalnya
memang menurut beberapa orang, alasan kenapa aku tidak remuk terjepit mobil dan
truk adalah karena motorku yang seolah-olah bertindak sebagai palang penahan.
Sehingga aku tidak benar-benar dalam posisi terjepit. Ternyata memang motorku
itu, yang entah bagaimana caranya, sengaja memposisikan dirinya agar nyawaku
bisa selamat.
“Yah ... waktu memang berlalu begitu saja ya,” ujar
motorku lagi sambil menatap ke arah mataku dengan tatapan sedih. “Rasanya baru
kemarin kamu belajar mengendaraiku. Aku juga masih ingat waktu kita berdua
berkeliling pulau Jawa. Pemandangan yang kita lihat di kaki Gunung Bromo waktu
itu benar-benar indah. Ah, aku juga masih ingat waktu kamu punya pasangan dan
mengendaraiku berdua dengan riangnya. Sayang ya, ternyata wanita itu belum pas
untukmu.”
Aku hanya terdiam. Memang sudah terlalu banyak kenangan
yang kulalui bersama motorku itu. Mulai dari yang menyenangkan, yang tidak
menyenangkan, sampai yang misterius dan menakutkan. Boleh dibilang, partner
tuaku itu hampir selalu jadi bagian dari sebagian besar kejadian aneh yang
kualami belakangan ini. Aku kadang bertanya-tanya apakah memang motorku itu ada
kutukannya ... yah ... memang sekarang aku tahu kalau motor tuaku itu bukan
sekedar kendaraan roda dua biasa. Tapi setidaknya dia bukan sebuah benda yang
membawa kutukan aneh, dan justru malah akhirnya jadi penyelamat nyawaku.
Mengingat hal itu, aku pun jadi merasa semakin sedih.
Sepertinya ini adalah saat-saat aku akan berpisah dengan motor yang sudah
menemaniku selama bertahun-tahun itu.
“Lalu setelah ini bagaimana dengan nasibmu?” tanyaku
sambil melangkah mendekati wanita jelmaan motorku itu.
Wanita itu pun mengangkat bahunya.
“Entahlah. Mungkin aku akan pergi ke dunia lain?” ujarnya
santai. “Aku tidak tahu. Tapi kau tidak usah sedih. Kan sekarang kamu punya
partner baru. Semoga saja dia ini tidak seusil diriku dan semoga kamu bisa
merawatnya sebaik waktu kamu merawatku.”
Aku pun memandangi motor antik yang kubeli sebagai
pengganti motor lamaku yang rusak itu. Saat ini memang motor itu masih terlihat
kotor dan tidak lebih dari seonggok barang antik yang tidak pernah dipakai sama
sekali. Tapi aku sudah bertekad untuk ‘membangkitkan’ lagi motor itu dan
mempergunakannya lagi sebagai partner baruku.
“Nah. Kurasa sudah waktunya aku pergi,” ujar wanita jelmaan
motorku itu lagi. Dia lalu berjalan mendekatiku, dan kemudian ... tanpa kuduga
sama sekali, dia lalu mengecup pipiku dengan lembut. “Jaga partner baru mu
baik-baik ya.”
Belum sempat aku mengendalikan diri dari rasa terkejutku,
wanita itu pun hilang dan dunia kembali bergerak seperti sedia kala. Kesunyian
total di bengkel tempatku berdiri ini mendadak pecah oleh berbagai macam suara
logam beradu, deru mesin, dan suara percakapan antar mekanik dan pelanggan yang
sedang menggunakan jasa mereka. Ketika aku memandang ke sekeliling, sama sekali
tidak ada jejak dari wanita berbalut pakaian kulit tadi. Kemudian mataku
terpaku ke arah motor lamaku yang sedang dibongkar oleh pak Andika dan
montir-montir andalannya.
Aku pun menghela nafas panjang.
“Aku bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal,”
gumamku pada diriku sendiri. “Seenaknya saja ...”
****
Seperti yang dulu pernah diperingatkan oleh pak Andika,
sangat tidak mudah untuk merestorasi motor antik yang kubeli sebagai pengganti
motorku yang lama. Butuh waktu hampir satu tahun dan biaya yang lumayan besar sebelum
pak Andika dan montir ahlinya berhasil membuat motor baruku itu benar-benar
berfungsi seperti seharusnya. Tapi meskipun dengan susah payah, akhirnya motor
antikku itu pun siap untuk dikendarai.
Dan tentu saja prosesnya dilengkapi dengan satu-dua
kejadian aneh. Termasuk mesin motor lamaku yang pada suatu pagi tiba-tiba sudah
terpasang dengan rapih di motor antikku yang baru.
Aku sih tidak begitu heran, soalnya mesin motor lamaku
itu juga sudah bukan lagi motor biasa. Tapi pak Andika dan para mekanik di
bengkelnya tentu saja heran bukan main. Malah ada yang mengira kalau mesin
motorku itu ada penunggunya. Yah ... dia tidak sepenuhnya salah sih, tapi aku
tidak tahu apakah ‘penunggu’ motorku yang lama akan pindah ke tubuh baru ...
atau ... dia benar-benar sudah pergi untuk selamanya.
Yang jelas, sekarang ini aku sudah berdiri di hadapan
motor antik yang kini sudah mengkilat seperti baru. Selain mesin motor yang
dulu terpasang di motorku yang lama, aku sengaja meminta pak Andika memasangkan
lagi lapisan jok kulit hitam dengan tato tribal biru yang ada di motor lamaku.
Setidaknya itu membuatku merasa kalau partner lamaku itu masih menjadi bagian
dari partner baruku ini.
Dan ini adalah hari pertamaku mengendarai motor itu lagi.
Untungnya, aku juga sudah pulih dari kecelakaan yang nyaris merenggut nyawaku
dan sudah diperbolehkan untuk kembali mengendarai motor. Meskipun aku secara
rutin masih harus memeriksakan kondisi tubuhku ke rumah sakit.
“Ayo kita mulai,” aku bergumam sambil menyelah motorku.
Dalam satu sentakan ringan saja, motor antik itu menderum
hidup. Motor itu pun menderum bersemangat dengan nada tinggi seolah-olah dia
gembira bisa hidup kembali. Tidak heran sih. Aku tidak tahu sudah berapa lama
motor itu dibiarkan teronggok tidak terawat, tapi sepertinya sudah lebih dari
setengah abad kendaraan antik ini menunggu untuk dipergunakan lagi. Dan ini
adalah hari pertama dia kembali dikendarai oleh manusia.
Sambil menutup mataku, aku merasakan getaran di sekujur
tubuh partner baruku yang terbuat dari logam ini. Aneh, tapi aku merasa kalau
motor baruku ini begitu bersemangat. Seolah-olah dia sudah tidak sabar lagi untuk
menjelajahi jalanan kota Jakarta yang sudah jauh berubah sejak dia tertidur.
Seolah mengerti apa yang diucapkan motor antikku ini, aku
pun menepuk tangki bensinnya yang terbuat dari logam, kemudian memandang ke
depan.
“Nah, ayo kita berangkat!” Aku berujar sambil memutar
tuas akselerator motorku.
Dan dengan diiringi suara deru nyaring, motor antikku itu
pun dengan gembira melesat ke jalanan ibukota.
****
End of 12th
Spiral
Move on to the
next story
Comments