Extra Adventure II: Piece of Memory



Sejauh mata memandang, yang bisa dilihat Celes hanyalah deretan pepohonan dan semak belukar yang tumbuh lebat di antara reruntuhan bangunan. Kedua matanya yang berwarna keemasan dengan seksama meneliti kondisi sekitarnya, sementara kedua telinganya yang tajam selalu siaga untuk mendeteksi bahaya yang mendekat. Wajar saja dia bersikap siaga, sebab di dalam hutan reruntuhan kota semacam ini, sering kali berdiam makhluk-makhluk buas yang muncul sebagai efek samping Catastrophy yang terjadi lebih dari 600 tahun lalu.
Sejak bencana misterius itu terjadi, dunia yang dikenal Celes berubah drastis.
Manusia yang dulu menguasai Bumi, kini musnah tanpa sebab yang jelas. Tidak banyak yang tersisa dari mereka, kecuali bekas-bekas kejayaan mereka di masa lalu. Beberapa bekas kejayaan itu tetap hidup dan membuat sebuah kota besar di sisi lain benua ini. Sisanya hidup tersebar sebagai mutan dan robot liar yang berbahaya.
“Ketemu enggak?”
Celes menoleh ke arah gadis kecil bertelinga dan berekor mirip rubah yang berdiri di sampingnya. Gadis itu tampak mengenakan pakaian sederhana, kontras sekali dengan set pakaian petualang yang dikenakan oleh Celes.
“Harusnya ada di sekitar sini,” balas Celes. “Kau menemukan sesuatu, Pekoe?”
Gadis yang bernama Pekoe itu menggelengkan kepalanya.
“Enggak,” balasnya. Dia lalu menunjuk ke arah kantung jaket yang dikenakan Celes. “Kompasnya bilang apa?”
Celes merogoh ke dalam saku jaket yang dia kenakan, kemudian mengeluarkan sebuah benda logam berbentuk pipih. Dengan satu sentuhan ringan, benda di tangan Celes itu terbuka dan mengeluarkan hologram anak panah disertai suara senandung ringan. Melodi merdu itu langsung mengisi kesunyian yang menggantung di sekitar Celes dan Pekoe. Suara dari kompas milik Celes itu terpantul di reruntuhan bangunan dan pepohonan, sehingga seolah-olah kota kuno itu ikut bernyanyi mengikuti alunan melodi.
Sambil mendengarkan suara senandung itu, Celes menutup matanya.
Saat melakukan itu, Celes seolah-olah berpindah ke dunia lain. Reruntuhan kota yang ada di sekelilingnya menghilang begitu saja, kemudian digantikan oleh pemandangan sebuah kota Megapolitan yang dulu pernah berdiri megah di tempat ini. Deretan pepohonan di sekeliling Celes kini berubah menjadi gedung-gedung tinggi yang menjulang menantang langit. Tidak hanya itu, kesunyian reruntuhan kota kini berganti dengan sibuknya sebuah pusat kota, lengkap dengan kerumunan orang yang berjalan lalu-lalang.

Yang dilihat Celes dalam benaknya itu bukanlah sebuah ilusi atau khayalan belaka, itu adalah ‘memori’ yang tersimpan dari hutan kota tempatnya berdiri. Sepertinya beberapa ribu tahun lalu, tempat ini adalah sebuah kota besar yang dihuni oleh jutaan manusia. Namun setelah ras itu punah kota ini kembali dikuasai oleh alam.
“Ada tanda-tanda Verne?” Pekoe bertanya lagi saat Celes membuka matanya.
Tanpa bicara sepatah-kata pun, Celes kembali melangkah maju, diikuti oleh Pekoe. Keduanya berjalan cukup lama menyusuri reruntuhan kota. Sesekali mereka mencoba masuk ke dalam bangunan yang terlihat masih utuh, hanya sekedar untuk melihat apakah ada sesuatu di dalam. Tapi tidak banyak yang bisa mereka temukan. Paling-paling hanya sarang Backpacker ataupun mutan kecil. Cukup banyak waktu yang dihabiskan oleh keduanya untuk menyisir nyaris semua bangunan utuh yang bisa mereka temukan, namun tidak ada hasilnya. Apapun yang dicari oleh Celes dan Pekoe, benda itu sepertinya tidak ada di reruntuhan kota ini.
“Celes. Kabutnya datang!”
Pekoe berseru memperingatkan selagi Celes memeriksa bekas sebuah hotel mewah, yang kini berubah menjadi sarang Backpacker. Mendengar seruan itu, Celes bergegas keluar dari bangunan dan menghampiri Pekoe. Gadis mungil itu kini tengah berdiri di antara kabut tipis nano-material, yang disertai dengan gangguan elektromagnetik.
“Cantik ya?” Pekoe berkomentar sambil tersenyum lebar, selagi dia menari di tengah kabut lembut yang kini menyelimuti seluruh kota.
Melihat sosok Pekoe yang sedang menari riang, Celes mengangguk. Namun dia juga tahu kalau Kabut Elektrik ini bisa jadi bencana kalau kabut itu datang disertai dengan badai dahsyat.  Untungnya kali ini kabut misterius itu muncul hanya sebagai kabut tipis saja, meskipun demikian masih Celes bisa mendeteksi adanya distorsi ruang-waktu di sekitarnya. Dia tahu kalau sebaiknya mereka tidak berlama-lama berada di tengah kabut ini.
“Ayo kita jalan lagi. Lebih cepat kita keluar dari kabut ini, lebih baik.”
Sambil bicara, Celes meraih tangan Pekoe dan mulai berjalan lagi. Namun dia baru beberapa langkah, dia mendengar suara langkah lain yang bergema di sekitarnya. Kedua telinganya langsung tegak, sementara sebelah tangannya sudah meraih sepucuk pistol yang tergantung di pinggangnya. Suara langkah kaki berat itu terdengar semakin dekat, sayangnya Celes tidak tahu apa itu. Dari suaranya, Celes menduga itu langkah kaki sebuah robot. Dia hanya berharap itu bukan jenis robot liar yang biasanya berkeliaran di reruntuhan kota semacam ini.
“Celes...” Pekoe bergumam lirih karena takut.
“Jangan takut. Ada aku di sini,” balas Celes sambil mendorong Pekoe ke belakang tubuhnya.
Tiba-tiba dari balik kabut, muncul sosok android besar bertubuh gempal dan kokoh. Lampu-lampu indikator di tubuhnya tampak menyala terang, sehingga membuatnya semakin menakutkan. Kemunculannya yang begitu mendadak membuat Celes langsung mengacungkan pistolnya, siap untuk menembak.
“Jangan nekat, nak. Aku juga punya senjata, tapi aku tidak mau ada baku-tembak di sini.” Android besar itu bicara dengan suara berat ketika melihat sosok Celes yang menodongkan senjata ke arahnya. “Turunkan senjata mu.”
Celes diam saja dan tetap mengacungkan senjatanya ke arah android besar di depannya itu. Melihat gelagat itu, si android mengangkat tangan kirinya yang memegang sebuah meriam plasma besar. Pada saat yang bersamaan, suara dengung samar dari senjata itu mulai terdengar.
Sekilas, sepertinya akan segera terjadi duel antara keduanya, namun entah kenapa Celes tiba-tiba saja menurunkan senjatanya dan menghela nafas panjang. Setidaknya robot yang ada di depannya ini bukan robot liar yang langsung akan menyerangnya tanpa banyak tanya. Akan lebih baik bagi Celes untuk menghindari pertarungan yang tidak perlu, terlebih karena dia akan sibuk melindungi Pekoe kalau itu terjadi.
“Aku Celes, dan ini Pekoe,” ujarnya sambil menyarungkan pistol. “Siapa kau?”
“Raj,” sahut si android, sambil menurunkan meriamnya juga. “Elite Breaker Squad dari United Asian Nation. Sedang apa kalian di tempat ini?”
Selama beberapa detik, kedua mata Celes terbelalak lebar mendengar nama United Asian Nation disebut. Namun dia segera mengubah ekspresi wajahnya lagi agar tetap datar.
“Mencari sesuatu,” sahutnya. “Bagaimana denganmu?”
Raj mendengus kesal. Suara dengusannya terdengar mirip seperti desis mesin uap yang kelebihan tekanan.
“Tersesat,” sahut Raj. Dia lalu mengetuk-ngetuk kepalanya. “Sistem navigasi sial ini tidak juga berfungsi. Padahal baru saja diperbaiki Glibert di Shelter 19.”
“Shelter 19?!” ujar Celes spontan.
 “Pernah ke sana?” tanya Raj.
Kali ini Celes mengangguk.
“Aah... begitu?” balas Raj lagi. “Jadi kau juga pernah ke kafe aneh itu ya.”
Pandangan mata android itu lalu tertuju ke arah sosok gadis mungil yang masih bersembunyi di balik tubuh Celes. Raj tiba-tiba melangkah maju, kemudian berlutut di hadapan Celes. Perubahan sikap android itu nyaris membuat Celes mencabut senjatanya lagi, tapi yang terjadi berikutnya membuat gadis itu terkejut.
Alih-alih berusaha menyerang, Raj mengambil sesuatu dari deretan kantung yang tergantung di pinggangnya, kemudian mengulurkannya ke arah Pekoe. Benda itu adalah sekotak permen warna-warni. Melihat benda di tangan Raj, Pekoe terlihat kebingungan. Dia sepertinya tertarik sekali dengan kotak permen itu, tapi gadis itu masih tampak takut dan ragu untuk mendekati Raj. Namun akhirnya rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya, dia pun melangkah maju dan mengambil kotak permen itu dari tangan si android.
“Te... terima kasih,” ujar Pekoe sambil kembali bersembunyi di balik tubuh Celes. Sambil mengintip, dia menyunggingkan cengiran polos ke arah Raj.
Selesai memberikan hadiah kecil untuk Pekoe, Raj berdiri tegak dan menenteng meriam besarnya di pundak. Android tempur itu lalu menatap ke arah Celes dan Pekoe bergantian.
“Nah, sekarang kalian berdua sebaiknya segera mencari tempat berlindung. Sebentar lagi pasukan musuh akan datang, dan kota ini akan segera berubah jadi medan perang,” ujar Raj sambil menepuk meriamnya. Dia lalu menunjuk ke arah ujung bekas jalan utama yang mengarah ke luar kota. “Kalau kalian ikuti jalan ini, kalian akan bertemu dengan para pengungsi yang siap lari juga. Ikut saja dengan mereka dan segera pergi dari sini.”
Celes menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Raj, namun kabut tipis yang menyelimuti kota membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas.
“Baiklah. Terima kasih atas bantuan dan hadiahnya,” ujar Celes sambil menganggukkan kepalanya.
Raj mengayunkan tangannya.
“Ah, lupakan saja. Itu bukan sesuatu yang luar biasa kok,” ujar android tempur itu. “Nah, kalau selamat dari pertempuran ini, kuharap kita semua bisa bertemu lagi.”
Dia baru saja akan melangkah pergi, namun Pekoe tahu-tahu berlari ke arahnya. Melihat gadis kecil itu menghampirinya, Raj berbalik dan kembali berlutut di hadapan Pekoe.
“Ada apa?” tanya Raj.
Tanpa bicara apapun, Pekoe menepuk dahi Raj yang dihiasi tanduk panjang, kemudian melangkah mundur sambil tersenyum lebar. Di tempat yang ditepuk Pekoe, kini tertempel sebuah stiker metalik berwarna oranye muda bertuliskan ‘Good Man’.
“Semoga kita ketemu lagi, paman besar~!” Pekoe berseru pada Raj, masih sambil tersenyum lebar.
Raj kemudian berdiri sambil menyentuh dahinya yang ditepuk Pekoe barusan. Dia lalu mengacungkan jempol, dan mulai berjalan menjauh dengan langkah beratnya. Tidak lama kemudian sosok android besar itu sudah menghilang di balik kabut.
“Ayo kita pergi juga,” ujar Celes sambil menggandeng tangan Pekoe.
Pekoe mengangguk sambil memainkan kotak permen di tangannya, kemudian berjalan mengikuti langkah Celes.
****
Berjalan di tengah kabut menyusuri reruntuhan kota, yang nyaris berubah menjadi hutan belantara, sama sekali bukan hal yang mudah. Kabut yang menyelimuti kota itu membuat keduanya berkali-kali tersesat dan menemui jalan buntu. Namun itu hanya sementara, karena tidak lama kemudian Kabut Elektrik di kota itu menipis dan akhirnya menghilang.
Ketika kabut itu hilang, Celes dan Pekoe akhirnya menyadari mereka kalau mereka sudah menghabiskan waktu seharian menyusuri kota, karena matahari sudah condong di sisi barat. Sinar yang berwarna oranye menghiasi hutan dan reruntuhan kota. Namun ada sebuah benda ganjil yang kini bisa dilihat oleh duet Machina itu.
Sebuah bangkai tank raksasa terlihat melintang di tengah jalan utama yang membelah kota. Di sekitar mesin perang itu, terbaring ratusan kerangka robot yang sudah berkarat dan hancur. Sebagian besar dari mereka memang hanya tinggal serpihan, entah karena dimakan waktu atau memang sudah hancur. Namun ada satu di antara mereka yang masih nyaris utuh, meskipun tangan kanan dan kaki kirinya sudah hilang, serta ada puluhan lubang di tubuhnya. Tumbuhan rambat yang berbunga oranye tampak menyelimuti sebagian tubuh robot yang duduk di samping bangkai tank itu, bagaikan sebuah selimut.
Melihat sosok itu, kedua mata Pekoe terbelalak lebar.
“Celes! Itu kan...!”
Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya lagi, Pekoe berlari menghampiri bangkai robot di depannya. Sementara itu, Celes hanya terdiam. Dia tahu siapa robot itu. Meskipun tubuhnya sudah rusak parah, kepalanya hilang sebagian, namun stiker bertuliskan ‘Good Man’ pudar di dahi robot itu masih bisa terbaca. Dan anehnya, meskipun sepertinya sudah berada di sana selama ratusan tahun, tubuh sang robot masih utuh dan tidak banyak berkarat. Seolah-olah waktu menolak untuk menyentuh dan memakan habis tubuhnya.
“Ini enggak mungkin! Dia kan... dia kan...!”
Pekoe berseru sambil menggenggam erat kotak permen di tangannya. Air mata mengalir di wajah gadis itu dan dia pun mulai terisak. Tiba-tiba Celes memeluk tubuh Pekoe, membuat isak tangis Machina mungil itu semakin menjadi.
“Kita bertemu lagi ... tapi tidak kusangka jadinya seperti ini ...”
Celes bicara sambil menyentuh tulisan di dahi bangkai robot, yang tidak lain adalah Raj. Ketika melakukan itu, potongan ingatan sang android tempur mengalir deras dalam benak Celes. Dia bisa melihat bagaimana Raj dengan gigih mempertahankan kota melawan puluhan Deimos, kemudian dengan tank-nya, dia menerjang ke tengah pasukan robot yang bersiap menyerang kota yang dilindunginya.
Kemudian dengan diikuti kilatan putih, ingatan itu berubah. Kini di hadapan Celes, berdiri sosok Raj dengan wujud seperti yang baru saja dia lihat beberapa waktu lalu. Mata Raj yang menyala merah menatap lurus ke arah Celes.
Kita ketemu lagi kan? Sudah kubilang itu akan terjadi.
Suara Raj terdengar bergema di ruangan yang serba putih di sekitarnya. Sejenak android itu mengamati sekelilingnya, kemudian terdengar menghela nafas panjang.
Jangan sedih begitu. Waktu bertemu kalian waktu itu, aku tahu kalau hidupku mungkin tidak panjang. Tapi aku tidak menyesal. Setidaknya di akhir hidupku, aku bisa melakukan sesuatu yang tidak berhubungan dengan peluru dan senjata.
Raj kembali bicara, sementara Celes berdiri dalam diam dan dengan kepala tertunduk.
“Maafkan aku,” ujarnya lirih.
Untuk apa? tanya Raj.
“Aku ada di sana sewaktu kau mempertahankan kota ini... dan akulah yang memimpin serangan waktu itu...” gumam Celes. Tanpa sadar, setitik air mata jatuh dari pipi gadis Machina itu.
Ah... jadi waktu aku melihatmu ada di tengah pasukan musuh, itu bukan ilusi ya. Kupikir aku salah lihat, apalagi waktu temanku bilang kau adalah Blue Hound, Machina paling berbahaya di planet ini. Jadi itu benar ya?
“Maafkan aku,” ujar Celes lagi. “Aku...”
Tangan Raj yang besar tiba-tiba terulur dan mengelus kepala Celes dengan lembut.
Lupakan saja. Itu bukan salahmu. Kau adalah senjata, begitu juga denganku. Tidak ada yang aneh kalau kita saling serang. Raj bicara dengan nada lembut, kemudian dia memandang ke sekelilingnya. Bagaimana dengan anak kecil yang bersamamu itu? Apa dia masih hidup?
Celes mengangguk pelan.
“Dia baik-baik saja. Saat ini dia sedang menangis di hadapan sisa tubuhmu...” ujarnya sambil menengadah ke arah Raj.
Ah... jadi dia juga selamat dari peperangan? Syukurlah... ujar Raj dengan nada lega. Dia lalu melangkah mundur sambil mengamati sosok Machina biru yang berdiri di hadapannya. Meskipun sangat singkat, tapi aku senang bisa bertemu dengan kalian lagi. Sampaikan salamku pada Pekoe, ya.
Celes mengangguk pelan untuk ke sekian kalinya.
Nah. Kalau begitu, aku juga harus pergi sekarang. Teman-temanku sudah menunggu.
Raj kemudian berbalik dan berjalan menjauh dari Celes. Entah apakah yang dilihat oleh gadis itu nyata atau tidak, tapi dia seolah menyaksikan sekelompok robot dengan wujud yang sama dengan Raj, sedang berdiri di kejauhan.
“Ra...!”
Belum sempat Celes selesai mengucapkan kalimat itu, kilatan putih kembali memenuhi pandangannya. Ketika membuka matanya lagi, tahu-tahu dia sudah kembali di samping Pekoe, yang masih berlutut di depan sisa tubuh Raj. Gadis bertelinga dan berekor mirip rubah itu sudah berhenti menangis, dan kini sedang menutup mata sambil mengatupkan kedua tangannya. Dia lalu menoleh ke arah Celes dengan mata yang masih berkaca-kaca.
“Bagaimana? Apa katanya?” ujar Pekoe dengan suara bergetar.
Celes tersenyum tipis.
“Dia titip salam untukmu, Pekoe,” ujarnya. “Katanya dia senang bisa bertemu dengan kita lagi.”
Meskipun pertemuannya dengan android itu baru berlalu beberapa jam lalu, namun bagi Raj peristiwa itu sudah berlalu ratusan tahun. Kabut Elektrik memang sering kali mengakibatkan distorsi ruang-waktu seperti itu. Pekoe dan Celes sendiri sudah beberapa kali mengalami hal semacam ini sebelumnya.
Pekoe memaksakan senyuman, kemudian mengambil sebutir permen dari kotak permen yang diberikan oleh Raj. Dia lalu meletakkan butiran permen itu di atas batu pipih yang ditaruh di hadapan sisa tubuh Raj.
“Terima kasih atas hadiahnya, dan semoga kau bisa beristirahat dengan tenang,” ujar Pekoe. Dia lalu berdiri dan menatap ke arah Celes. “Bagaimana sekarang?”
Celes mengambil kompasnya lagi, membuka benda itu, kemudian berkonsentrasi mendengarkan petunjuk arah dari benda itu. Tidak lama kemudian, dia balas menoleh ke arah Pekoe.
“Kita ke utara. Ada petunjuk Verne di sana,” ujar Machina biru itu sambil menyimpan kembali kompasnya itu.
“Kalau begitu, ayo kita pergi!” sahut Pekoe sambil berjalan mendahului Celes.
Selama beberapa saat, Celes masih berdiri dan memandangi tubuh Raj yang duduk dengan damai, berselimutkan rangkaian bunga tumbuhan rambat. Sosok mesin perang itu terlihat begitu tenang bagaikan sedang tidur panjang, sehingga ada sedikit rasa iri di hati Celes.
Sambil tersenyum tipis, Machina itu memandang ke arah sosok Raj sekali lagi, kemudian berkata.
“Istirahatlah dengan tenang, kita akan bertemu lagi lain waktu.”
****
~FIN?~
red_rackham 2014

Comments