[Cerpen EAT 2011]: Perjalanan Sang Penjaga Labirin


[Cerpen EAT 2011]: Perjalanan Sang Penjaga Labirin
Oleh: kyuukou okami

            Niehls di malam hari penuh pendaran lampu kekuningan, seperti kawanan kunang-kunang. Kota tua itu hampir runtuh dilalap putaran sang waktu. Udara pagi selalu menebarkan wangi masam di perkebunan dan bau asap penuh kerja keras di pertambangan. Sementara saat matahari terbenam, hanya tersisa aroma peluh pekerja tambang batu bara.
            Gadis itu berdiri di kegelapan bukit tempatnya dapat merengguk pemandangan kota di bawah. Angin malam berhembus mengacak rambut dan mengibarkan jasnya. Matanya berkilau memantulkan sinar purnama. Lonceng kecil yang dikalungkan di lehernya berdenting jernih dan pilu. Dihirupnya udara malam yang membawa aroma keringat, dan derita hari itu. Aroma penuh kehidupan nyata yang dirindukannya.
            Dialihkan pandangan pada batu granit yang bertebaran tak beraturan di sekitar reruntuhan tempatnya berdiri. Sebagian kelabu kehitaman, sebagian hijau dirambah lumut, namun kebanyakan menampakkan warna abu-abu pucat, tanpa nyawa.
            Betapa menyedihkan. Tak terbayang kemegahan Kerajaan Galena di jaman jayanya dulu. Ada masa di mana bangunan ini berdiri kokoh di atas bukit tertinggi Niehls ini. Dengan prajurit berbaju zirah menjaga di gerbang istana, taman indah dengan air mancur besar berhias patung keluarga kerajaan, dan ruang singgasana menakjubkan dengan taburan kristal dan permata yang dihuni oleh Raja Erasmus, Ratu Dorinda beserta keempat putri mereka yang bijaksana dan disegani rakyatnya
            Namun di masa itulah portal penghubung bumi dengan neraka terbuka. Deimos menyebar dari sana, merajalela membuat kerusakan, penderitaan, dan merampas hal paling berharga dari semua orang. Galena yang terparah. Makhluk-makhluk itu menghancurkannya hingga serpih terkecil, tak menyiksakan apa pun kecuali kematian dan kesengsaraan.
            Kedua gadis itulah, yang merasa terpanggil takdir, akhirnya bertekad menukar kelemahan demi mendapatkan kekuatan dan menjual batas hidup mereka demi mendapat keabadian—dengan beberapa ketentuan—pada roh leluhur suci untuk mengakhiri kejayaan para Deimos. Lalu mereka ciptakan labirin luas penuh tipu daya di kedalaman tanah Niehls dan memerangi para Deimos dari seluruh penjuru dunia kemudian menyegelnya di sana.
            Yuki dan Lena, kedua gadis penjaga labirin bawah tanah itu, hidup hingga ratusan tahun, hingga kini.
            Tiba-tiba denting lonceng lain degan suara kuat dan tegas membuyarkan lamunan Yuki. Lena berdiri di sampingnya, menatap lurus pada kerlipan Niehls. Terlihat mengagumkan saat angin mengibarkan syal dan rambut keperakan serta menampar lonceng yang disambungkan dengan seutas tali tipis di pergelangan tangannya.
Yuki terdiam, menjelajah wajah Lena di sampingnya. Mata yang, walau tajam, selalu membuatnya nyaman, bibir tipis yang selalu berkata dingin namun mampu membuat hatinya hangat, serta lonceng itu, simbol janji yang tak pernah dilepaskannya. Tanda bahwa mereka akan mengabdi bersama, selamanya.
            Tapi kini, sesuatu mengusik dada Yuki. Ada keinginan untuk mendobrak keluar dari batas hidupnya. Berkubang menjinakkan kegelapan telah membuatnya muak. Mereka telah berjanji, tapi ia ingin kebebasan. Ia ingin pergi dari hari-hari yang telah begitu lama dijalaninya. Tak bisakah ia merengguk kehidupan manusia lagi, seperti dulu?
            Egois, Yuki mengakuinya. Semua makhluk menginginkan kekuatan dan keabadian. Ia memiliki keduanya, namun kini hati kecilnya menolak. Bukankah ia sudah terlalu lama melawan Deimos? Bukankah ia sudah terlalu lama mengecap rasa dunia di bawah tanah? Bukankah ia sudah terlalu lama menjalani semuanya, bersama Lena?
            Dibalik rasa itu, Yuki tahu ada alasan lebih kuat yang menguasainya. Sosok pemuda itu telah mencuri hatinya. Dialah alasan terbesar yang membuat hati kecilnya mulai rindu kebebasan dan kehidupan normal. Pemuda itu telah membuatnya merasa berbeda. Segala hal yang semula menjadi bagian terpenting hidupnya—Lena dan segala macam tentang Labirin Ilusi—kini mulai bergeser. Bayangan pemuda itu menganggunya. Hampir tak tertahan keinginannya untuk pergi dari kehidupan seperti ini, bahkan meninggalkan Lena, untuk bersamanya. Ia hanya manusia biasa dengan senjata bumerang raksasa, tapi Yuki merasa diperbudak. Seakan pemuda itu adalah segala baginya, hidup matinya dan ia tak dapat bernapas tanpanya.
            ‘Pengkhianat!’ Yuki memaki dirinya. Tapi ia tahu, betapa pun ia sadar mencaci diri, hati kecilnya memiliki pemikiran sendiri.
            “Lena, maafkan aku…”
Lena beralih menatap Yuki. Nada gadis itu penuh rasa tertekan. Lena tak bisa menerka karena mata biru cemerlang Yuki terus memandang ke bawah, seakan menghindarinya.
            “Untuk apa?”
            Suara Lena sedingin salju. Menusuk pendengaran Yuki, menyesakkan napasnya, membuatnya tertimbun dengan perasaan bersalah dan tertekan yang sama besarnya. Ia terombang-ambing antara tak dapat memilih apa yang harus dikatakan dan ketakutan akan pengakuan yang mungkin diucapkannya.
Angin malam itu berhembus lagi. Kini hanya lonceng merekalah yang bicara dengan dentingan-dentingan berbeda.
            “Deimos!!”.
Tiba-tiba seruan Lena yang bercampur semangat dan kebencian terdengar merobek keheningan, disertai seulas senyum tajam yang terlukis di wajahnya.
            “Yuki! Ayo!!” Serunya lalu tanpa menoleh lagi, melompat tinggi dari bukit tempatnya berdiri, menyongsong udara malam.
Sementara Yuki terpaku, diliputi keraguan. Ini tidak benar, dia seharusnya menyusul Lena. Tapi mengapa hatinya memberontak?
            Sementara Lena sudah tak terlihat, ditelan bangunan kota, Yuki menatap pohon ek tak jauh dari sana. Daunnya berwarna keperakan ketika ditimpa sinar bulan dan mengangguk anggun. Pohon itu, tempat pertemuannya dengan si pemuda. Mendadak jantungnya terasa sakit. Tiap debarannya seakan sanggup merobek tulang-tulangnya.
            Ia merindukannya sekarang.

-o0o-
           
            Matahari pagi mengusik mata Yuki yang terpejam. Bersitan dingin yang menaikkan bulu kuduk menyapu kulitnya dan aura kegelapan menguar menyesakkan ruangan. Tanpa membuka mata, ia tahu apa artinya itu.
            Deimos yang kabur.
            Dengan erangan kesal ia menyambar jas dan melompat keluar dari jendela menara tempatnya tinggal. Makhluk itu tak lebih dari sosok hitam pekat yang melayang di udara, berbentuk tak beraturan dengan mata merah tajam dan gigi-gigi runcing, namun selalu saja menyusahkan.
            Dengan cekatan Yuki melesat di atap bangunan Niehls. Digiringnya Deimos itu ke kuil Labirin Ilusi agar makhluk itu tak membahayakan siapa pun dan Yuki bebas menggunakan kekuatannya.
Deimos itu melawan mati-matian. Dikeluarkannya segala kekuatan kegelapan untuk merasuki, mempengaruhi, dan menyiksa Yuki, namun Yuki lebih kuat. Dengan mantra pertahanannya, dibuyarkan serangan kegelapan itu. Tapi dengan gigi runcingnya, Deimos itu menggigit lengan Yuki dan menyabetkan bagian tubuhnya yang tajam ke leher gadis itu. Yuki merasa kulit lehernya tergores, namun beruntung ia dapat menghalaunya.
Dihempaskannya Deimos itu dan segera disembuhkan lukanya dengan mantra pemulihan. Makhluk itu bangkit dan mencuri kesempatan untuk kabur. Namun tiba-tiba sesuatu yang besar berkelebat, berputar-putar mengelilinginya dan membenturnya berkali-kali dari sisi berbeda. Senyum Yuki melebar ketika menyadari apa itu. Bumerang.
Berusaha fokus, ditariknya Deimos itu dan diserangnya berkali-kali tepat di wajah hingga makhluk itu terkulai lemah di tangannya. Segera ia kembali ke gerbang di kuil untuk menjebloskan makhluk itu ke dalam kegelapan dan dibantingnya gerbang hingga menutup, tak peduli lagi.
Dirinya terbakar gairah saat berbalik dan mendapati pemuda itu berdiri di sana. Angin yang berhembus di antara mereka menebarkan aroma yang dikenalnya baik. Tanpa jejak panas batu bara atau keputusasaan, seperti penduduk lainnya. Hanya ada aroma segar rerumputan dan kebebasan.
            Dipandangnya pemuda itu dari bawah ke atas. Sepatu bootnya terlihat tua namun kokoh, celana tebalnya usang, kaus berlengan robek melekat pada tubuhnya, tas kulit bertengger santai di punggungnya dan ikat kepala hitamnya yang berkibar pelan ditiup angin. Sebuah bumerang metal berukuran raksasa berdiri kokoh di tanah, menyangga tangannya. Pemuda itu menatap Yuki dengan lembut dan tersenyum tipis.
            “Raff!!” Suara Yuki melengking tinggi. Ia melonjak menghampiri pemuda itu dengan senyum merekah lebar.
            “Kulihat kau butuh bantuan.”
            Pipi Yuki bersemu. Sejujurnya dengan kekuatannya yang besar, ia dapat menangani makhluk itu sendirian. Tapi sama sekali tak ada rasa keberatan di hatinya. Hanya ada sesak aneh yang membuatnya bahagia.
            “Aku kemari untuk berpamitan. Aku harus melanjutkan perjalananku…”
            Kata-katanya itu berhasil membuat Yuki seakan disiram air es. Wajahnya yang berseri mendadak layu, sedih dan kecewa.
“Kupikir kau tidak akan pergi.”
            “Aku butuh waktu untuk memulihkan diri dari luka-luka saat itu…”
            Mendengarnya, ingatan Yuki seakan dihempas waktu. Kembali ke empat bulan lalu saat pertama kalinya bertemu dengan Raff yang terkapar sekarat di bawah pohon ek, berhasil melarikan diri dari serangan raja Deimos yang kabur dari Labirin Ilusi. Ia masih mengingat jelas saat merawat luka Raff setiap hari dan jatuh cinta perlahan tanpa bisa dicegahnya. Kini ia harus berpisah dengannya setelah melalui saat membahagiakan itu.
            “Aku ikut, Raff!”
            “Bagaimana bisa? Tempatmu di sini, Yuki.”
            “Kumohon…” Gadis itu memandang Raff dalam.
            Tatapannya membuat Raff terdiam. Ada sesuatu dalam mata gadis ini yang tak dapat diabaikannya. Ada sinar tertekan, seakan ia ingin lepas dari jeruji yang mengungkungnya, dan keinginan besar yang menunggu untuk dihidupkan. Ia rindu udara bebas. Raff mengerti perasaan itu. Pandangan itu, sama seperti pandangannya pada seseorang lima tahun lalu. Sewaktu ia memutuskan hidup bebas untuk melihat dunia.
            “Tapi bagaimana dengan tugasmu? Bagaimana dengan Lena?”

-o0o-

            Semua mata menatap mereka dengan berbagai ekspresi. Tapi Yuki sudah terbiasa menjadi pusat perhatian sehingga hal itu tak mengganggunya lagi. Hanya ada rasa sesak memenuhi dadanya ketika ia melangkah mendekati gerbang kota Niehls. Sanggupkah ia meninggalkan Lena begitu saja?
            Yuki menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu. ‘Aku telah berjanji akan kembali’, lawannya. ‘Aku hanya butuh kehidupan tanpa Deimos untuk sementara waktu! Aku hanya ingin bersama Raff sebentar lagi…’
            “No…Nona Yuki…”
            Seorang prajurit penjaga gerbang menghampiri ragu saat Yuki dan Raff melangkah melewati gerbang. Terlihat bingung. “Anda…akan pergi? Ke mana?”
            Yuki memalingkan wajah. Pertanyaan itu seperti menekannya, menerornya, dan mengingatkannya pada Lena. Menjawabnya hanya akan membuatnya ragu lagi. Raff yang menjawab mantap. “Melria, kota kelahiranku di utara.”
            Lalu mereka memacu kaki untuk beranjak dari sana. Satu demi satu langkahnya bertambah saat gerbang besar di tembok yang mengelilingi Niehls semakin menjauh. Yuki menoleh, dipandangnya sekali lagi tembok itu. Dadanya seakan meledak dengan gairah meluap, seperti burung yang lepas dari sangkar. Namun di saat bersamaan, rasa bersalah terus membuatnya sesak. Dua rasa yang bertolak belakang dan saling membunuh secara bergantian.
            Untuk terakhir kali, Yuki menyentuh loncengnya. Seakan berusaha mengucapkan salam perpisahan melalui denting jernihnya. Namun ketika meraba leher, disadarinya lonceng itu tak terikat di sana.

-o0o-

            Entah berapa hari berlalu dengan Raff di sisinya. Pengembaraan ternyata dapat membuat satu hari terasa begitu cepat sekaligus lambat. Banyak yang tak bisa dikendalikan Yuki, ia merasa menjadi seorang bayi kecil yang baru lahir dan dibawa melihat dunia. Buta dan butuh bimbingan.
            Vrox, kota asing pertama yang diinjaknya. Lebih kecil dari Niehls, namun begitu penuh warna dan kehidupan.
“Berbeda dengan Niehls yang berisi manusia biasa, kota ini adalah rumah bagi para pemilik kekuatan” Raff berkata sambil menunjukkan pada Yuki anak-anak di sisi jalan yang bermain bola cahaya kecil yang berpendar, alih-alih bola karet seperti anak-anak Niehls. “Di sini, warga kota tidak membutuhkan tenaga uap. Mereka hidup dengan bahu-membahu menggunakan kekuatan yang berbeda-beda.”
            Kota kedua mereka adalah Cruzon. Begitu melangkah kemari, mereka dikejutkan dengan letusan meriam yang bersahut menggetarkan tanah. Suasana begitu panas dan penuh depresi. Peluru-peluru beterbangan ke segala arah, para pria berteriak sementara para wanita dan anak-anak berlari mencari perlindungan.
Awalnya tak ada yang bersedia menjawab saat Raff dan Yuki bertanya. Hingga akhirnya seorang prajurit yang kehilangan satu tangan, satu kaki dan tengah berbaring menunggu ajal di bangsal perawatan menjawab, semua ini akibat perang saudara antar dua pewaris tahta kerajaan yang haus kekuasaan.
Raff segera memutuskan kota ini tak aman dan mengajak Yuki pergi secepatnya. Sebenarnya bagi Yuki, perang ini tak separah itu. Keadaan saat portal neraka terbuka di Niehls dan Deimos meluluh-lantakkan setiap sudut kota, itu baru parah.
            Betapa leganya Raff begitu mereka sampai di Exar. Tempat ini berbeda dengan yang sebelumnya mereka singgahi. Tipikal kota metropolitan di mana semua orang berjalan untuk memenuhi kehidupannya sendiri. Mereka beristirahat di sini selama tiga hari, memenuhi perbekalan dan menyiapkan energi karena Raff berkata kota selanjutnya adalah tempat yang berbahaya.
            Sepanjang perjalanan menuju Tartaria, keadaan berubah drastis. Keramaian digantikan kesunyian, kebahagiaan dikalahkan kesengsaraan, dan kehidupan diselubungi kematian. Begitu mereka menginjakkan kaki di sana, desiran angin yang menaikkan bulu roma menyapa.
            Tartaria adalah tempat pembuangan para makhluk yang tak diinginkan namun tak dapat dibuang dari bumi. Iblis, raksasa, monster, dan sebangsanya. Yuki bertanya-tanya, apa yang membuat Raff mengambil resiko besar dengan melintasi tempat ini. Memang akan lebih jauh jika mengambil jalur memutar, namun nyawa adalah yang terpenting. Dan saat ini bagi Yuki, nyawa pemuda itulah yang terpenting.
            “Ayah, kakek, dan kakek buyutku adalah salah satu dari pemburu makhluk kegelapan yang menyegel hasil tangkapannya di sini. Satu yang istimewa dari para pemburu makhluk kegelapan adalah mereka dapat mengikat satu perjanjian dengan makhluk buruannya. Perjanjian tetuaku terhadap makhluk buruannya adalah dengan tidak akan melukai keturunannya melainkan menjaganya ketika ia masuk ke Tartaria, di mana hanya segelintir orang dapat keluar hidup-hidup dari dalamnya.
“Mereka akan melindungiku.” Raff tersenyum pada Yuki. “Aku tahu kau bisa melindungi dirimu sendiri, tapi aku tetap akan melindungimu.”
            Seharusnya perjalanan melintasi Tartaria tak akan seindah ini. Tak terhitung banyak makhluk yang maju menyerangnya, tapi Raff menarik Yuki erat dalam dekapannya dan membuatnya juga berada dalam perlindungan troll besar, tiga makhluk tak berbentuk yang melayang-layang, serta seorang penyihir dengan mantra-mantra kegelapan. Yuki mungkin dapat melawan semuanya, tapi ia tak ingin melepaskan diri dari Raff. Rasanya begitu aman dan menenangkan.
Kelima makhluk itu berhasil membuat mereka keluar dari Tartaria dengan aman. Perjalanan dilanjutkan ke sebuah kota tanpa kehidupan. Tak ada napas lain kecuali milik mereka. Sebuah kota mati dengan bangunan-bangunan yang terbengkalai. Hanya beberapa yang masih dapat dikenali bentuk asalnya, selebihnya hancur, diselimuti debu. Ada sensasi aneh saat memasuki tempat ini. Sebuah kesan yang pasti akan siapa pun dapatkan ketika memasuki tempat di mana sebuah pembantaian besar pernah terjadi sebelumnya.
Dan Yuki benar. Raff berkata bahwa inilah salah satu dari banyak kota yang hancur saat penyerangan Deimos ratusan tahun lalu. Warga Dedrorian seluruhnya hanyalah manusia biasa, maka tak ada yang dapat melawan serangan itu. Semua orang mati di tempat. Tak ada yang dapat menolong mereka dan membangun kembali kota kecil ini setelah para Deimos membimbingnya dalam kehancuran.
Yuki tertunduk lesu. Lagi-lagi, itu membuatnya teringat Lena.
Tak sampai empat hari kemudian mereka tiba di Melria, kota para pemburu makhluk kegelapan. Kesan pertama yang didapatkan Yuki adalah, tempat itu tak terlalu istimewa. Tak ada ciri menonjol yang menunjukkan bahwa warganya adalah manusia yang memiliki kekuatan, berbeda dengan Vrox.
            Namun Raff begitu bersemangat ketika menginjakkan kakinya di tempat ini. Langkahnya mendadak berkali lipat gesitnya. Ia memandang berkeliling dengan pandangan seperti anak kecil yang kehilangan mainan berharganya dan merasa bahagia ketika menemukannya kembali.
            “Aku tidak sadar, betapa aku merindukan tempat ini…”

-o0o-

Raff membawa Yuki ke pondoknya dan mengajaknya bertemu dengan kedua orangtua serta ketiga adik perempuannya. Mereka semua orang yang ramah dan menyenangkan. Bagi Yuki yang terpaksa berpisah dengan keluarganya ratusan tahun lalu, ia dapat merasakan kehangatan yang dirindukannya ketika berada di tengah keluarga mereka. Namun Raff memperkenalkannya pada semua orang sebagai sahabat dekat, tidak lebih. Entah mengapa itu membuat sesak di hatinya bertambah.
“Aku akan memperkenalkanmu pada seseorang lagi.”
Raff berbicara padanya riang setelah sarapan pagi itu. Gerak-geriknya menunjukkan ekspresi tak sabar ketika mengatakannya.
“Siapa?”
Raff menunjukkan senyum yang berbeda dari biasanya dan membuat Yuki terpesona. “Kau akan tahu…”
            Yuki berpikir Raff akan mengajaknya berjalan jauh. Ia begitu bersemangat, ditambah dengan siraman matahari cerah dari atas, hari ini terasa begitu sempurna. Namun mereka hanya berjalan beberapa puluh langkah dan berhenti beberapa rumah kemudian. Raff mengetuk pintu dan seorang gadis cantik berambut cokelat lembut menyembul dari baliknya.
            Melihat siapa yang mengetuk pintunya, pandangan gadis itu bersinar.
“Raff!!” serunya bahagia. Begitu bahagia hingga terlihat hampir menangis. Tanpa basa-basi, gadis itu merangkul Raff erat seakan tak akan melepaskannya lagi. “Kapan kau kembali?”
            Raff tersenyum lebar, lagi-lagi dengan senyumnya berbeda. “Kemarin.”
            Yuki terpaku. “Raff…” Panggilnya dengan suara bergetar.
Gadis itu menoleh dan melepaskan pelukannya. Seakan tersadar, Raff tersenyum dan menarik Yuki ke dekatnya. “Irana, perkenalkan, ini sahabatku, Yuki…” Katanya dengan lembut dan berpaling pada Yuki.
            “Yuki, ini Irana. Gadis yang kucintai…” Ia berbicara kembali dengan nada lebih rendah. “Kepadanyalah aku berjanji akan kembali ke mari, lima tahun lalu…”

-o0o-

            “Maaf, Lena,…” Yuki terisak. Pandangannya pada langit biru mengabur, digantikan lapisan bening yang memudarkan semua warna. Rasa sesak menikamnya tajam. Pikirannya didesak banyak hal. Ia telah meninggalkan Lena dan tanggung jawabnya di Niehls hanya demi melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang dicintainya, namun telah mempunyai orang lain dalam hidupnya.
            Tidak, Yuki tidak ingin mengingat kata-kata terakhir Raff. Fokusnya buyar dan tenggorokannya begitu sakit hingga tak dapat mengatakan apa pun, lalu didapati kakinya bergerak membawanya pergi dari sana. Begitu menyakitkan…
            Dari isakan, perlahan tangisan Yuki semakin hebat. Sandarannya di dinding gerbang Melria mengendur hingga ia terpuruk di sana.
            “Lena, maafkan aku…” Ia mengucapkannya berkali-kali.
Tiba-tiba sebuah suara yang sangat dikenalnya terdengar, bergema di batok kepalanya. Suara Lena. Yuki merasa ia menjadi gila. Kepalanya disesaki rasa bersalah, sesal, dan sakit hati yang sama besarnya, lalu kini ketika mengangkat wajah, ia berimajinasi melihat Lena berlari ke arahnya dan meneriakkan namanya. Yuki membenturkan kepalanya ke dinding di belakangnya untuk menghilangkan bayangan itu namun bayangan itu tidak hilang.
            Tidak, tunggu, itu nyata.
            “Le…Lena?!!”
            Refleks, Yuki bangkit dan memacu langkahnya menyongsong Lena. Terbuai dengan luapan ribuan perasaan. Lalu disadarinya ada yang aneh dengan langkah Lena. Tidak stabil, pincang dan terseret. Seluruh tubuh Lena berbalut darah kering. Beberapa langkah lagi dari gadis itu, barulah Yuki sadar, Lena kehilangan tangan kirinya. Itulah yang membuat tubuhnya dibanjiri noda cokelat gelap.
            “Yuki…” Hanya terdengar desahan darinya. Setelah itu matanya mulai tak terfokus dan ia terjatuh.
            Yuki berteriak dan menopang Lena tepat waktu. Ia memeluknya hati-hati dengan wajah yang dibanjiri air mata. “Lena, apa yang kau—“
            “Akhirnya kutemukan…”
            “Kau… mencariku?”
            Lena tersenyum dan merogoh kantung dengan tangan kanannya yang bergerak patah-patah. “Kau meninggalkannya…” Disodorkannya lonceng Lena yang dikaitkan pada pita putih itu. Simbol bahwa mereka akan selalu bersama.
            Tangis Yuki makin menjadi-jadi. Tanpa dapat mengatakan apa pun, ia memeluk Lena lembut. Tenggelam dalam rasa bersalah dan kasih sayang yang sama besarnya.
            “Jika aku berubah ke fase itu, jagalah aku. Agar ketika aku terlahir kembali, aku akan selalu bersamamu…”
            Yuki tersentak, mengerti maksudnya. Mereka para Penjaga Labirin memang diberikan anugerah hidup abadi. Namun jika mati terbunuh, mereka akan berubah pada fase telur lalu hidup lagi ke dunia. Mereka tak pernah mengalami hal itu sebelumnya. Namun Yuki mengangguk mantap, berjanji dengan sepenuh hati.
Lena tersenyum damai. Ia membelai pipi Yuki lembut dan perlahan jemari itu memudar. Seakan sinar matahari lambat laun dapat menembusnya dan membuat sentuhan nyata itu bagaikan belaian angin. Tubuh Lena di pelukan Yuki mengabur perlahan, seperti kumpulan serbuk berlian yang berkilau indah. Serbuk-serbuk itu berputar, berkumpul, dan memadat dengan cahaya terang yang menyilaukan.
            Sebuah telur besar muncul di pelukan Yuki. Putih mutiara, diselimuti lapisan berkilau seperti serbuk berlian. Air mata Yuki meleleh di atasnya ketika ia memeluknya erat.
            “Aku berjanji, Lena…” Bisiknya pada telur itu. “Kita akan punya hidup baru saat kau bangkit untuk melihat dunia nanti…”

-o0o-

Blog Owner's Note:
Merupakan karya hasil kolaborasi saia (red_rackham) dengan kyuukou_okami dalam event EAT 2011 di kemudian.com. Cerita di posting dengan izin dari kyuukou okami selaku pemilik cerpen ini.

Comments