Everyday Adventure XVI: Arslan


 Dari semua robot yang menjadi bagian dari kelompok Para Pengembara, tentu saja tidak ada yang menyangkal kalau sosok Arslan, yang merupakan pemimpin kelompok itu, adalah robot yang paling tidak menonjol di antara mereka.
Tidak ada yang istimewa dari bentuk tubuh robot penerbang itu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau Arslan dulunya adalah sebuah Machina, senjata penghancur massal yang begitu ditakuti oleh semua orang di era Perang Bulan Kedua dulu. Pada masa itu, kemunculan Machina bersayap ungu yang sering disebut-sebut sebagai Sayap Kematian itu akan memicu kepanikan di mana-mana. Sosoknya yang melayang rendah sambil bersiul riang dan meruntuhkan gedung-gedung bertingkat benar-benar membuat siapa pun yang melihatnya akan gemetar ketakutan.
Di antara Machina lainnya, Arslan sang Violet Hummingbird, termasuk sosok Machina yang ikonik dan sulit dilupakan. Tubuh ramping, sayap lebar berwarna ungu, wajah mirip gadis manis yang penuh senyum, namun menebar kematian di mana pun dia berada, adalah image yang melekat di sosok Arslan dan sulit dilupakan oleh siapa pun yang pernah bertemu langsung dengannya.
Itu sebabnya waktu dia dibangkitkan dan tubuhnya dibuat ulang oleh Mother, Arslan memilih untuk membuang tubuh lamanya dan ‘lahir kembali’ dengan sosok yang sama sekali baru, serta memiliki wujud yang jauh berbeda dibandingkan wujud aslinya dulu. Baginya, itu adalah salah satu cara untuk melarikan diri dan menghindar dari masa lalunya yang mengerikan.
Namun sayangnya, sebagai sebuah mesin, Arslan pun sama seperti bekas mesin-mesing perang lainnya, dia tidak bisa melupakan semua teror yang pernah dia tebar dan wajah-wajah ketakutan korban-korbannya. Sebenarnya dia bisa saja menghapus memori itu dari cyberbrain-nya, tapi dia merasa itu bisa membuatnya mengulangi kesalahannya di masa lalu, sehingga Arslan tetap membiarkan ingatan itu melekat dan terus menghantuinya.
“Arslaaan~!”
Tiba-tiba sebuah suara nyaring langsung membuyarkan lamunan Arslan. Android penerbang itu pun menoleh ke bawah, ke arah datangnya suara, yang tidak lain berasal dari sesosok gynoid berambut hitam panjang yang sedang melambaikan tangan sembari nyengir lebar ke arahnya.

Gynoid itu tidak lain adalah Maria, dan kalau ada Maria, biasanya ada dua sosok lain yang hampir selalu bisa ditemukan sedang bersamanya, yaitu Ryouta dan Buggy. Namun kali ini gynoid itu tampak berdiri seorang diri, dan itu membuat Arslan penasaran.
<Hai Maria. Sedang apa kau di sini?> ujar Arslan melalui sambungan komunikasi nirkabel, supaya dia tidak perlu teriak-teriak menanggapi sapaan Maria di bawah sana. Soalnya saat ini dia sedang bertengger di puncak sebuah menara komunikasi yang dibangun seenaknya di atas sebuah gedung bertingkat. <Di mana yang lainnya?>
<Ryouta dan Buggy?> sahut Maria, juga melalui saluran nirkabel, sembari berkacak pinggang dan mendengus kesal. <Buggy lagi sibuk memperbaiki beberapa kapasitor yang rusak di Ladang Sol, dan aku baru saja diusir Ryouta karena mengganggu kerjaannya.>
Maria pun kembali mendongak dan nyengir nakal ke arah Arslan.
<Kamu sendiri ngapain di atas sana?> tanya Maria lagi. <Apa aku perlu naik?>
Tanpa menjawab pertanyaan Maria, Arslan pun menjatuhkan dirinya dan membuat Maria kaget setengah mati, namun sedetik kemudian gynoid itu langsung bersiul kagum setelah menyaksikan Arslan mengembangkan sayapnya kemudian mendarat dengan anggun di hadapannya.
“KEREN~!” seru Maria kegirangan. “Aah~! Rasanya ingin deh punya sayap seperti mu, Arslan.”
Arslan pun tertawa tertahan sambil melipat sayap logamnya.
“Kenapa tidak minta Mother membuatkan sayap untukmu?” tanya sang Pengembara itu. “Kalau kau yang minta, aku yakin Mother akan dengan senang hati memodifikasi tubuhmu dan memberikan sayap, serta mesin terbang yang lebih bagus daripada milikku ini.”
Maria berpikir sejenak. Dia memang pernah punya pemikiran seperti itu, tapi karena sepertinya Ryouta bakal panik atau marah-marah kalau dia seenaknya minta sayap ke Mother, Maria pun akhirnya melupakan keinginan itu.
“Ah, mungkin suatu hari nanti,” ujar Maria sambil melangkah mengitari Arslan. “Lagian nanti Ryouta makin repot kalau aku bisa terbang kan?”
Arslan langsung tertawa tertahan ketika membayangkan sosok mantan Ryouta kalang kabut mengejar Maria yang terbang sehabis membuat onar. Memang benar, Maria yang seperti ini saja sudah bikin repot dan sering membuat masalah, apalagi kalau gynoid itu bisa terbang bebas di angkasa.
Bisa dibayangkan bagaimana hebohnya masalah yang mungkin akan dibuat oleh Maria, dan bagaimana repotnya Ryouta yang pastinya akan berusaha menangani masalah yang dibuat gynoid itu.
“Aku bisa bayangkan itu,” ucap Arslan dengan nada geli. “Lalu? Sekarang kau mau apa? Ada kesibukan lain hari ini?”
Maria mengangkat bahunya sembari memainkan rambut hitamnya.
“Enggak tahu nih~! Sekarang sih aku enggak sibuk apa-apa~!” ujarnya sambil tersenyum lebar. “Bagaimana denganmu sendiri, Arslan?”
Arslan berpikir sejenak, sebenarnya siang ini dia harus memimpin pertemuan dengan perwakilan para Pengembara untuk mempersiapkan perjalanan mereka berikutnya. Biasanya pertemuan itu hanya bisa dihadiri oleh beberapa robot perwakilan dari para Pengembara saja, tapi kali ini Arslan ingin melakukan sesuatu yang di luar kebiasaannya.
“Maria,” ujar Arslan tiba-tiba.
“Yes~?” sahut Maria dengan segera. “Ada apa?”
“Apa kau mau ikut denganku ke Pertemuan Para Pengembara?” tanya Arslan sambil menatap lurus ke arah mata Maria. “Biasanya hanya perwakilan Pengembara saja yang boleh hadir di sana, tapi kurasa aku bisa membuat pengecualian kali ini.”
Tentu saja ucapan Arslan langsung membuat kedua mata Maria terbelalak lebar dan berkilau penuh semangat, serta rasa ingin tahu.
“BENARKAH?!” seru Maria sambil meraih kedua tangan Arslan, sebelum mantan Machina itu sempat berbuat apa-apa. “Kau tidak bercanda kan? Ini sungguhan kan? Iya kan?”
Arslan terdiam sejenak dan berusaha menenangkan Core-nya yang mendadak bekerja lebih cepat dari biasanya. Sang Pengembara itu buru-buru mengatur ulang algoritma aneh yang mendadak memenuhi cyberbrain-nya agar tetap terlihat santai di hadapan Maria.
“Tentu saja aku aku tidak bercanda,” sahut sang Pengembara itu. Dia lalu menunjuk ke arah sebuah menara lain yang menjulang cukup tinggi di antara gedung-gedung di kota Bravaga. “Pertemuannya akan dimulai di sana sekitar dua jam lagi, tapi sebaiknya kita ke sana sekarang. Bagaimana?”
Maria pun mengangguk bersemangat dan berseru riang, “AYO~!”
Dan tanpa menunggu Arslan sama sekali, gadis robot itu sudah berlari riang menyusuri jalanan kota Bravaga. Sementara itu, sang Pengembara hanya bisa tersenyum dalam hati melihat tingkah Maria, kemudian mulai berjalan menuju ke menara tempat Pertemuan Para Pengembara akan diselenggarakan.
Sambil berjalan, dia memikirkan apa yang harus dia katakan pada rekan-rekannya yang lain soal keputusannya mengajak Maria, yang bukan robot Pengembara, untuk datang ke pertemuan tertutup mereka itu.
Arslan hanya berharap para Pengembara yang lainnya tidak langsung menolak kehadiran Maria dan mengusirnya dari ruangan.

***

Maria memandang sosok-sosok di sekelilingnya dengan tatapan takjub, sekaligus agak takut. Tidak seperti Arslan, robot-robot Pengembara yang menjadi perwakilan dalam Pertemuan para Pengembara ini terlihat galak dan menakutkan. Tubuh mereka rata-rata lebih besar, lebih kokoh, atau lebih kompleks ketimbang Arslan, yang memiliki tubuh ramping dan sederhana.
Selain Arslan, saat ini ada delapan Pengembara di dalam ruangan berbentuk silinder tempat pertemuan itu diselenggarakan, dan semuanya sedang menatap ke arah Maria dengan tatapan bingung atau penasaran.
“Gato, Irda, Wilhelm, Huginn, Muninn, Iturghen, Sedia, Reuter.” Arslan menyebut nama para Pengembara lain satu persatu sambil menatap ke arah mereka bergantian, kemudian beralih memandang ke arah Maria. “Perkenalkan, ini Maria, robot Generasi Baru dari kota Bravaga. Aku mengundangnya ikut pertemuan kita kali ini. Kalian tidak keberatan kan?”
Para Pengembara lainnya saling pandang selama beberapa saat. Mereka agak bingung, pasalnya ini pertama kalinya ada robot lain yang ikut dalam pertemuan mereka, terlebih karena yang ikut adalah Maria, yang notabene cukup terkenal di kota Bravaga sebagai robot pembuat onar.
“Kau yakin dia tidak akan mengacau di sini?” Wilhem, sosok Pengembara bertubuh paling besar di ruangan itu tiba-tiba bertanya sambil melangkah maju ke arah Maria, membuat gynoid itu serasa ingin mengerut karena takut. “Kudengar dia ini suka bikin ulah.”
Arslan dengan sigap melangkah ke depan Maria dan menghalangi jalan Wilhelm. Sosok rampingnya tampak kontras dengan tubuh Wilhem yang kekar dan berukuran nyaris dua kali lebih besar dari Ryouta.
“Tidak akan. Dia sudah berjanji padaku,” ujar Arslan dengan santai. Dia lalu menoleh ke arah Maria, yang masih terlihat ketakutan. “Benar begitu kan?”
Maria langsung mengangguk mengiyakan, tapi dia masih tidak berani mengatakan apa pun. Soalnya tatapan mata Wilhem yang tajam dan menusuk masih tertuju ke arahnya.
“Wilhelm~! Sudah ah! Jangan bikin dia takut!”
“Lagian ini kesempatan bagus untuk memperkenalkan soal tugas kita pada Generasi Baru di kota ini.”
Dua Pengembara yang punya bentuk tubuh identik langsung merangkul Maria dari kiri dan kanan, sehingga membuat gynoid itu terkejut.
“Terserah kalian saja, Huginn, Muninn,” balas Wilhelm sambil menggeram pelan, kemudian berbalik dan duduk di kursi yang sudah tersedia. “Lalu? Tunggu apa lagi? Ayo mulai saja. Aku tidak mau buang-buang waktu.”
“Ah~! Seperti kamu sedang sibuk saja, Wilhelm,” celetuk Pengembara lain, yang memiliki wujud humanoid seperti Maria, hanya saja dia memiliki empat mata dan dua pasang tangan. “Kita semua tahu kalau kamu tidak punya pekerjaan apa pun ... selain terbang mondar-mandir menyusuri pinggiran kota Bravaga tentunya.”
“Sedia! Jangan membuatku makin jengkel!” Ancam Wilhelm. “Kalau tidak ...”
“Oh? Kalau tidak apa?” tantang Sedia sambil berkacak pinggang. Sama seperti Arslan tadi, Sedia tampak tidak gentar meskipun berhadapan dengan Wilhelm yang jelas berukuran jauh lebih besar dari dirinya.
Selama beberapa saat Sedia dan Wilhelm saling pandang dengan tatapan tajam, seolah-olah keduanya bisa sewaktu-waktu saling serang. Suasana ruangan pun langsung terasa berat seketika dan kekacauan bisa meledak kapan pun.
Namun di saat seperti itu, sebuah tepukan nyaring langsung membuat semua Pengembara yang ada di ruangan terkejut, kemudian menoleh ke arah Arslan. Pemimpin Pengembara itu baru saja menepukkan kedua tangannya, kemudian menatap ke arah para Pengembara lain di ruangan itu secara bergantian.
“Oke. Sudah cukup, Wilhelm, Sedia,” ujar Arslan dengan santai. “Kuakui ini salahku karena membawa orang luar ke dalam pertemuan kita tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, tapi ini adalah keputusanku. Kalau ada yang tidak setuju, kalian bisa protes padaku sepuasnya nanti. Tapi sekarang, bagaimana kalau kita mulai saja pertemuan ini. Oke?”
Nada bicara Arslan memang terdengar santai, tapi di saat yang sama juga terdengar membahayakan. Seketika itu juga semua Pengembara yang ada di ruangan pun berhenti bertengkar, kemudian mengambil posisi masing-masing tanpa bicara sepatah kata pun. Huginn dan Muninn, yang tadi merangkul lengan Maria, sempat merinding beberapa saat sebelum akhirnya bergegas duduk di tempatnya masing-masing.
Dan tentu saja rangkaian kejadian yang baru saja terjadi itu membuat Maria takjub. Dia lalu teringat kalau Arslan adalah pimpinan Para Pengembara, sekaligus bekas Machina, yang merupakan salah satu senjata paling mematikan di era Perang Bulan Kedua. Tidak heran semua Pengembara yang ada di ruangan ini begitu menghormati, atau takut kepada Arslan.
“Nah, bagaimana kalau kita mulai sekarang?” tanya Arslan lagi begitu semua Pengembara sudah duduk di tempatnya masing-masing, sementara Maria duduk di kursi lain di samping Arslan. “Gato, giliranmu.”
Pengembara yang bernama Gato, yang wujudnya agak mirip seperti seekor kucing dengan sayap segitiga yang bisa dilipat, langsung berdiri sambil mengeluarkan sebuah benda bulat metalik yang langsung membuat Maria terbelalak. Sebab, benda itu tidak lain adalah sebuah Harmonic Compass, sama seperti yang dia dapatkan sewaktu tersesat di Kabut Elektrik dan terdampar di tempat misterius bernama Shelter 19. Maria semakin terkejut ketika semua Pengembara yang hadir di dalam ruangan itu mengeluarkan benda yang sama dan meletakkannya di atas meja.
“Dari yang memberi petunjuk dan jalan bagi Dunia,” ujar Gato sambil membuka Harmonic Compass miliknya. Sebuah hologram berbentuk lingkaran langsung melayang di atas benda misterius itu, dan pada saat yang bersamaan, suara senandung pelan nan merdu langsung berkumandang di seluruh frekuensi dari jaringan komunikasi nirkabel milik Maria.
“Dari yang menciptakan kita,” sahut Wilhelm sambil membuka Harmonic Compass-nya.
“Dan dari masa yang memisahkan dan menyatukan kita,” sahut Huginn dan Muninn bersamaan sembari membuka kompas masing-masing.
“Kami bertemu, berkumpul, dan hadir di bawah naungan Harmonic Compass yang menuntun jalan di Masa Lalu dan Masa Kini,” sahut Sedia, yang juga ikut membuka kompas misterius miliknya itu.
“Demi Masa Depan yang lebih cerah,” sahut satu Pengembara lain yang tadi sempat diperkenalkan pada Maria dengan nama Reuter.
“Ini adalah jalan Para Pengembara,” sahut Arslan dengan nada tegas.
“Ini adalah jalan Para Pengembara!”   
Bersamaan dengan ucapan Arslan barusan, semua Pengembara lain di dalam ruangan pun langsung berseru pada saat yang sama. Suara delapan robot Pengembara pun bergema nyaring di dalam ruangan tempat mereka berkumpul. Kemudian, seluruh ruangan berbentuk silinder itu dilingkupi oleh keheningan yang menggantung selama beberapa saat. Tidak ada satu pun yang berbicara dan satu-satunya suara yang terdengar adalah lantunan melodi misterius yang memenuhi telinga Maria, dan juga semua Pengembara yang hadir di dalam pertemuan itu. Ada perasaan aneh yang memenuhi relung dada Maria ketika dia mendengar suara melodi yang keluar dari Harmonic Compass milik para Pengembara itu. Rasanya hangat, nyaman, dan damai.
Tidak lama kemudian, Arslan kembali bicara dan memecah kesunyian yang terasa begitu damai itu.
“Terima kasih karena kalian sudah datang ke sini,” ujar mantan Machina itu. “Tahun ini memang tahun yang berat bagi kita, terutama karena banyaknya area anomali yang harus kita jelajahi kali ini. Tapi aku percaya pada kemampuan kalian ... dan juga jalan yang ditunjukkan oleh Harmonic Compass kalian.”
Begitu Arslan mengatakan itu, Maria pun baru menyadari kalau di antara para Pengembara yang hadir di ruangan ini, hanya Arslan satu-satunya yang tidak terlihat meletakkan sebuah Harmonic Compass di atas meja. Tentu saja itu membuat Maria penasaran, tapi dia tahu saat ini dia tidak boleh bicara, karena sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk menanyakan soal itu. Terutama karena saat ini semua anggota Pengembara yang hadir dalam ruangan kini sedang serius mendengarkan penjelasan Arslan soal rute penjelajahan mereka tahun ini.
Maria, yang memang selalu penasaran dengan kondisi dunia di luar Bravaga, akhirnya ikut mendengarkan penuturan Arslan dengan serius. Seperti yang dulu pernah diceritakan oleh pimpinan para Pengembara itu, kondisi Bumi paska terjadinya Catastrophy memang jadi sangat berbahaya. Ada banyak sekali hal yang bisa mencelakakan robot-robot yang secara sembrono bepergian melintasi alam yang sudah berubah drastis. Namun tentu saja di antara semua bahaya tersebut, tidak ada yang lebih berbahaya dari pada Kabut Elektrik.
Kabut, yang terkadang lebih tepat dibilang badai gabungan antara kekacauan medan elektromagnetik dan ruang-waktu itu, dapat muncul kapan saja tanpa bisa diperkirakan sebelumnya. Tidak ada yang tahu pasti penyebab awal kemunculan fenomena alam yang ganjil itu, tapi dari catatan, ingatan, dan data yang tersisa, Kabut Elektrik muncul pada akhir Perang Bulan Kedua dan semakin menjadi-jadi setelah Catastrophy terjadi.
Itu sebabnya rute penjelajahan para Pengembara direncanakan sedemikian rupa, terutama untuk menghindari area-area yang memang rawan dilanda Kabut Elektrik. Selain itu, peta penjelajahan yang sedang dibahas oleh Arslan dan perwakilan para Pengembara itu juga menunjukkan zona-zona berbahaya, kota-kota yang tersisa, dan kode-kode lain yang hanya dipahami oleh para Pengembara saja. Perencanaan matang semacam itu membuat Maria semakin kagum pada robot-robot penerbang yang merupakan perwakilan dari para Pengembara itu. Mereka semua terlihat antusias membahas rencana pengembaraan mereka dan tampak mengabaikan bahwa ada banyak bahaya yang menghadap perjalanan mereka.
Beberapa kali memang terjadi perdebatan saat sembilan perwakilan Pengembara itu detail rencana perjalanan mereka berikutnya. Namun pada akhirnya perdebatan itu diselesaikan dan diputuskan oleh Arslan. Dan itu membuat Maria merasa semakin kagum dengan pimpinan para Pengembara itu.

***

Tanpa terasa hari sudah beranjak malam dan Maria benar-benar mengikuti pertemuan para Pengembara itu sampai akhir. Ketika berjalan keluar menara bersama Arslan, dia pun masih merasa kagum dengan pertemuan tertutup para Pengembara yang baru saja dihadirinya itu. Namun, kini cyberbrain Maria juga dipenuhi berbagai pemikiran dan itu membuatnya terlihat agak murung.
Tentu saja Arslan menyadari perubahan sikap Maria dan langsung bertanya pada gadis robot berambut hitam itu.
“Ada apa? Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Pengembara itu pada Maria, yang langsung berhenti berjalan dan menatap lurus ke arah Arslan. Tatapan mata gynoid itu terlihat serius, tidak berbinar-binar atau nakal seperti biasanya.
“Ada banyak hal yang kupikirkan setelah mendengarkan pembicaraan kalian seharian ini,” ujar Maria sambil berputar di sekeliling Arslan, kemudian berjalan mundur beberapa langkah. “Tentang Pengembara. Tentang Dunia. Tentang Kabut Elektrik. Tentang peradaban manusia ... dan ...”
Maria berhenti sejenak, kemudian merogoh ke balik saku celananya dan mengeluarkan sebuah benda mirip jam saku, yang tidak lain adalah Harmonic Compass.
“... juga benda ini,” ujar Maria lagi sambil membuka alat misterius itu. Berbeda dengan waktu terakhir kali Maria membawa benda misterius itu, Harmonic Compass di tangannya tampak diam dan tidak mengeluarkan reaksi apa pun. “Kenapa para Pengembara tadi punya benda yang sama dengan yang ada di tanganku ini? Siapa mereka sebenarnya? Lalu ...”
Untuk kedua kalinya Maria berhenti sejenak, lalu memandangi sosok Arslan selama beberapa saat, sebelum akhirnya kembali bicara lagi.
“... lalu kenapa Arslan enggak punya Harmonic Compass seperti ini?” tanya gynoid itu penasaran. “Katanya Machina yang bangun setelah Catastrophy terjadi semuanya memiliki Harmonic Compass seperti ini. Kenapa Arslan enggak punya?”
Arslan terdiam sejenak, kemudian memandangi wajah Maria dengan tatapan lembut.
“Robot-robot Pengembara yang ada di dalam ruangan tadi itu sama seperti diriku, bekas mesin perang yang tersisa dari era Perang Bulan Kedua. Sepertiku juga, mereka mendedikasikan hidup mereka untuk berkelana, mencari, dan membagikan teknologi baru ke masyarakat robot yang tersisa di seluruh penjuru dunia,” ujar Arslan. Dia lalu menunjuk ke arah Harmonic Compass di tangan Maria. “Soal benda itu ... aku juga tidak tahu pasti apa fungsi aslinya. Aku sudah berkali-kali membawa benda itu untuk diperiksa oleh Mother, dan bahkan, membiarkan Mother membongkarnya. Meski tahu cara kerjanya, tapi tujuan penciptaan, dan siapa pencipta benda itu ... tidak ada yang tahu. Selain itu, tidak ada yang tahu apa yang memicu benda itu untuk aktif.”
“Terus kompas ini untuk apa dong?” tanya Maria penasaran. “Kau ingat kan kalau aku pernah menemukan sebuah time capsule kuno berkat petunjuk kompas ini. Apa itu fungsinya? Menunjukkan lokasi ‘harta karun’ peninggalan manusia?”
Arslan mengangguk membenarkan.
“Salah satunya,” ujar Arslan. “Tapi Harmonic Compass juga sering tiba-tiba aktif sendiri dan memperingatkan akan datangnya Kabut Elektrik atau kehadiran mesin perang sekelas Machina, Guardia, atau Deimos. Jadi kupikir itu sebenarnya mirip sebuah radar. Radar seperti apa dan bagaimana cara kerjanya ... aku juga tidak tahu.”
“Lalu ... soal Harmonic Compass punya Arslan?” tanya Maria lagi.
“Ada di dalam sini,” sahut Arslan sambil mengetuk dadanya. “Harmonic Compass-ku sudah dimasukkan ke dalam tubuhku. Soalnya ini satu-satunya Harmonic Compass asli yang dimiliki para Pengembara. Yang lainnya, seperti yang kau lihat tadi, cuma replika dan semua fungsinya tergantung pada Harmonic Compass yang ada di dekat Core Machina milikku.”
“Berhubung pekerjaanku sebagai Pengembara selalu dipenuhi bahaya, maka satu-satunya cara untuk melindungi benda sepenting itu adalah dengan memasukkannya ke dalam tubuhku,” ujar Arslan lagi, kali ini sambil meletakkan sebelah tangannya di atas dada. “Dengan begitu, satu-satunya cara untuk merusak Harmonic Compass milikku ini adalah dengan menghancurkan tubuhku.”
Selama sejenak baik Arslan maupun Maria tidak mengucapkan sepatah kata pun selagi mereka berjalan menyusuri jalanan kota Bravaga yang mirip seperti sebuah labirin. Namun kesunyian di antara mereka pun dipecahkan oleh Maria.
“Verne itu apa?” tanya gynoid itu tiba-tiba.
Arslan pun berhenti berjalan seketika dan memandangi Maria dengan kaget sekaligus kebingungan. Machina itu tampaknya begitu terkejut ketika mendengar Maria menyebut nama Verne. Sebab Arslan sama sekali tidak menyangka kalau Maria tahu nama itu, terlebih karena gynoid itu bukanlah bekas sebuah Machina seperti dirinya.
“Dari mana kau tahu nama itu?” tanya Arslan. “Siapa yang memberi tahu nama itu kepadamu?”
Maria kini ikut kebingungan melihat perubahan sikap mantan Machina di hadapannya itu.
“Eeh ... dari Shelter 19 waktu aku tersesat di Kabut Elektrik? Kan aku pernah cerita soal itu,” jawab Maria salah tingkah. “Emangnya Verne itu apaan?”
Arslan menghela nafas sejenak, lalu menatap lurus ke arah kedua mata Maria.
“Aku tidak tahu,” sahut Arslan dengan jujur. “Yang jelas, Machina yang lahir kembali, atau yang masih tersisa dan bertahan melewati era Catastrophy, semuanya terbangun dengan membawa dua benda misterius ...”
Arslan menunjuk ke arah Harmonic Compass milik Maria, “... yaitu Harmonic Compass ...” kemudian menunjuk ke arah kepalanya sendiri “... dan perintah untuk menemukan Verne.”
“Aku tidak tahu Verne itu apa, seperti apa bentuknya, dan di mana bisa ditemukan ... yang jelas perintah yang ada dalam Cyberbrain-ku itu menjelaskan kalau aku hanya bisa menemukan Verne kalau mengikuti petunjuk pada Harmonic Compass yang kumiliki,” lanjut Arslan lagi. Dia lalu berhenti sejenak untuk memandang ke arah langit biru yang membentang di atas kota Bravaga. “Awalnya itu alasanku pergi mengembara keluar Bravaga. Demi mencari Verne. Tapi setelah melihat bagaimana sulitnya kehidupan para robot di kota-kota lain di luar kota ini ... yah ... aku memutuskan untuk membantu mereka sebisaku. Tapi tentu saja itu tidak mudah ... apalagi ketika robot-robot yang kubantu itu sampai tahu kalau aku dulu adalah sebuah Machina ...”
Selama beberapa saat Arslan terdiam. Meskipun wajah Arslan tidak dilengkapi kemampuan untuk menunjukkan emosi, tapi dari caranya bicara, Maria bisa menangkap ekspresi kesedihan yang mendalam. Mantan Machina itu lalu mengangkat bahunya sambil mengalihkan pandangannya ke arah Maria.
“... tapi ... yah ... apa boleh buat. Hanya itu cara yang kutahu untuk mencoba menebus perbuatanku di masa lalu,” ujar Arslan dengan nada getir. “Lebih baik begini daripada hidup berkelana tanpa tujuan jelas, lalu ujung-ujungnya hanya berakhir sebagai Robot Liar dan ...”
Sebelum Arslan sempat menyelesaikan ucapannya, tanpa peringatan Maria tiba-tiba saja memeluk tubuhnya dan membuat Pengembara itu terbelalak kaget. Selama beberapa detik, yang terasa seperti beberapa jam, Arslan membeku di tempat sementara Simulasi Emosi-nya mendadak mengeluarkan ribuan algoritma janggal yang segera membanjiri cyberbrain-nya. Dan itu membuat mantan Machina itu terdiam selagi dia dengan panik berusaha memproses semua algoritma yang memenuhi otak elektroniknya itu, sembari membereskan alur logisnya secepat yang dia bisa. Arslan baru bisa berpikir jernih lagi setelah Maria melepaskan pelukannya.
“Terima kasih,” ujar Maria sambil tersenyum lebar.
“Untuk apa?” tanya Arslan, masih sambil berusaha merapikan pikirannya. “Apa yang kulakukan?”
“Karena sudah mengajakku ke pertemuan pentingmu,” ujar Maria, masih sambil tersenyum lebar pada Pengembara di hadapannya itu. “Dan juga karena sudah membantu mempermudah kehidupan kami kota ini, dan juga kehidupan para robot di luar sana. Sekali lagi ... terima kasih.”
Arslan tidak bisa bicara apa-apa dan hanya terpaku di tempat sambil memandangi wajah Maria. Sekilas, mantan Machina itu benar-benar merasa kalau gynoid di hadapannya itu terlihat begitu cantik dan menarik hatinya.
Dan seketika itu juga Arslan tahu apa yang salah dengan dirinya, dan dia pun langsung bertekad untuk tidak menunjukkan hal tersebut ke hadapan siapa pun, terlebih ke hadapan gynoid yang masih tersenyum lebar di hadapannya itu.
“Nah~!” seruan Maria membuat Arslan terkesiap dan terbangun dari lamunannya. “Matahari sudah terbenam, itu artinya aku harus kembali ke rumah sebelum Ryouta khawatir dan mulai menggeledah seluruh sudut Bravaga.”
Arslan tidak mengatakan apa pun dan hanya bisa mengangguk mengiyakan.
“Kalau begitu, sampai jumpa besok ya~!”
Tanpa menunggu jawaban Arslan, Maria sudah melompat ke dinding toko terdekat, dan dengan rangkaian gerakan akrobatis, gynoid itu tahu-tahu sudah berada di atap dan segera menghilang di balik gedung yang baru saja dipanjatnya. Sementara itu Arslan masih terpaku di jalanan dan menjadi pusat perhatian beberapa robot yang sedang melintasi jalan tempat pimpinan para Pengembara itu berdiri.
Butuh waktu beberapa menit bagi Arslan untuk benar-benar tenang. Baru setelah dia bisa mengatur emosinya, mantan Machina itu pun menengadah ke arah langit kota Bravaga yang mulai gelap, kemudian berkata dalam hati ...
Kalau algoritma emosi semacam ini yang dinamakan Cinta ... aku benar-benar dalam masalah besar ... gumam robot penerbang itu sambil menghela nafasnya.

****
~FIN?~


red_rackham 2018

 



Comments

Unknown said…
masih penasaran sama bentuk arslan hmm . . .
RedRackham said…
Hmmm... bentuk waktu jadi Machina atau bentuk yang sekarang? Klo mo liat bentuknya yang sekarang, silahkeun beli versi cetak Everyday Adventure :p
Unknown said…
This comment has been removed by the author.
Unknown said…
keduanya sih!!
Aihh, promosi yang menarik...