Everyday Adventure XIII: Musik dan Emosi



Catastrophy.
Sebuah nama yang diberikan kepada peristiwa besar yang melanda dunia lebih dari 500 tahun yang lalu. Sebuah peristiwa yang menandai akhir dari peradaban manusia yang telah menguasai bumi selama ribuan tahun. Peristiwa itu juga merupakan awal dari era generasi baru pengganti manusia, yang kini hidup dengan mengais sisa-sisa peradaban mantan penguasa bumi tersebut.
Mereka adalah para robot. Mesin-mesin canggih berteknologi tinggi yang memiliki kesadaran individu, serta dibekali dengan simulasi emosi yang, ironisnya, membuat mereka bersifat lebih manusiawi ketimbang para penciptanya.
Belajar dari masa lalu yang kelam, para robot berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan para penciptanya dan berusaha mengembalikan kondisi dunia yang telah rusak paska kepunahan manusia.
Namun tentu saja hidup mereka tidak mudah.
Karena banyaknya teknologi yang hilang atau rusak setelah Catastrophy terjadi, sebagian besar masyarakat robot yang tersisa harus berjuang keras untuk sekedar tetap hidup. Karena kerasnya kondisi alam saat ini, terbatasnya sumber energi, serta tidak lagi tersedianya suku cadang untuk mendukung kehidupan mereka, banyak robot yang akhirnya mati, atau rusak dan berubah menjadi robot liar. Tidak jarang pula ada robot yang sengaja mengakhiri hidupnya, terutama karena mereka tidak ingin berubah menjadi robot liar yang buas dan tidak lagi memiliki sistem kesadaran yang utuh.
Dan Arslan sudah sering kali menjumpai robot-robot yang seperti itu dalam perjalanannya mengelilingi dunia.
Sebagai bagian dari kelompok Pengembara, mantan Machina itu sudah berpergian ke seluruh penjuru bumi untuk mencari sisa-sisa teknologi manusia, untuk kemudian diberikan kepada Mother di Central Tower, Bravaga. Di menara tinggi yang berada di tengah kota para robot itulah, teknologi kuno itu dirombak dan diperbaharui agar dapat dipergunakan oleh masyarakatnya. Kemudian, adalah bagian dari tugas para Pengembara untuk menyebarkan teknologi itu ke masyarakat robot lain yang masih tersisa dan tersebar di seluruh penjuru dunia.
Tentu itu bukan tugas yang mudah, tapi bagi Arslan, itu adalah bagian dari cara dirinya bisa menebus kesalahan masa lalunya. Sebagai robot yang dulunya diciptakan sebagai senjata pemusnah massal, Arslan telah melakukan terlalu banyak hal yang kini sangat dia sesali.
Sambil menopang dagu, Arslan bersandar di pinggir pagar tua sebuah beranda yang berada di puncak Menara Memori. Kedua sayapnya sesekali dibiarkan terbentang, seolah-olah dia sudah gatal untuk segera terbang meninggalkan menara tua tempatnya berada saat ini. Matanya yang tajam menerawang jauh ke arah deretan pegunungan tinggi yang menjulang di sisi utara kota Bravaga.
“Arslan~!”
Mendengar namanya dipanggil, Arslan berbalik dan berhadapan dengan sesosok robot gadis berambut hitam yang sedang tersenyum lebar ke arahnya. Dia tidak lain adalah Maria, satu dari sekian banyak robot generasi baru yang tinggal di kota Bravaga. Di pundak gadis itu, bertengger sebuah robot berwarna kecoklatan dengan tubuh mirip seekor kecoak raksasa, yang tidak lain adalah Buggy.
“Maria, Buggy,” sapa Arslan. “Sedang apa kalian di sini?”
“Kamu sendiri ngapain?” Maria malah balas bertanya pada Arslan sambil nyengir lebar. “Tidak bareng dengan Pengembara lain?”
Arslan menggelengkan kepala sambil mengangkat bahunya.
“Sebagian dari mereka sedang pergi mengunjungi reruntuhan kota di selatan Bravaga. Sebagian lagi sedang mengantar kiriman barang dari Mother ke Colony di seberang pegunungan sana,” ujarnya dengan nada malas. “Aku sedang tidak ingin pergi ke reruntuhan kota, dan barisan penjaga kota para Automa itu pasti akan dengan senang hati mengubahku jadi rongsokan, bahkan sebelum aku sampai satu kilometer di depan gerbangnya.”
Mendengar ucapan Arslan soal Colony, Maria langsung tertarik. Dia memang sudah pernah mendengar soal kota yang sepenuhnya dihuni oleh Automa itu, tapi dia sendiri belum pernah kesana. Meskipun senang menjelajah, tapi Maria tahu jalan ke kota itu sangat berbahaya dan dijaga ketat oleh pasukan droid dari era Perang Bulan Kedua. Salah langkah, bahkan robot yang berasal dari kota Bravaga sekalipun akan berakhir sebagai seonggok rongsokan.
“Memangnya mereka tidak suka denganmu?” tanya Maria lagi, dia masih penasaran dengan maksud perkataan Arslan barusan.
“Kenapa?” timpal Buggy. Tapi kemudian dia pun menyadari apa alasannya. “Oh! Benar juga ...”
Arslan mengangkat bahunya melihat reaksi Buggy.
“Yah, biar begini-begini, aku kan dulunya Machina,” ucapnya dengan nada getir. “Banyak di antara Automa itu yang kehilangan keluarga dan teman-temannya dalam serangan Machina di zaman perang dulu. Tidak heran mereka takut dan sangat membenci bekas mesin perang sepertiku.”
Maria terdiam mendengar penuturan Arslan. Ya. Memang saat ini Arslan terlihat tidak jauh berbeda dari robot-robot lain yang tinggal di kota Bravaga. Namun itu tidak lain karena tubuhnya sudah dirombak ulang oleh Mother puluhan tahun yang lalu. Arslan yang sekarang, bukanlah Arslan sang Machina, melainkan Arslan sang Pengembara. Meski demikian, tidak sedikit juga robot di kota Bravaga yang masih takut dengan kehadiran mantan mesin pemusnah masal itu. Maria yang sudah sering membaca dan melihat beberapa rekaman ingatan serangan Machina tahu persis seberapa mengerikannya mesin perang itu di masa lalu.
“Dari pada bicara soal Colony, aku yakin kau tahu kalau di kota ini ada cukup banyak peninggalan peradaban manusia,” ujar Arslan, sembari mengalihkan pembicaraan dari soal dendam kesumat para Automa kepada Machina.
Seketika itu juga kedua mata Maria langsung berbinar-binar dan dia pun mengangguk penuh semangat. Segala sesuatu terkait manusia, ras pencipta para robot yang telah punah itu, selalu saja membuatnya tertarik.
“Tentu saja~!” ujar gynoid itu. Dia lalu merentangkan kedua tangannya. “Menara Memori ini salah satunya kan?”
Melihat ekspresi penuh semangat di wajah Maria, Arslan ingin sekali tersenyum lebar, walaupun sebenarnya android itu tidak memiliki wajah yang bisa menampilkan emosi.
“Benar. Tapi setidaknya ada selusin lagi bangunan dan bekas-bekas peradaban manusia yang tersebar di sekitar Bravaga,” balas Arslan sambil berkacak pinggang. “Apa kau sudah pernah melihat semuanya?”
Seandainya wajah Maria dilengkapi dengan lampu LED, sudah pasti wajah gynoid itu akan terlihat begitu menyilaukan. Sebab begitu mendengar penuturan Arslan, kedua mata Maria langsung dipenuhi oleh rasa ingin tahu yang luar biasa besar. Senyuman lebar juga langsung terkembang di wajah cantiknya itu.
“Ayo kita kesana!” seru Maria penuh semangat. Dia lalu menoleh ke arah Buggy yang masih bertengger santai di pundaknya. “Kamu ikutan kan?”
“Tentu saja~!” sahut robot kecoak raksasa itu, dengan tidak kalah semangatnya dari Maria.

****


Maria memang tahu kalau kota Bravaga ini dibangun kembali oleh para robot tanpa ada panduan tata kota yang jelas. Tidak heran kalau bangunan, jalan, dan lorong-lorong di kota ini terkadang terasa begitu rumit dan tidak teratur. Sering sekali Maria menjumpai bangunan-bangunan yang dibangun tumpang-tindih, lorong-lorong buntu, dan jalan yang terputus begitu saja oleh dinding bangunan lain. Sudah begitu, Travelling Tree yang saat ini sedang menguasai sebagian Bravaga makin membuat struktur kota para robot itu jadi semakin ruwet.
Mirip labirin, pikir Maria sambil melangkah mengikuti Arslan.
“Kita mau ke mana?” tanyanya penasaran.
Arslan berhenti sejenak dan berpikir.
“Hmm ... aku tahu kamu pasti sudah pernah ke perpustakaan kota. Itu satu-satunya tempat yang masih menyimpan cetakan fisik dari karya-karya para pencipta kita,” ujar robot Pengembara itu. “Kemudian ada Menara Memori, tapi kita baru saja ke sana. Lalu Central Tower, Ladang Energi Sol ... tentunya itu sudah sering kamu kunjungi kan?”
Maria mengangguk penuh semangat.
“Iya,” tegasnya sambil nyengir lebar. “Kalau Central Tower sih tidak usah ditanya, hampir setiap hari aku mampir ke sana. Terus Ladang Energi Sol ... yah ... kadang-kadang sih. Tapi setelah aku enggak sengaja merusak salah satu generatornya dan membuat sebagian Bravaga kekurangan energi ... Ryouta melarangku pergi ke sana.”
Arslan tertawa tertahan mendengar ucapan Maria. Dia memang sudah pernah dengar dari Ryouta soal insiden itu, dan seberapa marahnya mantan Guardia itu pada Maria.
“Apa cuma itu?” tanya Maria dengan nada agak kecewa.
“Yang benar saja, tentu saja tidak,” sahut Arslan dengan nada geli. “Tapi aku sedang berpikir, yang mana yang paling menarik untuk dikunjungi. Soalnya beberapa di antara peninggalan itu hanya sekedar monumen dan patung yang ...”
Tiba-tiba Arslan terdiam sejenak, kemudian dia menjentikkan jarinya.
“Ah!” ujarnya. “Ada satu tempat yang kurasa akan sangat menarik bagimu.”
Mendengar ucapan Arslan, Maria langsung melompat ke depan dan menggenggam tangan robot bersayap itu.
“Tunggu apa lagi?!” serunya penuh semangat. “Ayo kita ke sana sekarang!”
Selama beberapa detik Arslan terdiam dan hanya bisa memandang sosok gadis robot berwajah ceria di hadapannya itu. Ada sensasi aneh dan sejumlah besar data baru saja membanjiri cyberbrain Arslan, sehingga membuat bekas mesin perang itu sempat kewalahan menghadapinya.
Akibatnya, dia hanya bisa berdiri mematung di depan Maria.
“Arslan?”
Buggy yang menyadari kalau ada yang aneh dengan sang Pengembara itu langsung melompat berpindah dari pundak Maria. Berkat itu, Arslan pun kembali sadar dan langsung bergegas menyingkirkan tumpukan data aneh yang baru saja muncul dalam benaknya itu.
“Ah, maaf,” ujar Arslan. “Sepertinya sistemku agak sedikit tidak normal.”
“Apa mau diperiksa Mother dulu?” tanya Maria dengan nada khawatir. “Soal jalan-jalan melihat bekas-bekas peradaban manusia-nya sih bisa ditunda dulu.”
Sambil tersenyum dalam hati, Arslan menggelengkan kepalanya.
“Tidak usah,” tolak Arslan dengan lembut. “Ayo kita pergi sekarang”
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Arslan kembali berjalan, masih dengan sebelah tangannya yang dipegang erat oleh Maria. Sepertinya gynoid itu tidak sadar kalau dia masih belum melepaskan pegangannya dari tangan Arslan. Dia malah asyik bersenandung pelan sementara Buggy melayang pelan di sampingnya.
Ketika melihat dua sosok robot itu di sampingnya, Arslan pun menyadari sesuatu.
Ah ... jadi begini rasanya jadi dirimu, Ryouta ... gumam Arslan dalam hati.

****
  
Tempat yang dituju Arslan ternyata letaknya cukup tersembunyi di salah satu sudut kota Bravaga. Bangunan yang jelas sudah berusia ratusan tahun itu nyaris ‘tertimbun’ oleh bangunan-bangunan baru yang didirikan seenaknya oleh robot-robot konstruksi di Bravaga. Akibatnya, pintu masuk ke bangunan peninggalan manusia itu hanya bisa diakses setelah masuk melalui lorong berliku yang mirip labirin.
Tidak lama kemudian, Arslan, Maria, dan Buggy pun sampai di depan sebuah pintu kayu besar yang dihias dengan ukiran indah berwarna keemasan. Sekilas pandang, pintu itu memang sudah tua, namun siapa pun yang merawatnya telah melakukan hal yang luar biasa. Sebab pintu kayu semacam ini hampir mustahil masih bisa bertahan setelah era manusia berakhir, apalagi karena iklim Bumi sudah berubah menjadi ekstrim setelah Catastrophy terjadi.
“Nah, kita sampai,” ujar Arslan sambil berdiri membelakangi pintu.
“Tempat apa ini?” tanya Maria penasaran, dia sudah tidak sabar lagi ingin segera masuk ke dalam gedung misterius yang berdiri di hadapannya itu. “Ayo! Jangan buat aku makin penasaran dong!”
Tanpa bicara apa pun lagi, Arslan berbalik dan mendorong pintu kayu di belakangnya. Tentu saja Maria tidak membuang-buang waktu dan langsung menyerbu masuk ke dalam gedung. Begitu masuk, gynoid itu langsung terdiam dan terpana. Ruangan yang dimasukinya ternyata tidak seperti yang dia bayangkan. Tadinya Maria membayangkan akan melihat ruangan tua tempat penyimpanan barang-barang peninggalan ras manusia, seperti yang ada di Menara Memori atau Perpustakaan Bravaga.
Tapi ternyata dia salah.
Saat ini, Maria sedang berdiri di baris belakang sebuah ruang teater megah bercat merah yang dipenuhi hiasan serta ukiran-ukiran indah berwarna keemasan. Dari luar memang tidak kelihatan, tapi ternyata bagian dalam gedung teater itu cukup luas untuk menampung setidaknya lima ratus robot humanoid seukuran Maria atau Arslan. Di ujung teater, terdapat sebuah panggung yang berlantai kayu dan dilengkapi dengan tirai tebal yang telah terangkat.
“Ini apa?!” Maria bersorak kegirangan sambil menepuk bahu Arslan yang berdiri di sampingnya. “Kok ada tempat kayak begini di Bravaga?!”
Arslan tersenyum dalam hati.
“Seperti yang terlihat, ini sebuah teater,” ujar Arslan sambil melangkah melewati barisan kursi-kursi berlapis beludru mewah, yang juga berwarna merah. “Di tempat inilah para pencipta kita melakukan berbagai hal menakjubkan. Pertunjukan tari, aksi teatrikal, dan permainan musik, biasanya dilakukan di tempat seperti ini.”
Maria mengangguk-ngangguk kagum, sementara dirinya memandang berkeliling. Dia pun lalu menyadari kalau tempat seperti ini tidak mungkin masih bertahan di tengah terpaan berbagai bencana mengerikan saat Catastrophy melanda dunia.
“Aku tahu kau mau bilang apa,” ujar Arslan, seolah bisa membaca isi cyberbrain Maria. “Tentu saja tempat ini direnovasi dari bekas teater yang masih tersisa setelah Catastrophy melanda kota ini. Dan ... itu dia robot yang merawat teater ini.”
Arslan menunjuk ke arah panggung, tepat ketika sepetak lantai kayu di panggung megah itu terbuka dan sesosok robot naik perlahan ke atas panggung. Seperti kebanyakan robot generasi baru, robot yang satu ini juga berwujud mirip manusia. Hanya saja dia memiliki empat tangan dan sepasang kaki dengan sendi mirip kaki anjing atau kucing. Namun yang paling menarik perhatian Maria dari robot itu bukanlah tubuhnya, melainkan dua buah biola yang ada di tangan robot itu.
Tanpa mengucapkan apa pun, dan sebelum Maria sempat berbuat apa-apa. Robot misterius yang ada di tengah panggung itu tiba-tiba saja mulai menggesekkan biola di tangannya. Suara dua buah biola itu bergema dengan jernih dan terpantul di seluruh sudut ruang teater yang berbentuk setengah lingkaran. Alunan kedua biola itu sama sekali tidak terdengar tumpang tindih, melainkan saling mengisi dan melengkapi.
Melodi yang dimainkan oleh si robot penjaga teater pun tidak kalah menakjubkan. Sesaat musiknya terdengar ringan dan ceria, namun sesekali berubah drastis menjadi kelam dan menyedihkan, sebelum akhirnya meledak penuh semangat juang.
Ketika mendengar musik yang dimainkan di hadapannya, dada Maria terasa bergetar. Tanpa sadar dia pun meneteskan air mata. Entah apa sebabnya, dia tidak mengerti. Soalnya dia sedang tidak merasa sedih, tapi air mata itu keluar begitu saja.
Hampir sama mendadak dengan awalnya, permainan biola itu pun berakhir begitu saja dan menyisakan kesunyian pekat yang menggantung di udara.
“Wah, kenapa tidak ada yang tepuk tangan?”
Si robot pemain biola tiba-tiba berkomentar dengan nada jengkel. Suaranya terdengar cukup nyaring, terutama karena ruang teater tempatnya berdiri ini benar-benar sunyi senyap.
“Padahal aku sudah capek-capek main musik begini,” ujar robot itu lagi. “Setidaknya hargai sedikit permainanku barusan.”
“Apa kabar, Strauss?” sapa Arslan sambil berjalan mendekati panggung, diikuti oleh Maria dan Buggy. “Masih saja mengurung diri di tempat tua seperti ini.”
Strauss mendengus kesal mendengar ucapan Arslan.
“Kamu sendiri? Ngapain balik ke sini? Kukira kamu sudah enggak bakal balik lagi ke Bravaga,” balas robot yang bernama Strauss itu sambil berkacak pinggang. Pandangannya pun kemudian beralih ke arah Maria dan Buggy. “Yang dua ini siapa?”
“Aku Maria,” jawab Maria.
“Dan aku Buggy,” timpal Buggy. “Salam kenal ya.”
Strauss mengabaikan ucapan Buggy. Selama beberapa saat robot bertangan empat itu terlihat memperhatikan sosok Maria dengan saksama. Pandangannya begitu tajam seolah-olah dia sedang mencari sesuatu di tubuh gadis robot itu. Kemudian, Strauss tiba-tiba saja menoleh ke arah Arslan yang berdiri di sampingnya.
“Generasi baru?” tanyanya pada sang Pengembara itu.
Arslan mengangguk.
“Ya,” jawabnya singkat. “Generasi baru.”
“Terlalu mirip manusia,” ucap Strauss lagi, kali ini dengan nada getir. Dia lalu berbalik menghadap ke arah Maria, kemudian memberi hormat. “Biar pun begitu, aku, Strauss Mark IV, mengucapkan selamat datang ke Théâtre du crépuscule d'or kepada anda sekalian.”
Teater Senja Keemasan, ucap program translasi otomatis di cyberbrain Maria.
“Nah, ada perlu apa?” tanya Strauss sambil menoleh ke arah Arslan. “Kalau tidak ada urusan penting, rasanya tidak mungkin Kepala Suku Pengembara sepertimu mau repot-repot datang ke teater tuaku ini.”
Arslan menoleh ke arah Maria dan Buggy.
“Aku hanya mau memperlihatkan tempat ini pada mereka berdua. Itu saja,” balas mantan Machina itu sambil sedikit meregangkan sayapnya. “Siapa tahu mereka berminat belajar musik darimu.”
Mendengar ucapan Arslan, tiba-tiba Strauss mendengus kesal.
“Bah! Musik?!” dengus Strauss sambil menunjuk ke arah Maria, dan juga Buggy yang bertengger di atas kepala gynoid itu. “Robot-robot seperti kalian tidak mungkin paham soal yang namanya musik! Kuberitahu ya, yang namanya musik itu lebih dari sekedar alunan nada berirama yang terdengar bagus. Aku pernah dengar robot pemusik memainkan musik-musik klasik dengan alat-alat musik modern mereka. Ya! Permainan mereka memang sangat sempurna. Terlalu sempurna bahkan! Tidak ada karakter! Tidak ada ‘jiwa’-nya sama sekali!”
Sikap Strauss yang mendadak berubah menjadi kasar membuat Maria terkejut. Sementara itu Arslan hanya menghela nafas. Dia sudah kenal Strauss sejak lama sekali dan sudah kenal betul bagaimana sifat robot tua itu. Tapi Maria yang tidak mengenal sifat robot pemusik itu langsung merasa bersalah karena sudah seenaknya datang dan sepertinya sudah membuat marah Strauss.
“Ma ... maaf,” ujar Maria sambil melangkah mundur salah tingkah. “Kalau begitu kami sebaiknya pulang saja.”
Namun sebelum Maria, Buggy, dan Arslan sempat melangkah menjauh dari Strauss, robot pemusik itu tiba-tiba saja berseru lagi. Kali ini dengan nada heran.
“Loh? Kenapa pulang?” tanya Strauss kebingungan. “Kalau sudah sampai jauh-jauh kesini, kenapa kalian tidak coba main musik bersamaku. Ayolah. Tidak ada salahnya kan?”
Maria menoleh dan memandangi Arslan dengan tatapan bingung. Soalnya sikap Strauss kembali berubah menjadi ramah. Menanggapi tatapan Maria, Arslan menghubungi gynoid itu melalui saluran komunikasi nirkabelnya.
<Ikuti saja maunya.> Ujar Arslan. <Strauss punya masalah dengan kendali simulasi kepribadiannya. Jadi dia bisa sewaktu-waktu marah, dan sewaktu-waktu ramah seperti barusan.>
<Kok bisa begitu?> Balas Maria penasaran.
Arslan mengangkat bahunya.
<Sewaktu Perang Bulan dulu, sepertiga cyberbrain-nya rusak berat gara-gara berhadapan dengan para Deimos dari Eropa.> Dia lalu berhenti sejenak dan melirik ke arah Strauss yang sedang memeriksa biola dan alat penggeseknya. <Yah, mau bagaimana lagi. Biar aneh begitu, Strauss itu salah satu prototype senjata anti-Deimos. Konon katanya data dari pertempuran mereka merupakan dasar untuk membuat senjata anti-Machina.>
“Hei! Kok diam saja! Ayo kita mulai!” seru Strauss sambil melangkah turun dari deretan bangku penonton, kembali ke atas panggung.
Tanpa banyak tanya lagi, Maria dan Buggy melangkah mengikuti Strauss, yang kini bersenandung pelan sambil menggerakkan tangannya, seolah sedang memimpin orkestra. Sementara itu, Arslan sekali lagi mengangkat bahu dan akhirnya berjalan turun ke arah panggung sambil merenggangkan sayap-sayap logamnya.

****

Maria tidak menyangka kalau bermain musik itu jauh lebih menyenangkan dari yang dia kira sebelumnya. Dia memang sering mendengar musik dan cukup sering melihat rekaman kuno orang yang bermain musik. Tapi ini pertama kalinya dia benar-benar mencoba memainkan alat musik. Dan tidak tanggung-tanggung, alat musik yang dimainkan Maria adalah sebuah grand piano asli yang konon umurnya lebih tua dari kota Bravaga.
“Bagus! Begitu! Iya! Pelan! Jangan terlalu cepat! Mainkan dengan hatimu! Jangan hanya dengan otak elektronikmu!”
Strauss berseru gembira setiap kali Maria memainkan jemari lentiknya di atas tuts-tuts piano. Kedua mata robot pemusik itu terlihat berbinar-binar mendengarkan permainan Maria, padahal menurut Maria sendiri, permainan musiknya itu tidak sebagus dan sesempurna para pemusik yang ada dalam ingatannya. Namun entah kenapa, justru Strauss sangat menyukainya. Berbeda dengan Arslan, yang juga dipaksa bermain musik, namun selalu saja dimarahi oleh Strauss. Begitu pula Buggy, yang kini sudah menyerah dan akhirnya kembali bertengger santai di pundak Maria.
“Bagus sekali, Maria. Itu baru musik!” puji Strauss sambil bertepuk tangan dengan kedua pasang tangannya yang ramping.
Maria tersenyum lebar mendengar ucapan Strauss. Namun dalam hati, dia pun penasaran kenapa robot pemusik kuno itu menganggap permainannya yang kurang sempurnya lebih bagus dari Arslan, yang sama sekali tidak pernah salah nada atau tempo.
“Strauss, kenapa kau menganggap permainanku lebih bagus dari Arslan?” tanya Maria penasaran. “Padahal permainannya lebih sempurna dan tidak ada kesalahan sama sekali. Sementara aku terkadang masih salah nada, atau salah tempo.”
Strauss melirik ke arah Arslan yang mengangkat bahu sambil merentangkan sayapnya. Pemusik itu lalu menghela nafas panjang.
“Sudah kubilang kan. Permainan Machina itu tidak ada ‘jiwa’-nya,” sahut Strauss sambil menunjuk ke arah Arslan dengan penggesek biolanya. “Permainan sempurna itu tidak menarik. Tidak ada karakter khasnya. Kalau begitu saja, semua robot bisa melakukannya. Tapi itu tidak cukup. Itu bukan musik! Musik itu ekspresi dari dalam jiwa! Emosi! Ya! Musik itu emosi! Senang! Sedih! Marah! Begitu itu tertuang ke dalam permainanmu, jadilah musik yang sesungguhnya!”
Sekali lagi sikap Strauss berubah jadi penuh amarah. Kedua matanya pun jadi berkilat menakutkan, hingga Maria tanpa sadar menggeser duduknya jadi agak menjauh dari mantan mesin anti-Deimos itu.
“Jadi ... permainanku yang banyak salahnya ini istimewa?” tanya Maria kebingungan.
Strauss mengangguk bersemangat. “Iya! Di jaman semuanya serba sempurna, ketidaksempurnaan seperti yang kamu lakukan barusan justru lebih sulit dilakukan. Malah seharusnya, seperti robot lainnya di kota ini, permainan musikmu bakal begitu sempurna, hingga terasa dibuat-buat,” ujarnya sambil duduk di samping Maria. “Dan itu bukan musik!”
Robot pemusik itu lalu menekan beberapa tuts piano dan memainkan nada-nada dasar musik sambil kembali bicara. Musik yang dimainkan oleh Strauss dipenuhi nada rendah dan terdengar sendu. Seolah-olah alunan suara yang bergema di teater ini merupakan refleksi dari kesedihan mendalam yang dialami oleh Strauss.
“Kecuali ada yang rusak, pada dasarnya robot berteknologi tinggi seperti kita ini tidak pernah salah. Apa yang kita lakukan selalu sempurna. Kesalahan-kesalahan kecil seperti yang kamu lakukan dalam permainan musikmu itu lebih dari sekedar ketidaksempurnaan belaka!” ujar Strauss lagi, masih sambil bermain piano. “Aku tidak tahu apa yang diperbuat Mother hingga bisa lahir Generasi Baru sepertimu. Yang jelas, aku tahu kamu bukan sekedar robot baru berteknologi cyberbrain seperti diriku ini ”
Maria jadi semakin penasaran dengan ucapan Strauss.
“Lalu aku ini apa” tanyanya kebingungan.
Straus mendadak berhenti memainkan pianonya, kemudian menjawab pertanyaan Maria.
“Manusia,” sahut Strauss singkat, namun tegas.    
“Eh?!” balas Maria. “Tapi aku kan ...”
“... gynoid ... dan robot generasi baru yang dilahirkan oleh Mother,” potong Strauss. “Tapi perilakumu lebih mirip manusia dari pada robot. Aku malah bertanya-tanya apa sebenarnya isi kepalamu itu bukan cyberbrain, tapi otak manusia. Ah! Kalau begitu, kenapa tidak kulihat sendiri saja?”
Robot yang merupakan prototipe senjata anti-Deimos itu lalu berdiri tegak di samping Maria, sementara kedua pasang tangannya mendadak berpose seolah-olah dia ingin menerkam gynoid itu. Kelima mata Strauss pun mendadak berkilat membahayakan. Melihat perubahan sikap android di sampingnya itu, Maria buru-buru bangkit dan menjauh dari Strauss. Sementara itu Buggy melompat dari pundak Maria dan melayang di depan gynoid itu, seolah-olah bertindak sebagai perisai kalau-kalau Strauss benar-benar ingin menyakiti Maria.
“STRAUSS!”
Suara Arslan mendadak menggelegar dan memenuhi seluruh ruangan teater dan membuat Strauss langsung menoleh ke arahnya. Pemimpin para Pengembara itu juga terlihat tidak kalah membahayakan. Kedua sayapnya terkembang penuh dan terlihat berpijar dengan kilau lembayung, sementara lantai kayu di sekitar bekas Machina itu mendadak remuk dan serpihannya pun melayang di sekitarnya. Di saat yang sama, udara di sekitar Arslan mendadak bergelombang, seolah-olah terbuat dari semacam cairan.
“Aku benar-benar tidak mau melakukan ini kalau tidak terpaksa, tapi aku peringatkan kau, Strauss Mark IV, kalau kau berniat melukai Maria, aku akan memperlihatkan padamu kenapa aku dulu begitu ditakuti semua orang.” Arslan bicara dengan nada dingin, dan jelas dia tidak sedang menggertak. Biar bagaimana pun, Arslan adalah bekas Machina, dan tentu saja sekarang pun dia masih memiliki beberapa hal yang membuatnya jadi mimpi buruk lawan-lawannya di masa lalu.
“Mundur! Sekarang!” ujar Arslan lagi.
Sejenak Strauss terlihat tidak ingin mengurungkan niatnya untuk benar-benar membongkar kepala Maria. Mantan mesin perang itu juga terlihat tidak mengindahkan peringatan Arslan. Dia malah berbalik ke arah Arslan, seolah-olah siap untuk menyerang robot bersayap itu.
Selama beberapa detik, suasana begitu menegangkan dan bisa meledak sewaktu-waktu.
Udara pun terasa begitu berat.
“Oke. Sudah cukup!” Tiba-tiba Strauss melangkah mundur sambil mengangkat keempat tangannya ke atas. Dia lalu menoleh ke arah Arslan. “Kamu boleh santai sekarang. Aku tidak benar-benar ingin melukai Maria. Aku hanya penasaran dengan reaksi kalian ...”
Arslan masih enggan melipat kembali kedua sayapnya dan tatapannya pun masih terlihat penuh amarah.
“Aku tidak percaya ucapanmu,” desis Arslan sambil melangkah maju, masih dengan sayap terhunus. “Kau gila, Strauss. Kau benar-benar perlu memeriksakan diri ke Mother sebelum terlambat!”
Tapi mendengar ucapan Arslan, Strauss justru tertawa lepas.
“HA! Itu yang dinamakan ‘marah’!” ujar Strauss sambil menjentikkan jarinya ke arah Arslan. Android itu lalu berbalik ke arah Maria dan menunjuk ke arah gynoid itu dengan salah satu tangannya. “Dan itu yang dinamakan ‘takut’!”
Strauss lalu ganti menunjuk ke arah Buggy yang melayang di depan Maria.
“Dan itu yang dinamakan ‘berani’!” ujarnya lagi.
“Arslan benar, kau gila,” timpal Buggy.
“Dan itu memang benar,” sahut Strauss, justru dengan bangganya. “Aku gila!”
Dia lalu berbalik lagi ke arah Arslan, yang perlahan-lahan tengah melipat sayapnya. Tapi Arslan masih terlihat waspada dengan perubahan sikap Strauss barusan.
“Justru itu yang membuatku lebih hidup! Justru itu yang membuat musikku hidup! Emosi! Sudah kubilang berkali-kali, emosilah yang membuat kita, para robot ini, merasa benar-benar ‘hidup’!” ujar Strauss lagi, kemudian dia menunjuk ke arah siluet Central Tower yang terlihat dari salah satu jendela teater. “Dan untuk itu aku harus benar-benar berterima kasih pada Mother karena seenaknya memasukkan Simulator Emosi ke dalam otak elektronikku waktu aku diperbaiki. Berkat itu, aku jadi selangkah lebih dekat dengan manusia dan jadi lebih hidup!”
<Dia benar-benar gila,> celetuk Buggy pada Maria, kali ini lewat komunikasi nirkabel agar tidak didengar Strauss.
<Tapi aku tetap ingin belajar musik darinya,> sahut Maria. <Ada yang berbeda dari permainan musiknya dan kurasa ... dia benar ... musik yang dimainkan Strauss lebih mirip musik manusia yang kudengar dari arsip milik Mother.>
<Ah, dan aku pun baru ingat kalau kau juga tidak kalah gilanya,> Maria balas Buggy sambil menoleh ke arah gynoid itu.
Maria pun mengangkat bahunya sambil nyengir nakal.
<Kurasa begitu~!> sahutnya riang.

****

Tadinya Maria masih ingin melanjutkan bermain musik, tapi sepertinya suasana sudah tidak nyaman. Dia pun memutuskan untuk pulang. Dan keputusan itu disambut dengan baik sekali oleh Arslan, yang jelas terlihat tidak sabar untuk segera meninggalkan Théâtre du crépuscule d'or milik Strauss itu.
Sepanjang perjalanan pulang, Arslan tidak mengatakan apa pun. Dia masih jengkel akibat sikap Strauss yang membingungkan tadi. Tapi di sisi lain, Arslan juga merasa sedikit ngeri karena menyadari kalau satu langkah lagi, dia tidak segan untuk melepaskan senjata mautnya ke arah Strauss. Berhubung Strauss bukan Guardia seperti Ryouta, robot itu tidak akan bertahan lama menghadapi gempuran senjata maut milik Arslan.
“Arslan,” ujar Maria pada akhirnya. “Maaf, kau jadi repot.”
Arslan berbalik dan menatap lurus ke arah gadis robot berambut hitam itu.
“Tidak perlu minta maaf. Ini salahku. Seharusnya aku tidak usah membawamu ke tempat Strauss,” ujar Arslan. “Robot itu sudah lama punya masalah dengan cyberbrain-nya, tapi dia selalu menolak untuk diperbaiki. Seharusnya dia dibawa paksa ke Central Tower biar tidak membuat takut robot lain yang berkunjung ke tempatnya! Dia ...”
 Arslan mendadak terdiam ketika menyadari Maria sedang menatapnya sambil tersenyum lebar. Senyuman gynoid di hadapannya itu seolah baru saja memacu generator utama tubuh Arslan untuk bekerja lebih keras.
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Arslan kebingungan.  
“Tidak. Aku hanya senang,” ujar Maria. “Selama ini kau terkesan dingin dan selalu menjaga jarak. Tapi ternyata Arslan bisa marah juga, dan itu membuatku senang. Selain itu ...”
Maria terdiam sejenak, gynoid itu lalu tersenyum lebar ke arah Arslan. Senyuman dan efek cahaya matahari terbenam yang bersinar di sela-sela bangunan kota Bravaga membuat sosok Maria terlihat begitu memukau bagi siapa pun yang melihatnya saat ini ... terutama bagi Arslan yang sedang berhadapan langsung dengan gynoid itu.
“Terima kasih sudah menemaniku seharian ini~!” ujar Maria dengan riang.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Maria langsung berbalik dan berlari kecil menyusuri jalanan kota Bravaga, disusul oleh Buggy yang dengan segera terbang di samping Maria. Sementara itu, Arslan masih berdiri terpaku di tengah jalan. Mantan Machina itu pun perlahan-lahan meletakkan sebelah tangannya di depan dadanya, seolah berusaha menghentikan kinerja generator utamanya yang baru saja bekerja lebih cepat dari biasanya.
Tidak perlu waktu lama bagi Arslan untuk menyadari apa yang sedang terjadi, dan begitu sadar, mantan mesin perang itu pun hanya menghela nafas panjang.
“Ini bakal jadi masalah ...” gumam Arslan pada dirinya sendiri.


****

~FIN?~

red_rackham 2017

Comments