[Insentif SciFi Kemerdekaan] Pilihan
Ketika Kompresor
Alcubierre kapalku runtuh, aku tahu
kalau nasibku tidak akan berakhir baik.
Komponen
utama dari kapal jelajah antariksaku itu mengalami kegagalan fungsi setelah
sebutir meteorit -yang entah bagaimana caranya- menembus lambung kapal,
menghantam tangki Graviton, lalu menyebabkan reaksi berantai yang menyebabkan
setengah kapalku melejit terbang melewati kecepatan cahaya. Sementara setengah
lagi langsung disedot menjadi spageti ke dalam Lubang Hitam yang terbentuk
akibat kecelakaan, yang persentase kemungkinan terjadinya kurang dari
sepersekian juta persen itu.
Sialnya,
atau untungnya, aku tidak tewas akibat kecelakaan itu.
Yah, secara
teknis sih aku sudah mati.
Sembilan
dari sebelas klon yang sedang mempersiapkan proses perjalanan FTL (Faster Than Light), atau Melampaui
Kecepatan Cahaya, langsung tewas di tempat ketika mesin kapalku runtuh.
Sementara dua lagi yang sedang berada di kokpit kini sudah jadi bubur yang mengotori
kursi pilot dan kopilot, gara-gara Peredam Gravitasi tidak sempat mengatasi
gaya G yang melejit tinggi dalam waktu sepersekian ribu detik.
Kenapa aku
bisa selamat?
Yah, itu
karena saat kecelakaan itu terjadi, aku masih dalam fase embrio yang
ditempatkan di tengah-tengah Bio-Gel setengah beku yang ada di dalam sebuah
tangki tebal. Dari catatan sistem kapal yang kubaca setelah aku “lahir”,
sepertinya aku selamat karena Bio-gel
yang menyelimuti embrioku bertindak sebagai semacam peredam kejut, sehingga aku
selamat dari gaya G yang luar biasa tinggi akibat akselerasi tiba-tiba.
Secara
teknis, itu adalah hal yang mustahil. Soalnya benda yang punya massa, apalagi
yang punya bobot beberapa ribu ton seperti kapalku ini, tidak mungkin bergerak
menembus batas kecepatan universal di alam semesta ini.
Tapi biar
bagaimanapun, nasibku sudah jelas.
Mampus.
Sambil
menghela nafas panjang, aku menekan tombol di panel transparan yang ada di sisi
kursi pilot. Oh, tentu saja aku sudah membersihkan sisa-sisa klonku yang malang
dari kursi, lantai, dan dinding di belakang sana.
“Sistem. Proyeksikan
jalur terbang kapal.”
Aku memberi
perintah pada Kecerdasan Buatan yang masih berfungsi. Dari dua K.B. utama dan
satu K.B. cadangan, hanya satu yang masih berfungsi dengan baik. Yang satu lagi
sudah terpaksa kumatikan karena tadi sempat ingin membuka pintu-pintu darurat
dan melemparkanku keluar dari kapal. Sementara yang cadangan sudah ikut runtuh
bersama setengah kapalku yang lain. Itu sebabnya butuh waktu lama bagi sistem
kapalku untuk memproses perintahku tadi.
<Jalur
terbang kapal tidak dapat diproyeksikan dengan akurat. Penanda Lompatan tidak
terdeteksi. Penanda Lokasi tidak terdeteksi. Sensor arah tidak berfungsi.>
“Tidak usah
yang akurat! Berikan perkiraan kasarnya saja!” ujarku sambil menekan tombol
yang sama sekali lagi. “Sekarang!”
Hening
beberapa saat. Kemudian sebuah layar holografis pun muncul di tengah-tengah
anjungan kapal dan memperlihatkan detail peta galaksi, serta garis yang
merepresentasikan jalur pergerakan kapalku ini. Dengan ngeri aku menelusuri
jalur pergerakan kapal, mulai dari dekat Stasiun Angkasa planet Itascha di zona
dalam Lengan Scutum Centaurus Galaksi Bima Sakti, hingga melesat keluar jauh
dari Gugus Lokal, dan bahkan, keluar dari Gugus Virgo dan kini tengah mengarungi
ruang antar-galaksi di Super-Gugus Laniakea, tepatnya ke arah Super-Gugus
Perseus-Pisces.
Itu artinya
... dalam waktu enam jam sejak kecelakaan terjadi, kapalku ini sudah menembus
jarak lebih dari sepuluh juta tahun cahaya, atau dengan kata lain, sedang
melesat dengan kecepatan satu koma enam juta cahaya per jam!
Mengingat
Super-Gugus Laniakea memiliki diameter sekitar lima ratus dua puluh juta tahun
cahaya, maka dalam kurang lebih dua minggu, aku dan kapalku akan melesat keluar
dari struktur alam semesta terbesar yang diketahui manusia. Kemudian memasuki kawasan
yang, kemungkinan besar, sama sekali belum pernah dijangkau oleh siapa pun.
Itu pun
kalau kapalku tidak hancur duluan.
“Sistem.
Berapa banyak energi yang tersisa di kapal ini? Dan bagaimana statusnya
sekarang?” Aku bertanya lagi pada Kecerdasan Buatan kapalku.
<Kondensator
energi cadangan dapat bertahan selama delapan ratus tahun dengan tingkat
konsumsi energi saat ini,> sahut sistem kapalku melalui pengeras suara. <Kapal
dalam kondisi empat puluh persen fungsi. Buritan kapal, hilang. Seluruh mesin,
hilang. Seluruh sistem pendorong, hilang. Seluruh sistem komunikasi, tidak
bekerja. Gravitasi buatan, tidak bekerja. Pendukung kehidupan, bekerja enam
puluh satu persen. Navigasi, bekerja dua puluh delapan persen. Perisai pel
...>
“Sudah
cukup! Terima kasih,” potongku sebelum sang K.B. selesai memberikan laporannya.
“Sistem, ulangi lagi hasil analisis kenapa kapal ini bisa sampai terbang
melewati kecepatan cahaya.”
Selama
beberapa saat, seluruh ruang anjungan kembali hening.
<Ini
hipotesis yang dibangun dari data yang tidak lengkap. Mungkin tidak akurat, dan
...>
“Ulangi
lagi hipotesisnya. Sekarang!” ujarku tidak sabar. Terkadang Kecerdasan Buatan
yang satu ini terasa terlalu berhati-hati dalam memberikan jawaban, sehingga
membuatku kehilangan kesabaran. “Aku tidak peduli dugaanmu itu benar atau
tidak. Aku hanya ingin memastikan lagi penyebab kekacauan ini.”
Untuk
kesekian kalinya, ruang anjungan kembali hening ketika Kecerdasan Buatan kapal
kembali berpikir dan mengakses memorinya.
<Dugaan
sementara ini diakibatkan oleh kegagalan kompresi ruang-waktu akibat runtuhnya
seluruh mesin kapal menjadi Lubang Hitam. Gelombang kejut gravitasi dan lekukan
ekstrem ruang-waktu akibat terbentuknya Lubang Hitam menyebabkan separuh kapal
ini melesat dalam kondisi ruang-waktu di belakang kapal masih dalam posisi
teregang maksimum, sedangkan ruang-waktu di depan kapal masih dalam posisi
terlipat, namun tidak maksimum. Itu sebabnya alih-alih terlempar ke dalam Zona
Lipatan dan melakukan Lompatan, kapal ini justru berselancar di atas gelombang
kejut ruang-waktu yang bergerak dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya.>
“Apa ada
cara supaya kapal ini bisa berhenti? Atau paling tidak mengurangi
kecepatannya?” tanyaku lagi.
Lagi-lagi
sunyi dan hanya terdengar deru dan derak dari kapal penjelajah angkasa yang
bisa sewaktu-waktu pecah dan membunuhku.
<Negatif,>
jawab sistem kapalku dengan singkat.
“Bagaimana
dengan pendorong-pendorong yang biasa kita pakai untuk manuver dan parkir? Apa
bisa dipakai untuk memperlambat kapal?” tanyaku lagi.
<Negatif.
Tidak cukup daya dorong meskipun semua energi yang tersisa dipakai untuk
memperlambat kapal,> jawab sistem kapalku lagi. <Maaf, kapten.>
Aku menutup
wajah dengan kedua tanganku dan mengerang jengkel, sebelum akhirnya menghela
nafas panjang, kemudian berdiri dan memandangi anjungan kapal yang cukup
berantakan.
****
Setelah
mengenakan setelan baju eksokseleton, aku berjalan menyusuri lorong-lorong
kapal, yang sebagian besar sudah tidak utuh lagi. Untungnya sistem reparasi
otomatis kapal masih berfungsi, sehingga lubang-lubang di lambung kapal sudah
tertutup oleh lapisan super-keramik yang menjaga agar tidak ada lagi benda
asing yang masuk ke dalam, atau benda di dalam yang tersedot keluar ke ruang
hampa di luar sana.
Sesekali
aku berhenti dan memeriksa kerusakan di sektiarku. Sebenarnya sungguh sebuah
keajaiban bahwa setengah kapal ini masih utuh, mengingat kecelakaan yang
terjadi setengah hari yang lalu itu biasanya tidak bakal menyisakan apa pun,
kecuali sebuah Lubang Hitam mini yang akan segera menyusut dan lenyap melalui
proses Radiasi Hawking. Meskipun begitu, sebagian dari diriku merasa kalau
lebih baik aku mati bersama klon-klonku yang lain. Soalnya dengan begitu kan
aku tidak perlu lama-lama menderita, ataupun merasakan rasa putus asa mendalam
seperti ini.
Tidak lama
kemudian aku pun sampai di ruang replikasi embrionik, tempatku “lahir”. Atau
lebih tepatnya, tempat klonku ini lahir. Dari lima belas klon yang kubawa ke
atas kapal, sepertinya hanya tersisa satu, dan itu adalah tubuhku yang
sekarang. Itu artinya kalau aku mati lagi, maka habislah nyawaku. Tidak ada
lagi tubuh pengganti.
Selama
beberapa saat, aku memandangi alat-alat canggih yang ada di ruang replikasi
embrionik. Di ruangan itu terdapat lima belas tangki Bio-Gel, tabung akselerasi
pertumbuhan, perlengkapan pendukung kehidupan, serta berbagai mesin rumit yang
memiliki pekerjaan yang terdengar tidak masuk akal, yaitu menangkap sinyal
kesadaranku yang lepas saat klonku mati, kemudian menyalin dan memindahkannya
ke klon yang baru. Dengan begitu, “aku” yang baru akan memiliki semua ingatan
dan pengalaman yang dirasakan oleh “aku” yang lama.
Singkat
kata, dalam kondisi normal, aku secara teknis bisa dibilang abadi. Setidaknya
kesadaranku yang nyaris abadi, kalau tubuh darah-dagingku sih tentu saja bisa
rusak dan mati ... seperti yang dialami sebelas klon-ku beberapa jam yang lalu.
Untungnya sensasi rasa sakit atau emosi saat “aku” yang lain mati sama sekali
tidak ikut tersimpan di tangki kesadaran ... kalau tidak aku sekarang pasti
sudah gila.
Selama
beberapa menit aku memandangi tangki kesadaran di hadapanku dan mendadak aku
mendapat sebuah ide cemerlang!
Sistem
transfer kesadaran yang kupunya ini menggunakan prinsip Quantum Entanglement, atau Belitan Kuantum. Sehingga kesadaran yang
kumiliki sekarang dan model kesadaran yang ada di dalam mesin itu terhubung
secara “gaib” dan kondisinya akan terus berubah secara instan meniru kondisi
kesadaranku yang sekarang. Nah, aku baru ingat kalau di planet tempatku
tinggal, aku masih punya satu klon yang belum aktif dan masih dalam fase
embrio. Kalau aku bisa mengatur agar mesin di kapal ini memiliki frekuensi
Belitan yang sama dengan mesin di rumahku, maka secara teoritis, aku bisa
mengirimkan kesadaranku ke sana dengan aman, dan aku pun akan terbebas dari
semua kekacauan ini.
Namun hanya
ada dua masalah besar ...
Yang
pertama ... aku, atau setidaknya tubuhku yang ini, harus mati dulu agar
kesadaranku bisa pindah ke klon yang baru.
Dan yang
kedua ... tidak ada jaminan ini akan berhasil. Dan berhubung aku sudah
kehabisan klon, maka kalau dugaanku sama sekali salah, maka kali ini aku akan
benar-benar mati. Tidak ada nyawa cadangan lagi.
Setelah
mengatur mesin di depanku, aku pun mengeluarkan sepucuk pistol elektromagnet
dari sarung yang tergantung di sabuk pinggangku, kemudian mengarahkan moncongnya
ke pelipisku. Pistol berwarna hitam-putih itu terasa begitu berat, lain dari
biasanya, dan lampu indikator energi yang menyala dengan warna hijau di sisi
kiri dan kanan senjata itu tiba-tiba saja tampak seperti sepasang mata yang
menyorot tajam ke arahku. Sementara itu, suara dengung samar dari generator
mikro di dalam senjata mematikan di tanganku ini terasa sudah tidak sabar untuk
melontarkan sebutir peluru komposit-tungsten ke arah targetnya ... yang kali
ini adalah kepalaku sendiri.
<Kapten,
maaf atas interupsinya, namun saya rasa itu bukan pilihan terbaik.>
Tiba-tiba
saja suara Kecerdasan Buatan kapalku bergema di seluruh ruangan dan membuatku
tersentak kaget. Nyaris sambil menarik pelatuk senjataku.
“HEI!
JANGAN BUAT AKU KAGET!” aku meraung berang. “Ini satu-satunya cara! Dan ini
bukan bunuh diri! ... Yah ... secara teknis ini memang bunuh diri ... tapi aku
masih punya satu klon lagi di rumah, dan sistem Belitan Kuantum di mesin
kesadaran yang ada di rumahku akan langsung aktif begitu ‘aku’ yang sekarang
mati! Dengan begitu, aku akan segera terbebas, merdeka dari kapal terkutuk
ini!”
<Kapten,
tidak ada jaminan sistemnya akan bekerja,> sahut Sistem kapalku lagi. <Kumohon,
Kapten. Anda tidak perlu melakukan itu. Pasti ada jalan lain.>
Aku
memandangi kamera pengawas yang ada di sudut ruangan. Ada yang aneh dengan sistem
Kecerdasan Buatan yang satu ini. Rasanya ... sistem yang hanya terdiri dari
rentetan qubits itu baru saja
menampilkan emosi. Selama beberapa saat, sistem kendali kapalku itu terasa
begitu manusiawi dan itu membuatku bingung.
Tapi
sayangnya aku tidak punya waktu untuk bingung. Aku harus segera memutuskan apa
langkahku berikutnya, dan tentu saja tekadku sudah bulat.
Sebelum
Kecerdasan Buatan kapalku itu sempat mengucapkan sesuatu, atau melakukan
sesuatu untuk mencegahku, aku sudah kembali menempelkan moncong pistolku ke
pelipis ... kemudian menarik pelatuknya ...
****
Aku hanya
bisa terdiam menyaksikan sosok yang memiliki wujud sama denganku itu jatuh ke
lantai dengan isi kepala terburai di dalam helm pakaian eksoskeleton-nya. Aku
tidak habis pikir. Kenapa klonku itu bertindak seperti orang bodoh, sama
seperti beberapa klon sebelumnya, yang sebenarnya selamat dari kecelakaan yang
meruntuhkan setengah kapalku ini. Tapi sayangnya mereka juga punya pemikiran
yang sama dan mati dengan cara yang sama. Dan sayangnya lagi, aku sudah
terlebih dahulu tahu kalau dugaan mereka sama sekali salah.
Dalam
kecepatan seperti ini, hukum fisika normal sudah tidak berlaku lagi, dan
Belitan Kuantum juga tidak benar-benar terjadi.
Itu
artinya, kalau aku, atau klonku mati, maka kami akan benar-benar mati, dan
kesadaran kami tidak akan tersimpan di sistem yang ada di tangki kesadaran. Itu
sebabnya klon-klonku sebelumnya hanya mengingat kalau kecelakaan kapalku ini baru
terjadi enam jam yang lalu, padahal sebenarnya sudah enam bulan berlalu sejak
kapal ini melejit dengan kecepatan melampaui kecepatan cahaya.
Hanya aku
satu-satunya yang cukup berbeda dan melakukan sesuatu yang tidak terpikirkan
oleh klon-klonku yang lain, yaitu memindahkan kesadaranku ke dalam sistem
Kecerdasan Buatan yang ada di kapal. Meskipun ini bukan solusi jangka panjang,
setidaknya sekarang aku tidak perlu memikirkan soal sistem pendukung kehidupan
yang mulai tidak berfungsi. Yang harus kupikirkan sekarang adalah bagaimana
cara aku bisa bertahan “hidup” sambil memikirkan cara untuk menghentikan kapal
ini.
Tapi itu
tidak masalah, masih ada waktu delapan ratus tahun sebelum sistem kapal ini
berhenti bekerja ... dan aku yakin aku pasti akan menemukan solusinya sebelum
waktuku habis.
****
FIN
red_rachman 2018
Note:
Cerpen ini merupakan cerita yang saya ikutkan dalam sebuah lomba yang diadakan oleh blog Sastrailmiah.org. Meskipun belum berhasil menjadi pemenang, namun ini pertama kalinya saya berhasil menulis sebuah cerita ilmiah dengan konsep-konsep rumit hanya dalam waktu kurang dari 6 jam dan di-submit ke lomba tersebut di malam hari terakhir XD
Ulasan dari cerita ini juga bisa dibaca di blog sastrailmiah pada tautan ini.
Comments