Everyday Adventure XII: Mother
Everyday Adventure XII
(Mother)
Kalau ada satu hal
yang tidak akan pernah dilupakan oleh siapapun yang pernah berkunjung ke kota
Bravaga, pastinya itu adalah sebuah menara tinggi besar yang berdiri tepat di
pusat kota.
Central Tower.
Menara yang sekaligus
menjadi jantung kehidupan kota Bravaga adalah salah satu karya terakhir dari
ras manusia yang sudah lama punah akibat Catastrophy. Menara tinggi yang
menantang langit itu adalah bukan hanya sekedar sebuah monumen. Jauh di dasar
bangunan megah itu, terdapat sebuah pabrik canggih yang dikendalikan oleh
sebuah kecerdasan buatan yang disebut oleh warganya dengan panggilan: Mother.
Tentu saja nama itu
bukan hanya sekedar panggilan sayang dari warga kota, nama itu juga menunjukkan
bahwa Mother adalah ibu dari sebagian besar robot berteknologi Cyberbrain yang
hidup di Bravaga. Pasalnya banyak robot yang tinggal di kota itu merupakan
generasi lama yang dibangkitkan kembali, diperbaiki, atau bahkan dibuat ulang
oleh Mother. Itu belum ditambah fakta bahwa Mother juga ‘melahirkan’
robot-robot generasi baru yang memiliki bentuk lebih mirip manusia.
Salah satunya adalah
Maria, walau ada beberapa warga yang sering bertanya-tanya apakah Mother
sebenarnya melakukan kesalahan saat mendesain gynoid itu. Pasalnya dari sekian
banyak robot yang tinggal di Bravaga, hanya Maria yang secara rutin membuat
onar. Mulai dari sesuatu yang sepele, seperti mencuri baterai Sol, sampai yang
lebih serius seperti saat dia tidak sengaja mematikan suplai energi ke setengah
bagian kota Bravaga. Kalau sudah begitu, biasanya Ryouta akan sibuk mengejar
atau menyelamatkan Maria dari masalah yang ditimbulkannya sendiri.
Tapi tidak untuk kali
ini. Soalnya saat ini Maria sedang berada di dalam Central Tower. Meskipun senang
membuat onar, setidaknya gynoid itu tahu kalau di tempat ini dia sama sekali
tidak boleh iseng. Masalahnya, Central Tower jauh lebih berharga daripada
sekedar ladang energi Sol yang pernah dia kacaukan beberapa waktu lalu. Bisa
dibilang kalau menara tinggi di pusat Bravaga merupakan ‘nyawa’ bagi kota para
robot itu.
“Sudah siap?”
Kakek Tesla, sebuah
robot berwujud mirip kelabang raksasa bertanya pada Ryouta yang sedang
berbaring di atas dipan. Sementara itu Maria memperhatikan temannya itu dari
balik tembok kaca tebal yang menghalanginya masuk ke dalam ruang perawatan.
Kedua mata gynoid berambut hitam itu tampak memancarkan rasa ingin tahu.
Meskipun dia sudah sering melihat Ryouta diperbaiki oleh Mother, dia tetap saja
bersemangat menyaksikan aksi ibu dari para robot kota Bravaga itu. Sementara
itu, Buggy asyik bertengger di atas kepala Maria. Robot dengan wujud mirip
kecoak raksasa itu ikut memperhatikan sosok Ryouta yang sedang bersiap untuk
menerima perbaikan dari Mother.
“Siap.”
Ryouta menjawab
sambil menganggukkan kepalanya.
“Seperti biasa, aku
akan mematikan sebagian besar sistemmu selagi Mother bekerja.” Kakek Tesla
bicara lagi, kali ini sambil menghadap ke arah layar-layar monitor holografis
yang melayang di sekitarnya. “Kau tidak keberatan kan?”
Ryouta menggelengkan
kepalanya. Memang sudah begitu prosedurnya. Setiap robot yang menerima
perbaikan besar akan dimatikan sementara selagi tubuh mereka diperiksa dan
dibongkar oleh Mother. Namun anehnya, beberapa robot mengaku mereka seolah
bermimpi saat sistem tubuh dan Cyberbrain mereka dimatikan, dan Ryouta adalah
salah satunya.
“Berapa lama aku akan
tidur?” tanya Ryouta, dia lalu melirik dengan gelisah ke arah Maria yang balas
menatapnya dengan mata berbinar-binar. “Soalnya kalau melihat ekspresi wajah
Maria yang seperti itu, aku jadi tidak tenang.”
Kakek Tesla ikut
melirik ke arah Maria, kemudian tertawa lepas.
“Kau tidak perlu
khawatir. Maria tahu pasti kok kalau dia tidak boleh macam-macam di Central
Tower ini. Lagipula ada Buggy,” ujar Kakek Tesla dengan nada geli. “Baiklah,
aku mulai sekarang ya.”
Seiring dengan
ucapannya, Kakek Tesla mengetikkan beberapa perintah di layar holografisnya dan
tidak lama kemudian, Ryouta pun sudah ‘tertidur’ pulas. Begitu bekas mesin
perang itu sudah tidak sadarkan diri, panel-panel lantai di sekitar dipan
tempatnya berbaring pun terbuka. Lengan-lengan mekanik dengan berbagai bentuk
dan ukuran muncul dan mulai bekerja dengan kecepatan dan ketepatan yang
mengagumkan.
Tidak lama kemudian,
pelat-pelat pelindung tebal yang terbuat dari logam bercampur nanotech-carbon
di tubuh Ryouta sudah dijajarkan dengan rapih di atas lantai. Kini mesin-mesin
canggih di dalam tubuh mantan Guardia itu pun bisa terlihat dengan jelas. Satu
bagian yang paling menonjol di antara mesin-mesin lain di tubuh Ryouta tentu
saja adalah reaktor nuklir mini yang berada di tengah dadanya. Berbeda dengan
sebagian besar robot yang tinggal di kota Bravaga, Ryouta adalah satu dari
sedikit robot dari zaman sebelum Catastrophy yang masih menggunakan reaktor
nuklir sebagai sumber energi, alih-alih baterai atau generator Sol.
“Tidak peduli berapa
kali pun kulihat, tubuh Ryouta itu memang menakjubkan ya.” Maria berkomentar
pada Buggy yang bertengger di atas kepalanya. “Apa semua robot generasi lama
itu sama hebatnya dengan Ryouta?”
“Tidak juga. Soalnya
dia itu spesial,” balas Buggy sambil ganti bertengger di pundak kiri Maria.
“Tapi generasi baru sepertimu itu juga tidak kalah hebat kok. Kata Mother sih
kalian punya cyberbrain yang lebih bagus dari kami.”
Maria tersenyum
mendengar ucapan Buggy. Dia memang pernah mendengar jawaban seperti itu waktu
dia bertanya pada kakek Tesla dan Mother. Tapi Maria jadi makin bertanya-tanya
... sebenarnya apa yang membedakan dirinya dengan robot-robot yang diciptakan
pada era sebelum Catastrophy?
****
Karena bosan menunggu
Ryouta diperbaiki, Maria akhirnya memutuskan untuk menjelajahi Central Tower.
Tadinya Buggy ingin ikut, tapi berhubung dia juga harus mendapatkan perawatan
rutin, Maria akhirnya pergi sendirian.
Seperti yang diingat
oleh Maria, Central Tower adalah tempat yang luar biasa. Sebagian besar lantai menara
pusat kota Bravaga ini terdiri atas kumpulan ruang-ruang perawatan dan
perbaikan darurat bagi para robot yang tinggal di kota tersebut. Selain itu,
ada beberapa ruangan khusus yang dibuat untuk ‘melahirkan’ robot baru, serta untuk
membangkitkan kembali robot yang berhasil diperbaiki atau dibuat ulang oleh
Mother.
Berbeda dengan
ruangan perawatan dan perbaikan tempat Ryouta dipereteli tadi, ruangan ‘bersalin’
Mother ini tampak lebih sederhana dan tidak berbentuk bundar. Selain itu,
ruangan itu hanya memiliki satu buah jendela kecil berlapis kaca anti peluru
tebal yang juga tahan panas. Sekilas ruangan itu lebih mirip penjara atau
bunker, sebab ruangan itu juga didesain untuk menghadapi kemungkinan robot yang
baru dibangkitkan Mother bertindak agresif.
Memang langka, dan
Maria juga belum pernah menyaksikan sendiri kejadian itu, tapi kakek Tesla
bilang ada beberapa robot yang ternyata memiliki cyberbrain yang sudah tidak
sempurna saat dibangkitkan kembali. Sejauh ini itu hanya terjadi pada generasi
lama, terutama mereka yang bekas mesin perang seperti Ryouta. Generasi baru
seperti Maria tidak pernah tiba-tiba mengamuk ketika dibangkitkan.
Ketika melihat
ruangan itu, Maria tiba-tiba merasakan serbuan kenangan yang berasal dari
ingatan yang tersimpan dalam otak elektroniknya. Pasalnya di ruangan itulah
Ryouta dan Buggy pertama kali menyapa dirinya yang baru selesai dirakit oleh
Mother, dan sejak saat itu, Maria tidak pernah bisa melepaskan diri dari
keterikatannya dengan dua robot itu. Mereka sudah seperti keluarga bagi Maria,
dan dia pun harus mengakui, setidaknya salah satu di antara keduanya lebih dari
sekedar keluarga baginya.
“Rasanya aneh melihat
ruangan tempatku dilahirkan seperti ini.”
Maria berkomentar
sambil memandang ke dalam ruangan melalui jendela kecil berlapis kaca tebal.
Tadinya dia berharap akan menyaksikan kelahiran robot baru, tapi sayangnya
tidak ada apa-apa di balik jendela itu.
“Sepertinya hari ini
Mother enggak sedang ingin merakit robot baru ya. Sayang sekali deh.”
Maria baru saja
bermaksud untuk kembali ke tempat Buggy, tapi tiba-tiba saja matanya melihat
sebuah sosok gadis berlari melintasi persimpangan lorong di hadapannya. Meskipun
hanya sekilas, tapi dia sempat melihat kalau gadis yang baru saja dia lihat itu
mengenakan semacam pakaian yang biasa dipakai para montir di bengkel perbaikan
robot di kota. Sayangnya Maria tidak sempat melihat seperti apa wajah gadis
itu.
Karena penasaran,
Maria bergegas berlari mengejar sosok misterius itu, namun ketika dia sampai di
persimpangan, sosok yang dikejarnya sudah tidak terlihat lagi. Sama sekali
tidak ada tanda-tanda siapa pun di sekitar Maria.
“Yang barusan itu apa
sih?”
Maria bertanya pada
dirinya sendiri. Dia baru saja bermaksud untuk menghubungi Kakek Tesla, tapi
dia lalu melihat sosok yang sama berlari ke arah tikungan di lorong sebelah
kanannya.
“Oh! Itu dia!”
Tanpa pikir panjang Maria
berlari melintasi lorong, kemudian berbelok di tikungan tempat dia melihat
sosok misterius barusan, dan begitu seterusnya. Maria terus menerus berlari
menyusuri lorong-lorong di dalam Central Tower mengejar sosok gadis misterius
yang tidak kunjung berhasil dia kejar.
Naik, turun. Kanan,
kiri.
Tanpa disadarinya,
Maria berlari semakin dalam ke area-area yang tidak pernah dia kunjungi
sebelumnya. Namun semakin lama, rasa penasarannya juga semakin kuat. Sayangnya
tidak lama kemudian sosok gadis misterius yang dilihatnya tadi tiba-tiba saja
menghilang setelah berbelok ke lorong yang mengarah ke sebuah persimpangan.
“Kemana dia?” tanya
Maria kebingungan ketika berada di sebuah persimpangan, tempat terakhir kali
dia melihat sosok gadis misterius berpakaian montir tadi. Karena tidak tahu
harus kemana, akhirnya gynoid itu mengangkat bahu dan memutuskan untuk menebak
arah selanjutnya. “Kanan~!”
Tanpa buang waktu
lagi, Maria langsung berbelok ke lorong yang ada di sisi kanannya. Begitu dia
berbelok, Maria dikejutkan dengan sebuah pintu elevator kecil yang terlihat
sangat tua. Berbeda dengan elevator lainnnya, yang biasanya memiliki pintu
berukuran besar hingga sanggup memuat sebuah mobil, pintu yang ini sepertinya
hanya cukup dimasuki oleh robot seukuran dirinya. Selain itu sebuah tulisan
berwarna putih pudar terpampang di bagian atas pintu elevator tersebut. Tulisan
yang sama juga terpampang di panel kontrol yang ada di samping pintu.
“Trinity?” Maria
kembali bertanya pada dirinya sendiri. Di saat yang sama, rasa penasarannya pun
tergelitik begitu kuat, hingga dia nyaris tertawa kegirangan. “Ini elevator apa
sih? Kok kelihatannya kuno sekali?”
Awalnya Maria merasa
ragu karena dia belum pernah
“Tapi Ini semakin
menarik saja! Aku jadi penasaran ...”
Tentu saja Maria
tidak berpikir panjang saat dia menekan tombol elevator itu, dan masuk ke
dalamnya. Dengan iringan suara denting pelan, pintu elevator kuno itu pun
tertutup. Sejenak Maria menatap ke arah tombol di dalam elevator tempatnya
berada saat ini. Berbeda dengan elevator yang biasa dia gunakan, yang ini hanya
ada dua pilihan tombol: naik atau turun.
“Naik? Turun?” Selama
beberapa saat Maria berpikir keras, namun tidak lama kemudian dia berseru riang.
“TURUN!”
Maria berseru sambil
menekan tombol turun. Bersamaan dengan itu, elevator yang ditumpanginya pun
bergerak turun sembari sesekali mengeluarkan suara derit samar. Seolah-olah elevator
yang ditumpanginya itu sudah lama sekali tidak pernah digunakan, sehingga butuh
waktu beberapa saat bagi mesin-mesinnya untuk bisa bekerja dengan benar.
Cukup lama Maria
berada di dalam elevator itu, dan kalau dari ingatannya waktu berkunjung ke
pabrik di bawah Central Tower, rasanya elevator ini sudah turun di level jauh
lebih dalam dari tempat yang pernah dia datangi. Meskipun dia mulai
bertanya-tanya kemana elevator ini akan membawanya, tapi rasa penasaran Maria
tetap mengalahkan kekhawatiran dan rasa takutnya. Apalagi karena ini bukan
wilayah berbahaya seperti reruntuhan kota di selatan Bravaga, atau hutan di
sisi barat.
Ini Central Tower.
Tempat kediaman
Mother.
Tidak ada yang perlu
ditakutkan di sini, soalnya Mother pastinya selalu mengawasi gerak-geriknya
selagi dia berada di dalam tempat tinggal ibu dari para robot di Bravaga itu.
Tidak mungkin Mother akan membiarkan anak-anaknya mengalami hal yang buruk di
dalam tempat tinggalnya.
“Ini makin menarik
saja,” ujarnya dengan nada penuh semangat.
Setelah menunggu
selama beberapa saat, elevator yang dinaiki Maria akhirnya sampai di ... entah
di mana. Yang jelas, alih-alih angka atau tulisan, layar indikator yang ada di
dalam elevator menunjukkan gambar mirip lambang kupu-kupu. Tidak lama kemudian,
pintu elevator pun terbuka lebar dan menampakkan ruangan luas berwarna putih
bersih. Di ujung ruangan yang berbentuk kubah itu, terlihat sebuah mesin
raksasa yang seolah-olah memerangkap tiga buah benda bulat yang melayang di
tengah mesin tersebut. Tidak jauh di depan mesin raksasa itu, berdiri tegak tiga
buah balok berwarna hitam pekat yang sepertinya terbuat dari batu, bukan dari
logam.
Ketika pintu elevator
sudah terbuka, tiba-tiba saja Maria bisa merasakan gangguan dalam sistem
elektronik tubuhnya. Rasanya mirip seperti saat dia berada di dalam Kabut
Elektrik atau saat Ryouta mengeluarkan senjata Anti-Machina miliknya beberapa
waktu yang lalu.
Tapi yang jelas,
tempat ini rasanya seperti bukan bagian dari Mother. Setidaknya, Maria tidak
ingat kalau dia pernah melihat ruangan ini di denah ataupun di cetak biru
Central Tower yang pernah ditunjukkan oleh kakek Tesla padanya. Selain itu,
berbeda dengan tempat lain di dalam Central Tower, ruangan berkubah yang serba
putih ini terasa menakutkan.
“Ini dimana sih? Kok
rasanya aku enggak ingat ada ruangan kayak gini di cetak biru Central To ...”
Maria bertanya pada
dirinya sendiri sambil melangkah keluar dari elevator. Namun begitu dia
melakukan itu, seolah-olah ada yang baru saja menekan tombol ‘matikan’,
kesadaran Maria tiba-tiba saja berhenti bekerja, bahkan sebelum dia sempat
menyelesaikan ucapannya.
Tubuh gynoid itu pun
langsung jatuh ke lantai elevator dengan suara dentang nyaring.
****
Maria, bangun.
Tiba-tiba Maria
mendengar suara lembut yang datang dari dalam kepalanya sendiri. Suara itu
datang begitu saja dan langsung menyalakan kembali sistem kesadaran gynoid itu.
Begitu sistemnya kembali menyala, Maria langsung berusaha menganalisis dari
mana asal suara itu, tapi dia gagal. Sepertinya sebagian besar sistemnya masih
belum kembali normal, sehingga gadis robot itu masih belum bisa melihat
apa-apa.
“Siapa itu?” tanyanya
kebingungan.
Bangun, nak. Tidak bagus kalau kamu tidur di sini.
“Apa yang terjadi?
Siapa itu?” Masih kebingungan, Maria kembali bertanya pada suara misterius itu.
Buka matamu.
Maria pun mengikuti
perintah suara aneh itu dan membuka matanya dengan perlahan-lahan. Dia pun lalu
terkejut ketika mendapati dirinya tengah terbaring di tengah ruangan luas yang
berwarna putih bersih. Saking luasnya ruangan tempatnya berada saat ini, gynoid
itu bahkan tidak bisa melihat di mana ujung ruangan tersebut. Tidak lama
kemudian Maria pun menyadari kalau ruangan ini tidak sama dengan ruangan yang dilihatnya
sebelum pingsan.
“Di mana ini?”
tanyanya kebingungan.
Dia lalu menoleh dan
kembali terkejut ketika melihat sesosok gadis yang berdiri tidak jauh dari
tempatnya terbaring. Wajah gadis itu terlihat memancarkan senyum lembut dan memiliki
tatapan mata yang teduh. Namun di balik tatapan mata yang menenangkan itu,
Maria mendapat kesan kalau wanita ini memiliki suatu kekuatan yang luar biasa.
Ketika melihat pakaian yang dikenakan gadis itu, Maria langsung menyadari kalau
sosok di hadapannya ini tidak lain adalah si gadis misterius yang dia lihat
beberapa saat yang lalu!
“Ah! Si
gadis-baju-bengkel!” seru Maria dengan nada terkejut. “Akhirnya ketemu juga~!”
Halo, Maria.
Gadis misterius di
hadapan Maria menjawab tanpa menggerakkan bibirnya, tapi suaranya yang lembut
langsung bergema di dalam benak gynoid itu. Sepertinya gadis-baju-bengkel ini
hanya bisa berkomunikasi lewat saluran radio.
“Halo? Ini di mana
ya? Siapa kau?” tanya Maria kebingungan. “Terus apa yang terjadi barusan?
Kenapa sistemku tiba-tiba mati begitu saja? Dan ...”
Si gadis misterius
mengangkat sebelah tangannya dan Maria pun terdiam.
Maafkan aku. Ini adalah ruang Simulasi Kesadaran milikku.
Aku terpaksa memindahkan sebagian kesadaranmu ke tempat ini, sebab kamu baru
saja mengalami shock.
Maria memiringkan
kepalanya karena kebingungan.
“Shock?” tanyanya
lagi. “Karena apa?”
Duduklah dan tenangkan dulu sistem mu.
Gadis berpakaian ala
montir bengkel itu menunjuk ke arah belakang Maria. Maria menoleh ke belakang
dan terkejut ketika melihat sebuah kursi sudah muncul di belakangnya. Meskipun
masih kebingungan, dia pun duduk di atas kursi itu, dan si gadis misterius di
hadapannya pun melakukan hal yang sama.
Nah, kalau kamu sudah sedikit tenang dan kesadaranmu
sudah lebih stabil, kamu boleh mulai bertanya.
“Siapa kau?” Maria
mengulangi pertanyaannya lagi.
Gadis di hadapan
Maria tersenyum lembut.
Aku adalah representasi dari kesadaran Clone Replicator
di Central Tower, tapi kalian biasa memanggilku dengan sebutan Mother.
Seketika itu juga
kedua mata Maria langsung terbelalak lebar, tanpa sadar dia menutup mulut
dengan kedua tangannya.
“Kau tidak bercanda
kan?” tanya Maria, masih dengan nada tidak percaya.
Tidak, Maria. Aku tidak sedang bercanda.
Kedua mata Maria
langsung terbelalak lebar. Pasalnya dia belum pernah berkomunikasi secara
langsung dengan Mother. Setidaknya tidak dengan cara seperti ini. Biasanya
kalau dia bertanya pada Mother, ibu dari semua robot di Bravaga itu akan
menjawab dengan mengirimkan barisan kode. Kode digital itu kemudian harus
diterjemahkan oleh cyberbrain Maria, barulah dia bisa membaca informasi berupa tulisan,
gambar, rekaman suara, atau video dari Mother.
Maria belum pernah
benar-benar ‘bertemu’ dengan kecerdasan buatan yang merupakan representasi dari
diri Mother. Terlebih, dia tidak pernah bermimpi akan bisa bercakap-cakap
langsung dengan sosok yang merupakan bagian paling vital dari kehidupan robot
di kota Bravaga ini.
Selama beberapa saat
gynoid itu mengamati sosok Mother, kemudian dia menyadari kalau wujud
kecerdasan buatan itu terasa akrab baginya. Maria merasa kalau dia sudah sering
melihat gadis yang kini duduk santai di depannya itu.
“Airi~!”
Maria berseru sambil
menepukkan kedua tangannya. Ya. Sosok itu tidak lain adalah manusia terakhir
yang pernah hidup di kota Bravaga, sekaligus sebagai orang yang pertama kali
menggagas pembangunan Central Tower. Kalau dari cerita kakek Tesla, ada 3 sosok
penting di masa lalu yang membangun Central Tower dan kota para robot ini. Ketiga
pahlawan kota Bravaga itu tidak lain adalah Airi, Baron, dan kakek Tesla
sendiri.
“Jadi Mother itu
Airi?” Tanya Maria kebingungan. “Tapi kata kakek Tesla, Cyberbrain yang dipakai
untuk mengendalikan clone replicator adalah milik Baron. Lagi pula, Airi kan
manusia. Dia enggak punya Cyberbrain!”
Ucapan Tesla benar. Cyberbrain yang menjadi pusat kendali
Mother adalah milik Baron. Hanya saja wujud yang kamu lihat sekarang ini diambil
dari ingatanmu. Kurasa ini merupakan wujud yang cukup akrab bagimu.
Maria mengangguk.
Walaupun belum pernah bertemu langsung, tapi Maria sering melihat sosok Airi
dari foto dan rekaman video dari ingatan kakek Tesla, serta dari beberapa robot
generasi lama yang sudah ada di kota ini bahkan sebelum Central Tower dibangun.
Hanya saja dia kaget karena ternyata Mother juga mengetahui hal itu.
“Kurasa begitu,”
gumam gynoid itu. “Lalu, kenapa aku ada di sini?”
Mother-Airi tersenyum
tipis.
Aku tidak tahu bagaimana kamu sampai di sini, tapi ini
adalah Trinity Core dari Clone Replicator, atau bisa dibilang, ini adalah pusat
dari Mother dan Central Tower. Maafkan aku, tapi waktu masuk, kamu tidak
sengaja mengaktifkan salah satu sistem pertahanan ruangan ini, dan itu membuat
sistem tubuhmu langsung dimatikan secara paksa.
“Eh? Benarkah? Kalau
begitu, maaf deh” ujar Maria kaget sambil salah tingkah. Tapi tidak lama
kemudian, rasa penasarannya kembali timbul. “Mother, Trinity Core itu apa?”
Seolah sudah bisa
menebak pertanyaan Maria, sosok Mother-Airi langsung tersenyum lembut.
Trinity Core adalah pusat kendali yang mengatur pabrik Clone
Replicator di bawah tanah, fungsi pendukung Central Tower di atas tanah, dan
sistem kecerdasan buatan Mother. Ini adalah bagian terpenting dari Central
Tower, dan bisa dibilang, Trinity Core adalah bagian terpenting dari sistem
yang mendukung kehidupan para robot di kota Bravaga ini.
Maria mengangguk.
Seperti semua robot di kota Bravaga, dia juga tentu tahu kalau Central Tower
merupakan bagian terpenting dari kota ini. Hanya saja, dia tidak pernah
mendengar soal Trinity Core. Karena penasaran, Maria langsung menanyakan soal
itu pada Mother-Airi di hadapannya.
“Tapi kalau ini bagian
dari Central Tower, kok aku tidak pernah tahu soal tempat ini? Kakek Tesla,
Ryouta, atau Buggy sama sekali belum pernah cerita soal ruangan aneh tadi,”
ujar Maria.
Mother-Airi tersenyum
mendengar perkataan Maria.
Tempat ini memang sengaja dirahasiakan keberadaannya.
Bahkan, ruangan ini tidak tergambar di denah atau cetak biru CentralTower. Hanya
ada sedikit robot di kota ini yang tahu kalau ruangan ini benar-benar ada.
Sebagian hanya tahu dari rumor dan desas-desus, tapi tidak benar-benar tahu
letaknya.
“Kenapa
dirahasiakan?” tanya Maria semakin penasaran.
Mother-Airi terdiam
sejenak, kemudian tersenyum lembut.
Supaya tempat ini tidak jatuh ke tangan yang salah.
“Ke tangan siapa
misalnya?” tanya Maria lagi.
Mother-Airi hanya
tersenyum dan tidak mengatakan apa pun. Maria pun menyadari kalau dia tidak
akan mendapatkan jawaban dari pertanyaannya barusan, oleh karena itu, dia pun
beralih pada pertanyaan lainnya.
“Kenapa Mother
menciptakan robot generasi baru sepertiku?” tanya gynoid itu. “Aku sih emang
kurang paham, tapi sepertinya robot-robot generasi baru di kota Bravaga ini
bentuknya makin mirip manusia ya. Kenapa begitu?”
Agar kalian mudah diterima.
“Apa?” tanya Maria
kebingungan. “Diterima sama siapa?”
Generasi setelah kalian.
“Memangnya generasi
setelah kami itu siapa?” tanya Maria lagi, dia semakin kebingungan dengan
jawaban Mother-Airi yang hanya sepotong-sepotong saja.
Mother-Airi tiba-tiba
berdiri dan memandang ke arah ruang serba putih di sekelilingnya. Representasi
kesadaran dari seluruh sistem di Central Tower itu lalu kembali mengalihkan
pandangannya ke arah Maria, yang masih duduk manis dengan tampang seperti orang
kebingungan.
Akan tiba saatnya nanti ada generasi baru yang akan hadir
di dunia ini. Mereka yang akan menggantikan peran manusia sebagai penghuni dan
penjaga dunia, dan untuk itu, mereka membutuhkan pendamping dan guru yang akan
mengajari mereka cara mengelola dunia ini dan ...
Mother-Airi berhenti
sejenak, kemudian tersenyum miris.
... memastikan mereka tidak mengulangi kesalahan yang
sama dengan ras penghuni dunia ini sebelumnya.
Maria terdiam
sejenak. Bukannya menjawab pertanyaannya, ucapan Mother-Airi barusan malah
menambah banyak pertanyaan di benak gynoid itu. Selain itu, ada kesan kalau
Mother-Airi seperti sudah bisa mengetahui kejadian yang akan terjadi jauh di
masa depan, dan itu membuat Maria semakin penasaran.
“Generasi baru itu
siapa?” Maria mengulangi pertanyaan yang tadi belum dijawab sepenuhnya oleh
Mother-Airi. “Apa mereka itu anak-anak Starchild yang akan kembali dari
perjalanan panjang mereka?”
Mother-Airi
menggelengkan kepalanya, kemudian tersenyum penuh arti.
Kau sudah pernah bertemu dengan mereka. Mereka ada di
sekitarmu. Saat ini mereka belum siap, tapi kalau waktunya sudah tiba, kau akan
tahu.
Maria langsung
merengut kesal karena Mother-Airi lagi-lagi tidak mau menjawab pertanyaannya
dengan jelas. Tapi sebelum dia sempat bertanya lagi, tahu-tahu Mother-Airi
sudah kembali bicara.
Kurasa sudah saatnya kau bangun. Teman-temanmu sudah
datang dan mereka pasti kebingungan kalau melihatmu masih tidak sadarkan diri.
Mendengar ucapan
Mother-Airi, Maria langsung bangkit dari kursinya. Namun belum sempat dia
mengatakan apapun, tiba-tiba saja kesadarannya hilang begitu saja.
****
Ketika membuka
matanya lagi, Maria menyadari kalau dirinya sedang berbaring di atas lantai
ruangan yang serba putih. Awalnya gynoid itu kebingungan, namun dia lalu
mengingat kalau dia tadi masuk ke dalam ruangan ini dan tiba-tiba saja
kehilangan kesadaranya. Perlahan-lahan, Cyberbrain-nya mulai menyusun kembali
ingatannya dan dia pun akhirnya mengingat pertemuannya dengan representasi
sistem Mother dan Central Tower. Tapi selain itu, Maria merasa ada yang aneh
dengan Cyberbrain-nya dan dia pun merasa sedikit pusing.
“Maria!”
Tiba-tiba Maria
mendengar suara yang begitu dia kenal. Ketika menoleh, dia melihat Ryouta
berlari menghampirinya bersama dengan Tesla dan Arslan. Ketiga robot itu memang
tidak bisa menunjukkan ekspresi wajah, tapi Maria tahu kalau mereka merasa
khawatir, terutama ketika melihat gynoid itu sedang terbaring di atas lantai.
“Ryouta? Arslan?
Kakek Tesla?” Maria memanggil ketiga robot itu bergantian. “Kok kalian bisa ada
di sini?”
“Kau sendiri?!” balas
Ryouta gusar, namun android bertubuh kekar itu membantu Maria berdiri dengan
lembut. “Sedang apa kau di sini? Apa kau tidak tahu ini tempat terlarang?”
Ucapan Ryouta
langsung membuat Maria merengut.
“Mana kutahu. Soalnya
kalian enggak pernah cerita soal tempat ini sih!” balasnya dengan nada jengkel.
“Kalau aku tahu kan, aku juga enggak bakalan pergi ke sini.”
Ryouta langsung
terdiam mendengar ucapan Maria.
“Sudah, kalian tidak
usah bertengkar di sini.” Kakek Tesla merayap menengahi Ryouta dan Maria yang
masih saling adu pandang. “Sebaiknya kita segera kembali ke atas, tidak baik
kalau kita lama-lama di tempat ini.”
Mendengar ucapan
kakek Tesla, Maria dan Ryouta pun memalingkan wajah, kemudian berjalan menuju
pintu elevator di sisi lain ruangan. Sementara itu, Arslan masih tidak
bergeming dari tempatnya berdiri.
Menyadar hal itu,
kakek Tesla pun melirik ke arah Arslan, yang masih terpaku menatap ke arah tiga
buah bola bercahaya di tengah mesin raksasa yang ada di seberang ruangan.
Sekilas, mata elektronik mantan Machina itu memancarkan tatapan rindu, entah
apa sebabnya.
“Arslan,” panggil
kakek Tesla dengan suara lembut. “Ayo kita pergi.”
Seolah baru saja
terbebas dari hipnotis, Arslan menoleh cepat ke arah kakek Tesla, kemudian
mengangguk pelan. Tanpa mengatakan apa pun, robot bersayap elang itu pun
berjalan mengikuti kakek Tesla. Namun dia masih sempat menatap ke arah mesin
raksasa di ujung ruangan berkubah itu, sebelum akhirnya pintu elevator tertutup
rapat.
****
Walaupun Maria bilang
kalau dia tidak apa-apa, tapi kakek Tesla berkeras untuk memeriksa kondisi tubuh
gynoid itu. Awalnya Maria menolak, tapi setelah Ryouta dan Arslan ikut
menasihatinya, akhirnya gadis robot itu menyerah. Saat ini, gynoid berambut
hitam itu sudah terbaring tidak sadarkan diri selagi dirinya diperiksa oleh Mother.
“Bagaimana
kondisinya?” Ryouta bertanya pada kakek Tesla yang sibuk menekan berbagai
tombol di keyboard holografisnya. “Ada yang rusak?”
Kakek Tesla menoleh.
“Untungnya tidak,”
ujarnya sambil menghela nafas. “Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa melewati semua
sistem keamanan Mother dan masuk ke ruangan Trinity Core.”
“Apa sistem kemanan
Mother ada yang rusak?” Kali ini Arslan yang bicara sambil melirik ke arah
Maria tubuh yang sedang setengah dibongkar oleh Mother. “Walaupun aku rasa
kemungkinannya kecil, tapi bisa saja kan.”
Kakek Tesla ikut
menoleh ke arah Maria, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Arslan.
“Kalau memang begitu
sih, urusannya lebih mudah,” ujar robot berwujud kelabang raksasa itu. “Tapi
kali ini seolah-olah Mother sendiri yang menuntun Maria dan membukakan semua
akses ke Trinity Core. Sayangnya, pada saat-saat terakhir, masih ada satu
sistem kemanan yang belum dibuka
Mother, dan itu yang membuat Maria tidak sadarkan
diri.”
Ryouta mengepalkan
tinju logamnya.
“Kalau saja
cyberbrain Maria seperti robot lainnya ...”
“... dia tidak akan
selamat,” timpal Arslan.
Ryouta dan Arslan
saling pandang selama beberapa saat. Kedua bekas mesin perang itu tentu tahu
persis apa sistem kemanan terakhir di pintu masuk Trinity Core itu, dan seperti
apa efeknya pada tubuh sebuah robot.
“Tapi untunglah
sepertinya Mother tidak benar-benar menggunakan alat itu dengan kekuatan
penuh.” Kakek Tesla bicara lagi sambil menepuk bahu Arslan dan Ryouta. “Yang
terpenting adalah Maria baik-baik saja. Kalian tidak perlu terlalu khawatir
begitu.”
Kakek Tesla lalu
memandang ke dalam ruang pemeriksaan Maria.
“Kalau memang benar
Mother yang ‘mengundang’ Maria, tidak mungkin Mother akan membiarkan salah satu
anaknya itu berada dalam bahaya,” ujar kakek Tesla. Dia lalu menoleh ke arah
Ryouta, dan dibalas oleh tatapan bingung dari robot kekar dari masa sebelum
Catastrophy itu. “Bukankah sudah saatnya kau memberi tahu Maria?”
Ryouta menggeleng
tegas.
“Belum,” ujarnya
singkat. “Belum saatnya.”
“Kau tidak bisa
membiarkan dia terus-terusan seperti ini,” balas kakek Tesla. “Akan lebih baik
kalau Maria mengetahui soal dirinya sendiri dari sosok yang paling dekat, dan
paling dia percaya.”
Seolah ingin
mendukung pendapat kakek Tesla, Mother tiba-tiba saja mengirimkan data ke benak
Ryouta melalui sambungan nirkabel. Ibu dari semua robot di Bravaga itu baru saja
mengatakan kalau dia setuju dengan ucapan kakek Tesla.
“Belum. Maria masih
belum siap,” ujar Ryouta pada Mother.
Arslan yang mendengar
ucapan mantan Guardia itu langsung mendengus kesal.
“Dasar keras kepala,”
ujarnya.
Tapi ucapan Arslan
tidak digubris oleh Ryouta. Perhatian android itu kini sepenuhnya terpaku pada
Maria yang sudah hampir selesai diperiksa oleh Mother. Kalau saja Ryouta bisa menampilkan
emosi di wajahnya, saat ini wajah android itu pasti terlihat menyedihkan. Di
satu sisi Ryouta setuju dengan ucapan kakek Tesla dan Mother, tapi dia masih
merasa kalau Maria belum siap menerima kebenaran soal dirinya sendiri.
Namun pada saatnya
nanti, Ryouta harus siap menceritakan siapa Maria, untuk apa dia dibuat, dan
kenapa hanya dirinya yang memiliki begitu banyak kemiripan dengan ras
penciptanya yang sudah lama punah.
Dan ketika saat itu
tiba, Ryouta hanya berharap dirinya masih tetap menjadi sosok yang paling dekat
dan dipercaya oleh Maria.
****
~FIN?~
red_rackham
2016
Comments