Yurika
Yurika
Rasa bersalah selalu menghantuiku setiap kali aku berdiri di depan pintu ini.
Entah sudah berapa lama aku berdiri disini.
Mungkin sudah setengah jam.
Aku hampir tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya kali ini. Aku sudah terlalu banyak berbohong padanya. Entah berapa banyak lagi kata-kata manis yang harus kuucapkan untuk menghibur dan meyakinkan dirinya.
Aku tidak tahu.
Ayo....lakukan saja tugasmu seperti biasa!
Aku bergumam untuk menenangkan diri, lalu menarik nafas panjang. Setelah merasa cukup tenang, aku meletakkan telapak tanganku di atas biometric sensor dan membiarkan benda itu memastikan identitas diriku. Begitu aksesku diterima, pintu logam di depanku menggeser terbuka.
“Ah! Profesor!”
Begitu pintu itu terbuka, aku langsung disambut oleh sapaan ramah dari seorang anak perempuan.
“Halo Yurika. Bagaimana kondisimu pagi ini?” tanyaku dengan nada ramah yang dibuat-buat.
Anak perempuan itu lalu tersenyum manis diatas sofa empuknya.
“Uhm....kurasa cukup baik profesor. Hanya sedikit pusing. Tapi tidak apa-apa. Biasanya juga akan segera hilang kalau aku minum obat yang diberikan profesor.”
Aku hanya tersenyum tipis ketika mendengar ucapannya.
Bagaimana bisa dia mempercayaiku begitu saja? Aku tidak tahu apakah dia memang sepolos itu, atau dia selalu menyembunyikan rasa curiganya dariku dibalik kedua matanya yang berwarna biru cerah itu.
“Wah. Apa itu?” tanyaku ketika menyadari apa yang sedang dilakukan oleh gadis kecil itu.
Dengan mata berbinar-binar gadis itu langsung bangkit dari sofanya dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
“Ini adalah hasil karyaku hari ini profesor! Lihatlah! Cantik bukan?”
Aku tersenyum sekaligus merasa bersalah. Gadis itu telah membuat sebuah karangan bunga yang indah dari tumpukan mainan bunga plastik yang kuberikan padanya 3 hari yang lalu.
“Cantik sekali Yurika,” pujiku sambil berjalan mendekat dan mengamati karangan bunga itu.
Benar-benar cantik....gumamku dalam hati.
Ketika aku sedang sibuk mengamati karangan bunga buatan Yurika. Tiba-tiba anak itu menarik dan memegangi sebelah tanganku. Aku langsung menoleh dan menatap ke arahnya.
“Profesor. Bisa tidak hari ini kita berjalan-jalan ke taman?” pinta gadis itu dengan nada memelas.
Aku langsung tersenyum dan mengelus kepalanya.
“Tentu saja. Kenapa tidak?” sahutku.
Yurika langsung bersorak gembira dan berlari menjauh. Gadis itu lalu membuka lemari pakaiannya dan mengambil sebuah topi lebar berwarna biru cerah. Topi itu juga merupakan pemberianku saat dia pertama kali masuk ke tempat ini.
“Ayo profesor! Kita berangkat sekarang!” seru Yurika sambil menunjuk ke arah pintu.
Akupun tersenyum dan berjalan menghampiri gadis kecil itu.
Tuhan memang tidak adil. Kenapa gadis periang dan cerdas seperti dia harus dikurung di dalam tempat mengerikan ini.
Tempat dimana dia akan menghabiskan seluruh hidupnya, dan tempat dimana hidupnya itu akan berakhir dengan tragis. Sama seperti lebih dari 200 orang anak lain seperti dirinya.
***
“Profesor! Ini sudah batasnya! Kita tidak bisa terus!”
“Lupakan batas! Kalau kita tidak bisa menghasilkan apapun hari ini, habis sudah proyek penelitian ini. Lanjutkan!”
“Tapi profesor....”
Aku memotong dan mengabaikan peringatan asisten penelitianku itu, lalu memberikan perintah selanjutnya.
“Lanjutkan! Lompati Protokol no.12 dan langsung lanjut ke Protokol no.18. Stabilkan dulu biorithym subjek sebelum masuk ke Fase Heigermann. Pastikan rasio gelombang otaknya tidak keluar dari Rasio Herman-Tyndall! Lakukan sekarang!”
Aku langsung menepuk bahu asisten penelitiku dengan keras. Dia langsung mengangguk dan mulai mengetikkan perintah-perintah matematis di komputernya. Teman-temannya langsung mengikutinya dan mulai mengetikkan perintah, atau membaca data-data dan informasi dari instrumen-instrumen canggih di depan mereka.
Aku lalu menatap ke arah para subjek penelitian di bawah sana. Rasanya salah sekali kalau aku berdiri disini seperti seorang dewa yang sedang mengamati orang-orang dibawah sana yang menderita. Tapi itulah yang sedang kulakukan.
Aku berdiri di ruangan kontrol ini, sementara dibawah sana, ada 4 orang anak kecil yang masing-masing tubuhnya dihubungkan dengan berbagai macam kabel dan selang. Kepala mereka juga ditutupi sebuah helm yang dilengkapi sensor-sensor canggih yang hanya bisa ditemukan di tempat ini. Tangan dan kaki mereka diikat erat dengan belenggu titanium untuk memastikan mereka tidak berbuat macam-macam ditengah eksperimen.
Ya. Yang kulakukan disini saat ini adalah sebuah eksperimen manusia yang sangat tidak manusiawi.
Aku tahu itu.
Aku sadar itu.
Tapi aku tetap tidak bisa berhenti melakukannya. Ada 2 milyar nyawa yang kupertaruhkan dalam penelitian ini. Gagal atau berhasilnya apapun yang kami lakukan sekarang bisa sangat menentukan apakah ras kami akan bertahan, atau punah. Oleh karena itu...aku tidak boleh gagal.
“Biorithym subjek stabil! Status organ-organ vital berada di bawah batas kritis. Semua normal! Rasio gelombang otak 1:1.34...rasionya berada dalam rasio normal Herman-Tyndall. Subjek baru saja memasuki Fase Heigermann tingkat pertama!”
“Mulai!” ujarku dengan nada pahit.
“Siap! Mulai!”
Asistenku langsung mengulangi sambil mendorong sebuah tuas di panel kontrol di depannya. Beberapa saat kemudian terdengar suara dengungan mesin.
Dengan jantung berdebar tidak karuan, aku mengamati informasi dan data-data yang terpampang di layar holografis di depanku.
Ayolah.....biarkan percobaan yang ini berhasil!
“Profesor...sepertinya kita akan berhasil kali ini!”
Semoga saja......
Sepuluh menit berlalu.
Dua puluh menit berlalu.
Empat puluh menit berlalu.....dan belum ada masalah. Sepertinya kali ini kami berhasil!
Baru saja aku merasa kalau percobaan kami pada akhirnya akan membuahkan hasil yang menggembirakan, tiba-tiba saja alarm peringatan berbunyi. Lampu di dalam ruang kontrol langsung padam dan digantikan lampu berwarna merah.
“Apa yang terjadi?!” tanyaku pada salah satu asistenku.
“Status organ vital subjek no.213 anjlok! Rasio gelombang otak subjek no. 215 berada diluar batas normal, ini berbahaya! Profesor?!”
“Subjek no.217 baru saja mengalami kejang! Biorithym-nya tidak beraturan. Ini reaksi penolakan, profesor!! Kita harus berhenti!”
Aku langsung menghantam kaca tebal di depanku dengan jengkel.
Gagal lagi! Ini sudah yang kesekian ratus kalinya kami gagal! Sialan!!!
“Profesor!”
Aku langsung berjalan ke arah panel kontrol salah seorang asistenku dan menekan sebuah tombol. Terdengar suara desis diiringi derak mengerikan dari arah ruang percobaan. Aku tidak berani melihat ke bawah karena aku tahu apa yang sedang terjadi.
Setiap kali kami gagal melakukan percobaan, kami harus memusnahkan subjek penelitian yang bermasalah. Aku tahu ini sangat kejam dan tidak manusiawi. Dengan seenaknya aku....kami telah menghabisi nyawa anak-anak itu setelah melakukan banyak hal tidak manusiawi lainnya.
Tapi tidak ada pilihan lain.
Kalau mereka dibiarkan hidup, mereka tidak akan hidup lama. Terlebih lagi mereka akan menimbulkan masalah serius kalau dibiarkan hidup setelah kami gagal melakukan eksperimen pada mereka. Otak mereka yang baru saja kami evolusikan secara paksa bisa mengakibatkan perubahan tidak terkendali pada tubuh mereka. Membuat mereka berubah jadi monster, atau sekedar menjadi onggokan makhluk hidup tanpa wujud yang jelas.
“Purging telah selesai profesor.....sepertinya kita gagal lagi....”
Aku terdiam begitu mendengar ucapan asistenku itu. Dengan ini, artinya penelitian kami selesai sampai disini. Dukungan terhadap penelitian kami akan dicabut dan dialihkan ke peneliti lainnya. Aku menggertakkan gigiku lalu bertanya pada salah satu asistenku.
“Bagaimana dengan Yurika......maksudku....subjek no. 149?”
Perlahan-lahan asistenku itu menoleh dan menelan ludahnya.
“Subjek no. 149 selamat....biorithym dan organ-organ vitalnya stabil. Rasio gelombang otaknya juga berada di dalam rasio normal. Dia....dia selamat lagi...profesor...”
Aku tidak tahu harus bersyukur atau merasa ngeri dengan kemampuan bertahan hidup Yurika. Gadis itu sudah melewati puluhan percobaan mengerikan yang biasanya akan mengakhiri nyawa subjek lainnya.
Tapi setiap kali Yurika selamat, aku selalu kebingungan.
Yurika.....kebohongan apalagi yang harus kuucapkan hari ini padamu?
***
Seperti biasanya, setelah menjalani eksperimen, Yurika selalu bisa ditemukan sedang duduk sendirian dibawah pohon yang ada di tengah taman. Dia sedang menungguku yang datang membawakan makanan untuknya.
Yurika selalu ingin makan dibawah pohon di tengah taman itu setiap selesai menjalani eksperimen.
Itu adalah permintaan sederhana yang selalu dia ajukan padaku setiap kali aku ingin menjalankan eksperimen pada tubuh gadis itu.
Tapi hari ini tidak seperti biasanya.
Biasanya Yurika langsung terlihat gembira ketika aku datang membawakan makanan kesukaannya. Tapi hari ini Yurika tampak duduk bersandar pada pohon sambil termenung.
Aku jadi penasaran apa yang sedang dipikirkan gadis itu.
“Kenapa kau termenung seperti itu Yurika?” tanyaku sambil mengulurkan kotak makanan yang kubawa padanya.
Yurika tersenyum pahit dan mengambil bungkusan makanan itu. Dia lalu membuka kotak makanan itu dan mulai makan. Tapi baru beberapa suap dia lalu berhenti.
“Profesor....apa Yurika akan mati?”
Ucapan Yurika membuatku tersentak.
“Profesor?” ujar Yurika lagi.
Aku langsung terdiam karena tidak tahu harus berkata apa. Bagaimanapun penelitian kami sudah gagal. Itu artinya aku akan kehilangan pekerjaanku dan Yurika akan kehilangan nyawanya. Sudah jadi protokol keamanan standar dalam fasilitas ini, bahwa semua subjek penelitian yang gagal harus dimusnahkan.
Jadi cepat atau lambat hidup Yurika pasti akan berakhir. Aku sebenarnya tidak mau menjawab pertanyaan Yurika, tapi aku sudah memutuskan untuk tidak berbohong lagi pada gadis itu.
Aku langsung memeluk Yurika dengan erat.
“Maafkan aku, Yurika. Aku tidak bisa berbuat apapun untukmu! Aku sungguh manusia yang tidak berguna!” ujarku dengan nada sedih. Tidak terasa air mataku mengalir tanpa bisa kutahan.
Tadinya kupikir Yurika juga akan menangis bersamaku. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Gadis itu langsung mengelus kepalaku dengan lembut.
“Profesor tidak usah sedih. Yurika tahu kalau Yurika pada akhirnya akan mati seperti teman-teman Yurika,” ujar Yurika sambil tersenyum. “Yurika sudah pasrah pada nasib Yurika kok.”
Mau tidak mau aku merasa malu karena aku yang seharusnya lebih dewasa dari Yurika, justru bertingkah seperti anak kecil.
“Apa kau membenciku Yurika? Aku sudah membawamu ke tempat mengerikan ini dan melakukan berbagai hal mengerikan lainnya pada dirimu.....apa kau membenciku?” tanyaku pada gadis itu.
Yurika menggelengkan kepalanya.
“Yurika tidak benci profesor. Itu bukan salah profesor. Profesor hanya melakukan pekerjaan profesor. Yurika bisa paham itu. Yurika juga tahu kalau profesor membenci apa yang sudah profesor lakukan pada Yurika dan teman-teman Yurika,” ujar Yurika dengan nada riang seperti biasanya. Dia lalu melanjutkan ucapannya lagi. “Yurika malah berterima kasih pada profesor. Kalau tidak ada profesor, Yurika pasti sudah lama mati diluar sana.”
Yurika lalu tersenyum padaku. Senyuman Yurika selalu bisa membuatku merasa lebih baik. Tapi kali ini senyuman tulus gadis itu membuatku membulatkan tekad.
Malam ini juga aku akan pergi meninggalkan tempat terkutuk ini bersama Yurika!
Aku lalu memandang ke arah gadis itu lagi dan bertanya.
“Yurika. Malam ini aku akan pergi dari tempat ini. Apa kau mau pergi bersamaku keluar dari fasilitas penelitian ini?” tanyaku.
Kedua mata Yurika langsung berbinar-binar, dia lalu mengangguk penuh semangat.
“Yurika mau ikut profesor! Yurika mau!!”
Aku langsung tersenyum mendengar ucapan Yurika.
***
Sayangnya rencana pelarian kami tidak berjalan mulus seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Rencanaku membawa Yurika keluar dari fasilitas ini entah bagaimana sudah diketahui dan kini, sekelompok tentara bersenjata lengkap sudah menghadangku tepat sebelum aku mencapai pintu keluar.
Mereka berbaris dan membentuk barikade sambil menodongkan senjata berat mereka ker arah kami berdua. Aku bisa melihat salah seorang asisten penelitianku berdiri dibelakang barisan tentara itu.
Sial! Sepertinya dia yang sudah bisa menebak apa rencanaku.....gumamku jengkel.
“Profesor. Apa yang sebenarnya ingin profesor lakukan?” tanya asistenku itu dengan nada merendahkan. “Jangan bilang kalau profesor ingin kabur sambil membawa subjek penelitian itu keluar dari tempat ini. Jangan bercanda profesor. Anda tahu itu pelanggaran berat.”
Aku tetap diam dan mendorong tubuh Yurika ke belakang. Gadis itu anehnya tidak terlihat ketakutan. Dia justru terlihat santai seperti biasanya. Aku jadi heran sekaligus takut melihat sikap tenang Yurika.
“Profesor! Saya peringatkan sekali lagi. Ini pelanggaran berat, profesor! Tapi kalau profesor mau mengembalikan subjek no.149 ke tempatnya semula. Saya tidak akan melaporkan profesor ke atasan,” ujar asisten itu lagi. “Dengan begitu profesor tidak perlu menanggung hukuman berat karena telah mencoba melarikan subjek penelitian keluar fasilitas ini.”
Tapi aku tetap diam. Kami benar-benar terjepit dan tidak ada tempat melarikan diri lagi. Kalau para tentara itu mulai menembak. Kami berdua pasti mati. Di lorong panjang ini sama sekali tidak ada tempat berlindung atau bersembunyi.
Tiba-tiba Yurika menarik tanganku. Aku langsung menoleh ke arah gadis itu dan melihat dia tersenyum ke arahku.
“Profesor tidak usah takut. Yurika akan membantu profesor,”
Ucapan Yurika langsung membuatku tertegun. Tapi sebelum aku bisa berbuat apapun gadis itu sudah berjalan dengan santainya ke depan para tentara bersenjata itu.
Asistenku yang melihat gelagat aneh dari Yurika langsung berseru padaku.
“Profesor! Suruh subjek no.149 berhenti bergerak!!”
Bersamaan dengan seruan asistenku itu, para tentara di depannya langsung mengokang senjata masing-masing. Seketika itu juga lorong itu dipenuhi suara denting ringan senapan mesin yang sedang disiapkan untuk menembak.
Tapi Yurika tetap tidak berhenti. Gadis itu sekarang malah merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum.
“Profesor!!!” seru asistenku lagi dengan nada mengancam, dia lalu mengangkat sebelah tangannya.
Aku langsung bergegas menghampiri Yurika sambil berseru. “Yurika!! Kembali!!”
Tapi Yurika tetap berjalan mendekati para tentara itu sambil tersenyum.
“Tenang saja profesor, Yurika tahu apa yang sedang Yurika lakukan,” ujar Yurika dengan santainya. Dia lalu mengarahkan sebelah tangannya ke arah para tentara itu.
“Sudah cukup!” seru asistenku dengan nada marah. Dia lalu memberikan perintah pada para tentara di depannya. “Tembak gadis itu sekarang!!!”
Tentara-tentara yang mengepung kami langsung membidik ke arah Yurika dan melepaskan tembakan. Senapan-senapan mesin mereka langsung menyalak dan melontarkan peluru-peluru timah ke arah Yurika.
Aku langsung memejamkan mataku karena tidak kuasa melihat sosok mungil Yurika tewas dengan mengenaskan. Suara rentetan senjata itu hanya berlangsung beberapa menit, tapi bagiku rasanya seperti beberapa jam.
Ketika akhirnya suara rentetan senapan itu berhenti, aku memberanikan diri untuk membuka mataku. Tadinya aku mengira akan melihat sosok Yurika terkapar dengan luka mengenaskan di tubuhnya. Tapi yang kulihat justru sebaliknya.
Yurika masih berdiri sambil mengarahkan sebelah tangannya ke depan. Aku langsung melongo bukan hanya karena tidak percaya dia masih hidup, tapi karena melihat butiran-butiran logam melayang di depan Yurika.
Aku langsung menyadari kalau butiran-butiran logam itu tidak lain adalah peluru timah yang ditembakkan oleh para tentara yang mengepung kami. Para tentara itu juga sama terkejutnya denganku. Aku yakin mereka sama sekali tidak pernah bertemu dengan seorang anak kecil yang bisa menghentikan peluru timah di udara.
“Lihat Yurika profesor!” seru Yurika dengan riang. Dia lalu menurunkan tangannya dan membiarkan peuru-peluru timah itu jatuh dengan suara berdenting ke lantai. Dia lalu menatap ke arah tentara-tentara di depannya dan kembali berkata. “Yurika dan profesor mau lewat. Jangan menghalangi kami!”
Yurika lalu kembali mengangkat sebelah tangannya. Tentu saja tentara di depannya tidak tinggal diam, mereka langsung bersiap menembak lagi. Tapi belum sempat mereka melakukan apapun, tiba-tiba mereka semua menjerit kesakitan.
Para tentara itu langsung menjatuhkan senjata mereka dan terjatuh di lantai. Kemudian Yurika mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi di udara, lalu menjentikkan jari mungilnya.
Seiring dengan suara jentikan jari Yurika, suara memuakkan langsung terdengar bersahutan ketika satu persatu tentara yang mengepung kami meletus. Tubuh mereka meletus bagaikan sebuah balon yang ditembak dengan senapan angin. Dalam sekejap mata lorong yang dicat putih itu sudah dihiasi dengan warna merah.
Aku hanya bisa menyaksikan kejadian itu tanpa berkedip sama sekali.
Dalam waktu sekejap saja, semua tentara yang mengepung kami sudah mati. Satu-satunya yang tersisa dari orang-orang yang mengepung kami adalah asisten penelitianku. Dia langsung terpuruk di lantai sambil memegangi wajahnya. Jelas telihat kalau dia sangat shock setelah menyaksikan kejadian mengerikan barusan.
Aku juga sama shocknya dengan asistenku itu.
Aku sama sekali tidak tahu dan tidak pernah membayangkan kalau Yurika bisa melakukan hal itu. Tapi kemudian aku menyadari sesuatu.
Ini mungkin efek dari evolusi paksa yang kami lakukan pada otaknya. Setelah bertahan hidup melewati beberapa puluh eksperimen serupa, kurasa entah bagaimana caranya Yurika telah mengembangkan kemampuan mengerikan itu.
Tiba-tiba aku mendengar suara berderit nyaring ketika pintu baja tebal yang menjadi gerbang masuk fasilitas penelitian ini terbuka lebar. Pintu baja setebal 10 centimeter itu baru saja terpilin dan terbuka paksa ketika Yurika menjentikkan jarinya ke arah pintu itu.
Seketika itu juga aku merasa bimbang dengan keputusanku untuk membawa Yurika keluar dari tempat ini. Karena aku baru menyadari kalau secara tidak sengaja, penelitian kami telah melahirkan monster mengerikan. Monster yang jauh lebih berbahaya dari apapun yang pernah diciptakan fasilitas penelitian ini.
Aku langsung mencabut sepucuk pistol yang kusembunyikan di balik jas labku dan mengokangnya. Suara denting ringan ketika pistol itu dikokang menarik perhatian Yurika. Dia langsung menoleh ke arahku dan menatapku kebingungan.
“Profesor?” tanyanya.
Aku tidak bisa dan tidak berani mengatakan apapun.
Pikiranku dipenuhi berbagai macam hal yang saling campur aduk.
Kemudian tatapan mata Yurika yang kebingungan, digantikan dengan tatapan kecewa dan sedih, ketika dia menyadari apa yang akan kulakukan padanya.
“Kenapa profesor? Apa profesor membenci Yurika?” tanya gadis itu lagi dengan nada memelas.
Aku tidak membencimu Yurika....tapi aku juga tidak bisa membiarkanmu dan kemampuan berbahayamu keluar dari tempat ini.
“Profesor!” rengek Yurika. Kali ini air mata mulai menggenangi matanya yang berwarna biru cerah itu. Aku langsung menahan nafas karena tidak sanggup menatap matanya, tapi aku bertahan.
Ini adalah tanggung jawabku.
Aku yang telah menciptakan ‘Yurika’, jadi aku jugalah yang harus menghapuskan keberadaan ‘Yurika’ dari dunia ini.
Pada akhirnya aku hanya mengatakan satu kalimat.
“Maafkan aku Yurika......”
Aku langsung menarik pelatuk di senjataku. Tapi pada saat yang sama Yurika juga menjentikkan jarinya ke arahku.
Dalam waktu sepersekian detik itu, kami berdua mengatakan satu kalimat dalam waktu yang bersamaan.
“Aku menyayangimu, anakku...”
“Aku menyayangimu, ayah....”
***
~FIN~
Red_Rackham 2011
Comments