Everyday Adventure XIV: Para Petarung
Ryouta memutar tubuh
dan dengan cepat menghindari pukulan sebuah robot beruang raksasa yang meluncur
deras ke arahnya. Telat sedikit saja, tinju baja sebesar wajan penggorengan
akan menghantam kepalanya. Dengan kelincahan yang tidak terlihat dari tubuhnya
yang besar dan berat, Ryouta beberapa kali menghindari pukulan lawannya sembari
mencari celah untuk menyerang balik.
Pengalamannya sebagai
Guardia yang bertempur pada Perang Bulan Kedua ratusan tahun lalu membuat Ryouta
dengan mudah membaca dan memperkirakan gerakan lawan. Dengan satu gerakan
cepat, Ryouta menghindari satu lagi serangan dan kali ini membalas dengan sebuah
pukulan keras. Suara dentang nyaring bergema ketika tubuh robot beruang yang
melawannya itu jungkir balik dan menghantam lantai beton dengan keras.
“OUT~!”
Ryouta mendengar
seruan keras dan melangkah mundur menjauhi lawannya. Sementara itu, sebuah
robot berkaki empat buru-buru menghampiri lawan Ryouta dan membantunya berdiri.
Sejenak robot beruang itu tampak goyah, tapi tidak lama kemudian dia berhasil
berdiri tegak dan memegangi kepalanya. Meskipun baru saja dihajar dengan
kekuatan setara hantaman sebuah truk, tapi ekspresi di wajah robot besar itu
justru terlihat gembira.
“Hyaah~~! Yang tadi
itu luar biasa!” seru robot beruang itu dengan suara cempreng, yang benar-benar
tidak sesuai dengan perawakannya yang besar dan menakutkan. “Memang bekas
prajurit era Perang Bulan itu beda ya.”
“Jangan merendah,
Borodino, kau sendiri juga dulunya robot perang,” balas Ryouta sambil
mengulurkan tangannya.
Borodino nyengir
lebar dan memperlihatkan taring-taring logam di mulutnya. Robot beruang itu
menjabat erat tangan Ryouta, kemudian menepuk pundak android bermata satu itu.
“Yah, tapi tidak
sebanding dengan robot yang bisa menghadapi Machina sepertimu deh,” ujar
Borodino dengan ramah. “Terima kasih atas bantuannya hari ini.”
Ryouta melangkah
mundur, kemudian membungkuk sekilas untuk memberi hormat.
“Sama-sama,” ujarnya.
Dia lalu berbalik dan memandangi robot-robot lain yang sedari tadi sudah
berkumpul di ruangan yang sama dengannya. “Ayo. Siapa lagi?”
Tentu saja tidak ada
yang cukup berani untuk menjawab tantangannya. Kalau robot prajurit seperti
Borodino saja bisa dijatuhkan dengan mudah, apalagi robot lain yang memang tidak
didesain untuk bertarung. Sementara itu, mereka yang dulunya juga prajurit
dengan terang-terangan menolak tantangan Ryouta.
Apa boleh buat,
gumam Ryouta dalam hati.
Sambil menghela
nafas, Ryouta melangkah mundur dari arena tanding yang berbentuk lingkaran. Saat
ini dia dan beberapa bekas robot perang yang tinggal di kota Bravaga sedang
mengadakan latihan bela diri di sebuah sasana latih tanding kuno. Memang
janggal, mengingat mesin tidak membutuhkan latihan rutin seperti itu. Tapi bagi
sebagian robot yang dulu pernah merasakan kejamnya medan perang, ada satu hal
yang mereka sepakati bersama:
‘Tubuh yang tidak
pernah dilatih akan jadi karatan dan tidak berguna.’
Itulah alasan mereka
berkumpul dan berlatih tanding seperti ini. Meskipun sudah tidak ada lagi
alasan bagi para bekas prajurit itu untuk menggunakan kemampuan mereka di kota
Bravaga, tapi di luar sana, ada banyak bahaya yang mengintai. Robot liar serta
mutan buas berkeliaran dengan bebas dan siap menerkam robot manapun yang sedang
tidak waspada. Bagi Ryouta, dia punya alasan yang lebih penting dari sekedar
menjaga kemampuannya.
Maria.
Gynoid itu kelewat
sering terlibat dalam kejadian berbahaya, yang sebagian besar diakibatkan oleh
ulah usilnya sendiri. Ryouta sudah malas menghitung berapa kali dia harus
menyelamatkan Maria dari kejaran mutan buas, atau robot liar. Dan berhubung
saat ini Ryouta sudah tidak lagi memiliki tubuh Guardia yang dilengkapi
berbagai macam senjata, dia harus bergantung pada kemampuan tubuhnya saat ini
untuk melindungi Maria.
“RYOUTA~~!”
Mendadak Ryouta
mendengar suara yang kelewat akrab baginya. Namun begitu dia berbalik,
tahu-tahu saja ada telapak kaki mungil yang mendarat telak di wajahnya. Karena
tidak siap menghadapi serangan kejutan itu, Ryouta tidak bisa menghindar atau
bertahan. Akibatnya robot besar itu kehilangan keseimbangan dan jatuh
terjengkang di atas lantai. Suara dentuman berat bergema di dalam ruangan seiring
dengan mendaratnya tubuh besar Ryouta di lantai beton.
“OUT~!”
Kali ini yang berseru
nyaring adalah Borodino. Robot beruang itu terlihat susah payah menyembunyikan
ekspresi gelinya melihat Maria masih berdiri di atas wajah Ryouta dengan wajah
polos. Dan dia tidak sendiri, beberapa robot lainnya juga terlihat menahan
tawanya menyaksikan kejadian barusan.
Awalnya Maria
kebingungan, tapi begitu menyadari apa yang baru saja terjadi, dia buru-buru melompat
minggir dan langsung salah tingkah. Apalagi ketika melihat Ryouta menegakkan
tubuh sambil menatap tajam ke arahnya.
“Eh? Maaf?” ujar
Maria sambil menggaruk belakang lehernya. “Hehe ...”
Ryouta mendengus
kesal dan berdiri tegak.
“Ada apa sekarang?”
ujarnya pada Maria.
“Kalian sedang apa
sih?” Maria balas bertanya pada Ryouta sambil memandangi sekumpulan robot yang
berkumpul di dalam ruangan. Satu persatu melambaikan tangan ke arah Maria, yang
dibalas dengan lambaian penuh semangat dari gadis robot itu. Selesai
menyampaikan salam, dia lalu menoleh ke arah Borodino yang berjalan
menghampirinya.
“Dan pemenangnya
adalah Maria~!” Borodino tiba-tiba saja meraih sebelah tangan Maria dan
mengangkat tangan gynoid itu tinggi-tinggi di udara. “Hore~!”
“HORE~!” Hampir semua
robot dalam ruangan itu berseru nyaring.
“Hore?” Maria ikut
berseru, meskipun dia masih kebingungan. “Eh, sebenarnya ada apa sih ini?”
“Kami sedang latih
tanding. Dan dari tadi enggak ada satu pun dari kami yang bisa menjatuhkan
Ryouta.” Borodino menjelaskan dengan nada geli. Dia lalu nyengir lebar ke arah
Maria. “Sampai kamu datang.”
Menyadari dirinya
baru saja mengalahkan Ryouta dalam sebuah latihan bela diri, kedua mata Maria
langsung berbinar-binar. Dia lalu menoleh ke arah Ryouta yang sedang berdiri
tegak sambil membersihkan pakaiannya dari debu yang menempel.
“Benarkah itu?” seru
Maria penuh semangat.
“Cuma kebetulan,”
balas Ryouta masam. “Kalau aku tidak lengah tadi, tidak mungkin robot seperti
Maria bisa menjatuhkanku.”
“Sayangnya kau
lengah, dan itu berbahaya loh.”
Arslan tiba-tiba saja
melangkah masuk ke dalam ruangan sambil berkacak pinggang. Robot penerbang yang
merupakan perwakilan dari kelompok Pengembara itu terlihat anggun seperti
biasanya. Tubuhnya yang ramping dan sayap elangnya membuat sosok Arslan tampak
menonjol dibandingkan sebagian besar para Pengembara yang memiliki sayap
bermesin jet. Anehnya, begitu Arslan melangkah masuk, beberapa robot yang
berkumpul dalam ruangan seolah-olah mengerut karena ketakutan.
Maria tidak begitu
mengerti kenapa beberapa robot di ruangan itu bersikap aneh. Padahal kan tidak
ada yang perlu ditakuti dari Arslan.
“Arslan~!” Maria
berseru ke arah Arslan dan berjalan menghampirinya.
“Yo!” sapa Arslan
singkat. Dia lalu memandang berkeliling dan memperhatikan satu persatu robot
petarung yang ada di dalam ruangan luas itu. Beberapa robot yang tidak sengaja
beradu mata dengannya buru-buru mengalihkan pandangannya. “Banyak juga kali
ini.”
“Begitulah. Makin
banyak yang merasa kalau tubuh mereka mulai kaku dan karatan,” balas Borodino
sambil menepuk perutnya, yang tentu saja terbuat dari logam tebal. “Ada
beberapa anak generasi baru juga yang penasaran, jadi sekalian saja kuajak ke sini.”
Arslan menoleh ke
arah kerumunan di sekitarnya dan mendapati beberapa robot generasi baru seperti
Maria yang berdiri di sana. Seperti halnya Maria, mereka juga terlihat antusias
menyaksikan pertarungan antar robot yang baru saja terjadi. Beberapa dari
mereka malah baru saja terlibat dalam acara latih tanding yang sedang
berlangsung ini.
“Ah, bagaimana kalau
kau dan Ryouta bertanding? Pasti akan jadi contoh yang bagus buat anak-anak
baru ini.” Borodino tiba-tiba saja merangkul pundak Arslan, sembari menatap ke
arah Ryouta dan Maria yang berdiri berdampingan.
Entah kenapa,
usulannya langsung membuat beberapa robot yang berada dalam ruangan itu menahan
nafas, atau berseru tertahan. Jelas mereka tidak setuju dengan usulan Borodino
barusan, namun tidak cukup berani untuk mengutarakan ketidaksetujuan mereka.
“Bagaimana menurutmu,
Ryouta?” Borodino bertanya sambil menunjuk ke arah Ryouta dengan tangannya yang
bercakar tajam. “Kau berani?”
Suara dentang nyaring
membuat Maria terlonjak kaget. Ternyata Ryouta baru saja mengadu kedua tinjunya
yang besar dan kokoh.
“Boleh saja!” sahut
Ryouta dengan suara nyaring. Dia pun bergerak maju dengan langkah tegap dan
penuh keyakinan.
“Ayo sini.” Arslan
membalas ucapan Ryouta dan ikut melangkah maju.
Kini kedua robot yang
berasal dari era sebelum Catastrophy itu berdiri berhadap-hadapan. Maria berani
sumpah kalau dia melihat udara di sekitar Ryouta dan Arslan seolah bergelombang
karena panas. Di saat yang sama, Maria juga seperti mendengar suara dengung
samar yang muncul entah dari mana asalnya.
Kok perasaanku jadi tidak enak ya?
Maria bertanya-tanya
dalam hati. Soalnya ini pertama kalinya dia melihat tatapan mata Ryouta yang benar-benar
dipenuhi api semangat. Padahal biasanya mata bulat besar itu lebih sering
terlihat muram dan terkadang seperti melihat dunia dengan cara yang sangat
berbeda dengan robot lain pada umumnya. Di sisi lain, kobaran api semangat yang
sama-sama membara juga terlihat di balik mata-mata Arslan yang kecil, namun
sangat tajam.
Sikap keduanya itu membuat
Maria sedikit takut.
“Oh. Ini akan sangat menarik
sekali.” Maria mendengar Borodino berkomentar sambil melangkah mundur dari
Ryouta dan Arslan. Robot mirip beruang itu lalu mengangkat sebelah tangannya.
“Perhatian, ini adalah latih tanding. Siapa yang berhasil menjatuhkan lawannya
ke lantai, dialah pemenangnya! Seperti biasanya, tidak boleh ada senjata
energi, pisau progresif, EMP, proyektil, atau peledak. Bertandinglah dengan
adil dan jujur!”
Bersamaan dengan
seruan Borodino, tiba-tiba saja kerumunan robot yang berada di sekitar Ryouta
dan Arslan langsung menjauh sejauh-jauhnya. Beberapa dari mereka bahkan
terlihat ingin sekali kabur dari ruangan latih tanding ini, tapi tidak bisa
karena posisi mereka terjepit dengan robot lainnya.
“Siap?” seru Borodino
sambil memandang ke arah Ryouta dan Arslan bergantian. Dia lalu mengayunkan
tangannya dan berseru keras. “MULAI!”
Hal terakhir yang
bisa Maria ingat adalah suara dentuman dahsyat, diiringi dengan gelombang kejut
yang menerbangkan tubuh rampingnya.
Setelah itu semuanya
gelap.
****
Ketika membuka
matanya lagi, yang pertama kali Maria lihat adalah wajah besar bermata satu,
yang tidak lain adalah Ryouta.
“Kau sudah sadar?”
Android kekar itu bertanya pada Maria dengan suara lembut.
“Apa yang terjadi?”
tanya Maria kebingungan. “Di mana ini?”
Dia lalu memandang
berkeliling dan menyadari dirinya berada di dalam ruang perawatan ringan di
Central Tower. Ruangan itu biasanya digunakan untuk memperbaiki kerusakan
ringan, atau sekedar perawatan rutin bagi para robot yang tinggal di kota
Bravaga. Maria lalu menyadari kalau ruangan itu kini penuh dengan setidaknya
selusin robot yang juga tidak sadarkan diri.
“Ada apa ini?” tanya
Maria kebingungan sambil menegakkan tubuh, kemudian menoleh ke arah Ryouta.
“AAH! RYOUTA?!”
Maria menjerit kaget
melihat tubuh Ryouta yang tampak mengenaskan. Tangan kiri android besar itu
hilang dan hanya menyisakan rangka dalam di pangkal pundak. Jaket hijau lengan
buntung favoritnya sudah berubah jadi kain rombeng, sementara beberapa pelat
pelapis tubuhnya sudah hilang dan menampakkan rangka pelindung dalam yang
terbuat dari carbotech-titanium. Selain itu, ada bekas penyok dan goresan di
sekujur tubuh Ryouta.
Sekilas pandang,
Ryouta seperti baru saja dihajar habis-habisan oleh sesuatu yang jauh lebih
kuat dari mantan Guardia itu.
“Ke ... kenapa
tubuhmu bisa begitu?!” Maria berseru ngeri sambil menutup mulut dengan kedua
tangannya. “Apa yang terjadi?”
“Yah ... “
“Kami kelepasan.”
Tiba-tiba Arslan
menyahut dari belakang Ryouta.
“AH!?”
Maria berseru
tertahan melihat sosok Arslan yang berbaring di dipan. Tubuh robot itu sama
parahnya dengan Ryouta, atau bahkan lebih parah lagi. Kaki kiri Arslan remuk
redam dan tidak bisa digerakkan, sedangkan separuh sayap kanannya hilang.
Selain itu, pelindung dadanya juga penyok begitu parah, sehingga membuatnya
tidak bisa memutar atau membungkukkan badan. Itu yang menyebabkan robot
Pengembara itu terpaksa berbaring di dipan.
“Sebenarnya ... apa
yang terjadi?” Maria bertanya dengan nada ngeri melihat kondisi kedua temannya
yang rusak berat. “Apa ada serbuan mutan buas atau robot liar?”
Sejenak Ryouta dan
Arslan saling pandang, lalu keduanya kembali menatap ke arah Maria yang matanya
mulai berkaca-kaca. Gynoid itu benar-benar tidak tega melihat dua temannya itu
dalam kondisi yang begitu mengenaskan.
“Sebenarnya ... ini
bukan gara-gara robot liar atau mutan buas.” Ryouta akhirnya menjawab dengan
enggan.
“Ini gara-gara latih
tanding barusan,” timpal Arslan dengan nada geli. “Kami kelepasan dan
mengerahkan semua kemampuan yang kami punya. Jadi begini deh akibatnya. Apa
boleh buat, biar tubuh kami sudah jadi begini, sedikit banyak kami berdua
adalah bekas robot perang. Ada hal-hal yang kadang membuat diriku dan Ryouta
terlalu asyik sampai lupa, kalau kami sudah tidak lagi hidup di jaman perang.”
Ryouta mengangguk
mengiakan.
“Apalagi ditambah
fakta kalau kami bekas Guardia dan Machina,” ujar Ryouta sambil memeriksa pelat
pelindung dadanya yang penyok dan penuh goresan. “Dulu kami dibuat memang untuk
saling menghancurkan. Walau sekarang sudah tidak lagi begitu, ada kalanya sifat
asli kami sebagai mesin perang begitu kuat hingga sulit
dikendalikan.”
“Itu benar. Ada saat-saat
di mana aku juga lupa kalau diriku ini sudah bukan lagi sebuah mesin penghancur,” timpal Arslan sambil berusaha menegakkan tubuh,
meskipun itu mustahil dilakukan. “Kau tidak usah khawatir, Maria, ini bukan
pertama kalinya kami begini. Tapi sudah lama juga ya sejak duel yang terakhir.
Berapa tahun? Sepuluh?”
“Tiga puluh tahun,”
sahut Ryouta sambil mengangkat tiga jarinya. Dia lalu menoleh ke arah Maria. “Waktu
itu, hasilnya tidak seri seperti sekarang ini. Aku yang menang.”
Arslan merespon
ucapan Ryouta dan menepuk pinggang android besar itu dengan sebelah tangannya.
“Hei! Waktu itu kau
juga sudah tidak bisa bergerak lagi, sedangkan aku masih berdiri tegak loh!”
protes Arslan.
“Biar masih berdiri,
tapi semua sistemmu sudah dimatikan paksa kan? Itu artinya aku yang masih sadar
yang menang!” bantah Ryouta.
Maria menghela nafas
panjang melihat tingkah Ryouta dan Arslan yang terkesan kekanakan. Tapi dia
kemudian tertawa tertahan. Rasanya lucu melihat dua robot yang dulunya sangat
ditakuti di medan perang, kini bisa bersikap seperti dua anak kecil yang tidak
mau kalah dalam sebuah permainan. Membayangkan hal itu membuat Maria tertawa
kecil, dan senyuman di wajah gynoid itu dengan sukses membuat Ryouta dan Arslan
berhenti bertengkar. Keduanya ikut tersenyum dalam hati melihat ekspresi
gembira kembali hadir di wajah Maria.
“Nah! Kalau kalian
sudah selesai bertengkar, sekarang lapor ke Mother dan pergi ke ruang perbaikan
besar sana!” Maria melompat turun kemudian menepuk dada Ryouta dengan sebelah
tangannya. “Cepat sembuh, biar kau bisa menemaniku main lagi!”
Maria lalu menoleh ke
arah Arslan yang terbaring di dipan, dia pun menghampiri sang Pengembara itu
dan meletakkan sebelah tangannya di dahi robot penerbang itu.
“Kau juga ya,” ujar
Maria. “Kau dan Ryouta sudah bukan mesin perang lagi, jadi harusnya sih kalian
tidak perlu sering-sering bertengkar begini. Dan cepat sembuh juga ya.”
Arslan mengangguk dan
balas mengacungkan jempolnya ke arah Maria. Sikap Arslan membuat Maria kembali
tersenyum lebar.
“Nah, sudah dulu ya,
aku mau cari Buggy dulu! Dia pasti kaget mendengar kalian berdua bertengkar
sampai harus direparasi begini.”
Tanpa basa-basi lagi,
Maria berlari keluar dari ruang perawatan dan segera menghilang dari hadapan
Ryouta dan Arslan. Sementara itu, kedua robot petarung itu saling pandang
sejenak. Cukup lama keduanya terdiam, sebelum akhirnya Arslan mengucapkan satu
kalimat yang membuat Ryouta terkejut.
“Kau beruntung punya
Maria.” Arslan berkata pada Ryouta dengan nada serius. “Jaga dia baik-baik.
Suatu saat nanti, dia akan memegang peranan besar
di kota ini. Kalau saat itu akhirnya tiba, kau harus
selalu ada di sisinya. Kau mengerti itu, Ryouta?”
Ryouta menatap lurus
ke arah Arslan. Dia bingung dengan maksud ucapan mantan Machina itu. Dengan
sepenuh hati Ryouta berharap pertarungannya dengan Arslan tadi tidak sampai
merusak cyber brain temannya itu.
“Aku tidak mengerti
kau bicara apa,” balas Ryouta mengakui. “Tapi aku akan selalu menjaga Maria.
Lagi pula, kalau bukan aku, siapa lagi yang akan mengawasi dan menyelamatkannya
dari masalah?”
Arslan tertawa
ringan. Dia lalu menatap ke arah langit-langit ruang perawatan yang berbentuk
setengah lingkaran.
“Sungguh ... kau ini
benar-benar beruntung sampai membuatku merasa iri.”
****
Walaupun Mother bisa
memperbaiki semua jenis robot di Bravaga, ternyata dia butuh waktu lebih lama dalam
menangani Ryouta dan Arslan. Setelah hampir seminggu penuh bekerja, akhirnya
Mother selesai memperbaiki dua robot bekas mesin perang tersebut.
Tentu saja mereka baru
diperbolehkan pulang setelah menerima wejangan panjang lebar dari kakek Tesla.
Robot kelabang raksasa yang tinggal di Central Tower itu memperingatkan Arslan
dan Ryouta akan bahaya kekuatan mereka sendiri. Sebab saat duel seminggu lalu, kekuatan
penuh keduanya juga menyebabkan beberapa robot yang ada dalam ruang latihan
mengalami kerusakan ringan. Untungnya tidak ada yang serius, tapi dari yang
didengar Ryouta, beberapa robot generasi baru menolak untuk ikut dalam ajang
latihan duel lagi untuk kedua kalinya.
Setelah berjanji
tidak akan melakukan duel lagi, akhirnya Ryouta dan Arslan diperbolehkan keluar
dari Central Tower. Dan tentu saja di luar mereka berdua sudah disambut oleh
Maria dan Buggy.
“Kakek Tesla marah
ya?” tanya Maria sambil nyengir lebar ke arah dua robot petarung kuno itu.
“Begitulah. Dia
melarang kami untuk berduel lagi sementara waktu ini,” ujar Arslan sambil
mengangkat bahunya. “Yah ... aku juga tidak mau sering-sering latihan dengan
Ryouta. Pukulannya keras dan sakit sekali. Dia ini memang tidak
tanggung-tanggung kalau berkelahi.”
Ryouta mendengus
mendengar ucapan Arslan, kemudian bergumam dalam hati.
Padahal sendirinya dia tidak ragu-ragu untuk mencoba
mencabut kepalaku.
“Yah. Karena sudah
sembuh. Aku akan kembali ke tempat para Pengembara dulu. Mereka pasti bakal
marah juga kalau mendengar aku duel lagi dengan Ryouta,” ujar Arslan sambil
mengedipkan sebelah mata utamanya ke arah Maria. Dia lalu menoleh ke arah
Ryouta dan mengulurkan sebelah tangannya. “Senang bisa berduel denganmu lagi.”
Ryouta menjabat
tangan Arslan. “Sama-sama.”
Tanpa basa-basi lagi,
Arslan merentangkan sayap dan melompat pergi. Diiringi suara dengung mesin
anti-gravitasi, Arslan melesat tinggi membelah langit kota Bravaga. Dalam waktu
singkat, robot penerbang itu sudah hilang dari pandangan.
“Seperti biasanya,
dia tetap saja santai dan cuek,” celetuk Ryouta. “Tidak berubah sama sekali.”
“Masa sih?” balas
Maria.
“Sejak dibangkitkan
Mother, Arslan memang punya sifat seperti itu.” Buggy menyahut sambil melompat
ke atas kepala Ryouta. Dia lalu mengetuk kepala robot bermata satu yang
ditumpanginya itu. “Beda sekali dengan yang satu ini.”
“Berisik,” gerutu
Ryouta sambil balas menepuk tubuh temannya itu. Dia lalu menghela nafas
panjang. “Kita harusnya bersyukur Arslan yang sekarang bukan seperti yang dulu.
Sifatnya yang santai dan cengengesan itu tidak banyak berubah. Tapi sebagai
Machina, dia adalah mesin pembunuh yang tidak kenal belas kasihan. Arslan yang
dulu bisa meratakan satu kota dan membasmi apapun yang bergerak sambil
bersiul-siul riang.”
“Sayap Kematian.”
Sekali lagi Buggy berkomentar sambil pindah ke pundak Ryouta. “Itu julukan
Arslan waktu perang dulu. Sama seperti Ryouta, kemunculannya di medan perang
artinya kehancuran bagi lawan-lawannya.”
Ryouta mengangguk.
Ingatan pertempurannya dengan Arslan pada pertengahan Perang Bulan Kedua masih
segar dalam benaknya. Ada banyak kilatan cahaya, ledakan, bangunan yang
melayang dan runtuh, jeritan penuh kebencian, dan sosok Machina biru bersayap lebar yang menebar kematian di mana-mana.
Dia masih ingat
bagaimana para Guardia yang lain berjatuhan sebagai korban keganasan Arslan
pada perang itu. Dia juga masih ingat bagaimana gedung-gedung tinggi yang
dulunya berdiri megah, tiba-tiba saja rata dengan tanah diiringi jerit kematian
yang bergema sampai ke dalam relung dada logam Ryouta.
“Tapi itu dulu kan?”
Ucapan Maria membuat
Ryouta terbangun dari lamunannya. Dia menoleh ke arah robot gadis yang berjalan
di sampingnya itu.
“Sekarang Arslan kan
bagian dari Pengembara. Dia punya tugas mulia mencari mesin-mesin kuno
sekaligus menyebarkan teknologi dari Mother.” Maria bicara sambil berbalik ke
arah Ryouta dan berjalan mundur. Dia lalu menunjuk ke arah temannya itu. “Dan
kau jadi pekerja bangunan yang membantu membangun kota Bravaga. Sekaligus jadi
pelindung kota. Kalian ini sudah berubah loh. Kalian bukan lagi mesin perang
yang menakutkan.”
“Tapi itu bukan
berarti masa lalu kami yang kelam bisa di ...”
Ucapan Ryouta
terhenti saat jari telunjuk Maria menyentuh mulutnya. Senyuman lebar terukir di
wajah Maria saat dia melakukan itu. Kedua matanya yang jernih menatap langsung
ke satu-satunya mata besar yang dimiliki Ryouta.
“Yang berlalu,
biarlah berlalu,” ujar Maria lembut. “Yang penting sekarang adalah menatap jauh
dan melangkah ke masa depan sambil mengingat masa lalu sebagai pelajaran.”
Ryouta terdiam
sambil memandangi Maria. Rambut hitam
panjang yang berkilauan diterpa sinar matahari sore membuat gynoid itu tampak
begitu cantik di mata Ryouta. Selama beberapa detik, dia berani sumpah kalau
generator tubuhnya tiba-tiba saja mengalirkan denyut energi besar ke seluruh tubuhnya.
Ada sensasi aneh di sekujur tubuh mesin perang kuno itu ketika dia melihat
sosok Maria yang dihiasi latar belakang kota Bravaga dan matahari terbenamnya
yang berkilau oranye terang.
“Tumben kau
mengatakan sesuatu yang bijak.”
Tiba-tiba Buggy berkomentar
sambil melayang mengitari Maria. Robot kecoa raksasa itu lalu mendarat dan
bertengger dengan nyaman di pundak Maria.
“Hehehe ... itu
kudapat dari buku di perpustakaan,” sahut Maria malu-malu. “Keren kan?”
Ryouta tersenyum
lebar dalam hati.
Ucapan Maria memang
benar.
Meskipun ingatan akan
perang yang telah dilaluinya bukanlah sesuatu yang menyenangkan, Ryouta sama
sekali tidak mau menghapus ingatan itu. Ingatan itu adalah bagian yang tidak
bisa dipisahkan dari diri Ryouta. Tanpa ingatannya di masa perang sebelum
Catastrophy, maka Ryouta yang seperti sekarang ini mungkin tidak akan ada.
Tanpa pengalamannya berperang melindungi ras manusia yang telah punah, maka
kepribadian robot bernama Ryouta ini tidak akan terbentuk.
Meskipun menyedihkan
dan menyakitkan, semua hal tentang perang yang dialami Ryouta adalah bagian
dari dirinya yang tidak bisa dipisahkan atau dihapuskan begitu saja. Dan itu
disadari betul oleh Ryouta.
“Iya. Ucapanmu yang
tadi itu keren.” Ryouta berkomentar sambil mengusap kepala Maria dan membuat
gynoid itu tersenyum girang. “Nah, sekarang ayo kita pulang.”
Maria mengangguk dan
berlari-lari kecil mendahului Ryouta, diiringi Buggy yang terbang berputar di
sekeliling gadis robot itu. Sikap keduanya membuat Ryouta tersenyum lebar dalam
hati. Dia pun teringat ucapan Arslan soal dirinya dan Maria beberapa waktu
lalu. Sembari melangkah cepat menyusul Maria, Ryouta bergumam dalam hati.
Kau benar. Aku memang beruntung, Arslan.
****
-FIN?-
red_rackham 2017
Comments