3rd Spiral: Beyond The Coffee Taste
Sore hari.
Matahari baru saja terbenam dan hari pun mulai gelap,
namun itu semua tidak menghentikan derap kehidupan yang nyaris tanpa henti di
kota Jakarta. Teriknya sinar matahari yang telah menghilang, dengan sigap telah
digantikan oleh gemerlap lampu-lampu kota yang terkadang kelewat terang, hingga
mengalahkan cahaya dingin bulan purnama di atas sana. Itu belum ditambah dengan
sinar lampu ratusan –kalau tidak ribuan– kendaraan yang terjebak macet di
hampir sebagian besar jalanan ibukota. Bagaikan barisan kunang-kunang,
kendaraan dengan berbagai jenis memadati jalanan dan bergerak perlahan, nyaris
dengan ritme lambat yang teratur.
Rush hour kedua.
Saat di mana warga yang sebagian besar tinggal di
kota-kota satelit sekitar Jakarta, berjuang untuk bisa kembali ke rumah
masing-masing sebelum larut malam. Saat di mana banyak dari mereka harus
menempuh berjam-jam perjalanan penuh kemacetan sebelum akhirnya bisa kembali ke
rumah masing-masing.
Biasanya sih aku juga jadi bagian dari iring-iringan
malam di jalanan kota, tapi hari ini agak sedikit berbeda. Di hari-hari biasa kalau
sudah jam segini, aku akan berkendara di atas partner tuaku sambil sesekali
menggerutu karena terjebak macet yang rasanya semakin parah tiap tahunnya.
Biasanya begitu ... tapi tidak untuk sore ini.
“Baiklah. Di mana aku sekarang?”
Aku duduk di atas motorku sambil memandang ke sekeliling,
kemudian ke arah smartphone tua yang baru
saja kehabisan baterai pada saat yang sangat tidak tepat. Ponsel pintar yang
sudah berumur beberapa tahun itu hampir selalu sukses mematikan dirinya sendiri
pada saat aku paling membutuhkan bantuannya.
Sungguh pintar.
“Gawat ... ini di daerah Jakarta yang sebelah mana sih?”
Aku menggaruk kepalaku sambil mengetuk-ngetuk layar
ponsel yang sudah kehabisan baterai, berharap alat canggih itu kembali menyala
dengan suatu keajaiban. Tapi tentu saja tidak ada yang terjadi. Layarnya tetap
gelap, dan aku pun masih tersesat.
Biasanya kalau sudah begini, aku akan mencari pedagang
kaki lima terdekat, kemudian menanyakan arah tujuanku. Tapi entah kenapa,
daerah yang kukunjungi kali ini begitu sepi, sehingga seolah-olah ini bukan
bagian dari kota Jakarta lagi.
Jalanan yang terbentang di hadapanku benar-benar kosong
dan dibatasi oleh dinding-dinding batako tinggi. Sepertinya sih ini daerah yang
baru dikembangkan oleh pengembang properti, sehingga tidak ada bangunan lain di
sekitar sini.
Masalahnya sepinya itu sungguh kelewatan! Sudah lebih dari
setengah jam aku melintasi jalanan yang agak mirip labirin ini, tapi aku belum
sekalipun melihat ada kendaraan lain yang melintas. Saking sepinya, aku jadi
ngeri kalau ini sebenarnya tempat paling ampuh bagi para begal untuk
menjalankan aksinya.
Maklum saja, akhir-akhir ini ulah begal kendaraan
bermotor semakin mengerikan. Mereka tidak segan-segan melukai, ataupun
menghabisi nyawa korbannya. Tapi jujur saja, aku agak ragu mereka akan mencoba
merampok motor tua yang kukendarai ini. Toh mau dijual ke tukang loak pun,
harganya tidak seberapa.
“Aduh! Ini benar-benar menyebalkan!”
Sambil menghela nafas panjang, aku kembali menyalakan
mesin motorku. Deru mesin empat tak tua langsung terdengar menggetarkan udara
malam yang mulai mendingin. Setelah sekali lagi memastikan kalau tidak ada
orang di sekitarku, aku pun melaju perlahan-lahan tanpa petunjuk arah sama
sekali.
Seperti tadi, yang kulihat dari tadi hanyalah jalanan
sempit yang diapit oleh tembok batako tinggi. Tidak ada bangunan lain. Hanya
sesekali ada pohon-pohon tua yang terlihat menyembul dari balik tembok beton
yang memagari pinggiran jalan. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda
kehidupan. Belum lagi ditambah fakta sekarang pandanganku agak kabur karena
terhalang kabut tipis yang mulai muncul di sekitarku.
Ini benar-benar masih di kota Jakarta kan?
Kok perasaan aku seperti sudah berada di daerah pinggiran
pedesaan begini?
Pakai ada kabut segala! Ini sebenarnya di mana sih?!
Dengan perasaan yang semakin tidak karuan, aku mempercepat
laju motorku. Sebenarnya itu tindakan konyol, karena bisa saja aku menabrak
sesuatu atau terperosok lubang di jalanan yang juga nyaris gelap total ini.
Setelah beberapa menit berkendara tanpa arah, tiba-tiba
saja aku mencium aroma yang begitu khas, dan begitu kukenal.
Aroma kental khas kopi yang baru saja diseduh.
Tanpa pikir panjang, aku memutar kenop gas dan langsung
melaju secepat yang motorku bisa. Mesin tua di kuda besiku meraung protes
karena dipaksa bekerja terlalu keras, tapi dengan tabah, dia tetap bertahan
melaju dengan mantap. Aku hanya berharap mesin itu tidak sampai jebol. Soalnya
hal terakhir yang kuperlukan sekarang adalah mesin motor yang berhenti
berfungsi karena dipaksa bekerja terlalu keras.
Setelah melintasi jalanan yang berliku-liku nyaris tanpa
henti, akhirnya aku melihat cahaya di depan yang berasal dari sebuah kedai kopi
di pinggir jalan. Aku sama sekali tidak berpikir dua kali ketika memutuskan
untuk mampir di sana. Sebab saat ini aku butuh dua hal: petunjuk arah dan
secangkir kopi hangat.
Begitu aku memasuki halaman kedai itu, ada beberapa hal
yang langsung menarik perhatianku. Dari dekat kedai itu terlihat sudah sangat tua,
namun terawat dan memancarkan kesan antik yang begitu kuat. Desain bagian depan
kedai yang ukurannya lumayan besar itu langsung mengingatkanku pada rumah-rumah
kuno yang masih tersisa di kawasan Kota Tua. Desain jendela, pintu, dan atap
kedai ini lebih mirip dengan rumah para tuan tanah di masa penjajahan Belanda. Ada
sedikit sentuhan ornamen Betawi, tapi selebihnya didominasi ornamen khas Eropa.
Sebuah plang nama berwarna perak terpampang di dinding
depan kedai itu.
Koffie Zonder Grenzen.
Entah apa artinya itu, tapi nama itu terdengar keren dan
cocok sekali dengan gaya ke barat-baratan dari kedai ini. Dan aku yakin siapa
pun pemiliknya, dia pasti punya selera artistik yang bagus! Hanya sayangnya
tempat seantik ini ada di entah-di mana-ini. Mungkin saja ini salah satu
bangunan yang pemiliknya menolak untuk digusur saat daerah ini dikembangkan
oleh pengembang properti.
Ngomong-ngomong ... sudah saatnya aku berhenti mengagumi
bangunan ini. Hari sudah semakin malam dan aku harus segera pulang ke rumah.
Soalnya besok akan ada tugas lain menunggu untuk dikerjakan!
Setelah memastikan motorku terkunci dengan aman, aku pun
melangkahkan kaki memasuki kedai kopi antik itu. Begitu masuk, aku langsung
disambut oleh aroma kopi yang menguar begitu kuat dan menggugah seleraku
sebagai seorang penikmat kopi. Di luar dugaan, kedai itu cukup ramai dengan
pelanggan. Setidaknya ada sepuluh orang yang sudah duduk santai menikmati
secangkir kopi hangat, sambil sesekali berbicara dengan sesamanya.
Anehnya ketika aku masuk, semua pelanggan di kedai ini
langsung menoleh ke arahku dengan tatapan
yang ganjil. Ada yang melihatku dengan tatapan penuh tanya, ada juga
yang langsung tersenyum lebar. Tapi itu hanya berlangsung sejenak, hanya
beberapa detik, kemudian mereka kembali berpaling dan melanjutkan aktivitas
masing-masing.
Yang membuatku heran dan sedikit takut bukan hanya karena
sikap mereka, tapi karena pakaian yang dikenakan oleh para pelanggan di kedai
antik ini. Beberapa dari mereka terlihat mengenakan pakaian yang hanya pernah
kulihat di buku-buku sejarah, di sisi lain ada beberapa orang yang berpakaian
seperti di film-film fiksi ilmiah.
Aneh sih.
Tapi sekarang itu bukan masalah utama. Soalnya sekarang
aku hanya punya dua pilihan:
Masuk ke kedai antik penuh orang berpakaian aneh ini,
atau berkendara tanpa arah sampai motor mogok kehabisan bensin.
Tentu aku akan memilih pilihan pertama.
Tidak ada yang lebih menjengkelkan selain tersesat
malam-malam di jalan yang sepi, sambil kelelahan mendorong motor butut yang
kehabisan bahan bakar.
Setelah menarik nafas panjang dan menenangkan diri, aku
pun melanjutkan langkah memasuki kedai bernama Koffie Zonder Grenzen ini.
“Pertama kali ke sini, tuan?”
Seorang pelayan berambut pirang dan bermata biru langsung
menghampiriku. Sekali lihat saja aku tahu dia ini bukan orang Indonesia tulen.
Perawakan dan aksennya yang aneh membuatku yakin dia bukan lahir dan besar di
negara ini.
“Iya,” sahutku. “Sebenarnya aku agak tersesat juga.
Untung saja aku menemukan kedai ini, jadinya aku pikir tidak ada salahnya aku
mampir minum kopi sambil mencari petunjuk jalan.”
“Oh. Tuan tersesat? Kenapa bisa sampai sini?” tanya
pelayan itu kebingungan. “Tidak biasanya.”
Mendengar ucapannya, aku semakin kebingungan.
“Apa maksudnya?” balasku.
“Tuan, kalau mau tuan bisa duduk sebentar dan menikmati
secangkir kopi. Saya akan meminta tuan Manajer untuk membantu tuan.” Tanpa
menjawab pertanyaanku, pelayan itu menyodorkan selembar menu dan menunjuk ke
arah meja kosong di salah satu sudut ruangan. “Silakan bersantai dulu, tuan.”
Aku hanya bisa mengangkat bahu sambil berjalan ke arah
meja yang ditunjuk pelayan tadi. Begitu aku duduk, aku segera menyadari kalau
menu di tanganku ini juga ditulis dengan bahasa yang sama anehnya dengan nama
kedai kopi ini.
“Koffiemelk 2 Nitz? Zwarte koffie 5 Nitz? Koffie koning
15 Nitz?” gumamku. “Ini bahasa apa sih?”
“Baru pertama kali ke sini?”
Seorang pria berpakaian pelayan kembali menghampiriku.
Tapi berbeda dengan yang tadi, sepertinya pelayan yang satu ini punya kedudukan
lebih tinggi. Itu terlihat dari sikapnya dan sikap para pelayan lain yang agak
membungkukkan kepala ketika melintas di dekatnya.
Sepertinya dia Manajer kedai ini.
“Iya,” jawabku. “Anda ini?”
“Glibert. Panggil saja begitu,” sahutnya tanpa basa-basi.
“Aku manajer sekaligus pemilik kedai ini. Ada yang bisa kubantu?”
Selama beberapa saat aku terdiam dan mengamati sosok di
depanku itu. Tidak ada yang aneh dari perawakan pria itu, selain fakta bahwa
kedua matanya memiliki iris berwarna hijau terang dan topeng gas metalik yang
tergantung di depan dadanya.
“Sebenarnya aku agak tersesat dan ponsel ku mati, jadi
aku tidak tahu arah,” ujarku sambil memainkan menu di tanganku. “Kalau mau ke Kalimalang,
aku harus lewat mana ya?”
“Kalimalang?” tanya Glibert kebingungan. “Di mana itu?”
Ucapannya membuatku jadi bingung.
Loh? Kok malah balik bertanya?
“Kalimalang. Itu loh, bagian dari Planet Bekasi!” jawabku
sambil setengah bercanda.
Anehnya Glibert seolah langsung paham begitu aku
menyebutkan nama ‘Planet Bekasi’. Apa nama julukan itu lebih terkenal di daerah
ini dari pada nama Kalimalang. Padahal harusnya semua orang yang tinggal di
sekitar Jabodetabek ini kenal dengan yang namanya daerah Kalimalang.
“Wah, kalau dari planet lain, agak sulit ya,” ujar
Glibert dengan nada serius. “Anda datang ke sini naik apa?”
Pertanyaannya membuatku semakin kebingungan.
“Naik motor?”
“Pakai mesin Trans-Plane Drive atau Degeneracy Cycle?”
tanya Glibert lagi.
“Eeh? Mesin empat tak seratus sepuluh cc?”
“Empat tak? Apa pakai bahan bakar Neutral Proton?” sahut
Glibert dengan nada penasaran yang tidak dibuat-buat.
“Bukan, eeh ... Pre ... premium?”
“Premium Neutron Block?!” balas Glibert, kali ini dengan
nada terkejut. “Wah! Itu bukan barang yang mudah didapat di sekitar sini.”
Aku hanya tersenyum bingung setengah mati, soalnya
obrolan kita berdua jelas-jelas seratus persen tidak nyambung!
Aku bicara soal ‘A’, Glibert ini menyambung bicara soal ‘Z’.
Sebelum semuanya jadi semakin membingungkan dan mulai
membuatku sakit kepala, aku mengangkat sebelah tanganku untuk menghentikan
percakapan aneh ini.
“Eh, anda tahu jalan balik ke Bekasi tidak?” ujarku.
“Maaf. Aku datang dari Bekasi, bukan Planet Bekasi, walaupun akhir-akhir ini
tempat tinggalku itu sering diejek dengan nama itu. Konon katanya sih itu
gara-gara gerhana bulan beberapa waktu lalu. Tapi intinya ... maaf. Aku bukan
orang planet lain.”
Tiba-tiba saja Glibert tertawa terbahak-bahak. Suaranya
yang jernih memenuhi ruangan kedai yang cukup luas itu, hingga membuat semua
pelanggan menatap ke arahnya dengan tatapan heran.
Begitu juga aku.
“Maaf! Aku sudah tidak sopan,” ujar Glibert menahan tawa.
“Kupikir anda benar-benar datang dari Planet Bekasi. Maaf. Aku tadi sempat
bingung. Kukira tadi anda serius.”
Serius dari mana?
Aku menggerutu dalam hati sambil mendengus kesal.
“Maaf, sekali lagi maaf,” ujar Glibert. “Kalau hanya
kembali ke Bekasi sih mudah. Anda hanya perlu keluar dari kedai ini ke arah
kanan. Ikuti jalan saja sampai ujung. Nanti anda pasti akan sampai di rumah.”
Walaupun masih kebingungan, aku merasa lega karena
akhirnya aku mendapat petunjuk arah yang sedikit lebih jelas. Meski sebenarnya
itu rasanya kok kelewat simpel. Aku hanya perlu berkendara mengikuti jalan
saja, kemudian aku sampai di rumah.
“Nah. Anda sekarang sudah tahu arah jalan pulang,” ujar
Glibert. “Bagaimana kalau anda mencoba secangkir kopi di sini?”
Aku berpikir sejenak. Sebenarnya sih aku penasaran dengan
rasa kopi di kedai aneh ini, tapi jam ku menunjukkan pukul delapan malam. Ini
sudah terlalu malam bagiku, terutama karena aku harus berkendara entah berapa
jam lagi untuk sampai ke rumah. Jadi aku memutuskan untuk pulang saja.
Sayang sih. Tapi aku tidak mau pulang terlalu malam dan
besoknya telat bangun karena kelelahan.
“Maaf. Sebenarnya aku ingin mencicipi kopi di sini, tapi
rasanya aku harus pulang sekarang.”
Glibert tersenyum mengerti. Pria itu lalu menjentikkan
jarinya dan seorang pelayan buru-buru menghampiri sambil membawa sebuah kantung
kertas berwarna cokelat.
“Karena anda sudah susah-susah datang ke sini, ini ada
sedikit oleh-oleh. Anggap saja salam perkenalan dari ku.” Glibert menyodorkan
kantung kertas yang dibawa pelayannya tadi. “Tidak usah sungkan. Ambil saja.
Itu biji Koffie Koning yang belum digiling. Yang terbaik di tempat ini. Walau
hanya sedikit, aku ingin anda mencicipi kopi istimewa dari tempatku ini.”
Sejenak aku ragu, tapi sepertinya tidak sopan kalau aku
menolak begitu saja. Tapi setidaknya aku bisa memberi kartu namaku. Kalau
seandainya Glibert butuh jasa kurir, aku akan mengantarkan satu paketnya dengan
gratis!
“Terima kasih. Sayangnya sekarang ini aku tidak bisa
memberi balasan apa-apa,” ujarku sambil menerima pemberian itu, kemudian
menyodorkan kartu namaku. “Kalau butuh kurir untuk mengantarkan pesan, aku
bersedia membantu kapan saja.”
Glibert tersenyum ketika membaca kartu namaku.
“Tentu saja,” ujarnya.
Dia pun berdiri dan memanduku untuk berjalan keluar kedai
kopi anehnya itu. Ternyata di depan sana seorang pelayan kedai sudah membawakan
motorku ke depan pintu kedai. Aku menyadari kalau pelayan itu adalah pelayan
yang pertama kali menyapaku begitu aku masuk ke kedai Koffie Zonder Grenzen.
Entah bagaimana caranya dia membuka kunci gembok pengaman
dan kunci setang motorku, tapi yang jelas motor tua itu sudah berada di
sampingnya. Aku benar-benar bersyukur pelayan itu bukan maling. Kalau tidak,
partner setia ku itu pastinya sudah raib sekarang.
“Kendaraan anda agak bermasalah, tapi sudah saya perbaiki
sedikit,” ujar pelayan itu sambil menepuk jok motorku. “Mudah-mudahan anda
tidak keberatan.”
Tentu saja tidak keberatan, malah sebaliknya!
Tapi aku sekarang jadi benar-benar tidak enak dengan
orang-orang di kedai aneh ini. Aku juga jadi merasa bersalah karena tadi sempat
curiga dan sedikit mengira ini tempat orang-orang aneh berkumpul. Tapi ternyata
mereka semua orang baik.
“Terima kasih banyak. Kalian sudah benar-benar
membantuku. Aku jadi tidak enak,” ujarku mengakui. “Sekarang aku bingung
bagaimana caranya aku membalas kebaikan kalian.”
“Tidak usah repot-repot,” sahut Glibert, dia pun
mengangkat kartu namaku ke depan wajahnya. “Kalau butuh, aku pasti akan
menghubungimu. Kalau saat itu tiba, mohon bantuannya ya.”
Aku balas tersenyum, kemudian mengulurkan tanganku ke
arahnya. Anehnya Glibert menolak berjabat tangan dan hanya balas tersenyum
tulus. Walaupun aku merasa sikapnya itu janggal, aku tidak mau mempertanyakan
soal itu. Sudah terlalu banyak pertanyaan yang berputar dalam kepalaku dan aku
tidak mau sakit kepala gara-garanya.
“Kurasa sudah saatnya anda pergi,” ujarnya lembut.
“Kabutnya sudah mulai menipis dan malam sudah mulai larut.”
Walaupun merasa aneh, aku akhirnya berjalan menghampiri
sepeda motor tua ku, menaikinya, kemudian menyalakan mesinnya. Suara mesin
tuanya kembali meraung seperti biasanya. Anehnya, suara itu justru membuatku
merasa aman dan nyaman. Rasanya seperti mendengar suara seorang sahabat karib
yang sudah lama tidak bertemu.
Sejenak aku menoleh ke arah Glibert, pelayannya, dan
kedai aneh bernama Koffie Zonder Grenzen. Tiba-tiba saja sebuah pertanyaan mencuat
dari dalam benakku.
“Ngomong-ngomong Koffie Zonder Grenzen itu artinya apa?”
Tanpa bisa ditahan, aku tahu-tahu mengutarakan isi
pikiranku keras-keras di hadapan Gilbert dan pelayannya. Glibert tertawa pelan
mendengar perkataanku.
“Kopi Tanpa Batas,” jawab Glibert. “Tapi kurasa namanya
agak terlalu panjang. Sebenarnya sudah lama aku berniat merenovasi kedai ini
jadi bergaya wild west dan mengganti
namanya jadi Shelter 19. Supaya mudah diingat, sekaligus ganti suasana. Entah
sudah berapa lama tempat ini bergaya Eropa kuno. Kurasa di masa depan nanti,
nama Shelter 19 akan jadi lebih populer ketimbang Koffie Zonder Grenzen.”
Aku mengangkat bahu.
Mungkin saja.
Apalagi kalau tempat ini akhirnya selesai dibangun oleh
pengembang properti. Bisa saja kedai aneh itu jadi terkenal. Rasanya sih belum
ada kedai kopi bertema Eropa klasik, ataupun wild west di sekitar Jabodetabek.
Kurasa tempat ini akan jadi terkenal nantinya, terlebih karena anak-anak muda
jaman sekarang senang nongkrong di tempat-tempat unik seperti ini.
“Kalau begitu aku pulang dulu. Terima kasih atas
bantuannya!”
Setelah mengenakan helm, aku pun memacu motorku kembali
ke jalan raya. Sesekali aku melirik ke arah kaca spion, tepatnya ke arah kedai
Koffie Zonder Grenzen yang terlihat semakin mengecil di belakang sana, hingga
akhirnya menghilang di balik tikungan jalan yang kulalui.
Begitu kedai ganjil itu tidak terlihat lagi, aku pun
kembali memfokuskan pikiran untuk kembali ke rumah sembari ditemani aroma kopi
yang menenangkan pikiran.
****
Aneh tapi nyata.
Jalanan yang kulalui waktu itu benar-benar mudah. Aku
hanya perlu mengikuti jalanan berkelok-kelok yang dibatasi dinding batako,
hingga akhirnya aku tahu-tahu keluar ke arah jalan raya di sekitar daerah
Babelan, Bekasi. Meskipun ternyata aku nyasar kelewat jauh dari arah rumahku,
setidaknya aku sudah berada di daerah yang kukenal baik.
Yah. Walaupun pada akhirnya aku tetap pulang terlalu
malam dan besoknya nyaris terlambat masuk kerja karena ketiduran. Untung saja
aku punya Koffie Koning yang kudapatkan dari kedai Koffie Zonder Grenzen.
Di luar dugaan, rasa kopi yang dihasilkan dari biji kopi
yang kudapatkan waktu itu sungguh tiada tara! Ini pertama kalinya aku merasakan
rasa kopi yang begitu nikmat, agak sedikit asam sih, tapi ada campuran rasa cokelat
dan rempah-rempah yang anehnya membuatku jadi merasa bersemangat. Rasanya
tubuhku jadi segar, pikiranku jernih, dan perasaanku pun jadi tenang.
Pokoknya luar biasa!
Bicara soal kedai aneh itu, belakangan aku mencoba untuk
menyusuri jalan tempatku tersesat waktu itu dan sungguh mengherankan karena aku
tidak bisa menemukan kedai itu di mana pun. Daerah tempatku tersesat waktu itu
memang kawasan yang baru dibuka untuk dikembangkan jadi ‘kota modern’, tapi
sama sekali tidak terlihat ada kedai bergaya Eropa kuno di sana. Aku sudah
mencoba bertanya pada orang-orang yang kutemui di sekitar sana, tapi tidak
seorang pun yang mengetahui kalau ada kedai kopi bernama Koffie Zonder Grenzen
di sana.
Mau tahu hal yang
lebih aneh lagi?
Sejak motorku katanya ‘diperbaiki sedikit’ oleh pelayan
di kedai kopi aneh waktu itu, partner tua ku itu berubah jadi luar biasa ...
hemat bensin hingga batas tidak masuk akal! Pokoknya kemampuannya menghemat
bahan bakar aku jamin bisa membuat produsen motor lain gigit jempol kaki karena
iri.
Entah apa yang sudah dilakukan si pelayan, yang jelas aku
benar-benar berterima kasih padanya. Dan tentu saja aku juga berterima kasih
pada Glibert atas kopi ‘kelas dewa’ yang telah diberikannya padaku. Entah kapan
lagi aku bisa bertemu dengan mereka dan membalas jasa mereka padaku. Walaupun
rasanya agak tidak mungkin, mudah-mudahan saja kartu nama yang kuberikan waktu
itu bisa menjadi penghubung bagi kami. Mudah-mudahan saja suatu saat nanti dia
benar-benar akan menghubungiku untuk membantunya. Dan kalau saat itu tiba, aku
pasti akan sebisa mungkin membalas bantuannya di malam itu.
Tapi yang jelas, ini hari libur, dan ritual pertamaku di
pagi hari adalah menyeduh segelas kopi hangat.
Tentu saja aku akan menikmati kopi nikmat yang kudapat
dari Glibert di Koffie Zonder Grenzen waktu itu. Tidak ada yang lebih nikmat
selain bersantai di hari Minggu pagi sambil menyeruput kopi lezat, dan mungkin
setelah itu aku akan mencoba mencari lokasi kedai kopi aneh itu lagi. Entah
ketemu atau tidak, pokoknya yang penting aku sudah mencoba mencarinya.
Tapi sekarang ... waktunya minum kopi!
Sambil mengangkat secangkir Koffie Koning, aku menatap
lurus ke arah ikan peliharaanku, yang kini balas menatapku dengan tatapan
cerdasnya.
“Hidup Koffie Koning!”
Dan aku pun mengabaikan tatapan heran dari ikan hitam
yang berenang di akuariumku itu.
****
End of 3rd Spiral
Move on to the next
story
Comments