Extra Adventure III: Pesan Dari Masa Lalu
Fio melompat dari satu bangunan
ke bangunan lain dengan lincah. Keempat matanya yang awas selalu memeriksa
kondisi tempat pendaratannya sepersekian detik sebelum kakinya menapak.
Sesekali gadis dari ras Quadra itu memutar tubuhnya dan memperlihatkan gerak
akrobatik indah yang membuat orang-orang yang melihatnya berdecak kagum.
Seperti biasanya, hari itu Fio
bertugas mengantarkan surat ke para penduduk kota Dwipantara, namun berbeda
dari hari-hari sebelumnya, kali ini dia sengaja mengambil jalan memutar karena
mendengar ada hal aneh terjadi di kota di atas awan itu.
Sebuah meteorit jatuh ke distrik
8 semalam dan mengakibatkan kehebohan di sekitar area tersebut. Walaupun tidak
ada korban jiwa, tapi memang ada beberapa orang yang terluka akibat hantaman
benda kosmik itu. Selain itu, meskipun katanya yang jatuh hanya sebongkah
meteorit, tapi kekuatan hantamannya sampai nyaris meruntuhkan sebuah gedung dan
menyebabkan berbagai macam kerusakan lain pada bangunan di sekitarnya.
Belum ada kabar jelas soal seperti
apa bentuk meteorit yang jatuh itu, tapi desas-desus tentu saja sudah beredar
di kalangan penduduk kota dan kabar semacam itulah yang membuat Fio jadi
penasaran.
Perjalanan Fio menuju ke distrik
8 kota langit Dwipantara hanya memakan waktu singkat. Tidak lama kemudian dia
pun sudah berdiri di atap salah satu gedung di dekat tempat kejadian. Di
sekitar gadis itu sudah berkumpul banyak orang yang ingin menyaksikan kerusakan
yang ditimbulkan meteorit semalam.
Tiba-tiba saja keempat mata Fio
tertuju pada sosok gadis yang berada di tengah kerumunan di jalanan yang ada di
bawahnya, yang tidak lain adalah Kalista Kuon. Gadis bertelinga dan berekor
mirip anjing yang pernah hidup di jaman dahulu kala itu terlihat sibuk merawat
luka-luka para penduduk yang tinggal di sekitar lokasi kejadian.
Fio baru saja berniat untuk
melompat turun untuk menyapa Kalista ketika pundaknya tiba-tiba ditepuk dari
belakang. Gadis itu pun berbalik dan berhadapan dengan seorang gadis lain yang
memiliki selaput sayap di kedua lengannya dan sebuah ekor yang juga memiliki
sirip bersayap.
“Ngapain kamu di sini?” tanya
gadis bersayap itu sambil memegangi kedua pundak Fio. Tatapan ketiga matanya
tampak tajam menusuk, sementara ekornya yang bersayap tampak terangkat lurus ke
atas. “Pagi ini kamu harusnya punya kerjaan kan?”
“Lua~! Untunglah kau tidak
apa-apa. Kudengar rumahmu rusak juga gara-gara meteorit semalam!”
Fio menyapa gadis bersayap di
hadapannya itu dengan riang. Dia sama sekali mengabaikan tatapan tajam dari
Lua, dan itu membuat Lua jengkel dan langsung mencubit kedua pipi gadis Quadra
di hadapannya itu.
“Kok malah balas nanya?!” geram
Lua, masih sambil mencubit pipi Fio.
“Mhahaaf~!” balas Fio. “Hahu han
hawahir hengan mhu~!”
Mendengar ucapan Fio, Lua Nusi,
gadis penerbang dari suku Samme itu pun melepaskan pipi temannya. Dia lalu
melangkah mundur sambil berkacak pinggang, sementara Fio masih mengelus-elus
pipinya yang baru saja dicubit.
“Aku baik-baik aja kok. Enggak
perlu khawatir,” ujar Lua. “Tapi memang rumahku jadi retak-retak dan ada
jendela yang pecah. Tapi selain itu aku tidak terluka.”
“Syukurlah kalau begitu,” balas
Fio sambil tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong, meteoritnya sebesar apa sih? Kok
sepertinya kerusakan gara-gara benturannya semalam lumayan parah ya.”
“Enggak besar-besar amat kok,
cuma segini.”
Sambil bicara, Lua mengangkat
sebongkah batu berwarna abu-abu yang sedari tadi dia bawa. Benda itu tidak lain
adalah bongkahan meteorit yang semalam jatuh dan menghasilkan kehebohan di
distrik 8. Sekilas terlihat kilatan metalik di tengah-tengah batu yang berasal
dari luar angkasa itu.
“Coba lihat!” ujar Fio sambil
mengulurkan tangannya.
“Nih,” balas Lua.
Dia pun mengulurkan tangannya,
bermaksud memberikan batu yang dia pegang kepada Fio.
Tapi sebelum benda itu sempat
berpindah tangan, tiba-tiba saja terdengar suara seruan nyaring.
“FIO, LUA~! Ternyata benar kalian
di sini!”
Fio dan Lua pun langsung menoleh
ke arah datangnya suara, yang tidak lain berasal dari Kalista. Ternyata gadis
bertelinga dan berekor anjing itu sudah datang menghampiri kedua temannya. Tapi
sayangnya perbuatannya itu membuat perhatian Fio dan Lua teralih, dan itu
membuat Fio gagal menerima batu meteorit dari Lua.
“Ah!” ucap Fio dengan entengnya
selagi batu angkasa itu jatuh ke lantai beton dan hancur berkeping-keping
dengan diiringi suara nyaring.
Namun begitu batu meteorit itu
hancur, tampak sebuah silinder metalik kusam yang terlihat dipenuhi goresan,
retakan, dan penyok di seluruh permukaannya. Begitu melihat benda misterius
itu, Lua yang tadinya ingin marah pada Fio, jadi justru kebingungan.
“Apa itu?” tanya Lua bingung.
“Silinder logam,” sahut Fio
dengan santai. Dia lalu mengambil tabung itu dari lantai dan mengamatinya.
“Tapi ini apa ya?”
“Ini ada di dalam meteorit
semalam?” tanya Kalista sambil mengambil silinder misterius itu dari tangan
Fio. “Ini jelas tidak alami. Maksudku ... benda ini pastinya dibuat oleh
seseorang ... dan ternyata ini berat juga.”
“Ada isinya enggak ya?” tanya Lua
penasaran. Kini giliran dia yang mengambil benda logam itu dari tangan Kalista,
kemudian mengguncang-guncangkannya. Tidak terdengar suara apa pun dari dalam
benda itu, tapi dia merasa kalau silinder logam yang ada ditangannya itu
menyimpan sesuatu yang berharga.
“Kalau begitu coba dibawa ke
tempat Lavi. Dia kan punya macam-macam peralatan pertukangan,” ujar Fio. Dia
lalu menoleh ke arah Kalista. “Bagaimana, mau ikut?”
Kalista menyilangkan tangannya
sambil menghela nafas panjang.
“Tidak kali ini. Aku masih harus
membantu merawat luka beberapa orang yang semalam jadi korban benda itu,” ujar
gadis dari ras Ajag itu. “Kalian duluan saja, kalau sudah selesai, aku pasti
akan menyusul kalian ke tempat Lavi.”
“Baiklah kalau begitu,” ujar Fio.
Dia lalu menoleh ke arah Lua, kemudian tersenyum jahil. “Mau balapan?”
Lua yang tidak pernah tahan kalau
ditantang itu langsung membentangkan selaput sayap di kedua tangannya. Gadis
itu balas nyengir lebar ke arah Fio.
“Yakin?” ujarnya. “Kalau kau
kalah, kau harus mentraktirku makan siang.”
“Siapa takut~!” balas Fio sambil
tersenyum lebar. Dia pun mengambil ancang-ancang, kemudian berseru kencang.
“MULAI~!”
Bersamaan dengan aba-abanya, Fio
berlari cepat dan melompat dari gedung tempatnya berdiri tadi, sementara itu
Lua langsung melompat tinggi ke udara dan melayang cepat menyusuri celah-celah
bangunan kota Dwipantara.
Tidak lama kemudian sosok
keduanya sudah menghilang dan meninggalkan Kalista sendirian. Dia hanya bisa
berdiri sendirian sembari menghela nafas panjang menyaksikan tingkah laku kedua
temannya yang terlihat kekanakan itu.
****
“Menaaang~!”
Fio berseru kegirangan sambil
mengangkat kedua tangannya ke udara. Sementara itu Lua tampak terbungkuk lesu
karena masih tidak percaya kalau seorang penerbang Samme seperti dirinya bisa
dikalahkan oleh Quadra seperti Fio.
“Enggak bisa dipercaya ...” gumam
Lua sambil menutupi wajahnya. Kemudian berdiri tegak dan menunjuk ke arah Fio.
“Ini pasti kebetulan! Lain kali aku enggak akan kalah!”
“Hehehe .... oke~!” sahut Fio
santai tanpa memperdulikan ucapan Lua. Gadis bermata empat itu lalu membuka
pintu depan kantor pengiriman barang pelabuhan, yang merupakan tempat Lavi
bekerja. “Lavi~~! Ada di tempat enggak~?”
Selama beberapa saat, tidak ada
yang menjawab. Kantor pos pelabuhan udara kota Dwipantara itu sunyi senyap,
sama sekali tidak ada orang di dalam ruangan utama yang tidak terlalu luas itu.
Biar begitu, Fio yakin kalau Lavi
ada di tempat, soalnya dia tadi melihat kalau Corah, Komodo raksasa milik
temannya itu, sedang bergulung malas di bawah pohon besar di samping kantor.
Dan tentu saja kalau ada Corah, pasti ada Lavi.
“Lavi! Di mana kau?” Kali ini Lua
ikut berseru sambil berjalan mengelilingi ruangan yang terlihat cukup
berantakan. Ada banyak kotak-kotak berbagai bentuk, ukuran, dan warna yang
bertumpuk di segala sudut. “Uwah~! Tempat ini masih saja berantakan. Kapan dia
mau benar-benar membereskan tempat ini.”
“Jangan banyak komentar, Lua!”
Tiba-tiba seorang pria bertanduk,
berekor tebal, dan bertubuh tinggi besar masuk ke dalam ruangan. Dia terlihat
menakutkan dengan tato tribal besar yang menutupi sebelah wajahnya, itu belum
ditambah fakta kalau tinggi pria itu nyaris dua meter. Kepalanya hampir
menyentuh langit-langit ruangan tempatnya bekerja itu.
“Lavi~!” sapa Fio dengan riang.
“Hai~! Apa kabar? Sibuk ya?”
Lavi Nahga pun menggaruk
kepalanya sembari melempar dirinya ke kursi besar yang ada di depan Fio dan
Lua.
“Tidak juga. Aku baru selesai
mengantarkan barang ke Kapal Udara yang mau berangkat ke Karthago,” balas pria
dari suku Ata-Modo itu. “Ngomong-ngomong, kenapa kalian kesini?”
Fio menatap Lua sejenak, kemudian
dia mengeluarkan tabung misterius yang tadi ‘keluar’ dari meteorit yang semalam
jatuh dekat rumah Lua. Lavi memandangi tabung itu sejenak sebelum mengambilnya
dari tangan Fio.
“Apa ini?” tanya Lavi bingung
sembari mengamati benda di tangannya itu. “Tua sekali ... Dapat dari mana?”
“Meteorit~!” sahut Fio ringan.
“Jatuhnya seru sekali loh!”
Lavi menghela nafas, lalu menoleh
ke arah Lua.
“Bisa jelaskan?” ujarnya pada
gadis Samme itu.
“Tahu soal meteorit yang jatuh
dekat rumahku semalam?” tanya Lua, dan Lavi pun mengangguk mengiyakan. Melihat
itu, Lua kembali melanjutkan perkataannya. “Nah, itu ada di dalam batu meteorit
yang jatuh itu. Ketahuan waktu Fio enggak sengaja menjatuhkan batu meteoritnya
sampai berantakan. Entah itu apa. Kami kesini karena biasanya kamu kan mengerti
soal barang-barang aneh begini.”
“Lain kali bawakan aku pertanyaan
soal hewan atau tumbuhan aneh, bukan yang seperti ini ...” gerutu Lavi. “Tapi
coba kulihat sebentar.”
Lavi menghela nafas panjang,
kemudian kembali mengamati benda logam di tangannya itu dengan saksama. Dari
wujudnya sekilas, dia tahu kalau benda itu sudah sangat tua. Usianya mungkin
ratusan ... atau bahkan ribuan tahun dan dari kondisinya, benda di tangannya
itu terasa sangat kokoh meskipun sudah rusak cukup berat. Seolah-olah tabung
itu sengaja dirancang untuk bisa bertahan menghadapi berbagai macam benturan
fisik untuk waktu yang sangat lama, dan itu terlihat dari permukaannya yang
dipenuhi goresan, penyok, retak, dan bekas terbakar di sana-sini.
Berhubung Lua bilang kalau benda
misterius itu ditemukan di dalam meteorit yang jatuh ke salah satu distrik kota
Dwipantara semalam, maka itu membuat asal-usul benda logam itu jadi semakin
tidak masuk akal saja.
Cukup lama Lavi mengamati setiap
jengkal dari tabung misterius itu, sebelum akhirnya menyadari kalau dia memang
mengenali benda semacam itu.
“Ini time capsule!” ujarnya
tiba-tiba sambil mengangkat tabung logam di tangannya itu tinggi-tinggi. “Dan
ini bukan time capsule biasa. Ini Orbital Time Capsule! Astaga! Kupikir cuma
dongeng saja! Ternyata benar-benar ada!”
Mendengar penuturan Lavi, Fio dan
Lua pun jadi semakin penasaran.
“Benarkah?!” seru Fio kegirangan
sambil duduk di samping Lavi, kemudian dengan polosnya bertanya. “Time capsule
itu apa?”
Spontan saja Lua menggetok kepala
Fio dan membuat gadis itu mengaduh protes.
“Masak enggak tahu?” tanya Lua.
“Itu loh! Wadah untuk menyimpan pesan atau benda yang kemudian dikubur untuk
dibuka lagi suatu saat nanti.”
Fio pun menepukkan tangannya.
“Ah! Yang itu!” serunya. “Surat
dari masa lalu ya!”
“Bisa dibilang begitu,” celetuk
Lavi. “Tapi yang ini istimewa, karena yang ini tidak dikubur seperti kata Lua
tadi. Kapsul semacam ini diluncurkan ke orbit Bumi, sebelum akhirnya jatuh lagi
karena tarikan gravitasi setelah beberapa ratus ... atau mungkin ... beberapa
ribu tahun kemudian.”
Fio dan Lua kini mengamati benda
di tangan Lavi itu dengan tatapan tidak percaya. Mereka memang pernah dengar
cerita kalau di masa lalu, ada spesies berakal yang hidup di Bumi dan konon
memiliki kemampuan untuk menjelajah angkasa.
Nama dan peradaban dari spesies
itu memang sudah lama hilang dari muka Bumi, tapi berbagai macam peninggalan
mereka masih ada sampai sekarang.
Termasuk sebagian besar teknologi
yang dipakai sehari-hari di kota Dwipantara.
“Kalau itu emang time capsule?
Artinya ada isinya kan?” tanya Fio penasaran. “Bisa dibuka enggak?”
Lavi mengamati time capsule di
tangannya itu, sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan.
“Bisa,” ujarnya singkat. Dia lalu
berdiri dan memberi tanda bagi Fio dan Lua untuk mengikutinya. “Aku punya
beberapa alat pertukangan di gudang paket. Mudah-mudahan bisa dipakai untuk
membuka kapsul ini.”
“Semoga saja begitu,” ujar Lua.
“Yap~!” timpal Fio.
****
Meskipun butuh waktu cukup lama,
dan ditambah sedikit sumpah serapah, pada akhirnya Lavi berhasil membuka time
capsule yang ditemukan Lua itu.
Di luar dugaannya, meskipun
bentuknya sudah agak tidak karuan, tapi benda logam itu masih dengan gigih
bertahan dari segala usaha Lavi untuk mengeluarkan isinya. Tadinya Lavi ingin
menggunakan sebuah Progressive Heat Cutter untuk membuka paksa time capsule
itu, tapi Fio langsung mencegahnya karena takut isinya ikut rusak.
Setelah debat yang sempat bikin Lua
uring-uringan, akhirnya Lavi mengalah dan terpaksa alat-alat pertukangan biasa,
seperti palu, tang, obeng, pengungkit hidrolik, dan gergaji intan.
“Nah, sekarang kita lihat apa
isinya.”
Lavi berkata sambil menyeka
keringat dari dahinya. Dia pun menuangkan isi time capsule yang berhasil
dibukanya itu ke atas meja.
Dengan segera, beberapa keping
benda mirip kristal kuarsa dan beberapa lembar kertas pun langsung berserakan
di hadapan Lavi, Lua, dan Fio.
Melihat benda-benda tersebut,
keempat mata Fio langsung bersinar kegirangan, sementara Lua bersiul kagum.
Meskipun kapsul logam yang ditemukan Lua itu sudah tidak seratus persen utuh,
tapi ternyata isinya tidak tersentuh sama sekali.
“Ini apa?” Fio bertanya sambil
mengambil sebutir kristal bening seukuran ibu jarinya. “Perhiasan?”
“Enggak mungkin ah,” bantah Lua.
“Siapa orang gila yang mau memasukkan perhiasan ke kapsul yang diluncurkan ke
orbit. Pastinya benda-benda ini lebih berharga dari itu.”
“Ini sepertinya Crystalline
Memory,” ujar Lavi sambil memainkan kristal bening yang keluar dari time
capsule itu. “Tapi setahuku benda semacam itu cuma ada dalam dongeng saja.
Kalau pun benar, toh isinya tidak mungkin bisa kita lihat. Teknologi untuk
membacanya sudah lama sekali hilang.”
“Sayang sekali deh,” ujar Lua
sambil meletakkan kembali kristal yang dipegangnya. Kemudian dia menoleh ke
arah Fio dan menyadari gadis Quadra itu sedang terpaku membaca salah satu
lembaran kertas yang ikut disimpan dalam time capsule. “Apa isinya?”
Fio perlahan-lahan menoleh ke arah
Lua.
“Ini ...” Dia pun membalik
lembaran kertas yang dia pegang itu. “... ini surat.”
“Heh? Buat siapa?” tanya Lua
penasaran.
“Buat kita,” sahut Fio. “Buat
generasi masa depan ... dan itu berarti kita kan?”
Mendengar itu, Lua pun bergegas
menghampiri Fio. Dia lalu menyadari kalau surat itu ditulis dengan bahasa kuno
yang hanya diingat oleh segelintir orang saja. Tapi sepertinya Fio bisa membaca
tulisan itu.
“Aku enggak bisa baca,” ucap Lua
dengan nada jengkel.
“Aku juga enggak,” timpal Lavi,
yang kini ikut penasaran dengan isi surat yang dipegang Fio itu. “Bacakan deh.”
Fio memandang ke arah kedua
temannya bergantian, kemudian menarik nafas panjang sebelum membaca isi surat
dari masa lalu itu.
“Kepada generasi masa depan.
Halo. Apa kabar? Semoga kalian baik-baik saja. Di sini kami baik-baik saja.”
Fio berhenti sejenak untuk
mengambil nafas, kemudian melanjutkan membaca surat itu.
“Ngomong-ngomong, salam kenal,
namaku Maria, Generasi Baru yang tinggal di kota para robot, Bravaga. Ah,
Bravaga itu kota besar yang di tengah-tengahnya ada menara besar tempat Mother
berada. Mudah-mudahan kota kami ini masih ada di jaman kalian, jadi kalian bisa
berkunjung ke sana suatu saat nanti.”
Fio berhenti sejenak dan
memandang ke arah Lua dan Lavi bergantian. Dia tidak yakin kedua temannya itu
mengenal nama kota yang disebutkan dalam surat itu atau tidak. Yang jelas, suku
Quadra seperti dirinya mengenal kota itu dalam nyanyian dan dongeng kuno yang
sudah berusia ratusan tahun.
Konon di kota yang bernama
Bravaga itu, hidup berbagai jenis mesin pintar yang cara hidupnya mirip sekali
dengan Fio, Lua, atau Lavi.
“Lanjutkan,” ujar Lua sambil
menyentuh bahu Fio.
Fio pun kembali membaca surat
dari seseorang yang bernama Maria itu.
“Surat ini aku tujukan ke
generasi yang datang setelahku, ke mereka yang hidup jauh ... jauuh di masa
depan nanti. Soalnya kalau yang dibilang Dokter itu benar, kapsul ini baru
bakalan jatuh lagi setelah beberapa ribu tahun. Dan ... ah ... semoga kalian
masih bisa baca isi surat ini.”
“Bagaimana kondisi Bumi di masa
kalian? Semoga sudah jauh lebih ramah dari jaman kami ya, soalnya Kabut
Elektrik dan hujan meteor masih suka bikin kacau sih. Lalu ... apakah anak-anak
Starchild sudah kembali dari perjalanan panjang mereka? Kalau sudah, titip
salam untuk mereka ya, dan semoga mereka juga sehat-sehat saja.”
Fio berhenti lagi untuk kesekian
kalinya, kemudian memandangi Lavi dan Lua. Kedua temannya itu lalu mengangguk
dan memberi tanda baginya untuk melanjutkan membaca surat dari masa lalu itu.
“Dan untuk generasi masa depan
yang membaca surat ini, semoga kebahagiaan selalu bersama kalian, seperti
halnya kebahagiaan selalu bersama kami saat ini ... dan ... sampai jumpa lagi
lain waktu. Tertanda. Maria.”
Selama beberapa menit, tidak ada
yang bicara. Fio, Lua, dan Lavi, ketiganya terdiam setelah mendengar isi surat
dari dalam orbital time capsule yang ditemukan Lua itu. Masing-masing tenggelam
dalam pikiran masing-masing.
Mereka masih tidak percaya kalau
surat yang baru saja selesai dibaca Fio itu berasal dari seseorang bernama
Maria yang hidup di kota yang hanya pernah mereka dengar dalam legenda saja.
Bravaga.
Kota para mesin itu konon
merupakan tempat awal dari kebangkitan kembali spesies-spesies berakal yang
kemudian berkembang menjadi berbagai macam ras seperti Quadra, Samme, dan
Ata-Modo.
Awalnya baik Fio, Lua, maupun
Lavi tidak ada yang yakin kalau kota itu memang ada, bukan sekedar dongeng
belaka. Namun hari ini mereka pun tahu kalau kota legendaris bernama Bravaga
itu memang benar-benar pernah ada. Sayangnya permukaan Bumi saat ini sepenuhnya
dikuasai oleh Travelling Tree serta kabut tipis penyebab distorsi Ruang-Waktu
yang bisa muncul sewaktu-waktu.
Perjalanan melintasi permukaan
bumi adalah pekerjaan yang sangat berbahaya dan hanya dilakukan segelintir suku
pengembara, seperti ras Quadra. Sebagian lainnya menjelajah bumi melalui
langit, entah dengan terbang menggunakan sayap sendiri seperti ras Samme, atau
dengan menggunakan mesin terbang.
“Ini benar-benar luar biasa ...”
Fio akhirnya berkomentar sambil
membalikkan lembaran mirip kertas yang baru saja dia baca dan gadis Quadra itu
pun terdiam.
Di balik lembaran itu, tercetak
sebuah foto yang menunjukkan sosok-sosok mesin yang berdiri berdampingan. Dari
semua mesin yang ada di foto itu, terdapat seorang gadis berambut hitam panjang
dan bermata hijau terang, yang tampak sedang tersenyum lebar.
Meskipun tidak ada keterangan apa
pun, tapi Fio entah bagaimana tahu kalau gadis yang tersenyum itu adalah Maria,
orang yang menulis surat yang ditujukan pada dirinya dan generasinya itu.
“Generasi masa lalu.”
“Robot?”
Lua dan Lavi bicara bersamaan,
kemudian keduanya saling pandang dan kembali terdiam. Sementara itu Fio dengan
lembut meletakkan lembaran surat yang dia baca tadi, kemudian memandang ke arah
kedua temannya.
Sambil mengembangkan senyum
lebar, gadis Quadra itu lalu merangkul Lua dan Lavi secara tiba-tiba dan
membuat kedua temannya itu langsung salah tingkah. Wajah Lua langsung memerah,
sementara Lavi mendadak berdiri kaku seperti patung.
Dear Maria, terima kasih atas suratnya. Di sini kami baik-baik saja dan
selalu bahagia.
Salam, Fio.
****
~FIN?~
red_rackham 2017
Comments