5th Spiral: Midnight Ship
Kata orang hujan itu membawa berkah.
Kurasa sih begitu ... kalau turunnya di tempat lain,
bukan di Jakarta. Di kota Megapolitan ini hujan lebat selama beberapa jam
berturut-turut tidak pernah gagal membawa masalah.
Air yang tumpah dari langit, tidak bisa lagi ditahan oleh
aliran sungai yang menyempit dan tergusur oleh megahnya bangunan-bangunan kota
Jakarta. Lahan-lahan hijau yang dulunya berfungsi bagaikan spons, kini sudah
tertutup oleh lapisan aspal dan beton tebal. Pohon-pohon yang dengan senang
hati menyerap kelebihan air, sudah lama sekali hilang dan digantikan oleh
gedung-gedung pencakar langit.
Tentu saja akibatnya sudah tidak perlu ditanyakan lagi.
Banjir.
Hampir setiap beberapa tahun sekali Jakarta selalu lumpuh
akibat banjir yang melanda sebagian besar wilayahnya. Genangan air yang
bertahan berhari-hari di berbagai sudut kota seolah mengingatkan penduduknya
akan wujud asli kota ini sebelum manusia datang. Aliran sungai-sungai yang
telah lama hilang dan terlupakan, kini seolah terbangun dari tidurnya dan
kembali mengalir dengan penuh semangat melintasi sudut-sudut kota Jakarta.
Pada masa-masa seperti ini, alam seolah-olah kembali
berkuasa menyingkirkan pengaruh manusia dari kota terbesar di Indonesia itu.
Dalam beberapa hari selanjutnya, air adalah penguasa kota Jakarta, bukan lagi
manusia.
Biasanya sih kalau banjir melanda seperti ini, aku akan
santai-santai saja. Kebetulan aku tinggal di wilayah Bekasi yang posisinya agak
tinggi, sehingga nyaris bebas banjir. Kalaupun air menggenangi jalan, tidak
pernah sampai masuk ke rumah kos dan tidak pernah sampai bertahan lebih dari
sehari.
Biasanya sih begitu. Tapi kali ini lain.
Entah karena nasib buruk atau apa, pagi itu aku masih
berusaha mengantar sebuah paket kilat khusus yang katanya ‘urgent’ ke salah
satu klienku di pusat kota. Tapi sayangnya aku tidak tahu kalau hari ini adalah
hari di mana kota Jakarta kembali tergenang banjir. Tadinya kupikir hujan di
pagi hari akan berhenti di siang hari. Tapi sampai tengah hari ini hujannya
masih saja deras dan air dengan cepat menggenangi jalanan. Jalan raya yang baru
beberapa menit yang lalu masih terlihat, kini sudah tertutup oleh genangan air
yang semakin meninggi.
Tidak usah ditanya lagi, aku dan puluhan karyawan di
kantor klienku akhirnya terjebak banjir yang dengan cepat mengepung gedung
tempat kami berada saat ini. Sialnya karena genangannya sudah terlalu tinggi,
aku tidak mungkin menerobos banjir untuk pulang ke rumah. Soalnya mesin motorku
pasti mati karena kemasukan air. Belum lagi beberapa jalur pulangku melintasi
kawasan rawan banjir dan dekat dengan aliran sungai besar. Kalau nekat,
bisa-bisa aku terseret arus banjir dan jadi makanan ikan di Teluk Jakarta sana.
“Lupakan saja. Kalau sudah begini bisa berhari-hari sampai
airnya surut. Kita beruntung kalau ada tim SAR atau TNI yang datang dengan
kapal karet.”
Salah seorang pegawai kantor klienku menepuk pundakku.
Dia sepertinya mengira kalau aku berniat untuk menembus banjir yang mengepung
kami. Tentu saja aku tidak sebodoh, atau senekat itu. Genangan air di sekitar
kantor tempatku berada terlihat semakin tinggi. Aku juga yakin kalau arus
aliran banjir sekarang sudah cukup kencang di beberapa jalur yang harus
kutempuh untuk pulang. Itu belum ditambah fakta bahwa matahari pastinya sudah
lama terbenam, bahkan sebelum aku setengah jalan sampai ke rumah.
Menembus genangan banjir kota Jakarta di malam hari tentu
saja merupakan tindakan bunuh diri.
Jadi karena sudah tidak punya pilihan lain, aku pun
akhirnya menunggu bantuan datang bersama para karyawan lainnya. Tidak banyak
yang bisa kami lakukan sekarang, terlebih lagi kini aliran listrik sudah padam.
Walaupun kami jadi terpaksa duduk dalam kegelapan, itu harusnya lebih aman
daripada tersengat listrik gara-gara banjir yang menggenangi lantai dasar.
Karena tidak banyak yang bisa dilakukan, kami akhirnya
hanya mengobrol soal berbagai macam hal. Aku tadinya ingin menceritakan
sebagian pengalaman aneh yang pernah kualami, tapi kurasa waktunya tidak tepat.
Pendengarnya juga tidak tepat. Kalau aku mulai bercerita, bisa-bisa aku dikira
orang sinting dan ditendang keluar dari gedung. Tentu saja itu hal terakhir
yang kuinginkan sekarang ini.
Jadi aku memilih untuk diam dan duduk tenang di pojok
ruangan.
****
Aku tidak ingat kapan aku tertidur, yang pasti waktu aku
bangun semua orang yang ada di ruangan ternyata sudah mengambil posisi
masing-masing. Mereka semua sudah berjejer tidur di lantai. Beberapa tidur
beralaskan karpet, beberapa malah tidur dengan alas karet yang biasa digunakan
orang untuk berkemah. Ada beberapa yang sepertinya sudah sering tidur di
kantornya, sebab mereka sudah menggulung diri dalam kantung tidur. Yang jelas,
mereka semua sudah tidur dengan pulas.
Aku baru sadar kalau aku juga ternyata sudah berbaring di
atas sofa yang tadi sore kududuki. Tapi karena sofanya agak sempit, kakiku
menggantung di ujung sofa dan rasanya tidak nyaman sekali.
“Ugh ... jam berapa ini?”
Sambil mengerang menunggu kakiku yang kesemutan pulih
kembali, aku menatap layar ponselku. Pandanganku masih agak kabur karena baru
bangun dan rasa kantuk masih menguasai pikiranku.
Pukul sebelas lewat tiga puluh menit.
Tinggal setengah jam lagi sebelum waktu pergantian hari.
Sayangnya banjir masih belum juga surut. Dari jendela lantai tiga tempatku berada
sekarang, aku bisa melihat kota Jakarta yang terendam banjir. Sebagian kota
terlihat gelap karena padamnya aliran listrik, tapi sisanya yang lebih
beruntung masih terlihat diterangi lampu-lampu kota.
Walau banjir sudah surut, setidaknya hujan sudah reda.
Aku hanya berharap kalau besok tidak hujan lagi. Soalnya kalau itu terjadi,
maka entah sampai berapa hari aku bisa terjebak di tempat ini.
Sekali lagi aku melihat ke luar jendela. Entah kenapa
kalau sudah seperti ini, rasanya Jakarta jadi lebih damai. Kota yang tidak
pernah tidur, selalu terjaga dua puluh empat jam non-stop itu kini benar-benar
tenang dan damai. Genangan air yang masih memenuhi seluruh kota juga terlihat
begitu tenang seperti kaca, sehingga sinar bulan purnama di langit sana sampai
terpantul di permukaannya. Kapal layar yang berlayar tenang melintasi kota juga
terlihat ....
TUNGGU!
Kapal layar?!
Seketika itu juga rasa kantuk yang menyerangku hilang
begitu saja. Aku mengusap mataku, berusaha memastikan kalau aku tidak salah
lihat. Tapi ketika aku membuka mata lagi, kapal itu masih begitu jelas. Terlalu
jelas malah, soalnya kapal itu sedang bergerak ke arah jalanan utama yang
berada di depan kantor tempatku berlindung saat ini.
“Tidak ... mungkin!”
Aku tahu ini mustahil, tapi aku sedang melihat sebuah
kapal layar bertiang tiga sedang berlayar tenang melintasi jalan protokol kota
Jakarta yang tergenang banjir. Layar-layarnya yang berwarna putih bersih tampak
berkilau di bawah cahaya keperakan bulan purnama di atas sana. Lambung kayunya
yang dipenuhi ukiran terlihat begitu indah ketika disinari oleh lampu-lampu
jalanan yang masih menyala. Meriam-meriam besar yang terbuat dari logam tampak
berjejer rapi di pinggiran dek kapal kayu itu. Sebuah bendera asing terlihat
berkibar di puncak tiang layar tertinggi di kapal aneh itu.
Ketika kapal itu melintas tepat di depan kantor, aku bisa
melihat dengan jelas awak kapalnya yang berseragam khas angkatan laut pada
jaman kolonial. Sayangnya aku bukan ahli dalam soal itu, jadi aku tidak tahu
apa itu seragam angkatan laut Belanda, Portugis, ataupun Inggris. Yang jelas
mereka terlihat sibuk di atas dek, sementara seorang pria berjanggut tebal terlihat
meneriakkan perintah-perintah pada awak kapalnya. Tidak salah lagi, orang itu
pastinya kapten kapal. Soalnya dia terlihat galak dan hanya menyuruh-nyuruh
awak kapal lainnya dengan perintah-perintah yang diteriakkan begitu keras
sampai terdengar dari jendela tempatku berdiri sekarang.
Aku tidak mengerti apa yang diteriakkan oleh sang kapten,
tapi yang jelas awak kapalnya yang terlihat sibuk, kini bekerja dengan
kecepatan nyaris dua kali lipat. Seolah-olah mereka takut kalau kapten berwajah
seram itu akan menghukum mereka dengan hukuman yang mengerikan.
Aku hanya bisa terdiam menyaksikan kapal layar ajaib itu
melintas di depan jendela, sementara sang kapten dan awaknya terus sibuk
mengemudikan kapal mereka. Tali-tali layar dikencangkan, pelataran dek dibersihkan,
dan tong-tong kayu yang berserakan diikat jadi satu. Sekilas pandang sepertinya
kapal itu baru saja melewati cuaca buruk, sehingga barang-barang yang ada di atas dek berserakan ke sana kemari.
Sekali lagi
sang kapten menyerukan perintahnya dalam bahasa asing yang tidak kukenal.
Suaranya yang sudah agak serak terdengar penuh wibawa, dan jelas berasal dari
seseorang yang punya pengalaman dan otoritas tinggi di atas kapal ajaib itu.
Sekilas aku menangkap tatapan matanya yang tajam, penuh bara api semangat, dan
terlihat ... sangat ... sangat tua.
Tunggu.
Aku tidak hanya menangkap tatapan matanya.
Dia sedang
menatap lurus ke arah mataku!
Tatapan mata kami bertemu selama beberapa detik, sampai
akhirnya sang kapten berpaling dan kapalnya berlayar menjauh dari gedung
tempatku berlindung. Satu hal yang tidak kusangka-sangka adalah ... kapal itu
mendadak berhenti tidak jauh dari kantor klien tempatku berada saat ini. Tidak
lama kemudian suara gemerencing rantai terdengar nyaring dan disusul suara dentam
logam yang beradu dengan aspal.
Dengan perasaan ngeri bercampur takjub, aku menyadari
kalau kapal layar ajaib itu sepertinya baru saja buang sauh dan berhenti tepat
di tengah jalanan kota Jakarta yang masih tergenang banjir.
Sungguh pemandangan yang sulit dicerna. Sebuah kapal
layar setinggi gedung tiga tingkat berlabuh di tengah jalanan kota
metropolitan. Tidak setiap hari kan orang bisa melihat hal seperti ini. Aku
malah berani bertaruh, hampir tidak ada orang yang bisa melihat hal ganjil
seperti ini seumur hidupnya.
Bagaimana denganku?
Yah. Mungkin saja aku ini spesial.
Itu.
Atau aku sebenarnya sudah gila dan ini salah satu
halusinasi kegilaanku yang terasa begitu nyata. Setidaknya aku yakin ini nyata,
bukan sekedar mimpi, soalnya aku baru saja mencubit pipiku begitu keras hingga
aku nyaris menjerit kesakitan.
Itu artinya kapal layar itu satu dari ‘fenomena’ yang kadang
suka seenaknya muncul di hadapanku.
“Lagi-lagi yang seperti ini.”
Aku bergumam sambil memandangi kapal yang masih saja
berlabuh, tapi kemudian aku menyadari ada sesuatu yang lain terjadi di kapal
itu. Sebuah tangga tali baru saja diturunkan dan sang kapten bersama beberapa
awaknya terlihat menuruni tangga tali. Sang kapten tampak menyerukan sesuatu
pada seorang awak kapalnya, tidak lama kemudian sang awak mengeluarkan sesuatu
dari balik rompi yang dikenakan. Dari tempatku berdiri, aku tidak bisa melihat
benda apa itu, tapi tidak lama kemudian aku tahu jawabannya.
Suara denting bel terdengar nyaring membelah kesunyian
malam kota Jakarta.
Suaranya begitu nyaring dan bening. Seolah-olah suaranya
tidak merambat masuk melalui lubang telingaku, melainkan langsung merasuk ke
dalam benakku. Pada saat yang bersamaan, aku merasakan desakan kuat untuk
segera turun dan menghampiri kapal itu.
Desakan itu ternyata begitu kuat dan tidak bisa kutolak
sama sekali.
Sebelum aku sepenuhnya sadar, tahu-tahu aku sudah
berjalan keluar dari kantor tempatku berlindung. Rasanya seperti ada yang
sedang mengendalikan tubuhku. Aku masih setengah sadar dan masih berusaha untuk
melawan dorongan aneh itu, tapi tubuhku seolah sama sekali tidak mau menuruti
kehendakku. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan membiarkan tubuhku bergerak
seenaknya.
Aneh tapi nyata, aku baru menyadari kalau aku tidak
sedang berjalan melintasi genangan banjir, melainkan aku berjalan di atas
genangan banjir. Seolah-olah genangan air semulus kaca yang menyelimuti jalanan
kota Jakarta ini benar-benar terbuat dari kaca padat. Satu-satunya pertanda
kalau permukaan yang sedang kuinjak ini adalah benda cair hanyalah riak samar
yang muncul setiap kali aku menginjakkan kakiku.
Kemudian aku menyadari hal lain yang terjadi di
sekitarku. Selain diriku, ternyata ada banyak orang yang seperti terhipnotis
dan berjalan mendekati kapal ajaib yang masih parkir di tengah jalan. Bedanya
semua orang yang kulihat berjalan ke arah kapal itu tampak samar-samar, seolah
tubuh mereka terbuat dari kabut, dan seolah mereka tidak ... nyata. Tubuh samar
mereka sesekali berkedip, berpendar, dan sempat menghilang beberapa saat,
sebelum akhirnya mewujud lagi. Seakan-akan mereka kesulitan mempertahankan
wujud masing-masing.
Sekali lagi suara denting nyaring terdengar dan semakin
banyak sosok samar yang bergabung dalam barisan rapi yang berderap tanpa suara
ke arah kapal.
Masih dengan kesadaran yang seperti diselimuti kabut, aku
melihat satu persatu sosok samar itu menghilang begitu mereka menyentuh tangga
tali. Seolah-olah kapal layar ajaib di hadapan mereka baru saja menelan sosok
mereka bulat-bulat. Sejenak kulihat sang kapten berdiri sambil menyilangkan
tangan di depan dada, sementara matanya yang tajam menyisiri satu persatu sosok
samar yang menghilang di hadapan kapalnya. Sesekali kapten berwajah sangar itu
meneriakkan perintah pada awak kapalnya, yang langsung membeku ketakutan,
sebelum akhirnya bergegas pergi atau menaiki tangga tali kembali ke atas dek.
Semakin lama, antrian di depanku semakin pendek, dan
tidak lama kemudian tibalah giliranku untuk menyentuh tangga tali dan
menghilang, seperti sosok-sosok yang sebelumnya ada di depanku.
Selama beberapa saat aku hanya terdiam melihat tangga
tali dan kapal raksasa yang berdiri tegak di hadapanku itu.
Ah ... apa yang akan terjadi ya kalau aku menyentuh
tangga tali ini?
Apa aku akan menghilang?
Menghilang?
Menghilang ke mana?
Aku ...
Tepat sebelum jariku menyentuh tangga tali, sesuatu
menyentakku mundur dengan paksa. Seketika itu juga kesadaranku pulih dan
tahu-tahu ... aku berhadapan dengan seorang pria tinggi besar yang mengenakan
pakaian pelaut jaman kuno, lengkap dengan topi lebar dan wajah berjanggut tebal
yang terlihat sangar.
Ya.
Dia adalah sang kapten.
“Ah.”
Itu satu-satunya suara yang keluar dari kerongkonganku
ketika membalas tatapannya yang begitu tajam dan menusuk. Sang kapten hanya
berdiri sambil memandangi sosokku tanpa mengatakan apapun, tapi aku seolah bisa
merasakan tekanan auranya yang luar biasa.
Selama beberapa detik, kami berdua hanya berdiri sambil
bertukar pandangan. Tiba-tiba saja sang kapten menoleh ke arah salah satu awak
kapalnya, kemudian meneriakkan sesuatu dengan suara menggelegar, hingga aku
sampai melangkah mundur sambil menutup telinga.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya ada
kesalahan dan sang kapten sedang menuangkan kekesalannya pada salah satu awak
kapal yang bertugas. Entah apa yang diucapkan sang kapten, tapi awak kapal
malang itu seperti menciut menghadapi keganasan kapten kapalnya. Sesekali aku
melihat sang kapten menunjuk-nunjuk ke arahku, kemudian menggelengkan
kepalanya, sementara sang awak kapal berdiri mematung sambil gemetar ketakutan.
Tidak lama kemudian, sang kapten kembali berbalik ke
arahku.
“Maaf, anak buahku
yang konyol ini baru saja melakukan kesalahan. Kau tidak ada dalam daftar malam
ini. Pulanglah.”
Dalam bahasa Inggris yang kental dengan aksen aneh, sang
kapten bicara padaku dengan suaranya yang serak.
“Hah?” balasku spontan.
Karena mengira aku tidak memahami perkataannya, sang
kapten berbalik, merebut paksa lembaran perkamen dari tangan salah satu anak
buahnya, kemudian memperlihatkannya padaku. Aku menyadari lembaran itu berisi
daftar nama, entah untuk apa. Yang jelas aku tidak melihat ada namaku tertera
di lembaran itu.
“Namamu. Tidak.
Ada. Di sini. Sekarang. Bukan. Giliranmu.”
Sang kapten kembali bicara dengan nada patah-patah dan
perlahan-lahan, seolah-olah dia sedang bicara dengan anak kecil. Aku tentu saja
paham dengan ucapannya, toh aku juga pernah sekolah dan pernah melakukan
perjalanan sinting ke negara lain waktu masih lebih muda. Yang menyebabkan aku
masih terdiam dan bengong adalah karena otakku masih kesulitan mencerna
rentetan kejadian ini.
“Ini. Ganti.
Ruginya. Bawa. Pulang.”
Tiba-tiba sang kapten meraih tanganku, dan dengan paksa
memberikan sesuatu ke atas lenganku.
Sebuah koin perak, dengan lambang dua ekor singa mengapit
sebuah perisai.
“A ... aku ...”
Tanpa memperdulikanku yang masih berdiri dengan wajah
seperti orang dungu, sang kapten berbalik dan kembali menyerukan
perintah-perintah dalam bahasa asing. Dengan terburu-buru, semua awak kapal di
sekitarnya langsung bergegas naik ke atas kapal. Pada saat yang bersamaan,
jangkar kapal terdengar ditarik, kemudian layar-layar di tiang-tiang kapal
kembali ditegakkan dan dikencangkan.
Saat itu juga aku baru menyadari kalau hanya tinggal aku
sendiri yang berdiri di hadapan kapal layar ajaib itu. Semua sosok samar yang
tadi berkumpul di sekitarku sudah menghilang. Entah ‘masuk’ ke dalam kapal,
atau hanya sekedar pudar begitu saja bagaikan kabut terkena sinar matahari
pagi.
Sang kapten masih setengah jalan menaiki tangga tali
ketika kapal layarnya mulai bergerak maju. Tatapan matanya masih tertuju ke
arahku. Tiba-tiba saja senyuman lebar muncul di balik kumis dan janggutnya yang
tebal.
“Oy, orang darat!
Kita akan bertemu lagi suatu saat nanti!”
Dengan suaranya yang serak dan berat, sang kapten tertawa
lebar selagi kapal ajaibnya berlayar menyusuri jalanan kota Jakarta.
Layar-layarnya yang berwarna putih memantulkan cahaya bulan ke permukaan kapal,
sehingga seolah-olah kapal itu terlihat memancarkan cahaya redup. Itu. Atau
memang kapalnya benar-benar memancarkan cahaya.
Sama dengan saat kemunculannya yang tiba-tiba, tanpa
suara, dan misterius, kapal itu menghilang di kejauhan setelah menembus kabut
yang turun menyelimuti kota Jakarta.
****
Aku tidak
begitu ingat bagaimana aku bisa kembali ke kantor tempatku berlindung dari
hujan dan banjir malam itu. Yang jelas waktu aku bangun pagi harinya, aku sudah
kembali tidur di atas sofa. Sejenak aku sempat mengira kalau pengalamanku
semalam hanya mimpi belaka. Setidaknya sampai aku menyadari kalau aku masih
menggenggam koin perak yang kuterima dari kapten kapal ajaib malam itu.
Itu bukti
otentik kalau pengalaman anehku semalam benar-benar nyata. Bukan halusinasi,
mimpi, apalagi tanda-tanda kegilaan. Yah. Kadang aku mempertanyakan soal
tingkat kewarasanku sendiri sih. Bukan karena soal apa semua pengalaman aneh
yang pernah kualami itu hanya sekedar efek kegilaan, tapi soal aku yang masih
waras setelah berkali-kali mengalami kejadian luar biasa seperti malam itu.
Entah aku yang
aneh, atau sebenarnya dunia ini jauh lebih aneh dari cerita khayalan yang
sering kulihat di televisi atau kubaca di novel.
Ah.
Ngomong-ngomong soal koin perak waktu itu, baru belakangan aku sempat menyadari
keanehannya. Yang pertama adalah tahun yang dicetak di koin perak itu.
Seribu tujuh ratus tiga puluh lima!
Itu artinya koin yang sekarang berada di tanganku ini
berasal dari masa kolonial Belanda, dan benda ini setidaknya sudah berusia
lebih dari tiga ratus tahun! Sulit dipercaya, tapi ini benar-benar nyata!
Keanehan kedua yang kutemukan adalah tiga huruf yang tercetak di sisi lain koin itu.
V.O.C. ... atau singkatan dari Vereenigde Oostindische Compagnie. Kadang dikenal juga sebagai United East India Company. Tapi orang
Indonesia, terutama yang tinggal di Jakarta, dulu lebih sering menyebut mereka
dengan sebutan ‘Kompeni Belanda’. Pada jaman dahulu kala itu adalah nama
perusahaan perdagangan yang sangat berkuasa di kawasan Asia, dan juga merupakan
perusahaan yang mengawali masa penjajahan di Indonesia. Mereka memiliki
pengaruh yang besar sampai sekitar akhir tahun seribu delapan ratusan, sebelum
mereka mulai mengalami kemunduran dan pada akhirnya mengalami kebangkrutan di
awal tahun seribu sembilan ratusan.
Kapal gaib dan perusahaan perdagangan Belanda.
Ketika aku mengetikkan dua petunjuk itu di mesin pencari
di internet, hasilnya tidak kalah mengejutkan. Coba tebak apa yang muncul.
Ya. Tentu saja kapal Flying
Dutchman yang legendaris!
Kapal yang konon dikutuk untuk melakukan pelayaran tanpa
henti sampai akhir dunia karena kesombongan kaptennya yang menantang ‘takdir’
saat berlayar. Konon katanya, sang kapten bersumpah akan mengitari Tanjung
Harapan meski dalam cuaca buruk, atau dia akan dikutuk untuk berlayar sampai
kiamat. Yah ... tentu saja dia dan seluruh awak kapalnya tidak pernah sampai ke
tujuan, bahkan sampai mati pun mereka tidak pernah sampai ke pelabuhan yang
dituju. Sebab kapal itu hilang ditelan keganasan badai laut yang mematikan.
Tapi akibat sumpah sang kapten, dia dan seluruh awak kapalnya dikutuk untuk
melayari seluruh lautan tanpa henti sampai dunia berakhir.
Terkadang benar juga kalau ada yang bilang kesombongan
dan nasib buruk itu dua hal yang berdekatan. Dalam kasus Flying Dutchman dan awaknya, kesombongan dan kutukan itu dua hal
yang saling bertautan.
Yang jelas dari cerita-cerita yang kudapatkan, kemunculan
Flying Dutchman di laut adalah
pertanda buruk atau kutukan bagi siapa pun yang menyaksikan wujudnya. Selain
itu, ada juga cerita yang mengatakan bahwa Flying
Dutchman akan muncul dan mengirimkan awak kapalnya ke daratan untuk
menyampaikan berita pada orang-orang yang sudah lama mati. Ada juga yang
mengatakan kalau kapal itu juga akan datang untuk mengoleksi arwah orang-orang
mati untuk dibawa ke ‘dunia bawah’. Entah mau diapakan, tapi firasatku bilang
nasib arwah-arwah yang dikoleksi kapal gaib itu tidak akan berakhir dengan
baik.
Kalau kuingat-ingat lagi, malam itu sosok-sosok samar
yang berjalan bersamaku ke arah kapal mungkin saja adalah arwah, atau jiwa-jiwa
orang yang sudah mati. Sejujurnya sih aku tidak yakin soal itu, tapi mungkin
saja begitu.
Sambil memainkan koin perak VOC yang kudapat dari kapten
kapal Flying Dutchman, aku teringat ucapannya saat kami berpisah.
“Oy, orang darat!
Kita akan bertemu lagi suatu saat nanti!”
Aku tidak mau memikirkan soal itu lama-lama, soalnya
kalimatnya itu membuatku takut.
Apa itu berarti kami akan bertemu lagi?
Apa itu berarti suatu saat nanti kapal itu akan datang
lagi menjemputku?
Aku tidak pernah tahu. Setidaknya dalam kehidupan ini aku
tidak pernah tahu. Dan aku benar-benar berharap kalau aku tidak akan pernah
tahu jawabannya. Soalnya itu berarti aku tidak akan pernah melihat lagi kapal
hantu itu sampai akhir hayatku.
Setelah aku mati nanti?
Yah ... itu sih urusan belakangan.
Perkara kapal itu datang lagi untuk menjemput arwahku
atau tidak, itu tidak penting.
Yang paling penting sekarang adalah hidup dengan sekuat
tenaga dan menjalankan tugas sehari-hari dengan sepenuh hati. Dengan begitu,
mudah-mudahan kalau aku mati nanti, nasibku di dunia sana tidak terlalu buruk.
Sambil memikirkan soal itu, aku menyalakan mesin partner
tuaku dan memulai aktivitas pagi seperti biasanya.
****
End of 5th Spiral
Move on to the next
story
Comments