13th Spiral: Glimpse Out of Time
Semua orang yang
tinggal di kota Jakarta pasti menyadari kalau laju kehidupan di ibukota negara
itu begitu cepat. Orang-orang saling berpacu satu sama lainnya untuk menggapai
tujuan masing-masing. Waktu pun seolah berlalu lebih cepat bagi siapa pun yang
tinggal ataupun bekerja di Jakarta. Seolah-olah sang Waktu tidak ingin
melambat, apalagi berhenti sejenak dan membiarkan penghuni kota untuk
beristirahat melepas lelah dan beban kehidupan mereka. Sehingga tidak jarang
ada yang bilang kalau orang-orang yang tinggal di Jakarta jadi lebih cepat tua
ketimbang mereka yang tinggal di kota lainnya.
Dan tentu saja aku
juga merasakan hal itu.
Terkadang rasanya aku
baru saja memejamkan mata sejenak di malam hari, tahu-tahu matahari sudah
terbit dan aku pun harus kembali melanjutkan rutinitasku setiap hari. Meskipun
pada dasarnya aku menikmati pekerjaanku sebagai kurir barang, tapi ada
waktu-waktu tertentu ketika aku mempertanyakan tujuan hidupku sendiri. Pasalnya
rutinitas hidupku sehari-hari terasa begitu-begitu saja. Bahkan Terkadang
rasanya begitu hambar dan stagnan.
Yah, meskipun
belakangan ini hidupku jadi sedikit lebih menarik gara-gara aku lumayan sering
mengalami berbagai macam hal aneh. Walaupun kejadian semacam itu membuatku
ketakutan, tapi jauh di lubuh hatiku, aku malah berterima kasih. Berkat
berbagai kejadian supranatural yang kualami itu, hidupku jadi terasa lebih bermakna
dan aku pun jadi merasa sedikit lebih istimewa.
Biarpun begitu, aku
tetap tidak bisa berhenti memikirkan sebenarnya apa tujuanku tetap hidup di
dunia ini?
Padahal sebenarnya
aku seharusnya sudah tewas dalam kecelakaan maut setahun yang lalu. Yah ...
sejujurnya sih aku sempat mati suri selama beberapa menit waktu itu, tapi pada
akhirnya aku bangkit lagi. Seolah-olah malaikat maut belum sudi mengambil
nyawaku.
Kenapa aku masih
dibiarkan hidup?
“Entah ya. Mungkin
memang belum waktunya kau mati?”
Dengan entengnya Irvan menjawab pertanyaanku itu. Saat ini kami berdua sedang mengendarai
mobil melintasi kota Jakarta untuk mengantarkan paket dan surat titipan klien
perusahaan. Seperti biasanya, Irvan yang menyetir sementara aku bertindak
sebagai navigatornya.
“Mungkin juga kau
punya peranan penting di dunia ini. Entah apa. Yang pasti kau tidak boleh mati
dulu sebelum kau memenuhi perananmu itu,” ujar Irvan lagi sambil membetulkan
letak spion tengah mobil boks yang kami naiki. Dia lalu melirik ke arah daftar
pengiriman barang di tanganku. “Ngomong-ngomong paket kita berikutnya kemana?”
Sekilas aku membaca
daftar yang ada di tanganku, kemudian tersenyum lebar.
“Sudah habis,” ujarku
senang. “Sekarang kita bisa mampir dulu untuk beristirahat sebelum kembali ke
kantor. Tugas kita sudah selesai hari ini.”
Alih-alih ikut
senang, Irvan malah mengernyitkan dahinya.
“Yakin sudah selesai?
Sudah dicek semua belum?” tanyanya kebingungan.
“Sudah dan tidak ada
lagi paket yang harus dikirim hari ini,” jawabku. “Memangnya kenapa?”
“Coba lihat di
belakang sana. Masih ada satu lagi tuh!”
Irvan memberi isyarat
dengan jempolnya dan menunjuk ke arah ruang kargo di belakang kabin pengemudi.
Aku pun melepaskan sabuk pengamanku sejenak dan mengintip dari balik jendela
kecil yang terhubung ke ruang kargo, atau boks, di belakang mobil. Dan ternyata
memang benar! Masih ada satu paket lagi yang belum kami antar. Tapi masalanya,
kenapa paket itu tidak ada di daftar?
“Coba minggir dulu,
biar aku cek,” ujarku.
Irvan pun bergegas
mencari area kosong di tepi jalanan untuk parkir sejenak. Tidak lama kemudian
kami pun sudah berhenti di depan sebuah minimarket. Tanpa menunda-nunda lagi,
aku pun membuka pintu ruang kargo dan mengambil satu-satunya paket yang tersisa
disana. Paket itu berukuran tidak terlalu besar dan sepertinya muat untuk
memasukkan sebuah bola sepak. Tidak ada yang istimewa dari paket berbungkus
coklat itu ... kecuali nama dan alamat pengirimnya.
Glibert.
Koffie Zonder Grenzen.
“AH!” seruku
terkejut.
“Kenapa?!” Irvan
langsung buru-buru turun dari mobil dan menghampiriku. Wajahnya terlihat
khawatir. “Ada apa? Ada yang aneh?”
Aku pun menunjukkan
stiker bertuliskan nama dan alamat pengirimnya pada Irvan. Dia pun ikut
terbelalak kaget. Soalnya aku sudah pernah bercerita soal kafe misterius
bernama Koffie Zonder Grenzen, tempat aku tersesat beberapa waktu lalu dan
mendapatkan mesin ‘ajaib’ untuk motorku. Tentu saja aku juga sudah bercerita
soal Gliber, si manajer kafe yang tidak kalah misteriusnya itu.
“Ini paket dari kafe
aneh itu?” tanya Irvan. “Kok bisa ada disini? Sejak kapan? Padahal aku sendiri
yang memasukkan semua paket kita hari ini ke dalam kargo, tapi ... sumpah! Aku
sama sekali tidak ingat pernah memasukkan yang satu ini.”
Aku mengangkat bahu.
Kalau kafe Koffie
Zonder Grenzen itu bisa muncul dan hilang secara misterius, aku sama sekali
tidak heran kalau apa pun yang berkaitan dengan tempat itu juga bisa begitu
saja nongol di tempat tidak terduga. Seperti paket ini misalnya.
“Kira-kira apa
isinya?” tanya Irvan penasaran.
Aku mengguncang paket
di tanganku itu dengan lembut, takut isinya ada yang rusak atau pecah. Tapi aku
tidak mendengar suara apa pun. Selain itu, paket ini terasa ringan dan beratnya
mungkin tidak lebih dari satu atau dua kilogram saja.
“Entahlah, tapi aku
tidak mau seenaknya membuka paket orang,” ujarku. “ Apalagi dari kafe itu.”
Irvan mengangguk
setuju.
“Pilihan yang tepat,”
timpalnya. “Lalu, kemana paket itu harus diantar?”
“Monas” jawabku
singkat.
“Monas?” tanya Irvan
lagi.
“Monas,” tegasku.
****
Perjalanan kami
menuju ke Monas bisa dibilang biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa dan
tidak ada hal aneh yang terjadi. Walaupun sempat terjebak kemacetan agak
panjang di sekitar Thamrin, tapi akhirnya aku dan Irvan berhasil sampai di
lapangan parkir Monas. Tidak lama kemudian kami berdua pun sudah berjalan kaki
melintasi monumen yang menjadi ikon kota Jakarta tersebut.
Tidak banyak orang
yang berkeliaran di sekitar Monas, terlebih karena hari ini bukan hari libur.
Hanya sesekali terlihat petugas keamanan atau penjaga kebersihan yang bekerja
di sekitar taman, serta beberapa orang turis yang terlihat kelelahan.
Kemudian pandanganku
terpaku ke arah Monas yang berdiri tegak di hadapanku. Monumen putih setinggi
132 meter itu terlihat gagah seperti biasanya. langit kota Jakarta yang biru
pucat terlihat kontras dengan puncak Lidah Api yang terbuat dari tembaga
berlapis 50 kilogram emas. Kalau aku tidak salah ingat, di dalam Monas ada
museum yang menggambarkan sejarah bangsa Indonesia sejak nenek moyangnya sampai
waktu Presiden Soekarno membacakan naskah proklamasi. Kalau dipikir-pikir,
sudah lama juga aku tidak berkunjung ke museum di dalam monumen terkenal itu.
“Hei, jangan bengong!
Ayo!”
Irvan menyenggol
tanganku karena aku mendadak berhenti berjalan dan terdiam ditempat. Aku pun
buru-buru menyesuaikan langkahku. Begitu sampai di depan pintu masuk, kami
disambut oleh seorang satpam yang kemudian menyuruh kami berdua untuk masuk ke
Ruang Musem Sejarah yang terletak di bawah Monas. Anehnya penjaga keamanan itu
tidak memberi tahu kami tepatnya kemana kami harus menaruh paket yang kami bawa
ini. Dia juga tidak memberi tahu siapa yang harus kami temui untuk menyerahkan
paket ini. Sudah begitu, sikap si satpam juga terkesan kaku dan acuh dengan
kehadiran kami berdua.
“Kaku sekali satpam
tadi,” gerutu Irvan sambil berjalan menyusuri ruangan.
Saat ini kami berdua
sudah berada di dalam Ruang Museum Sejarah. Seperti yang kuingat waktu terakhir
kali aku kesini, tempat ini memang terlihat megah dan menakjubkan. Seluruh
ruangan dilapisi marmer dan terdapat lebih dari 50 jendela berisi diorama
kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari jaman kerajaan, era perjuangan
kemerdekaan, sampai jaman Orde Baru. Tidak hanya itu, suara bung Karno juga
terdengar nyaring dari pengeras suara yang tersebar di sekitar ruangan.
Tiba-tiba saja aku merinding.
Bukan hanya karena mendengar suara Bapak Proklamasi yang terdengar tegas dan
berapi-api, tapi juga karena menyadari kini di dalam ruang museum ini hanya ada
aku dan Irvan saja. Sama sekali tidak ada pengunjung lain di sekitar kami.
“Mana nih yang mau
nerima paket?” tanya Irvan sambil memandang berkeliling, sementara aku cuma
bisa mengangkat bahuku.
“Entahlah. Sudah
begitu kenapa kok tempat ini sepi sekali,” balasku. “Seperti kubur ...”
“Selamat datang di
Monas. Ada yang bisa saya bantu?”
Tiba-tiba saja
ucapanku dipotong oleh suara seorang perempuan dari belakang. Karena kaget aku
langsung berputar dan melangkah mundur. Begitu juga Irvan. Dia juga sama
terkejutnya sepertiku.
Di hadapan kami
sekarang berdiri seorang perempuan yang mengenakan seragam yang mirip dengan
seragam Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Daerah Jakarta. Bedanya hanya warna
seragam yang dikenakan perempuan ini adalah biru tua, alih-alih hijau pudar
seperti yang biasanya dipakai pegawai pemerintahan kota Jakarta. Sebuah pelat
nama dari logam bertuliskan ‘Gita’ tersemat di kantong dada sebelah kiri PNS di
hadapanku ini.
“Mbak Gita? Kami mau
mengantarkan paket dari tuan Glibert,” ujarku sambil mengulurkan paket
berbungkus coklat di tanganku. Tapi wanita di hadapanku ini malah terlihat
bingung. Aku pun mencoba menjelaskan sedikit siapa Glibert itu. “Glibert, manajer
kafe Koffie Zonder Grenzen.”
Begitu mendengar nama
kafe itu disebut, ekspresi wajah wanita PNS di hadapanku itu langsung berubah.
“Ah! Tentu saja!”
ujarnya sambil menepukkan tangannya. “Maafkan saya. Belakangan ini saya sibuk
sekali. Kondisi kota akhir-akhir ini memang agak tidak sehat, jadinya pekerjaan
saya jadi semakin banyak, sampai-sampai lupa kalau saya memang menunggu paket
dari Glibert. Terima kasih sudah mau mengantar sampai kemari.”
“Oh, baguslah kalau
begitu,” ujarku, masih sambil mengulurkan paket ditanganku, yang tidak kunjung
diterima oleh perempuan di hadapanku ini. Karena penasaran, aku pun akhirnya
memberanikan diri bertanya. “Ada masalah?”
Gita tersenyum ke
arahku. Dia lalu menerima paket yang kuulurkan sejak tadi dan memeluknya dengan
lembut, seolah-olah perempuan itu sedang memeluk seorang bayi.
“Tidak,” ujarnya
singkat. “Tapi apa Anda tahu isi paket ini?”
Aku pun menggelengkan
kepala sambil memasang tampang bingung. Begitu juga dengan Irvan, yang
ikut-ikutan menggelengkan kepalanya.
“Kami tidak tahu,
soalnya kami tidak membuka paketnya. Itu melanggar peraturan perusahaan,” kata
Irvan dengan nada serius. “Selain jelas itu bakal bikin klien kami marah dan
bisa bikin kami dipecat.”
“Baguslah kalau
begitu,” balas Gita lagi. “Jangan khawatir. Isinya bukan benda berbahaya
ataupun barang terlarang. Hanya saja memang paket ini tidak boleh dibuka
sembarangan. Nanti isinya bisa rusak dan tidak bisa dipakai lagi.”
“Memang isinya apa?”
Pertanyaan itu
terlempar begitu saja dari mulutku sebelum aku sempat mencegahnya. Tapi
mendengar pertanyaanku itu, Gita kembali tersenyum lembut.
“Kalian mau lihat
isinya?” ujar Gita, dia lalu pun memberi isyarat agar kami berdua mengikutinya.
“Ikuti saya.”
Sejenak aku dan Irvan
saling berpandangan, tapi kemudian kami pun sepakat untuk mengikuti Gita.
Sepertinya rasa penasaran kami berdua sudah sulit dibendung. Tanpa bicara
sepatah kata pun, aku berjalan mengikuti Gita ke arah satu-satunya elevator di
dalam Monas. Tidak lama kemudian, kami bertiga sudah berada di dalam lift yang
sempit dan jelas terlihat sudah terlalu tua.
“Sudah pernah naik ke
pelataran atas?” tanya Gita padaku dan Irvan. Kami berdua pun mengangguk. “Kita
juga akan ke atas, tapi kali ini ke tempat yang di luar batas monumen ini. Saya
sebenarnya hampir tidak pernah membawa orang lain naik ke Level Pengamat, tapi
kali ini spesial karena sepertinya Glibert percaya pada kalian. Kalau tidak,
tidak mungkin dia meminta kalian mengirimkan paket penting ini kepada saya.”
“Apa maksudmu?”
tanyaku penasaran.
Gita mengabaikan
pertanyaanku. Dia sedang sibuk menekan tombol-tombol lantai di panel kendali
elevator dalam kombinasi yang cukup panjang. Setelah beberapa saat, PNS muda
itu pun menoleh ke arahku dan Irvan, kemudian tersenyum penuh arti.
“Oh, saya lupa
bilang. Ini bakalan terasa tidak nyaman buat yang tidak biasa. Tapi
bertahanlah,” ujar Gita sambil menekan tombol untuk menutup pintu elevator yang
sedari tadi terbuka lebar. “Cuma sebentar saja.”
Belum sempat aku
berkata atau berbuat apapun, pintu elevator menutup dengan cepat, dan tiba-tiba
saja kedua mataku dibutakan oleh kilatan cahaya. Di saat yang bersamaan, kedua
telingaku pun berdenging hebat. Aku berusaha berteriak tapi entah memang tidak
ada suara yang keluar, atau telingaku sedang tidak berfungsi, soalnya aku tidak
bisa mendengar apa pun. Selain itu, aku pun tidak bisa berasakan lantai di
bawahku dan bahkan sepertinya indra perabaku pun lumpuh karena aku tidak bisa
merasakan apa pun ... itu ... atau memang sebenarnya tidak ada apa pun di
sekitarku?
Tanpa bisa berbuat
apapun, aku hanya bisa bersabar dan berharap ini akan segera berakhir ... dan semoga ini tidak berakhir dengan aku dan Irvan hanya tinggal nama saja ...
****
“Selamat datang di Level Pengamat.”
Itu adalah kalimat
pertama yang kudengar setelah akhirnya seluruh indraku sepertinya sudah kembali
berfungsi seperti sedia kala. Aku pun mengerjapkan mata beberapa kali dan
menyadari kalau kami sekarang berada di dalam sebuah ruangan yang luas dan
gelap. Aku tidak bisa melihat batas antara lantai, dinding, dan langit-langit
ruangan ini, tapi sepertinya ruangan ini berbentu heksagonal kalau melihat dari
jendela lebar yang ada di ujung masing-masing sisi ruangan.
“Ini dimana?”
“Yang barusan
apaan?!”
Aku dan Irvan
bertanya pada saat yang bersamaan pada Gita yang berdiri sambil tersenyum manis
di hadapanku. Secara tidak sadar, kami berdua ternyata sudah terbaring di
lantai. Untungnya posisiku masih lumayan wajar, soalnya Irvan terlihat baru
saja menungging sambil memegangi kedua telinganya. Dia terlihat salah tingkah
ketika menyadari kalau semuanya sudah kembali normal.
“Maafkan saya. Proses
transfer pertama kali memang terasa tidak mengenakkan. Tapi saya yakin efeknya
sudah hilang sekarang,” ujar Gita sambil meletakkan bungkusan paket dari
Glibert ke atas sebuah meja, yang sepertinya baru saja muncul entah dari mana.
Dia lalu menoleh ke arah kami berdua yang masih berusaha mencerna apa yang baru
saja terjadi. “Ini Level Pengamat. Tempat saya bekerja sehari-hari. Di sini lah
saya mengawasi perkembangan kota Jakarta dan sekitarnya. Karena tempat ini ada
di luar batasan kota Jakarta yang biasanya, ruang ini hanya bisa diakses dengan
melompat keluar dari lipatan ruang kota Jakarta yang sesungguhnya. Dan itu selalu mengakibatkan efek samping untuk ornag
yang pertama kali melakukannya.”
Gita lalu menunjuk ke
arah deretan sofa, yang aku berani sumpah, beberapa saat yang lalu tidak ada di
sana. Sofa berwarna putih itu sepertinya baru muncul begitu saja, lengkap dengan sebuah meja bundar yang juga berwarna
putih.
“Silahkan anda berdua
duduk dulu sementara saya membuka paket ini,” ujarnya.
Meskipun masih
kebingungan, dan juga ketakutan, aku dan Irvan akhirnya memutuskan untuk
menuruti ucapan Gita. Begitu kami duduk di sofa, Irvan langsung menarikku
mendekat dan berbisik dengan nada panik.
“Ini tempat apa?!
Kita mau diapakan?!” bisiknya sambil menarik telingaku.
Aku pun terpaksa
menepis tangannya dan mendorongnya
menjauh.
“Mana kutahu,”
balasku sambil memandang ke sekeliling. Kemudian aku pun menyadari kalau
kegelapan yang menyelimuti seluruh ruangan sudah hilang dan digantikan dengan
cahaya putih temaram. Berkat itu aku jadi bisa melihat kalau kami saat ini
berada di dalam sebuah ruangan luas yang nyaris tidak ada apa-apanya. Kecuali
sofa tempat kami duduk, dan meja tempat Gita meletakkan paket dari Glibert.
Dan tentu saja sudah
jelas kalau kami sudah tidak lagi berada di dalam Monas. Soalnya aku sama
sekali tidak ingat ada ruangan seperti ini di dalam monumen kenegaraan itu.
Sepertinya kami tadi baru saja ‘dipindahkan’ ke suatu tempat ... entah dimana
...
“Maaf membuat kalian
menunggu.”
Gita kembali berjalan menghampiri kami berdua
sambil menunjukkan sebuah benda berbentuk seperti bola berwarna oranye yang dia
letakkan di atas kedua telapak tangannya. Permukaan bola itu tampak berkilau
dan benda itu sendiri mengeluarkan pendaran cahaya dengan ritme lambat yang
beraturan. Sejenak bola itu terlihat bergelenyar seolah tidak terbuat dari
benda padat dan samar-samar aku bisa melihat struktur rumit, namun beraturan
dengan pola tertentu, di dalam benda misterius tersebut.
“Apa itu?” tanyaku,
masih sambil menjaga jarak. Soalnya aku tidak tahu apa yang bakal terjadi
seandainya aku terlalu dekat dengan PNS misterius itu.
“Hiperkubus,” ujar
Gita singkat, seolah-olah dia menganggap kami bisa mengenali apa sebenarnya
benda misterius yang dia pegang itu.
“Tidak terlihat
seperti kubus,” timpal Irvan kebingungan.
Gita tersenyum.
“Memang tidak
terlihat seperti kubus, soalnya ini Dekaract,” ujar perempuan itu lagi, masih
sambil tersenyum. “Ini 10-Cube, atau Hiperkubus 10 dimensi. Pada dimensi
sebanyak ini memang bentuknya tidak lagi terlihat seperti kubus. Tapi ini
sebenarnya tetap sebuah kubus.”
Aku menggelengkan
kepala. Tanda bahwa aku masih tidak mengerti. Begitu pun Irvan, yang juga
ikut-ikutan menggelengkan kepalanya.
“Apa fungsinya?”
tanyaku penasaran.
“Oh. Kalian mau
tahu?” Gita balas bertanya. “Biar saya tunjukkan.”
Sebelum aku dan Irvan
sempat berkata atau berbuat apapun, Gita tahu-tahu sudah melemparkan Dekaract
di tangannya ke udara. Sedetik kemudian benda itu mendadak lenyap begitu saja.
Nyaris bersamaan dengan itu, mendadak kami semua sudah berada di sebuah padang
rumput luas di sore hari, dengan langit yang dihiasi oleh bulan purnama. Hanya
saja ukuran bulan tersebut berkali-kali lipat lebih besar dari yang biasanya
kulihat di langit. Di kejauhan, aku bisa melihat sosok orang-orang yang
berkumpul di depan sebuah pohon yang sedang terbakar. Karena terlalu jauh, aku
tidak bisa melihat dengan jelas siapa mereka, tapi yang jelas … orang-orang itu
terlihat mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit hewan. Sesaat kemudian, aku
jelas-jelas melihat sekawanan gajah berbulu melenggok dengan anggun di
kejauhan.
Astaga! Ini mustahil!
Aku pun berseru dalam
hati ketika menyadari kalau aku sedang menyaksikan sekawanan Mammoth, atau
gajah purba, ... yang itu artinya ... orang-orang di sekeliling pohon terbakar
itu adalah manusia purba!
“Yang kalian lihat
ini adalah Jakarta, atau lebih tepatnya, area tempat kota Jakarta akan berdiri suatu saat nanti. Kalau
penanggalanku tidak salah, saat ini kita berada di sekitar satu setengah juta tahun
yang lalu. Waktu itu Homo erectus
masih menjelajahi tanah Jawa dan
manusia modern belum muncul.”
Gita bicara sambil
memandang ke sekitarnya, dan sekali lagi, sebelum aku dan Irvan sempat bertanya
atau berbuat apapun, perempuan berseragam PNS itu menepukkan tangan. Dalam
sekejap, seluruh pemandangan di sekitarku pun berubah dengan cepat. Seolah-olah
aku sedang menyaksikan sebuah film yang sedang dipercepat.
Padang rumput jadi
hutan belantara.
Manusia purba jadi
mangsa.
Turun salju, hutan
pun hilang.
Manusia purba mati.
Salju mencair, padang
rumput kembali.
Manusia purba baru,
datang.
Hutan kembali.
Manusia purba baru,
berjaya.
Turun salju lagi,
hutan pergi.
Manusia purba baru,
mati
Salju hilang, air
laut naik.
Air laut surut,
sungai berkuasa, rawa pun muncul.
Manusia purba lebih
baru, datang.
Berkembang biak.
Desa pun lahir.
Lalu kota.
Lalu kerajaan.
Kerajaan hilang dan
timbul.
Pendatang asing tiba.
Jakarta lahir.
Berkumpul.
Berselisih.
Perang.
Ada kemenangan, ada
kekalahan.
Manusia semakin maju.
Kota semakin besar.
Era modern tiba.
Jakarta semakin
padat.
Terlalu banyak
manusia.
Kemudian, tiba-tiba
seperti ada yang menekan tombol pause dan aku pun berdiri di tepat depan Monas.
Kota Jakarta di sekitarku pun sudah terlihat seperti kota Jakarta yang kukenal
baik. Hanya saja waktu seolah-olah –atau
memang benar-benar– berhenti. Aku pun mengerjapkan mata karena tidak
percaya. Sepertinya aku baru saja dibawa melihat proses munculnya kota Jakarta,
mulai dari jaman prasejarah sampai masa sekarang.
“Mustahil ... Yang
barusan itu mustahil!”
Aku mendengar Irvan
bergumam di sampingku. Dia terlihat pucat dan ekspresinya menunjukkan antara
campuran kagum dan takut setengah mati. Wajar saja sih, soalnya kami seperti
baru saja diperlihatkan segala proses berkembangnya ‘Jakarta’ dari satu juta
tahun lalu sampai saat ini. Aku lalu menoleh ke arah Gita yang balas tersenyum
penuh arti kepadaku.
“Di dalam Dekaract ini
tersimpan semua memori dan informasi tentang tempat ini. Semuanya. Bahkan jauh
sebelum tempat ini dijadikan ‘kota’ oleh manusia. Dengan akurat, benda ini
merekam semua kejadian yang terjadi di kota Jakarta, jadi sewaktu-waktu kita
bisa melihat masa lalu dengan mudah,” ujar Gita. Dia lalu memandang ke arah
kota Jakarta modern. “Tapi tidak hanya itu, karena berada di dimensi yang lebih
tinggi dan tidak terikat oleh waktu, maka Dekaract juga bisa melakukan ini ...”
Lagi-lagi sebelum ada
yang sempat protes, Gita menepukkan tangannya dan dunia pun kembali dipercepat.
Kota meluas, melahap area
sekitarnya.
Air laut naik, kota pun
tenggelam.
Kota mengapung lahir.
Perang.
Manusia mati.
Dari puing-puing,
Jakarta baru pun lahir.
Berkembang.
Bertumbuh.
Bertumbuh.
Dan bertumbuh.
Lalu Laut Jawa mengering.
Manusia meninggalkan
bumi.
Jakarta jadi kota
mati.
Peradaban manusia
runtuh.
Jakarta kembali jadi
padang rumput dan rawa-rawa luas.
Selama beberapa saat aku
berdiri di tengah rawa luas yang serasa nyaris tanpa ujung. Tapi sebelum aku
sadar, tahu-tahu aku sudah kembali ke dalam ruangan luas tempat kami berdiri sebelumnya. Gita
pun tampak sudah berdiri sambil memeluk benda aneh yang dia sebut sebagai
Dekaract itu. Sementara aku dan Irvan hanya bisa terperangah. Otakku masih terlalu
sibuk mencerna apa yang baru saja terjadi, tapi perlahan-lahan, aku pun sadar
kalau aku baru saja menyaksikan masa depan kota Jakarta!
Mustahil memang.
Tapi kan aku sudah
beberapa kali mengalami kejadian-kejadian yang sama mustahilnya, jadi aku tidak
terlalu syok. Beda dengan Irvan, yang kini benar-benar pucat pasi. Aku jadi
merasa kasihan pada temanku yang satu itu.
“Tadinya kupikir saya
kehilangan benda ini, tapi ternyata saya tidak sengaja meninggalkannya di
Koffie Zonder Grenzen,” ujar Gita sambil mengelus-elus hiperkubus di pelukannya
itu. “Untung saja. Kalau sampai hilang, saya bisa kena masalah besar. Soalnya
tugas saya mengawasi Jakarta jadi jauh lebih rumit tanpa bantuan Dekaract ini.
Karena itu, aku benar-benar berterima kasih pada kalian berdua yang sudah mau
datang kemari dan mengantarkan benda ini kepadaku.”
Gita berhenti
sejenak, kemudian menatap lurus ke arah mataku.
“Terima kasih,”
ujarnya lagi.
“Sama-sama,” balasku.
Sejenak kami berdua
terdiam dan suasana mendadak terasa canggung. Perlahan-lahan, aku bergeser ke
arah Irvan yang masih berusaha menenangkan diri. Sambil nyengir nakal, aku
mencubit pipinya dan membuatnya mengerang kesakitan.
“Ngapain sih?!” protesnya
sambil melangkah menjauh.
“Kupikir kau butuh
seseorang untuk memastikan kalau kau tidak sedang bermimpi,” ujarku. Kemudian
aku menoleh ke arah Gita, yang masih berdiri tegak di tempatnya sambil
tersenyum. Meskipun dia tidak
mengatakan apa pun, tapi aku seperti sudah bisa menangkap maksud pandangannya. “Kurasa sudah saatnya kami pamit. Aku yakin kau bisa
mengantar kami pulang ... iya kan?”
Mendengar
pertanyaanku, Gita pun tertawa tertahan.
“Tentu saja,”
ujarnya. Dia lalu mengangkat sebelah tangannya. “Itu semudah ...”
“... menjentikkan
jari,” potongku, tepat ketika Gita menjentikkan jarinya yang lentik.
Dan aku pun
mengedipkan mata.
Ketika mataku terbuka
lagi, tahu-tahu aku sudah berada di dalam mobil boks, lengkap dengan Irvan yang
duduk di depan kemudi. Kemudian aku dan temanku itu saling berpandangan. Tentu
saja kami masih bingung, karena sedetik yang lalu kami berada di dalam ruang
antah-berantah, lalu dalam sekejap mata kami sudah kembali ke dalam mobil.
“Yang tadi itu ...”
“... bukan mimpi,”
potongku.
“Kenapa kau bisa
yakin?” tanya Irvan.
Aku pun menunjuk ke
arah sebuah benda mungil di atas dashboard mobil. Irvan pun mengikuti arah
telunjukku dan dia langsung terperangah.
Soalnya sebuah benda
yang mirip miniatur dari Dekaract kini teronggok di sudut dashboard mobil boks
kami. Tapi berbeda dengan hiperkubus milik Gita, Dekaract yang ini sama sekali
tidak berpendar, terlihat jauh lebih transparan, dan berwarna biru, alih-alih
oranye.
Perlahan-lahan aku
meraih benda itu. Karena takut akan ada kejadian aneh lainnya, aku menutup mata
ketika jariku menyentuh benda ajaib itu, dan kemudian menunggu beberapa saat.
Tapi sepertinya tidak ada apa pun yang terjadi, jadi aku akhirnya berani untuk
mengambil benda itu dan mengamatinya selama beberapa saat.
“Apa benda itu aman?” tanya Irvan takut-takut.
Aku mengangguk.
“Sepertinya begitu
...” ujarku sambil mengetukkan jari ke permukaan hiperkubus yang wujudnya lebih
mirip sebuah bola itu. “Nah, sekarang sebaiknya kita kembali ke kantor. Biar
kita tidak pulang terlalu sore. Kau masih sanggup nyetir?”
Irvan menangguk, tapi
dia tidak mengatakan apa pun. Sepertinya dia masih berusaha memproses kejadian
aneh yang baru kami alami tadi. Dan dalam diam, mobil boks kami pun kembali
menyusuri jalanan kota Jakarta yang masih saja padat.
****
Belakangan aku
menyempatkan diri untuk kembali ke Monas dan berkunjung ke Ruang Museum
Sejarah. Tapi tentu saja aku tidak bisa kembali ke tempat misterius yang
dinamakan Level Pengamat itu. Ditambah lagi, waktu aku bertanya-tanya pada
pegawai yang bertugas atau satpam, tidak satupun dari mereka yang mengenal PNS
perempuan bernama Gita. Sebenarnya sudah kuduga sih, soalnya waktu bertemu
dengannya pertama kali, aku bisa menduga kalau Gita bukan berasal dari dunia ini.
Selain itu, aku juga jadi penasaran dengan yang namanya
hiperkubus, atau 10-cube, atau Dekaract yang dipakai Gita untuk memperlihatkan
masa lalu dan masa depan Jakarta kepadaku. Ternyata, hiperkubus itu tidak lebih
dari sekedar nama untuk sebuah bangunan geometri yang disusun dari kubus dan
memiliki lebih dari 2 dimensi, sedangkan Dekaract adalah nama yang diberikan
pada hiperkubus yang memiliki 10 dimensi ruang. Sama sekali tidak ada informasi
yang kutemukan soal bagaimana bisa sebuah benda geometri semacam itu menyimpan
rekaman masa lalu atau memperlihatkan kilasan masa depan.
Hanya saja ada sebuah teori matematis yang menyatakan
kalau perjalanan melintasi waktu akan melibatkan sesuatu yang memiliki dimensi
lebih tinggi dari dimensi tempat kita tinggal. Dan kalau aku tidak salah ingat,
Gita waktu itu memang menyebutkan kalau Dekaract miliknya itu ‘berada di
dimensi yang lebih tinggi dari waktu’, sehingga benda kecil itu mampu melakukan
hal yang memang kedengarannya mustahil.
Bagaimana caranya hiperkubus aneh itu melakukannya?
Jangan tanya aku.
Saat ini aku sedang
berdiri di dalam ruang pelataran di puncak Monas sembari memainkan miniatur Dekaract yang kutemukan di
dashboard mobil boks perusahaan. Karena hari ini hari Minggu, tentu saja
ada banyak orang yang ikut melihat pemandangan kota Jakarta dari puncak monumen
negara ini.
Sambil memandang ke
arah deretan gedung-gedung bertingkat di sekitarku, aku pun jadi teringat
pemandangan kota Jakarta masa depan yang diperlihatkan oleh Dekaract. Waktu
itu, aku ingat melihat gemerlap kota yang tumbuh jauh melebihi imajinasi liar
siapa pun. Namun dengan mudah, alam menyapu segalanya dan pada akhirnya sama
sekali tidak ada yang tersisa dari kemegahan kota megapolitan ini.
Pada akhirnya
semuanya akan kembali ke asalnya. Kota Jakarta yang megah ini, suatu saat nanti
akan kembali menjadi rawa-rawa dan padang rumput luas seperti sedia kala. Bahkan peradaban manusia di kota Jakarta
masa depan yang terlihat menakjubkan, seperti yang waktu itu diperlihatkan Gita
padaku dan Irvan, suatu saat akan runtuh kembali ke ketiadaan. Alam memang
tidak bisa selamanya dilawan dan ditindas. Suatu saat apa yang hilang oleh
perbuatan manusia akan kembali lagi ke tanah ini.
Bagaimana dengan
manusianya?
Kalau apa yang
kulihat waktu itu memang benar-benar akan terjadi, maka manusia seharusnya akan
bertahan hidup di tempat lain di luar Bumi. Yah ... semoga saja pada masa itu,
manusia sudah menemukan planet lain sebagai tempat tinggal baru. Dengar-dengar
Mars bakal segera dikunjungi dan dibuat jadi mirip Bumi.
Tapi untuk saat ini,
aku, dan semua orang yang ada di kota ini hanya bisa hidup sebaik mungkin untuk
masa sekarang.
Dan mungkin …
sekalian mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang mungkin terjadi di
masa depan.
****
End of 13th
Spiral
Move on to the
next story
Comments